1
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
ABSTRACT
This study was aimed to analyze risk factors of stunting in underfive children aged 24—59 months in Sumatera.
A cross sectional study was conducted in 1 239 children at Aceh, North Sumatera, South Sumatera, and
Lampung Provinces who have complete variable data of the National Basic Health Research 2010. The data
were collected by questionnaires and anthropometric assessment. Chi square analysis and logistic regression
were used to assess the association between risk factors and stunting in children. The result showed that
prevalence of stunting among children were 44.1%. The significant risk factors of stunting among subjects
(p<0.05) were mother’s height (OR=1.36), fat intake (OR=1.30), family size (OR=1.38), and drinking water
resources (OR=1.36). The dominant factor that associated with stunting in children was family size (OR=1.38).
Researcher suggest that family can control total children with family planning program.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menganalisis faktor risiko stunting pada balita usia 24—59 bulan di Sumatera.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional yang melibatkan subjek 1 239 balita di Provinsi Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung yang memiliki kelengkapan data variabel penelitian. Data
diambil dari hasil Riskesdas 2010. Pengumpulan data Riskesdas 2010 menggunakan kuesioner dan pengukuran
antropometri. Analisis chi square dan regresi logistik digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor
risiko dengan kejadian stunting pada balita. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi balita stunting 44.1%.
Faktor risiko stunting pada balita (p<0.05) yaitu tinggi badan ibu (OR=1.36), tingkat asupan lemak (OR=1.30),
jumlah anggota rumah tangga (OR=1.38) dan sumber air minum (OR=1.36). Faktor dominan yang berhubungan
dengan kejadian stunting pada balita adalah jumlah anggota rumah tangga. Keluarga disarankan agar dapat
membatasi jumlah anak sesuai dengan program Keluarga Berencana (KB).
*
Korespondensi: Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indone-
sia, Kampus UI Depok. Email: trini@ui.ac.id
1 239 balita yang memiliki kelengkapan data meli- rah-daerah tersebut hampir setengah jumlah balita
puti tinggi badan, umur, jenis kelamin, berat lahir, mengalami stunting. Hasil penelitian juga menun-
tinggi badan ibu balita, jumlah asupan energi, pro- jukkan prevalensi balita memiliki berat lahir kurang
tein, lemak, status ekonomi keluarga, jumlah ang- sebesar 27.8%. Sebanyak 59.3% ibu-ibu balita memi-
gota rumah tangga, dan sumber air minum. liki tinggi badan tergolong pendek; balita memili-
Hasil perhitungan kekuatan uji untuk variabel ki tingkat asupan energi, protein, dan lemak yang
berat lahir, tinggi badan ibu, tingkat asupan energi, rendah berturut-turut sebesar 48.3%,12.4%, 48.5%;
tingkat asupan protein, tingkat asupan lemak, sta- 65.1% keluarga balita tergolong status ekonomi ren-
tus ekonomi keluarga, jumlah anggota rumah tang- dah; 49.7% keluarga balita tergolong keluarga yang
ga dan sumber air minum memiliki nilai lebih besar memiliki jumlah anggota rumah tangga banyak; dan
atau sama dengan 80%. 30.3% balita berasal dari lingkungan dengan sumber
air tidak terlindung.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Variabel dependen dalam penelitian ini ada- Hubungan berbagai Variabel
lah kejadian stunting pada balita usia 24—59 bulan, Tabel 1 menunjukkan bahwa kejadian stunt-
sedangkan variabel independen adalah berat lahir, ing pada balita memiliki hubungan dengan berat
tinggi badan ibu, tingkat asupan energi, tingkat asu- lahir (p=0.03; OR=1.31), tinggi badan ibu (p=0.01;
pan protein, tingkat asupan lemak, status ekonomi OR=1.36, tingkat asupan energi (p=0.03; OR=1.28),
keluarga, jumlah anggota rumah tangga, dan sum- tingkat asupan lemak (p=0.02; OR=1.31), status
ber air minum. ekonomi keluarga (p=0.03; OR=1.29), jumlah ang-
Data sekunder diperoleh dari Badan Peneli- gota rumah tangga (p=0.01; OR=1.34), dan sumber
tian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Ke- air minum (p=0.01; OR=1.35).
