Anda di halaman 1dari 17

Bab I

Ilustrasi Kasus

Nama/ No. RM : Ny. F / 85 85 05


Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Bukit Barisan
Tanggal masuk : 27 November 2015 via IGD

Anamnesis :
Keluhan utama
Sesak nafas yang semakin memberat.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Sesak dirasakan semakin memberat. Batuk (+) berdahak sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit, dahak berwarna kehijauan. Demam disangkal oleh pasien.
BAK dan BAB tidak ada keluhan. Riwayan tidur dengan bantal tinggi disangkal.
Sesak setelah bekerja atau berjalan disangkal. Penurunan berat badan (-). Riwayat
trauma (-).
Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah mengeluhkan penyakit seperti ini sebelumnya. Asma
disangkal. HT disangkal. DM disangkal
Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga / orang serumah yang mengalami hal serupa, riwayat
keluarga/orang serumah yang batuk-batuk lama (-), riwayat asma di keluarga (-).
Riwayat pengobatan
Pasien berobat ke puskesmas dan klinik dokter dan mendapat obat
salbutamol, ambroxol dan amoksisilin. Keluhan dirasakan tidak berkurang oleh
pasien

1
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : komposmentis GCS E4V5M6 (15)
TTV : TD 130/90mmHg nafas 36x/i nadi 100x/i suhu 36,50C
Kepala leher : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, sianosis (-)
Thorax :gerakan simetris, sonor D/S, vesikuler D/S, ronki (+/+),
wheezing(-)
S1 – S2 normal, S3 (-).
Abdomen : tampak datar, bising usus (+) normal, timpani, supel. Hepar dan
lien tidak teraba. Shifting dullness (-). Undulasi (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2”.

Pemeriksaan penunjang

2
Darah : Rontgen thorax:
Hb 12,9 gr/dL Infiltrat perihiler
Leukosit 25.900/µL
Ht 37,5%
Trombosit 200.000/µL

Resume
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Sesak dirasakan semakin memberat. Batuk (+) berdahak sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit, dahak berwarna kehijauan. Pasien berobat ke puskesmas dan
klinik dokter dan mendapat obat salbutamol, ambroxol dan amoksisilin. Keluhan
dirasakan tidak berkurang oleh pasien. Pemeriksaan paru didapatkan Rhonki (+/+)
pemeriksaan laboratorium leukosit: 25.900. pemeriksaan rontgen thoraks PA
didapatkan infiltrat perihiler

Diagnosis
Obs. Dyspnea ec pneumonia

Terapi

3
Saat di IGD :
02 via nasal kanul 3-4 L/menit
Konsul dr. Sri Melati Munir, Sp.P :
Advice :
02 via nasal kanul 3-4 L/menit Ambroxol 2xcth II oral
IVFD RL 20 tpm makro Omeperazol 1x1amp IV
Nebulisasi combivent+pulmicort/8jam Metil Prednisolon 2x4mg oral
Ceftazidin 2x1gram IV Levofloxacin 1x500mg drip

Follow Up
28/11/2015
S : pasien mengeluhkan sesak
O : TTV : TD 130/90mmHg nafas 28x/i nadi 98x/i suhu 370C
A : Obs. Dyspnea ec pneumonia
P : 02 via nasal kanul 3-4 L/menit
IVFD RL 20 tpm makro
Nebulisasi combivent+pulmicort/8jam
Ceftazidin 2x1gram IV
Ambroxol 2xcth II oral
Omeperazol 1x1amp IV
Metil Prednisolon 2x4mg oral
Levofloxacin 1x500mg drip

29/11/2015
S : pasien mengeluhkan sesak
O : TTV : TD 130/90mmHg nafas 26x/i nadi 86x/i suhu 36.80C
A : Obs. Dyspnea ec pneumonia
P : 02 via nasal kanul 3-4 L/menit
IVFD RL 20 tpm makro
Nebulisasi combivent+pulmicort/8jam
Ceftazidin 2x1gram IV
Ambroxol 2xcth II oral

