Anda di halaman 1dari 28

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dan merupakan penyakit


yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari hari, bahkan dianggap sebagai
salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Menurut
Gluckman, kuman penyebab sinusitis akut tersering adalah Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus infuenza yang ditemukan pada 70% kasus. Secara
epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris.
Bahaya dari sinusitis adalah komplikasi ke orbita dan intrakranial, komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang in-adekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat
dihindari.1
Sinusitis menjadi masalah kesehatan penting hampir di semua negara dan
angka prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya. Sebanyak 24-31 juta kasus
sinusitis ditemukan di United States. Sinusitis paling sering dijumpai dan
termasuk 10 penyakit termahal karena membutuhkan biaya pengobatan cukup
besar.1 Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996
dari sub bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat
jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis kronik. Pada tahun 1999, penelitian
yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama dengan Ilmu Kesehatan
Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita Infeksi Saluran Nafas
Atas (ISNA) sebesar 25 persen. Angka tersebut lebih besar dibandingkan data di
negara-negara lain.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal,
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan
sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena
keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri
patogen yang terdapat disaluran nafas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi
jamur, infeksi gigi dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor 1,2.
2

RSK terbanyak ditemukan pada kelompok umur 31-40 tahun yaitu 18 orang
(34%) dan ditemukan lebih banyak pada laki-laki yaitu 28 orang (52,8%)
dibandingkan perempuan yaitu, 25 orang (47,2%). Jumlah gejala mayor pada
RSK paling banyak 2 gejala yaitu 15 orang (28,3%), kemudian 5 gejala yaitu 14
orang (26,4%) , 3 gejala dan 4 gejala, masing- masing 11 orang (20,8%) dan
paling sedikit 1 gejala yaitu sebanyak 2 orang (3,8%). Sedangkan jumlah gejala
minor pada penderita gejala RSK paling banyak adaalah 2 gejala yaitu 16 orang
(30,25%) diikuti 1 gejala, yaitu 15 orang (28,3%). 3 geajala 12 orang (22,6%) dan
4 gejala, yaitu 6 orang (11,3%) dan paling sedikit yaitu tanpa gejala dan 6 gejala
masing – masing 1 orang (1,9%). Dari keseluruhan sampel ada 52 orang yang
didiagnosis sebagai RSK.
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik
didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus
paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah mengalamai perubahan reversibel
maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan
berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah
dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta
penanganannya yang kompleks.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
untuk dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi pada setiap individu.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal, sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Anatominya dapat
dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap
4

berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak
belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.4

2.1.1. Sinus Maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
berbentuk seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila dibentuk oleh
permukaan fasial os maksila (fosa kanina), dinding posterior terbentuk oleh
permukaan infra-temporal maksila, bagian medial sinus maksila adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk oleh dasar orbita, dan dinding
inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
dasar dari sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan
terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila dapat menimbulkan terjadinya komplikasi
orbita karena dinding superior sinus maksila dibenuk oleh dasar orbita. Ostium
sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari pergerakan silia.3,4

2.1.2. Fungsi Sinus Paranasal4


a. Membentuk pertumbuhan wajah
b. Sebagai pengatur udara (air conditioning)
c. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
d. Membantu keseimbangan cranium
e. Membantu resonansi suara
f. Peredam perubahan tekanan udara
g. Membantu produksi mukus

2.2. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.1,2,3 Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan sinus
yang sering terinfeksi, oleh karena:
5

1. merupakan sinus paranasal yang terbesar


2. letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau
drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia
3. dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila
4. ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari
tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik. 1,2,5

2.3. Patofisiologi
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik
lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga
terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.

Gambar 2. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus


6

Gambar 3. Perubahan silia pada sinusitis

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya


berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus,
kuman anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.1,2,3
7

Gambar 4. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.


Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi
pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan
produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopus.5

Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.

