Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang berupa peradangan superfisial


dengan papuloskuamosa yang kronik dengan tempat predileksi di daerah-daerah
seboroik yaitu daerah yang kaya akan kelenjar sebasea.1
Ketombe adalah bentuk yang paling ringan dari dermatitis, merupakan hal
yang umum dan diperkirakan muncul sekitar 15-20% pada populasi . berdasarkan ras
dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua ras, pada laki-laki kejadian dermatitis
seboroik lebih buruk daripada perempuan.3
Ada tiga faktor utama yang mengambil peranan pada etiologi Dermatitis
seboroik, yang pertama yaitu sekresi kelenjar sebasea, kolonisasi dan metabolisme
kutaneus yang berselang-seling oleh mikroflora Malazassia spp dan juga kerentanan
individu serta respon host . 4
Permasalahan pada Dermatitis seboroik menjadi lebih sering dan
manifestasinya lebih berat pada pasien dengan imunodefisiensi dibanding pasien
biasa. Banyak didapatkan dari faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan
meningkatnya angka kejadiannya dari tahun ke tahun. Oleh karena itu pembuatan
referat ini bertujuan untuk membahas DS, supaya diperuntukkan untuk dokter umum
agar dapat menegakkan diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara tuntas dan mandiri.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang berupa peradangan superfisial
dengan papuloskuamosa yang kronik dengan tempat predileksi di daerah-daerah
seboroik yaitu daerah yang kaya akan kelenjar sebasea, seperti kepala (kulit kepala,
telinga bagian luar, saluran telinga, kulit di belakang telinga), wajah (alis mata,
kelopak mata, glabella, lipatan nasolabial, dagu), badan bagian atas (daerah
presternum, daerah interskapula, areolla mammae), dan daerah lipatan (ketiak, lipatan
mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital dan lipatan pantat).1

Dermatitis ini dikaitkan dengan Malassezia , terjadi gangguan immunologis


mengikuti kelembaban lingkungan, perubahan cuaca, ataupun trauma, dengan
penyebaran lesi dimulai dari derajat ringan misalnya ketombe sampai dengan bentuk
eritroderma.2

B. EPIDEMIOLOGI
Angka prevalensi Dermatitis seboroik adalah 3-5%, yang tersebar di seluruh
dunia. Di Amerika serikat sendiri, sebanyak 300 juta dollar amerika dihabiskan setiap
tahun untuk pengobatan ketombe, ketombe adalah bentuk yang paling ringan dari
dermatitis, merupakan hal yang umum dan diperkirakan muncul sekitar 15-20% pada
populasi . berdasarkan ras dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua ras, pada laki-
laki kejadian dermatitis seboroik lebih buruk daripada perempuan. Onset terjadinya
biasanya pada masa pubertas. Puncaknya pada usia 40 tahun dan less severe , tetapi
banyak terjadi umumnya pada orang tua. Pada bayi, nampak sebagai cradle cap atau
nampak tidak jelas seperti erupsi flexura atau eritroderma.3

2
C. ETIOLOGI
Ada tiga faktor utama yang mengambil peranan pada etiologi Dermatitis
seboroik, yang pertama yaitu sekresi kelenjar sebasea, kolonisasi dan metabolisme
kutaneus yang berselang-seling oleh mikroflora Malazassia spp dan juga kerentanan
individu serta respon host . 4
Aktivitas kelenjar sebaseus yang berlebihan dengan produksi sebum yang
berlebihan pada dermatitis biasanya berkembang di daerah yang mempunyai
intensitas yang tinggi dengan kelenjar ini. Prevalensi yang tinggi pada dermatitis
seboroik infantil dapat dikaitkan dengan hentakan sementara dari gonadotropin yang
menyebabkan peningkatan level testosteron yang mencapai puncak pada 1-3 bulan
pertama. Diketahui bahwa sebum membantu pertumbuhan dan proliferasi dari yeast
komensal Malassezia ( yang dikenal juga sebagai Pityrosporum ).5
Spesies Malassezia merupakan oraganisme lipofilik dan bagian dari flora
normal manusia, khususnya pada kulit berminyak. Semua spesies Malassezia (kecuali
M. pachydermatis) mampu menghancurkan lemak pada sebum dan merubah asam
lemak jenuh, trigliserid menjadi asam lemak bebas dan digliserid. Asam lemak bebas
ini akan menyebabkan peningkatan kepadatan spesies Malassezia dan menyebabkan
proses inisiasi inflamasi.6
Inflamasi yang dipicu oleh hiperproliferasi stratum korneum disebabkan oleh
iritasi nonimunogenik karena adanya asam lemak yang tidak tersaturasi dengan
respon imun selular terhadap yeast ini. Terdapat faktor predisposisi genetik dengan
adanya peningkatan frekuensi HLA-A32, HLA-AW30, HLA-AW31, HLA-B12, dan
HLA-B18 pada pasien dermatitis seboroik. Pada orang dewasi faktor predisposisinya
termasuk infeksi HIV, stress, pengobatan (haloperidol, chlorpromazine, buspirone,
Lithium ) , trisomi 21, dan famili amyloidosis dengan polineuropati.5

