Anda di halaman 1dari 5

SINDROMA POST CONCUSSION

Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Spektrum cedera traumatik pada otak bervariasi dari cedera ringan


dankadang-kadang tak disadari sampai cedera berat dengan morbiditas dan
mortalitas yang nyata.
Angka kejadian pasti dari cedera kepala sulit ditentukan karena berbagai faktor,
misalnya sebagian kasus-kasus yang fatal tidak pernah sampai ke RS, dilain pihak
banyak kasus yang ringan tidak datang pada dokter kecuali bila kemudian timbul
komplikasi. Dari penelitian di Skotlandia dan Kanada ditemukan bahwa perbandingan
pasen cedera kepala yang tidak dirawat di RS terhadap pasen yang dirawat adalah 4-
5 : 1.
Insiden cedera kepala yang nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat
diperkirakan 480.000 kasus pertahun (200 kasus/100.000 orang), yang meliputi
concussion, fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial, laserasi otak, hematoma dan
cedera serius lainnya. Dari total ini 75-85% adalah concussion dan sekuele cedera
kepala ringan. Cedera kepala paling banyak terjadi pada laki-laki berumur antara 15-
24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan kendaraan bermotor. Menurut Rimer et al
dari 1200 pasen yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55% diobati
untuk cedera kepala ringan (minor)
Banyak pasen-pasen dengan cedera ringan yang datang kedokter untuk
pertama kalinya karena gejala yang terus berlanjut, dikenal sebagai sindroma
postconcussion. Berdasarkan informasi statistik yang diketahui, masalah cedera
kepala ringan adalah gangguan sekuele pasca trauma dan dengan akibat gangguan
produktivitas.

DEFENISI

Sindroma postconcussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri


kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori,
menurutnya konsentrasi daninsomnia, yang merupakan sekuele setelah cedera
kepala ringan tertutup.
Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah post traumatic
instability, post traumatic headache, traumatic neurasthenia,traumatic
psychasthenia, post traumatic syndrome.
Yang dimaksud dengan cedera kepala ringan adalah suatu trauma yang
terjadi dengan gangguan kesadaran sesaat atau gangguan fungsi neurologik lain
(misalnya memori, penglihatan) dengan GCS 13-15.