4
Omeperazol 1x1amp IV
Metil Prednisolon 2x4mg oral
Levofloxacin 1x500mg drip

30/11/2015
S : pasien mengatakankan sesak berkurang
O : TTV : TD 120/80mmHg nafas 24x/i nadi 82x/i suhu 36.60C
A : Obs. Dyspnea ec pneumonia
P : IVFD RL 20 tpm makro
Nebulisasi combivent+pulmicort/8jam
Ceftazidin 2x1gram IV
Ambroxol 2xcth II oral
Omeperazol 1x1amp IV
Metil Prednisolon 2x4mg oral
Levofloxacin 1x500mg drip

1/12/2015
S : pasien mengatakan sesak minimal
O : TTV : TD 120/80mmHg nafas 22x/i nadi 78x/i suhu 36,60C
A : Obs. Dyspnea ec pneumonia
P : IVFD RL 20 tpm makro
Nebulisasi combivent+pulmicort/8jam
Ceftazidin 2x1gram IV
Ambroxol 2xcth II oral
Omeperazol 1x1amp IV
Metil Prednisolon 2x4mg oral
Levofloxacin stop

2/12/2015
S : keluhan (-)
O : TTV : TD 120/80mmHg nafas 20x/i nadi 76x/i suhu 36,70C
A : Obs. Dyspnea ec pneumonia

5
P : cefixim 2x1
Omeperazol 1x1
Biocurliv 3x1
Pasien dipulangkan

6
Bab II
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, dimana
proses peradangannya ini menyebar dan membentuk bercak-bercak infiltrat
yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula mengenai bronkiolus terminal
dan dapat ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah yang
disebabkan oleh bakteri,virus,jamur dan benda asing.1,2

2.2`Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter paru Indonesia (2003), pneumonia dapat
diklasifikasikan berdasarkan klinis, penyebab dan predileksi infeksi.1
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
 Pneumonia komuniti (community acquired pneumonia)
 Pneumonia nosocomial (Hospital acquired pneumonia)
 Pneumonia aspirasi
 Pneumonia pada penderita immunocompromised
b. Berdasarkan penyebab
 Pneumonia bacterial atau pneumonia tipikal
 Pneumonia atipikal disebabkan oleh mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
 Pneumonia virus
 Pneumonia jamur
c. Berdasarkan predileksi
 Pneumonia lobaris
Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau satu segmen
kemungkinan sekunder yang diakibatkan oleh obstruksi bronkus.
 Bronkopneumonia
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrate pada lapangan paru dapat
disebabkan oleh bakteri maupun virus.
 Pneumonia intertitialis
2.3 Epidemiologi

Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia


merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei,
nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3

7
di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut
termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika
adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian
utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat
pneumonia di Amerika adalah 10 %.1
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit
infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab
kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi
juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan
adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada
penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus
nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan
28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian
antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan
sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.1
Sekitar 19 % dari kasus kematian anak disebabkan oleh pneumonia.
Pneumonia sendiri merupakan penyebab kematian yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kasus kematian akibat diare, spesis, malaria, AIDS
maupun campak.3
Secara global, terdapat sekitar 150 juta kasus pneumonia terjadi pada
anak yang berusia dibawah 5 tahun dan cenderung meningkat setiap tahunnya.
Di Amerika yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih
tinggi, diperkirakan setiap tahunnya terdapat 35-40 kasus per 1000 anak yang
berusia dibawah 5 tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun.1
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia prevalensi
pneumonia pada balita di Indonesia meningkat dari 7,6% di tahun 2002
menjadi 11,2% pada tahun 2007.4,5
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 di
Indonesia kasus pneumonia merupakan penyebab kematian kedua pada bayi
dan balita setelah kasus diare (15,5% dari kematian balita).4 Pneumonia

8
umumnya dapat terjadi di semua usia, walaupun kasus pneumonia lebih sering
dialami pada usia anak di bawah 5 tahun. 4,5

2.4 Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak
disebabkan bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di
Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara
pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda
didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut :1
 Klebsiella pneumoniae 45,18%
 Streptococcus pneumoniae 14,04%
 Streptococcus viridans 9,21%
 Staphylococcus aureus 9%
 Pseudomonas aeruginosa 8,56%
 Steptococcus hemolyticus 7,89%
 Enterobacter 5,26%
 Pseudomonas spp 0,9%

2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di
paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara


Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,

9
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m
melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian
besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada
orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran,
peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-
10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada
pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama
dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.