sehatan RI. Pengumpulan data dilakukan oleh Tim Pada penelitian ini ditemukan hubungan antara
Riskesdas 2010 dari Balitbangkes, Kementrian Ke- berat lahir dengan kejadian stunting pada balita.
sehatan pada bulan Mei—Agustus 2010. Data karak- Balita yang memiliki berat lahir kurang mempunyai
teristik demografi dan sosial ekonomi diperoleh risiko 1.31 kali mengalami stunting dibandingkan
melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data dengan balita berat lahir normal. Hal ini sejalan
konsumsi pangan diperoleh dengan metode recall dengan hasil penelitian Varela et al. 2009. Pene-
1x24 jam. Pengukuran tinggi badan menggunakan litian di Pulau Sulawesi juga menunjukkan bahwa
alat ukur tinggi badan “Multi fungsi“ dengan kapasi- anak dengan berat lahir kurang dari 3 000 g memiliki
tas ukur dua meter dan ketelitian 0.1 cm. risiko menjadi stunting 1.3 kali dibandingkan anak
dengan berat lahir lebih dari atau sama dengan
Pengolahan dan Analisis Data 3 000 g (Simanjuntak 2011). Berat lahir merupakan
Analisis data meliputi univariat, bivariat, prediktor kuat terhadap penentuan ukuran tubuh di
dan multivariat. Analisis univariat digunakan untuk kemudian hari. Hal ini karena pada umumnya bayi
menggambarkan kejadian stunting pada balita, be- yang mengalami Intra Uterine Growth Retardation
rat lahir, tinggi badan ibu, tingkat asupan energi, (IUGR) tidak dapat mengejar pertumbuhan ke ben-
tingkat asupan protein, tingkat asupan lemak, status tuk normal selama masa kanak-kanak (Barker 2008).
ekonomi keluarga, jumlah anggota rumah tangga, Berdasarkan hasil penelitian ditemukan hubungan
dan sumber air minum. Analisis bivariat yang digu- antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting
nakan adalah uji chi-square untuk melihat hubungan pada balita. Ibu yang memiliki tinggi badan pendek
kejadian stunting pada balita dengan berat lahir, mempunyai risiko 1.36 kali memiliki balita stunting
tinggi badan ibu, tingkat asupan energi, tingkat asu- dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan
pan protein, tingkat asupan lemak, status ekonomi normal. Hal ini sejalan dengan penelitian di Cina
keluarga, jumlah anggota rumah tangga, dan sumber yang menunjukkan adanya hubungan antara tinggi
air minum. Analisis regresi logistik ganda digunakan badan ibu dengan kejadian stunting. Tinggi badan
untuk mengetahui faktor risiko kejadian stunting ibu <155 cm lebih berisiko memiliki anak stunting
pada balita. (Yang et al. 2010). Postur tubuh ibu juga mencer-
minkan tinggi badan ibu dan lingkungan awal yang
HASIL DAN PEMBAHASAN akan memberikan kontribusi terhadap tinggi badan
anak sebagai faktor independen. Namun demikian,
Karakteristik Balita dan Rumah Tangga masih banyak faktor lingkungan yang memengaruhi
Sebaran karakteristik balita dan rumah tangga tinggi badan anak (Taguri et al. 2008).