2002 digitized by USU digital library 1


INSIDENSI

Insidensi dari sindroma ini bervariasi. Suatu penelitian yang dilakukan oleh
Brenner dkk tahun 1994 pada 200 pasen dengan cedera kepala ringan yang dirawat
ri RS, menemukan insidensi nyeri kepala pasca trauma 69% dan dizziness 51%.
Menurut Tjahjadi (1990) gejala nyeri kepala terdapat 70%, lelah (kekurangan
energi) 60%, dizziness 53 %.
Onset sindroma postconcussion bervariasi,pada beberapa kasus gejala dapat
timbul pada hari hari pertama cedera dan menetap selama beberapa waktu sampai
beberapa bulan bahkan tahun. Pada kasus lainnya gejala-gejalanya timbul
kemudian, kadang-kadang sampai beberapa minggu setelah cedera.
Nyeri kepala yang merupakan gejala utama sindroma postconcussion
biasanya timbul dalam 24 jam dari cedera, dan sekitar 6% terjadi beberapa hari atau
minggu kemudian. Menurut Guttman nyeri kepala terdapat lebih banyak pada
minggu-minggu pertama sesudah cedera kepala ringan. Tes psikologik yang meliputi
pemeriksaan pemrosesan informasi menunjukkan abnormalitas dengan insidens
yang sangat tinggi pada hari-hari pertama cedera.
Gejala-gejala ini menetap pada separuh dari kasus setelah 2 bulan atau lebih
danditemukan bersama keluhan lain seperti ansietas, mudah lelah, iritabilitas dan
sulit berkonsentrasi. Penelitian Jones (1974) secara retrospektif terhadap 3500
pasen cedera kepala ringan menemukan insidensi nyeri kepala, dizziness atau
keduanya sebanyak 57%. Gejala-gejala ini tetap ada paling sedikit selam 2 bulan
tetapi kemudian sebagian besar menghilang, hanya tinggal 1 % pasen dengan gejala
setelah 1 tahun. Penelitian yang dilakukan Rimel dkk. (1981) terhadap 500 pasen
trauma kepala ringan menemukan 79% terdapat paling sedikit satu keluhan dalam
suatu wawancara 3 bulan setelah cedera, 78 % mengeluh nyeri kepala dan 59%
terdapat gangguan memori. Suatu penelitian multisenter tahun 1987 yang dilakukan
oleh Levin dkk. Terhadap 155 pasen dengan cedera kepala ringan, ditemukan
keluhan pertama yang paling sering adalah nyeri kepala (82%). Kemudian diikuti
dengan keluhan penurunan energi pada 60% dan dizziness pada 53% kasus.
Keluhan ini kemudian berkurang pada 1 bulan dan 3 bulan setelah cedera, dan pada
kesimpulan dari penelitian tersebut didapatkan keluhan nyeri kepala pada 47%
kasus, penurunan energi 22%, dan dizziness 22%.
Kay dkk (1971) menduga bahwa gejala-gejala postconcussion berhubungan
dengan lamanya amnesia pasca trauma, dimana frekwensi dan lamanya berlangsung
gejala meningkat dengan makin lamanya periode amnesia. Penelitian-penelitian
berikutnya oleh Ruther Ford dkk. (1977-1979) gagal untuk mengkonfirmasikan
penemuan tersebut. Sindroma postconcussion jarang terjadi pada pasen-pasen
dengan cedera berat yang berhubungan dengan penurunan kesadaran berat (koma)
selama beberapa waktu. Hal ini mungkin disebabkan pada saat kesadaran pasen
pulih kembali nyeri kepala, concussion telah berlalu, terlebih lagi pada pasen
dengan cedera berat lebih mendapat perhatian, simpati dan pengertian selama masa
pemulihannya.
Penelitian-penelitian lain menduga kejadian lebih sering terjadi pada wanita,
pasen dengan umur lebih dari 40 tahun,pasen dengan gangguan neuropsikiatrik
sebelumnya,alkoholisme, penyalah gunaan obat atau dengan cedera kepala
sebelumnya. Tetapi juga hal ini tidak dapat dikonfirmasikan dengan penelitian-
penelitian berikutnya.

2002 digitized by USU digital library 2


ETIOLOGI DAN PATOFISIPLOGI

Pada sindroma postconcussion tidak jelas adanya perubahan-perubahan


struktural secara gross pada SSP, meskipun pada concussion dikatakan terdapat
perubahan mikroskopik pada sel-sel saraf dan vaskuler.
Kondisi ini mulanya diduga samata-mata atas dasar psikologis, tapi sekarang
diketahui bahwa pada suatu cedera sedemikian sehingga menyebabkan gangguan
kesadaran atau adanya suatu periode amnesia pascatrauma, terjadi kerusakan
neuronal. Cedera yang ringan bila berulang akan mempunyai efek kumulatif.
Para ahli patologi belakangan ini dapat menunjukkan adanya lesi di otak pada
pasen yang meninggal yang sebelumnya telah mengalami pemulihan setelah cedera
kepala ringan. Saat ini telah diakui bahwa meskipun pada concussion singkat, terjadi
kerusakan struktural otak.
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan nampaknya adalah shear strain.
Kekuatan rotasional dapat ditimbulkan sekalipun pada kecelakaan yang dianggap
tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini
pertama bisa menyebabkan regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan
konduksi dan hilangnya fungsi. Selanjutnya kekuatan ini dapat sedemikian rupa
sehingga menyebabkan disrupsi mielin dan neurilemma. Akhirnya dapat terjadi
perdarahan kapiler. Hal-hal ini dapat terlihat secara mikroskopik dengan
terbentuknya axonal retraction bulba dan parut mikrogilial. Perubahan ini terjadi
secara difus, terutama pada corpus callosum dan kuadran dorsolateral batang otak.
Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai diffuse axonal injury.
Perubahan fisiologik terjadi pada cedera kepala ringan. Pada percobaan
binatang didapatkan adanya depresi amplutudo aktivitas listrik.