2.6 Manifestasi Klinis


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam jiwa dan
mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit.1,6,7
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia
pada anak adalah immaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme
penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi.
Gambaran klinis pneumonia secara umum adalah sebagai berikut:1,6,7
1. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. 1,7
2. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi

10
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.1,7
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala
klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat baru
atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
 Batuk-batuk bertambah
 Perubahan karakteristik dahak / purulen
 Suhu tubuh > 380 C (aksila) / riwayat demam
 Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
 Leukosit > 10.000 atau < 4500

2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.7.1 Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa
infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab
bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak
dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.1,7
2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul,
dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah

11
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.1,7

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan


klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di
rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik
misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor
modifikasis adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
 Umur lebih dari 65 tahun
 Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
 Pecandu alkohol
 Penyakit gangguan kekebalan
 Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik Gram negatif
 Penghuni rumah jompo
 Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
 Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
 Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
 Bronkiektasis
 Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
 Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
 Gizi kurang

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:


a. Penderita rawat jalan
 Pengobatan suportif / simptomatik
 Istirahat di tempat tidur
 Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

12
 Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
 Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
 Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8
jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
 Pengobatan suportif / simptomatik
 Pemberian terapi oksigen
 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
 Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
 Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8
jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
 Pengobatan suportif / simptomatik
 Pemberian terapi oksigen
 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
 Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
 Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat


kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat
biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat
Intensif. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk
maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat
inap pneumonia komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
 Frekuensi napas > 30/menit
 Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
 Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
 Tekanan sistolik < 90 mmHg Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

13
Gambar 2.1. Skor patient outcome research team (PORT)1

14
Gambar 2.2. Antibiotik pada pasien pneumonia1

15
Bab III
Pembahasan

1. Diagnosis awal
Pasien masuk dengan keluhan sesak nafas yang disertai batuk berdahak.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya rhonki pada kedua paru dan dari
peeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan leukosit. Berdasarkan
pedoman diagnosis pneumonia PDPI, jika terdapat dua dari gejala-gejala
pneumonia, maka diagnosis pneumonia komuniti dapat ditegakkan. Gejala-gejala
pneumonia yang dijumpai pada pasien ini adalah batuk bertambah disertai dahak
purulent, pada pameriksaan auskultasi paru didapati ronki pada kedua lapang
paru, leukosit >10.000, sehingga pneumonia dapat ditegakkan

2. Terapi awal
Pada pasien terapi awal yang diberikan adalah pemberian O2 3L/menit
via nasal kanul dikaenakan keadaan pasien yang sesak dengan ditandai frekuensi
nafas 36 kali/menit. Berdasarkan pedoman dari PDPI untuk skor PORT, pasien
termasuk kedalam nilai <70, namun pada pasien didapatkan frekuensi nafas
>30x/menit dan dari pemeriksaan rontgen ditemukan infiltrate di kedua lapang
paru. Sehingga dengan keadaan tersebut pasien indikasi untuk rawat inap.

3. Terapi antibiotik
Pada pasien diberikan antibiotik ceftazidim yang merupakan golongan
beta lactam dan levofloxacin yang merupakan golongan quinolone. Hal ini sesuai
dengan protocol untuk pasien rawat inap yang dikeluarkan oleh PDPI pada pasien
tanpa faktor modifikasi.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia: Pneumonia
komuniti, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. Hal 3-22.

2. American lung association. Learn about pneumonia. 2016. Diakses di :


http://www.lung.org/lung-health-and-diseases/lung-disease-
lookup/pneumonia/learn-about-pneumonia.html

3. World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet No. 331. 2015.


Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/

4. Unicef : WHO. 2006. Pneumonia the Forgotten Killer of Children.

5. Kartasasmita, BC. Pneumonia pembunuh balita, Buletin Jendela


Epidemiologi (3). Jakarta : Kemenkes RI, 2010

6. Dahlan, Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2006. 974-80

7. American lung association. Diagnosing and treatment pneumonia. 2016.


Diakses di : http://www.lung.org/lung-health-and-diseases/lung-disease-
lookup/pneumonia/diagnosing-and-treating.html

17

Anda mungkin juga menyukai