2.3.1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan


Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi berulang-
ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek. Kekebalan makin
terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah sempurna. Pengaruh terhadap
mukosa adalah penebalan dengan disertai infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis
sub epitel menyebabkan pengurangan jumlah kelenjar karena iskemia dan bila
berlangsung lebih lanjut akan menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap
berikutnya periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang
kemudian menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.5

2.3.2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas


8

Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi
umum diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis
dan rinitis yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih
tua. Kedua mungkin tidak didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8
atau 9 tahun secara berangsur-angsur mukosa semakin “penuh terisi air” yang
menyebabkan bertambahnya sumbatan dan sekret hidung. Polip dapat timbul
karena pengaruh gaya berat terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air dan
dapat memenuhi rongga hidung.5

2.4. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok.
Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

2.5. Gejala klinis


Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus
kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring.
Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang
menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi
dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu
membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan
dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring
sudah ditiadakan.1,2,5,6
9

Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak


pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).1,5,6

Gambar 5. Pus pada meatus medius

Gambar 6. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis

2.6. Pemeriksaan Fisik


Untuk melihat tanda-tanda klinis dapat dilakukan pemeriksaan :1,2
a. Rhinoskopi anterior:
tampak mukosa hidung hiperemis dan edema, terlihat pus pada meatus
nasi media.
10

b. Rhinoskopi posterior:
tampak sekret kental di nasofaring (post nasal drip).
c. Transiluminasi:
Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang terang di bawah
mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila salah satu sisi sinus
yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan sisi yang normal.

Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis 9,10


Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal dan post nasal purulen Batuk
Demam (fase akut) Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis (bau mulut)
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada
telinga

Untuk menegakkan diagnosis sinustis memerlukan dua kriteria mayor atau


satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien, dengan gejala lebih
dari 7 hari.

2.7. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah: pemeriksaan foto kepala dengan berbagai
posisi yang khas, pemeriksaan CT-Scan, pemeriksaan MRI, pemeriksaan USG.
Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan
gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus
paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis
yang lebih dini.11
2.7.1. Pemeriksaan Foto Kepala
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas
berbagai macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi Caldwell
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital
11

kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum
diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai
apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk 150 ̊ kaudal. 11

Gambar 7. Foto posisi Caldwell

b. Foto kepala lateral


Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar
kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu

sama lain.11

Gambar 8. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila

c. Foto kepala posisi Water’s


Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus membentuk sudut 37 ̊ dengan film. Pada

foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi

sepenuhnya. Foto Water’s umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior

sinus sfenoid dengan baik. 11


12

Gambar 9. Foto posisi Waters Gambar 10. Foto posisi


mulut terbuka Waters

d. Foto kepala posisi Submentoverteks


Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien
menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak
lurus film dalam bidang midsagital melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini
biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris. 11

Gambar 11. Foto posisi submentoverteks

Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang
paling umum pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk
lain dari sinusitis. Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan
lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan
jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari
sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.11
13

2.7.2. Pemeriksaan CT-Scan


CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar
internasional untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis.
Pemeriksaan harus mencakup penilaian terhadap pola, batas, dan kemungkinan
penyebab penyakit, serta rincian anatomi yang relevan dan diperlukan untuk
perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa, dan
completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena trauma ini
mungkin dapat meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah dibedakan
dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan meliputi penebalan mukosa, completeopacification, remodeling

tulang dan penebalan karena osteitis, dan poliposis.


6,9

Gambar 12. Foto CT scan posisi Gambar 13. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan coronal menggambarkan sinusitis
Sinusitis jamur. Jaringan lunak pada sisi kanan sinus
menempati sinus maksilaris spenoethmodal.
kanan dan ethmoid dengan
daerah hyperattenuating pusat
khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena
terkikis.

2.7.3. Pemeriksaan MRI


Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria standar
diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis yang
dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien dengan komplikasi
intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau pada mereka yang suspek
superior sagittal venous thrombosis. 9
14

MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak membantu


dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor dari inflamasi pada
jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-weighted, membran edema
dan lendir jelas terlihat hiperintens.9

Gambar 14. Foto MRI Gambar 15. Foto MRI


menggambarkan sinusitis ethmodal menggambarkan sinusitis
bilateral. ethmodal dengan ekstensi
intrakranial dan juga perluasan
ke orbit kiri.

Gambar 16. Foto MRI Gambar 17. Foto MRI axial


menggambarkan sinusitis ethmodal menggambarkan sinusitis yg
kanan dengan ekstensi intraorbital. menyebabkan extensi
intraorbital kanan dengan
perpindahan M. Rectus medialis
ke arah medial.