GEJALA KLINIK

Pada kasus-kasus sindroma postconcussion secara khas terdapat keluhan


gejala-gejala yang stereotipik yang hanya sedikit berbeda dari satu pasen dengan
pasen lainnya. Dari anamnesa terdapat cedera kepala ringan dengan sedikit atau
tanpa gangguan kesadaran. Keluhan-keluhan tersebut terdiri atas nyeri kepala,
iritabilitas dan dizziness, biasanya dipresipitasi dengan postur tegak. Vertigo tidak
lazim didapat, bila ada diduga akibat kerusakan pada telinga bagian dalam, N. VIII
atau batang otak. Gejala lain yang jarang adalah fotofobia dan rentan terhadap
suara. Kadang-kadang terdapat reaksi konversi, meliputi gangguan penglihatan,
gangguan pendengaran, ataksia, parese atau lebih anggota gerak dan keluhan
gangguan sensorik yang tidak jelas. Gangguan kemampuan berkonsentrasi dan
kesulitan dalam berfikir pada banyak pasen dapat menimbulkan ansietas. Ketidak
mampuan untuk melaksanakan tugas tertentu dengan efisiensi dan kecepatan yang
sama seperti sebelum terjadi cedera menimbulkan berbagai pertahanan psikologik.
Beberapa pasen menjadi iritable, bersikap bermusuhan dan mudah berprasangka,
sementara pada pasen lain menarik diri dari lingkungannya untuk bersembunyi dari
kekurangannya. Depresi kadang-kadang terlihat setelah 1-3 bulan. Namun
kebanyakan pasen dapat kembali bekerja dan akhirnya mengalami remisi dari
gejala-gejalanya.
Pada kasus-kasus dengan gambaran psikoneurotik, pemeriksaan neurologik
hasilnya normal dan tidak sejalan dengan gejala pengobatan.
Program terapi yang mendasar pada sindroma ini belum dapat diformulasikan
karena mekanisme dari sindroma ini belum sepenuhnya diketahui. Untuk
mengurangi sekecil mungkin disabilitas akibat sindroma postconcussion, dokter

2002 digitized by USU digital library 3


dapat berperan besar dengan memberikan keyakinan pada pasen yang cendrung
terdapat kecemasan setelah cedera kepala. Gejala-gejala pada pasen sering dapat
diperbaiki dengan memberikan penjelasan mengenai penyebab, mekanisme dan
perjalanan penyakit dari gejala-gejala yang dialami pasen, menggaris bawahi
kemungkinan yang besar untuk pulih secara sempurna dalam waktu relatif singkat.
Sikap penuh perhiatian dari dokter sangat membantu. Dokter perlu menyediakan
waktu pada saat pemeriksaan pertama maupun pada follow-up selanjutnya dan
mendiskusikan dengan pasen mengenai masalah cederanya.
Nyeri kepala adalah gejala sindroma postconcussion yang dapat diobati
meskipun menfaatnya relatif terbatas. Dapat diberikan alkaloid ergot (Ergonovine)
sebagai profilaksis. Bila perlu dapat diberikan Phenothiazine. Amitriptilin dan
Propranolol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebih. Dengan menggunakan
Ergonovin, Amitriptilin dan Propranolol pada 100 pasen, 19 diperoleh perbaikan yang
nyata, 24 perbaikan sdang dan sisanya hanya sedikit perbaikan atau tidak ada
perubahan. Pemberian analgetik dapat mendukung, namun harus dibatasi
penggunaan hariannya. Indometasin (75-250 mg/hari) dan Naproxen (1000-15000
mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgetik.
Seperti halnya pada pasen dengan nyeri kepala kronik, kontraksi otot-otot
leher secara sekunder bisa meningkatkan masalah nyeri. Hal ini dapat dicoba diatasi
dengan pemberian pemanasan, pijat, traksi leher, collar, bantal pada leher.
Ambulasi dini sering dapat mencegah timbulnya gejala neurotik, dan pasen-
pasen cedera kepala ringan dapat diijinkan untuk bergerak dan mandiri sesegera
mungkin. Bagi yang mampu dianjurkan untuk kembali bekerja segera.
Namun pada pasen-pasen dengan pekerjaan yang membutuhkan intelektualitas
hendaknya tidak terlalu cepat dianjurkan kembali bekerja untuk menghindari
timbulnya keyakinan bahwa dirinya sudah tidak mampu melaksanakan
pekerjaannya. Hal ini bisa memulai suatu lingkaran konflik antara keinginan bekerja
dan kecemasan yang akan dapat memperberat gejala-gejalanya.

