Anda di halaman 1dari 9

PROJECT BASED LEARNING

PERITONITIS
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Fundamental of
Phatophysiology Dygestive System

Disusun Oleh :
YULVIANA DWI OKTAVIA
145070200131007
Kelas 2 B
Kelompok 4B

PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
1. DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang
menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu
bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi
secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus,
misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi,
misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya
asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis
sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.

2. KLASIFIKASI
Peritonitis diklasifikasikan menjadi:
a. Menurut agens
- Peritonitis kimia
Misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam
lambung, cairan empedu, cairan pankreas yang masuk ke
rongga abdomen akibat perforasi.
- Peritonitis septic
Merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya
karena ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat
sampai ke peritonium dan menimbulkan peradangan.
b. Menurut sumber kuman
- Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari
penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga sebagai
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk
yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi
atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera
dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum. Kasus SBP
disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri
gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas,
proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus pneumonia,
staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi:
1. Spesifik Peritonitis : yang disebabkan infeksi
kuman yang spesifik, misalnya kuman tuberkulosa.
2. Non- spesifik Peritonitis : yang disebabkan infeksi
kuman yang non spesifik, misalnya kuman penyebab
pneumonia yang tidak spesifik.
- Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab
utama, diantaranya adalah:
1. Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal
atau traktus genitourinarius ke dalam rongga abdomen,
misalnya pada : perforasi appendiks, perforasi gaster,
perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker,
strangulasi usus, dan luka tusuk.
2. Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke
peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam
empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
3. Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters
- Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier biasanya terjadi pada pasien dengan
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada
pasien imunokompromise. Peritonitis yang mendapat terapi
tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi
sebelumnya.
3. ETIOLOGI

4. EPIDEMIOLOGI
Kejadian peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah. Peritonitis
sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus
bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah
delakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian
peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.
Hasil survey pada tahun 2008 angka kejadian peritonitis di sebagian
besar wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di indonesia, jumlah
pasien yang menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah
penduduk di indonesia atau sekitar 179.000 orang (Depkes, RI 2008).
Hasil survey Jawa Tengah tahun 2009, jumlah kasus peritonitis
dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyebabkan kematian.
Jumlah penderita Peritonitis tertinggi ada di kota semarang,yakni 970 orang
(Dinkes Jateng,2009).

5. FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis,
yaitu:
- Penyakit hati dengan ascites
- Kerusakan ginjal
- Compromised immune system
- Pelvic inflammatory disease
- Appendicitis
- Ulkus gaster
- Infeksi kandung empedu
- Colitis ulseratif / chron’s disease
- Trauma
- Capd (continous ambulatory peritoneal dyalisis)
- Pankreatitis

6. MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan
nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara
bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus (Wilson et al,2008).
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik
dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok
(Wilson et al,2008). Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan
yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peri tonium.
Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya (Hoyt,2009).
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Darah Lengkap : biasanya ditemukan leukositosis,
hematocrit yang meningkat
- BGA : menunjukan asidosis metabolic, dimana
terdapat kadar karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi
- Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau
secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang
khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat

9. PENATALAKSAAN MEDIS
a. Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna
dengan:
- Memuasakan pasien
- Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau
intestinal
- Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena
- Pemberian antibiotik yang sesuai
- Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang
lainnya
a. Pemberian oksigen
Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia
dapat dimonitor oleh pulse oximetri atau BGA.
b. Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan
derajat syok dan dehidrasi. Penggantian elektrolit (biasanya
potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi
untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena
sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada
pasien dengan sepsis atau pasien dengan komorbid.
Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit
bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan
menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.
c. Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin
dibutuhkan antiemetik.
d. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan
anaerob, diberikan intravena. Cefalosporin generasi III dan
metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang
mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran
anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan
intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem atau
kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal
juga harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan
terpapar spesies Candida.
b. Definitif
- Pembedahan
1. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung
dari lokasi yang dikira. Tujuannya untuk
- Menghilangkan kausa peritonitis
- Mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang
mengalami
- Inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang
mengalami perforasi).
- Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat
penting. Relaparotomi mempunyai peran yang penting pada
penanganan pasien dengan peritonitis sekunder, dimana
setelah laparotomi primer ber-efek memburuk atau timbul
sepsis..
2. Laparoskopi
Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut
dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada
kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih
besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi. 9
3. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat
melekat pada dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau
rongga peritoneum. Ada banyak kejadian yang memungkinkan
penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.


Jakarta : EGC.
Depkes RI., 2013, Angka Kejadian Gawat Abdomen
http://www.infokedokteran.com/arsip/angka -kejadian-peritonitis-didunia.html
[accesed 3 Maret 2017]
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah;
221-239, Jakarta : EGC
. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta. 9. Rotstein. O. D., Simmins. R.
L., 1997, Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Terapi Bedah Mutakhir,
Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma. Jakarta : Binarupa Aksara.
Bahan Ajar DR.dr. Warsinggih, Sp.B-KBD PERITONITIS DAN ILLEUS
(http://med.unhas.ac.id/ ). Diakses pada 3 Maret 2017, pukul 00.32 WIB

Anda mungkin juga menyukai