3
D. MANIFESTASI KLINIK
Dapat ditemukan skuma kuning berminyak, eksematosa ringan, kadang kala
disertai rasa gatal dan menyengat. Ketombe merupakan tanda awal manifestasi
dermatitis seboroik. Dapat dijumpai kemerahan perifokular yang pada tahap lanjut
menjadi plak eritematosa berkonfluansi, bahkan dapat membentuk rangkaian plak di
sepanjang batas rambut frontal dan disebut sebagai korona seboroika.

Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut dapat juga dijumpai pada
daerah retroaurikula. Bila terjadi di liang telinga,lesi berupa otitis eksterna atau di
kelopak mata sebagai blefaritis . Bentuk varian di tubuh yang dapat dijumpai
pitiriasis ( mirip pitiriasis rosea ) atau anular. Pada keadaan parah dermatitis seboroik
dapat berkembang menjadi eritroderma.2

4
Dermatitis seboroik pada bayi lazim disebut dermatitis seboroik infantil.
Penyakit ini dominan pada usia 2-10 minggu (biasanya minggu ketiga dan keempat)
dan akan menghilang dengan spontan tanpa pengobatan. Dermatitis seboroik infantil
utamanya mengenai kulit kepala dan area intertriginosa dengan skuama berminyak
dan krusta. Area lain yang terkena adalah wajah, dada, dan leher. Area kepala yang
terkena adalah daerah frontal dan parietal tertutup krusta yang sangat berminyak,
tebal, sering tampak pecah-pecah yang disebut cradle cap, milk crust, atau crusta
lateal.7

5
Lesi yang meluas ke wajah, retroauricular, lipatan nasolabial, leher, tubuh, dan
ekstremitas proksimal biasanya lebih kecil,lonjong atau bundar dengan skuama lebih
putih/ kering. Kelainam kulit pada lipatan leher, umbilikus, aksila, dan popok berupa
eritema berbatas tegas ditutupi skuama kuning berminyak. Bila terjadi infeksi
oportunistik olah candida, lesi ini menjadi maserasi, dikelilingi lesi satelit, terdapat
rasa gatal ringan, tidak terdapat gangguan tidur ataupun menyusu.2

E. PATOGENESIS
Peranan kelenjar sebasea dalam patogenesis dermatitis seboroik masih
diperdebatkan, sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang mengalami dermatitis
seboroik, menunujukkan sekresi sebum yang normal pada laki-laki dan menurun pada
perempuan. Dengan demikian penyakit ini lebih tepat disebut sebagai dermatitis di
daerah sebasea. Namun demikian, patogenesis dermatitis seboroik dapat diuraikan
sebagai berikut: Dermatitis seboroik dapat merupakan tanda awal infeksi HIV.
Dermatitis seboroik sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ,
malignansi, pankreatitis alkoholik kronis, hepatitis C, juga pasien parkinson.8
Meningkatnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respon imunologis
terhadap Pityrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi kulit sehingga terjadi
mekanisme eksema. Jumlah ragi genius Malassezia meningkat di dalam epidermis
yang terkelupas pada ketombe ataupun dermatitis seboroik. Diduga hal ini terjadi