KESIMPULAN

Sindroma postconcussion adalah suatu keadaan yang merupakan akibat dari


cedera kepala ringan tertutup. Gejala-gejalanya bervariasi namun mempunyai suatu
pola yang tertentu.
Terdapat banyak faktor yang terkait dalam sindroma ini, yang dapat
memberikan prognosa yang berbeda-beda dari yang baik sampai yang menimbulkan
gangguan yang berkepanjangan sehingga menyebabkan gangguan psikososial.
Upaya penanggulangannya dilakukan secara menyeluruh baik terhadap
gejalanya maupun terhadap faktor-faktor yang menjadi latar belakang yang
memperberat keadaan penyakit.

2002 digitized by USU digital library 4


DAFTAR PUSTAKA

Adam RD, Victor M. Principles of neurology. 4th ed. New York : McGraw Hill. 1989,
p. 710
Alves WM, Jane JA. Post traymatic syndrome. In Neurological Surgery. 3rd ed. Vol.
3. Ed. By Youman JR. Philadelphia : WB Sounders. 1990, p. 2230-2240
Bailey NB, Gudeman SK. Minor head injury. In Textbook of Head injury.
Philadelphia : WB Saunders. 1989, p. 308-316
Gade GF. Et al. Pathology and pathophysiology of head trauma. In Neurological
surgery. 3rd ed vol. 3. Ed. By Youman JR. Philadelphia ; WB Saunders.
1990, p. 1972-1974
Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. 3rd ed. New York : Macmillan. 1979, p. 502-
503
Harding JJ. 1982. Psychiatric aspect of dizziness and vertigo. In Evaluation and
clinical management of dizziness and vertigo. Ed. By Finestone AJ.
Boston : John Wrigth. 1982, p. 153-154
Jennet B. Medical aspects of head injury. In Medicine (11): disorders of the nervous
system. Ed. By Hughes et al. Oxford : Medical Educational. 1978, p.
956-961
Jennett B, Teasdale G. Management of head injuries. Contemporary Neurology
Series. 1982, p. 258-263
Lindsay KW, Bone I. Neurology and neurosurgery. 2nd ed. Livingstone: ELBS. 1991,
p. 230
Povilshock JT et al. Neural and vascular alteration in Brain injury. In Neural
Trauma Ed. By Popp AJ et al. New York : Raven Press, 1979.
Raskin NH. Headache. 2nd ed. New York : Churchill Livingstone. 1988, p. 278.
Tjahjadi P. Sindroma Postconcussion. Bandung : Bag./UPF Neurologi FK UNPAD.
1990.
Vick NA. Ginker’s neurology. 7th ed. Springfield : Charles C. Thomas. 1975, p. 664-
666

2002 digitized by USU digital library 5

Anda mungkin juga menyukai