2.7.4. Pemeriksaan USG


Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam diagnosis
15

sinusitis. Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah menunjukkan bahwa


USG menjadi lebih akurat daripada MRI atau radiografi polos dalam
mendiagnosis sinusitis maksilaris. Ultrasonografi telah menjadi alat yang handal
dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut. Namun, kontroversi masih ada
mengenai keandalan ultrasonografi dalam mendeteksi retensi cairan atau
pembengkakan mukosa pada pasien dengan rinosinusitis polypous kronis atau
dalam transantrally operated-on maxillary sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis sinusitis
tetapi ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif dengan
adanya cairan antral, tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab cairan.
Sonogram tidak bisa memberikan informasi tentang detil tulang, dan sulit
mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi juga tidak dapat digunakan
untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan penyebab alergi.

2.8. Penatalaksanaan
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari : 9,10
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah
dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa
kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut,
antibiotika diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus kronik diberikan
selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari. Antibiotika yang dapat
diberikan antara lain :
a. Azitromycin 1 kali 500 mg
b. Amoksisilin 3 kali 500 mg
c. Ampicillin 4 kali 500 mg
d. Eritromisin 4 kali 500 mg
e. Sulfametoksasol – TMP
f. Doksisiklin
2. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha
adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase
sinus.
16

a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung


b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa)
c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)
3. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
4. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa
dan sel goblet dan menghambat peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung
tersumbat. Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien
alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis akut,
karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan
mengumpulkan sekresi sinonasal.
5. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida
memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun
tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut.
6. Tindakan operatif
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah:
1. sebagai tindakan diagnostik untuk memastikan ada tidaknya sekret
pada sinus maksilaris
2. untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus
maksilaris
3. memperbaiki aliran mukosiliar
4. jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda
perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah didapatkan adanya air
fluid level dalam antrum
5. untuk memperoleh material yang dapat digunakan untuk kultur dan tes
sensitifitas.
17

Tindakan ini dapat dilakukan dengan:


 Mukosa hidung disemprot dengan larutan 10% kokain dan adrenalin 1/1000.
kemudian dengan sepotong kapas yang dibasahi dengan larutan yang sama
ditempatkan pada meatus inferior. Ditunggu selama 15 menit.
 Dengan menggunakan trokar (misal Trokar dari Lichwits) dibuat drainase
melalui meatus inferior atau celah bukalis gusi menembus fosa insisiva
dengan menempatkan ujung trokar pada bagian atas dari meatus nasi inferior,
kearah kanthus lateralis 1-1/2 inch dari lobang hidung atau tepi atas daun
telinga. Trokar didorong masuk dengan arah sedikit memutar sampai terasa
menembus tulang. Trokar dicabut dengan meninggalkan kanul.
 Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke dalam antrum
maksilaris. Selanjutnya mengalirkan larutan saline hangat, akan mendorong
pus ke luar melalui ostium alami ke rongga hidung atau mulut. cairan irigasi
ditampung dan dikirim untuk pemeriksaan bakteriologi dan uji kepekaan
kuman.
 Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang waktu 4- 5 hari (2
kali dalam seminggu). Bila tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak
sekret purulen, berarti mukosa sinus tidak dapat kembali normal (perubahan
irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.
 Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi dan tes uji
kepekaan.
8. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah:
1. kegagalan respon terapi konservatif yakni sinusitis kronik refrakter
terhadap terapi medis yang maksimal terhadap terapi antibiotik
2. tindakan irigasi terutama pada sinusitis kronik dan persisten dengan
mukosa sinus yang irreversible. Sinusitis akut jarang membutuhkan
pembedahan, kecuali jika terjadi komplikasi seperti bentukan mukopiokele
dengan kecurigaan penyebaran ke orbita atau intrakranial, atau bila ada
nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu dengan
mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainase sinus.
18

9. Pembedahan tidak radikal


Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan terkini dari sinusitis oleh karena
pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi sinus dan drainase sinus dapat lancar kembali
melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi mukosilier. Pendekatan
terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam sinus maksilaris (untuk
memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak efektif, karena pembersihan normal
mukosilier adalah satu arah dan melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan
normal mukosilier tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran
nasoantral.

2.9. Pencegahan
a. Penanganan rinitis alergi sedini mungkin, termasuk edukasi cara
menghindari alergi penyebab, sebab 30-40% pederita rinitis alergi
dijumpai adanya rinosinusitis.
b. Penanganan rinitis non alergi, sehingga fungsi drainase dan ventilasi
ostium tetap normal.
c. Koreksi kelainan anatomis hidung sedini mungkin (septum koreksi,
ekstraksi polip, adenotomi dll).
d. Meminimalkan kadar polutan dilingkungan penderita untuk mencegah
rusaknya barier pertahanan mukosa.