6
akibat lingkungan yang mendukung. Telah banyak bukti yang mengaitkan dermatitis
seboroik dengan Malassezia. Pasien dengan ketombe menunjukkan peningkatan titer
antibodi terhadap Malassezia, serta mengalami perubahan imunitas seluler. Kelenjar
sebasea aktif pada saat bayi dilahirkan, namun dengan menurunnya androgen ibu,
kelenjar ini menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun.8

Faktor Pencetus :

- Kelelahan
- Stress dan Emosional
- Infeksi
- Defisiensi Imun

Infeksi Fungal Malassezia furfur Pertumbuhan pityrosporum ovale ↑

Terjadi reaksi inflamasi

(aktivasi limfosit T dan sel Langerhans)

Aktivasi kelenjar sebaseus


menyebabkan ↑ kadar SEBUM

DERMATITIS SEBOROIK 7
F. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
riwayat penyakit, gambaran klinis maupun hasil dari pemeriksaan penunjang. Dari
riwayat didapatkan bahwa dermatitis ini terjadi pada bayi terutama yang berusia 1
bulan, tampak sebagai peradangan yang mengenai kulit kepala dan lipatan-lipatan
intertriginosa yang disertai skuama berminyak dan krusta. Daerah-daerah lain seperti
seperti bagian tengah wajah, dada dan leher juga dapat terkena. Pada kasus yang berat
sering didapatkan bercak-bercak kemerahan berlapis dan tidak gatal di wajah, badan
dan tungkai.9
Pemeriksaan spesimen yang diambil dari scraping kulit yang dangkal
dipersiapkan dengan kalium hidroksida (KOH) mungkin berguna untuk
menyingkirkan diagnosa tinea capitis. Biopsi kulit jarang dilakukan, tetapi dapat
berguna untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti lupus eritematosus.10
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dermatitis seboroik adalah
pemeriksaan histopatologi walaupun gambarannya kadang juga ditemukan pada
penyakit lain, seperti pada dermatitis atau psoriasis. Gambaran histopatologi
tergantung dari stadium penyakit. Pada bagian epidermis. Dijumpai parakeratosis dan
akantosis. Pada korium, dijumpai pembuluh darah melebar dan sebukan perivaskuler.
Pada dermatitis seboroik akut dan subakut, epidermisnya ekonthoik, terdapat infiltrat
limfosit dan histiosit dalam jumlah sedikit pada perivaskuler superfisial, spongiosis
ringan hingga sedang, hiperplasia psoriasiform ringan, ortokeratosis dan parakeratosis
yang menyumbat folikuler, serta adanya skuama dan krusta yang mengandung
netrofil pada ostium folikuler. Gambaran ini merupakan gambaran yang khas. Pada
dermis bagian atas, dijumpai sebukan ringan limfohistiosit perivaskular.10
Gambaran histopatologis dermatitis seboroik tidak spesifik berupa
hiperkeratosis, akantosis, fokal spongiosis dan parakeratosis. Dibedakan dengan
psoriasis yang memiliki akantosis yang regular, rete ridges yang tipis, eksositosis,
parakeratosis dan tidak dijumpai spongiosis. Neutrofil dapat dijumpai pada kedua
jenis penyakit.10

8
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain:
• Kultur jamur dan kerokan kulit amat bermanfaat untuk menyingkirkan
kapitis maupun infeksi yang disebabkan kuman lainnya.
• Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan dermatitis atopik.

G. DIAGNOSIS BANDING

1. Psoriasis
Psoriasis vulgaris meskipun jarang pada bayi, memiliki ciri
yang mirip dengan dermatitis seboroik yaitu eritema berskuama. Pada
psoriasis terdapat skuama yang tebal, kasar, dan berlapis-lapis, disertai
tanda tetesan lilin, Kobner dan Auspitz disertai rasa gatal. Sedangkan,
dermatitis seboroik terdapat skuama kuning berminyak, eksematosa
ringan, kadang disertai rasa gatal. Tempat predileksinya juga berbeda,
psoriasis sering terdapat di ekstremitas bagian ekstensor terutama siku,
lutut, kuku dan daerah lumbosakral. Sedangkan dermatitis seboroik
predileksinya kepala, wajah, telinga, dada, punggung, inguinal,
genital, dan ketiak. Jika psoriasis mengenai scalp, maka sukar
dibedakan dengan DS.8