menunjukkan bahwa sebesar 24.2% balita di empat Terdapat hubungan antara tingkat asupan e-
provinsi mengalami severe stunting dan 19.9% mo- nergi dengan kejadian stunting pada balita. Balita
derate stunting. Prevalensi stunting ini lebih tinggi yang memiliki asupan energi rendah mempunyai
jika dibandingkan dengan angka nasional Riskesdas risiko 1.28 kali mengalami stunting dibandingkan
2010 yaitu 35.6%. Hal ini menandakan bahwa di dae- dengan balita yang memiliki tingkat asupan energi
cukup. Hal ini sesuai kerangka teori UNICEF yang Hasil studi menunjukkan bahwa proporsi ba-
menyatakan konsumsi makanan tidak adekuat me- lita dengan tingkat asupan lemak yang rendah meng-
rupakan salah satu faktor yang dapat mengakibat- alami stunting lebih banyak dibandingkan proporsi
kan stunting (UNICEF 1998). Sebuah studi yang di- balita dengan asupan lemak cukup. Secara statistik,
lakukan oleh Xiaoli et al.(2009) juga menunjukkan hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
bahwa penyebab kejadian stunting di Cina adalah antara asupan lemak dengan kejadian stunting pada
defisiensi energi dan protein yang telah berlangsung balita. Balita dengan tingkat asupan lemak rendah
jangka panjang. 1.31 kali lebih berisiko mengalami stunting diban-
Temuan studi menunjukkan sebagian besar dingkan balita dengan tingkat asupan lemak cukup.
balita memiliki tingkat asupan protein cukup, namun Hal ini sesuai dengan hasil survei di Cina tahun 2006
secara statistik tidak ditemukan hubungan antara yang menunjukkan kejadian stunting pada anak usia
tingkat asupan protein dengan kejadian stunt- kurang dari lima tahun dikaitkan dengan asupan e-
ing pada balita. Beberapa alasan tidak ditemukan nergi, protein, dan lemak (Xiaoli et al. 2009).
hubungan tersebut diduga disebabkan oleh bebe- Balita yang berasal dari keluarga dengan sta-
rapa faktor. Kejadian stunting merupakan peristiwa tus ekonomi rendah lebih banyak mengalami stunt-
yang terjadi dalam periode waktu lama, sehingga ing dibandingkan balita dari keluarga dengan sta-
tingkat asupan protein yang terjadi sekarang tidak tus ekonomi tinggi. Secara statistik hasil penelitian
menjadi salah satu penyebab kejadian stunting. Asu- ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pan protein bukan merupakan satu-satunya faktor status ekonomi keluarga dengan kejadian stunt-
yang memengaruhi kejadian stunting. Faktor-faktor ing pada balita. Balita yang berasal dari keluarga
lain yang menyebabkan anak menjadi stunting se- dengan status ekonomi rendah 1.29 kali berisiko
lain kurang asupan protein adalah defisiensi zat gizi mengalami stunting dibandingkan dengan balita
mikro, zat gizi dalam kandungan, ukuran tubuh ibu, dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Temuan
dan infeksi (Lee et al. 2010). ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang
menyebutkan ada hubungan antara status ekonomi Tabel 2. Analisis Regresi Logistik Ganda
keluarga dengan kejadian stunting pada balita.
Nama Variabel p value OR 95 % CI
Status ekonomi keluarga memiliki hubungan yang
kuat terhadap kejadian stunting (Hong 2007). Sta- Tinggi Badan Ibu 0.01 1.359 1.078—1.714
tus ekonomi keluarga yang lebih rendah cenderung Tingkat Asupan Protein 0.22 0.797 0.553—1.148
memiliki anak stunting (Lee et al. 2010). Tingkat Asupan Lemak 0.03 1.296 1.023—1.643
Balita dari keluarga dengan jumlah anggota Jumlah Anggota Rumah 0.00 1.383 1.101—1.737
rumah tangga banyak cenderung mengalami stunt- Tangga
ing dibandingkan balita dari keluarga dengan jum- Sumber Air Minum 0.01 1.358 1.062—1.736
lah anggota rumah tangga cukup. Dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara jumlah anggota yang banyak (Mamabolo et al. 2005). Pada umumnya
rumah tangga dengan kejadian stunting pada balita. ketersediaan makanan pada keluarga yang memiliki
Balita dari keluarga dengan jumlah anggota rumah anggota banyak lebih sedikit jika dibandingkan de-
tangga banyak lebih berisiko 1.34 kali mengalami ngan keluarga dengan anggota cukup sehingga ru-
stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga mah tangga yang memiliki jumlah anggota banyak
dengan jumlah anggota rumah tangga cukup. Hasil lebih berisiko untuk mempunyai anak malnutrisi
penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki
yang menunjukkan jumlah anggota rumah tangga jumlah anggota cukup (Tshwane University 2006).
memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian
stunting pada balita. Tshwane University (2006) da- KESIMPULAN
lam penelitiannya juga menemukan adanya hubung-
an besar keluarga dengan kejadian stunting pada Prevalensi kejadian stunting pada balita usia
balita. Anak-anak stunting berasal dari keluarga 24—59 bulan di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Su-
yang memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih matera Selatan, dan Lampung adalah 44.1%. Lebih
banyak dibandingkan dengan anak-anak normal. dari seperempat balita memiliki berat lahir rendah
Temuan lain studi ini menunjukkan bahwa dan lebih dari seperlima balita memiliki tingkat asu-
balita dari keluarga yang memiliki sumber air mi- pan energi, lemak, dan protein rendah. Lebih dari
num tidak terlindung lebih banyak mengalami stunt- setengah tinggi badan ibu di keempat provinsi ter-
ing dibandingkan balita dari keluarga yang memiliki golong pendek dan keluarga berstatus ekonomi ren-
sumber air minum terlindung. Studi membuktikan dah; hampir setengah dari total keluarga memiliki
bahwa terdapat hubungan antara sumber air minum jumlah anggota rumah tangga banyak; dan hampir
dengan kejadian stunting balita. Balita yang ber- sepertiga keluarga memiliki sumber air minum tidak
asal dari keluarga yang memiliki sumber air minum terlindung.
tidak terlindung 1.35 kali lebih berisiko mengalami Balita yang ibunya memiliki tinggi badan
stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga pendek, tingkat asupan lemak rendah, jumlah ang-
dengan sumber air minum terlindung. Sumber air gota keluarga banyak dan memiliki sumber air mi-
minum yang bersih merupakan faktor penting untuk num yang tidak terlindung berisiko mengalami stunt-
kesehatan tubuh dan mengurangi risiko serangan ing berurut-turut 1.36, 1.30, 1.38, dan 1.36 kali
berbagai penyakit seperti diare, kolera, dan tipes. dibandingkan kelompok pembandingnya (p<0.05).
Anak-anak merupakan subjek yang rentan terhadap Faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian
penyakit infeksi karena secara alami kekebalan stunting pada balita adalah jumlah anggota rumah
anak tergolong rendah. Kematian dan kesakitan tangga. Keluarga disarankan agar membatasi jum-
pada anak-anak umumnya dikaitkan dengan sumber lah anak sesuai dengan program Keluarga Berencana
air minum yang tercemar dan sanitasi yang tidak (KB).
memadai. Beberapa penelitian di berbagai negara Dinas Kesehatan dan instansi-instansi terkait
menunjukkan bahwa kualitas sumber air minum di empat provinsi sebaiknya meningkatkan pembe-
memiliki hubungan positif dengan pengurangan ke- rian informasi dan sosialisasi kepada masyarakat
jadian diare dan kematian pada anak (Adewara et mengenai stunting misalnya melalui media booklet
al. 2011). atau penyuluhan dan membuat kebijakan-kebijakan
Hasil uji regresi logistik ganda seperti terli- dalam 1 000 hari kehidupan anak dalam rangka
hat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah ang- memperbaiki status gizi ibu hamil, ibu menyusui,
gota rumah tangga merupakan faktor dominan yang dan anak balita.
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.
Di antara faktor sosiodemografi faktor yang paling UCAPAN TERIMA KASIH
berisiko tinggi terhadap kejadian stunting adalah
besarnya keluarga. Hal ini karena keluarga butuh Terima kasih disampaikan kepada Balitbang-
kemampuan lebih agar dapat menyediakan makan- kes, Kemenkes RI yang telah mengizinkan penu-
an dalam jumlah banyak untuk anggota keluarga lis menggunakan data hasil survei Riskesdas 2010.