2.10. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, komplikasi dapat terjadi di :
a. Komplikasi orbita (selulitis dan abses orbita)
b. Osteomielitis (tulang maxilla dan frontal)
c. Mukokel
19

d. Komplikasi intra kranial (meningitis, abses otak)


20

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. M.Yusuf Marta
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 30 tahun
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 30 Maret 2019
NRM : 187869

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada dahi
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang laki-laki 30 tahun datang ke Poli THT RSUD Brigjend H Hasan
Basry Kota kandangan dengan keluhan nyeri pada dahi sebelah kiri, keluhan telah
dirasakan ± sejak 15 hari yang lalu, nyeri dirasakan os secara terus-menerus.
Nyeri juga dirasakan menjalar hingga ke kepala. Nyeri pada dahi dan kepala
dirasakan semakin memberat ketika os sedang sujud. Nyeri pada kedua pipi
disangkal oleh os. Riwayat penurunan penciuman disangkal. Sebelumnya pasien
sudah mendapat pengobatan dari puskesmas kalirung, tetapi tidak ada perbaikan,
kemudian pasien dirujuk ke dokter spesialis THT di RSUD Brigjend H Hasan
Basry Kota Kandangan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Namun os
memiliki riwayat sering pilek disertai hidung tersumbat yang menetap, dan sering
bersin-bersin pada pagi hari dengan keluarnya ingus berwarna bening, hidung
gatal dan batuk sejak 2 tahun terakhir. Riwayat penyakit Hipertensi (-), Diabetes
mellitus (-), Asma (-), riwayat trauma (-)

Riwayat keluarga :
21

Tidak ada keluarga pasien yang menderita gejala yang sama. Namun ayah os
punya riwayat sakit asma
Riwayat Pengobatan :
Pasien berobat di puskesmas kalirung
Riwayat Alergi :
a. Udara dingin (+)
b. Alergi obat (-)
c. Debu/polusi (-)

3.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital :
Frekuensi nadi : 78 x/menit, reguler, isi cukup
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nafas : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,5º C
Status Generalis
Kepala& Leher : normochepali, conjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Telinga/Hidung/Tenggorok : status lokalis
Thoraks
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : gerakan simetris
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi: vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : soepel, organomegali (-)
22

Perkusi : timpani (+)


Auskultasi : bising usus (+) normal
Ektremitas : edema (-/-), varises (-/-), akral hangat

Status Lokalis Telinga, Hidung, Sinus paranasal dan Tenggorok

Telinga
kanan kiri
Radang (-), nyeri tekan tragus
Aurikula Radang (-), nyeri tekan tragus (-)
(-)
Retroaurikula Radang (-), nyeri tekan (-) Radang (-), nyeri tekan (-)
Meatus akustikus
Mukosa hiperemi (-) Mukosa hiperemi (-)
eksternus
Utuh, hiperemis (-), reflex Utuh, hiperemis (-), reflex
Membran timpani cahaya jam 5, warna putih cahaya jam 7, warna putih
mengkilat mengkilat

Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan luar
Hidung : Asimetris (-), deformitas (-), krepitasi (-)
Sinus : nyeri tekan (+), nyeri ketok pipi kanan (-), nyeri ketok
pipi kiri (-), pangkal hidung dahi (-).

Rinoskopi anterior Kanan Kiri

Discharge (+) warna putih (+) warna putih


kekuning-kuningan kekuning-kuningan

Mukosa Hiperemis (+) Hiperemis (+)

Konka Hiperemis (-), edema (+), Hiperemis (-), edema (+),


livid (+) livid (+)

Septum Deviasi (-) Deviasi (-)

Faring
Arkus faring Simetris Simetris
T1, hiperemi (+), kripta
T1, hiperemi (+), kripta (+),
Tonsil (+),
detritus (-)
detritus (-)
Uvula Simetris, hiperemi (-), oedem (-)
23

Palatum mole Simetris, hiperemi (-)


Dinding faring hiperemi (+), refleks muntah (+/+)

Regio Fasialis:
Inspeksi : pembengkakan pipi (-), deformitas wajah (-)
Palpasi : nyeri tekan maksila dextra (-), nyeri tekan maksila sinistra (-)
Nyeri ketok di regio frontalis sinistra (+)
Perkusi : nyeri ketok maksila dextra (-), nyeri tekan maksila sinistra (-)
Nyeri ketok di regio frontalis sinistra (+)
Pemeriksaan Gigi : Lengkap, caries gigi (-)