9
2. Pitiriasis Rosea
Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, dimulai dengan lesi inisial berbentuk eritema dan
skuama halus. Lesi awal berupa herald patch, umumnya di badan,
soliter, bentuk oval dan terdiri atas eritema serta skuama halus dan
tidak berminyak di pinggir. Lesi berikutnya lebih khas yang dapat
dibedakan dengan DS, yaitu lesi yang menyerupai pohon cemara
terbalik. Sedangkan, dermatitis seboroik terdapat skuama kuning
berminyak, eksematosa ringan, kadang disertai rasa gatal. Tempat
predileksinya juga berbeda, lebih sering pada badan, lengan atas
bagian proksimal dan paha atas, jarang pada kulit kepala. Sedangkan
pada DS predileksinya kepala, wajah, telinga, dada, punggung,
inguinal, genital, lipat gluteus dan ketiak.8

3. Tinea kapitis

Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala


yang disebabkan oleh spesies dermatofit dan biasanya menyerang
anak–anak. Kelainan pada tinea kapitis dapat ditandai dengan lesi
bersisik, kemerahan, alopesia dan kadang-kadang terjadi gambaran
klinis yang lebih berat, yaitu kerion. Sedangkan, dermatitis seboroik
terdapat skuama kuning berminyak, eksematosa ringan, kadang

10
disertai rasa gatal. Bercak-bercak seboroik pada kulit kepala yang
berambut kadang-kadang membingungkan. Biasanya lesi DS pada
kulit kepala lebih merata dan mempunyai lesi kulit yang simetris
distribusinya. Pada tinea kapitis dan tinea kruris, eritema lebih
menonjol di pinggir dan pinggirannya lebih aktif dibandingkan di
tengahnya. Pada pemeriksaan didapatkan KOH positif dimana terlihat
hifa yang bersekat, bercabang, serta spora. Untuk menyingkirkan tinea
kapitis dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit pada kultur jamur.8

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi DS tidak hanya untuk meredakan tanda dan gejalanya tetapi juga
untuk menghasilkan struktur dan fungsi kulit yang normal. Dermatitis seboroik dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan sehingga terapi bertujuan
untuk memperbaiki gejala kulit serta kualitas hidup.12
a. Terapi topikal
Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi
kolonisasi M. furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS
dengan obaobatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp.

11
b. Terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala
Terapi topikal adalah pendekatan lini pertama pada terapi DS skalp.
Terapi topikal yang digunakan adalah substansi yang memiliki fungsi anti
jamur, pengatur sebum, keratolitik dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut
tersedia dalam berbagai formulasi seperti krim, emulsi, foam, salep dan
sampo. 12 Penggunaan sampo yang mengandung obat digunakan 2 sampai 3
kali seminggu, didiamkan selama 5-10 menit, untuk optimalisasi efek anti
jamur dan keratolitiknya. 12
 Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat fungistatik,
fungisidal dan anti inflamasi. Ia menghambat pertumbuhan jamur melalui
penghambatan lanosterol 14 dimetilase sehingga menghambat sintesis
ergosterol. Banyak studi menunjukkan efikasinya. 12
 Siklopiroksolamin adalah anti jamur berspektrum luas yang merupakan
derivat hidroksipiridon. Agen ini menghambat ambilan dan penggunaan
substansi yang diperlukan sintesis membran sel jamur dengan mengubah
permeabilitasnya. Siklopiroksolamin juga memiliki sifat anti inflamasi karena
menghambat pelepasan prostaglandin dan leukotrien. Selanjutnya studi in
vitro menunjukkan aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme gram positif dan negatif. 12
 Pyroctone olamine juga dikenal sebagai octopirox dan efektif untuk terapi
infeksi jamur. Pyroctone olamine adalah bahan aktif yang dapat meredakan
inflamasi kulit kepala dan menurunkan pembentukan skuama pada kulit
dengan penghambatan jamur. Pyroctone olamine secara fungsional dapat
mengganggu pembelahan sel ragi dan transfer material (inhibisi kanal natrium
kalium) dan juga menghambat pertumbuhan jamur.13
 Bisabolol atau Butyrospermum parkii biasa dikenal dengan nama shea butter.
Bahan ini memiliki sifat anti inflamasi sekaligus sifat anti jamur sehingga
sering digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik. Namun bisabolol

12
kurang begitu poten bila diberikan secara mono terapi sehingga biasanya
dikombinasikan dengan agen lain. 14
 Glycyrrhetic acid memiliki sifat anti inflamasi, anti iritasi, anti alergi dan
antivirus.
 Asam salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat melepaskan sisik
keras dan tebal dari kulit kepala melalui aktivitas keratolitik sehingga efektif
untuk terapi DS.13
 Tar memiliki sifat anti jamur dan anti inflamasi. Beberapa studi telah
menunjukkan kemampuannya mengurangi sebum. Aktivitas fungistatik in
vitro nampaknya sama dengan ketokonazol. Shampo tar digunakan secara luas
walaupun bukti yang menunjang efikasinya masih sangat minim.14
 Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan meningkatkan
kadar tembaga dalam sel jamur dan merusak ikatan protein besi sulfur
sehingga mengganggu metabolisme jamur. Malassezia yang menjadi target
didapatkan terutama pada infundibulum folikuler. Sementara agen ini bekerja
pada infundibulum folikuler kulit kepala serta bertahan pada folikel rambut
hingga 10 hari.15
 Kortikosteroid (KS) bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan antiproliferasi
sehingga dapat menghambat proliferasi keratinosit dan fibroblas dan
menyebabkan vasokonstriksi.14 Pemilihan kortikosteroid berdasarkan tipe,
lokasi, keparahan dan perluasan penyakit serta usia pasien. Kortikosteroid
dianggap sebagai pendekatan terapi lini pertama dan kedua pada DS skalp/
kulit kepala dan non skalp/ kulit tidak berambut. Tujuan utama pengobatan
dengan kortikosteroid adalah mengontrol dengan cepat tanda dan gejala DS,
namun data terbatas. Relaps terjadi lebih cepat dan lebih sering ketika
menggunakan KS daripada agen anti jamur dan terapi topikal non steroid
lainnya.14 Penyerapan, efikasi dan toksisitas KS topikal bervariasi tergantung
area yang diobati. Pada dewasa dengan DS skalp sedang – berat, dengan

13
keterlibatan yang difus, disertai rasa terbakar dan gatal, dapat digunakan KS
potensi sedang sampai kuat tunggal maupun kombinasi dengan agen non
steroid.14 Dermatitis seboroik pada wajah dapat diberikan KS potensi lemah
sampai sedang. Penggunaan zat pembawa yang tidak mengiritasi dan
melembabkan sangat disarankan.14 Setelah terjadi perbaikan, penggunaan KS
dapat diturunkan secara bertahap dan agen non steroid dapat ditambahkan
untuk mencegah rekurensi dan relaps (terapi pemeliharaan).14
c. Terapi dermatitis seboroik kulit tidak berambut
Beberapa agen telah dibahas dalam terapi dermatitis seboroik pada kulit
kepala. Pada dermatitis seboroik non skalp umumnya sediaan topikal yang
digunakan berbentuk krim, foam atau salep.14
Penghambat kalsineurin topikal memiliki sifat imunomodulator dan anti
inflamasi yang membuatnya berguna untuk terapi DS. Keduanya adalah
macrolide lactone yang menghambat enzim kalsineurin dan menekan
pelepasan sitokin proinflamasi. Pimekrolimus menghambat sintesis dan
pelepasan sitokin proinflamasi dari limfosit T dan degranulasi sel mast.
Takrolimus memodulasi respon T helper 2, menghambat transkripsi IL-2.1
Salep takrolimus 0,1% didapatkan sama efektifnya dengan salep hidrokortison
1% pada terapi DS, membutuhkan aplikasi yang lebih sedikit selama 12
minggu masa studi karena dapat menghilangkan gejala dan lebih disukai
pasien.
d. Terapi sistemik
Penggunaan obat sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut,
area keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan
neurologis. Tujuan dari terapi sistemik adalah menurunkan gejala akut
sedangkan penggunaan terapi topikal sebagai pencegahan dan pemeliharaan.14
Antijamur Efek obat-obatan anti jamur adalah secara langsung
melawan Malassezia dan anti inflamasi. Anti jamur sistemik yang
diindikasikan dalam terapi DS adalah golongan triazol (itrakonazol dan