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Foto kepala posisi waters

3.5 Diagnosis
Rhinoinusitis Maksilaris D/S + tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut

3.6. Penatalaksanaan
Terapi:
1. Antibiotik : azithromycin 500 mg 1 x 1
2. Analgetik dan antipiretik : Paracetamol 500 mg 3x1
3. Kortikosteroid oral : metilprednisolon 4 mg 2 x 1
4. Dekongestan oral : tremenza tablet 2 x 1
5. Mukolitik : ambroxol 30 mg 3 x 1
6. Saline irrigation : NaCl 0,9%
24

3.7. Rencana pemeriksaan


1. Kontrol ulang 7 hari kemudian
2. Foto radiologi ulang ( waters )

3.8. Prognosa
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
25

BAB 4
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki, 30 tahun datang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUD


Brigjend H Hasan Basry, jika dilihat dari jenis kelamin, hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwasanya rhinosinusitis banyak dialami oleh laki-laki
dibandingkan wanita. Os datang dengan keluhan utama nyeri pada dahi sebelah
kiri yang telah dialami sejak ± 15 hari terakhir, nyeri dirasakan terus-menerus, hal
ini kurang sesuai dengan teori, karena nyeri pada dahi bukan merupakan kriteria
mayor ataupun minor dalam menegakkan diagnosis sinusitis maxilaris, nyeri pada
dahi juga disertai nyeri pada kepala, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwanya salah satu kriteria minor dalam menegakkan sinusitis adalah nyeri
kepala, sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling
penting pada sinusitis, bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya
kongesti dan udem di osteum sinus dan sekitarnya.

Riwayat sering pilek disertai hidung tersumbat yang menetap dan sering
bersin-bersin pada pagi hari dengan keluarnya ingus berwarna bening, hidung
gatal dan batuk merupakan suatu rinitis alergi, hal ini sesuai dengan teori, yang
menyatakan bahwa salah satu etiologi dari sinusitis adalah rinitis alergi. Hal ini
terjadi karena organ-organ yang membentuk KOM (kompleks osteo meatal)
letaknya berdekatan dan apabila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi berupa serous. Kondisi ini biasanya di anggap sebagai
rhinosinusitis non bacterial dan biasanya akan sembuh dalam beberapa hari. Bila
kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi mediator
yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga sekret akan berubah purulen.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan: nyeri tekan (+), pada regio
frontalis sinistra yang menunjukkan adanya peradangan pada sinus, pada
rinoskopi anterior, ditemukan discharge (+) warna putih kekuning-kuningan,
26

mukosa hiperemis, konka edema, warna livid, yang menandakan adanya suatu
rinitis alergi.
Pada pasien ini diberikan terapi Antibiotik golongan makrolid
( azitromycin 1x500 mg, pada sinusitis maxilaris non dentogen, pemberian
azitromycin selama 3 hari lebih efektif dari pada amoxicillin selama 10 hari, dan
juga regimen dosis yang secara signifikan lebih sederhana dan efek klinis yang
lebih cepat adalah keuntungan dari azitromycin. Analgetik dan antipirektik yaitu
parasetamol 3x500 mg yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri.
kortikosteroid oral yaitu metilprednisolone 2x4 mg, pada rinitis alergi berefek
anti inflamasi, menghilangkan edem ostium sinus, menormalkan fungsi silia,
mencegah migrasi eosinofil. Dekongestan oral yaitu tremenza 2x1, dapat
melebarkan ostium sinus paranasal yang akan melancarkan drainase dengan
aktivitas siliaris. Mukolitik yaitu ambroxol 3x30 mg, secara teori, mukolitik
seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida memiliki kelebihan dalam
mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. saline irigation yaitu nacl 0,9%
yang bertujuan untuk meringankan gejala selesma dan hidung tersumbat.
27

BAB 5

RINGKASAN

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena,
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis
sfenoid.Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang. Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang
atau kronis. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi
selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh
sempurna jika diterapi dengan baik. Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain
ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara dingin
dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia. Untuk menegakkan diagnosis sinustis memerlukan dua kriteria
mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien, dengan gejala lebih
dari 7 hari.
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M.
Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.
12. I kaplan. Azithromycin versus amoxicillin/clavulanate in the treatment of acute
sinusitis. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/9950107/

Anda mungkin juga menyukai