14
flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin (terbinafin). Azol dan
terbinafin menghambat sintesis ergosterol (suatu komponen kunci membran
sel). Diazol dan triazol menghambat enzim 14 α sterol dimetilase, yang
menyebabkan akumulasi 14 α metil sterol menghasilkan penghambatan
pertumbuhan jamur. Terbinafin juga menghambat sintesis enzim skualan 2,3
epoksidase yang mempengaruhi metabolisme ergosterol dan akumulasi
skualan yang menyebabkan kematian sel jamur. Terbinafin memiliki
mekanisme tambahan seperti modulasi neutrofil, efek scavenger pada reactive
oxygen species (ROS) dan modulasi sekresi sebum.14
Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan
untuk terapi DS, saat ini sudah tidak digunakan lagi karena sifat
hepatotoksisitasnya. Saat ini ketokonazol hanya digunakan secara topikal saja.
Itrakonazol saat ini dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi sistemik
DS baik kasus akut maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme
sitokrom P450 pada hati. Ia bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif.
Obat yang dimetabolisme oleh sitokrom P450 berinteraksi dengan obat-obatan
yang lainnya sehingga dapat meningkatkan toksisitasnya ataupun menurunkan
efikasinya. Itrakonazol memiliki tingkat keamanan yang baik pada dosis 200
mg/hari. Hepatotoksisitas, nyeri epigastrium, gangguan irama jantung,
hipokalemia, hipertrigliseridemia dan peningkatan transaminase adalah efek
samping yang paling sering dijumpai selama terapi itrakonazol.7 Efikasi
terapeutik itrakonazol didukung bukti bahwa agen ini disekresikan bersama
sebum pada stratum korneum dimana kolonisasi Malassezia berada. Sifat
molekulnya yang lipofilik menyebabkan agen tersebut lebih lama berada pada
kulit dan adneksanya bahkan setelah tidak lagi minum obat.
Flukonazol memiliki karakteristik dapat diserap dengan baik oleh
traktus gastrointestinal tidak dipengaruhi oleh keasaman atau makanan.
Flukonazol secara signifikan meningkatkan konsentrasi plasma beberapa obat

15
seperti warfarin, siklosporin, takrolimus dan teofilin. Rifampisin menurunkan
kadar flukonazol dalam darah.
Terbinafin adalah molekul lipofilik sehingga dapat tersimpan pada
kulit untuk memelihara konsentrasi efektif obat bahkan setelah terapi
dihentikan. Terbinafin memiliki profil farmakologi yang aman dan ditoleransi
baik dengan insiden efek samping yang rendah. Efek samping yang dapat
terjadi antara lain nyeri epigastrium, hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan
sindrom Steven Johnson.14
e. Terapi pada bayi
Penanganan DS kulit kepala pada bayi lebih sederhana, seperti
keramas rutin dengan sampo bayi dan menyikat dengan lembut untuk
melepaskan sisik. Penggunaan petrolatum putih setiap hari dapat membantu
melunakkan skuama. Jika hal tersebut masih kurang membantu, maka dapat
digunakan sampo ketokonazol 2% sampai terjadi perbaikan gejala.11 Manfaat
klinis krim anti inflamasi non steroid yang memiliki sifat anti jamur terbukti
dapat mengurangi sisik secara signifikan dibandingkan plasebo.14
Sedangkan untuk DS pada kulit tidak berambut dapat digunakan
ketokonazol 2% krim secara tunggal maupun kombinasi dengan
kortikosteroid topikal potensi lemah.30 Pada penyakit Leiner diperlukan
hidrasi intravena, pengaturan suhu tubuh dan antibiotik jika terdapat infeksi
sekunder.14
I. FAKTOR REKURENSI
Kejadian dermatitis seboroik berkaitan dengan beberapa faktor risiko yang
dimiliki oleh masing-masing individu seperti, faktor genetik, usia dan jenis kelamin.
Dermatitis seboroik merupakan suatu penyakit kulit yang bersifat kronik residif,
artinya penyakit menahun dan mudah kambuh. Pada orang dewasa, DS adalah
kondisi kronis yang berulang yang ditandai dengan periode eksaserbasi yang terjadi
pada interval yang bervariasi. Bahwa DS dipicu oleh stres emosional, depresi,
kelelahan, kondisi lembab atau kering, sistemik, infeksi, penggunaan obat-obatan

16
tertentu, atau faktor-faktor lain. Kekambuhan tersebut menyebabkan pasien sering
berobat secara berulang yang mengakibatkan biaya perawatan menjadi cukup besar.
J. PROGNOSIS
Dapat sembuh dengan sendirinya disertai prognosis yang baik pada bayi
dibandingkan dengan kondisi kronis. Tidak ada bukti yang menyatakan bayi dengan
dermatitis seboroik juga akan mengalami penyakit ini pada saat dewasa. Dermatitis
seboroik lebih sering relaps bila diterapi dengan kortikosteroid (KS) topikal
dibandingkan agen antijamur, serta pemakaian KS topikal dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan talengiektasis, atrofi kulit dan lain-lain. Pasien dermatitis
seboroik dewasa dengan bentuk berat kemungkinan dapat persisten. 16,17
K. EDUKASI
Edukasi pada pasien DS antara lain :
 Pasien tidak boleh melakukan manipulasi agresif seperti menggaruk atau
menegelupas paksa sisik.
 Penggunaan hair spray dan pomade juga harus dihentikan
 Pasien harus diberikan informasi bahwa DS merupakan sebuah kondisi kulit
yang kronis dan berulang sehingga memerlukan tindakan preventif untuk
mencegah kekambuhan di masa datang
 Pasien harus menghindari pencetus dari gejala DS dan tidak mengiritasi lesi
atau menggunakan preparat keratolitik yang terlalu poten.
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tindakan pencegahan dapat dilakukan setelah gejala hilang, hal ini sebagai upaya
untuk mencegah kekambuhan ataupun mempertahankan remisi dalam jangka
waktu yang lama:
 Untuk kulit kepala : Gunakan sampo antifungal tiap 1x dalam 1-2 minggu.
Diamkan sampo selama beberapa menit sebelum dibilas. Gunakan sampo
normal di waktu – waktu berikutnya
 Untuk tubuh : Mandi secara rutin tiap harinya membantu menghilangkan
sebum berlebih dari tubuh dan menjaga jumlah fungal tetap minimum.

17
Terkadang diperlukan penggunaan krim antifungal tiap 1-2x dalam 1-2
minggu pada area kulit yang terkena
Menghindari kulit kering dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mencegah
terjadinya DS, berikut beberapa tips untuk meminimalisasi kekeringan dari kulit:
 Mandi dalam waktu yang singkat : Batasi lama mandi selama 5-10 menit saja.
Gunakan air hangat daripada air panas. Bath oil sekiranya dapat membantu
 Gunakan pembersih nonsoap atau gentle soap : Pilih sabun pembersih yang
tidak mengandung pewangi atau sabun ringan
 Keringkan tubuh dengan hati-hati : Setelah mandi, sikat kulitmu dengan
menggunakan telapak tangan, atau dengan handuk lembut dengan cara
ditepuk
 Melembabkan kulit : Selagi kulit masih lembab, olesi minyak atau losion.
Coba beberapa jenis produk berbeda untuk menemukan yang terbaik.
Idealnya, produk yang baik ialah yang aman, efektif, terjangkau dan tanpa
pewangi 18,19

18
BAB III

KESIMPULAN

Dermatosis seboroik termasuk dermatosis eritroskuamosa yang sering


ditemui. Penyakit ini dapat menyerang anak-anak maupun dewasa. Etiologi dermatitis
seboroik sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Pada bayi terdapat tiga bentuk
yaitu cradle cap, glabrous dan penyakit Leiner. Sedangkan pada dewasa berdasarkan
daerah lesinya terjadi pada kepala, wajah, badan dan generalisata.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk membantu menegakkan
diagnosis. Secara umum terapi bertujuan untuk menghilangkan skuama, menghambat
kolonisasi ragi, mengontrol infeksi sekunder serta mengurangi eritema dan gatal.
Pasien harus diberitahu bahwa penyakit ini berlangsung kronik dan sering kambuh,
sehingga harus menghindari faktor pencetus seperti stress emosional, makanan
berminyak dan sebagainya.

19

Anda mungkin juga menyukai