Anda di halaman 1dari 5

I.

PENDAHULUAN

Fortifikasi merupakan upaya peningkatan konsumsi zat gizi mikro melalui penambahan zat
tersebut kc dalam bahan makanan yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat, sehingga
berdaya guna dalam menanggulangi akibat kekurangan gizi tersebut secara jangka Panjang.
. Pengaruh fortifikasi zat besi ke dalam bahan makanan diukur dari peruhahan fisik. kimia
dan daya terimanya, sehingga dihasilkan fortifikasi yang efektif. Kelebihan lainnya adalah
populasi sasarannya luas, tidak diperlukan sarana program khusus dalam pemberian, serta
tingkat penerimaan dan tingkat kesinambungannya tinggi. Hal yang harus diperhatikan
dalam fortifikasi pangan adalah adanya inhibitor dalam penyerapan zat besi dan fortifikan
yang digunakan. Fortifikan menjadi salah satu kunci keberhasilan fortifikasi besi pada
bahan pangan karena jenis dan jumlah fortifikan yang digunakan harus tepat sehingga
memberikan sejumlah Fe yang cukup dan mudah diserap oleh tubuh. Fortifikan yang biasa
digunakan adalah besi EDTA, glisinat, fumarat, dan suksinat. (Fauzan Amin, 2017).

Anemia gizi merupakan suatu kondisi dimana kadar Hb di dalam darah lebih rendah dari
normal sebagai akibat defisiensi satu atau lebih zat gizi esensial biasanya besi, folat atau
vitamin B12 (Verster, 1998). Anemi gizi besi terutama disebabkan oleh makanan yang
dikonsumsi kurang mengandung zat besi terutama dalam bentuk besi-heme, dan adanya
gangguan absorpsi. Selain itu juga diakibatkan oleh kenaikan kebutuhan besi seperti pada
masa pertumbuhan, kehilangan darah yang berlebihan (menstruasi, melahirkan), dan
terinfeksi parasit cronis seperti malaria, cacing tambang dan schistosomiasis (Verst 1996).

II. FORTIFIKASI DALAM BAHAN PANGAN

Konsumsi pangan yang mengandung besi diperlukan untuk mengembalikan kehilangan


besi dari tubuh. Kehilangan basal mendekati 0,9 mg besi per hari untuk dewasa lai-laki dan
0,8 mg untuk wanita dewasa. Mengacu pendapat Untoro (2002) dan Soekirman (2003),
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam fortifikasi pangan yaitu

a. Pangan merupakan makanan yang sering dan banyak dikonsumsi penduduk termasuk
penduduk miskin,

b. Pangan hasil fortifikasi, sifat organoleptiknya tidak berubah dari sifat aslinya,
c. Pangan yang difortifikasi, aman untuk dikonsumsi dan ada jaminan terhadap
kemungkinan efek samping negatip,

d. Pangan yang difortifikasi, diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya,

e. Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan yang

digunakan,

f. Harus ada sistim monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi,

g. Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah dan swasta,

h. Perlu mekanisme untuk melakukan evaluasi perkembangan fortifikasi

i. Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target.

j. Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan.

Pangan potensial untuk difortifikasi meliputi tepung terigu, minyak goreng, dan gula.
Ketiga komponen tersebut merupakan pangan yang setiap saat dikonsumsi oleh masyarakat
baik di desa maupun kota dalam bentuk berbagi produk makanan olahan. Minyak goreng
merupakan media untuk semua produk makanan gorengan. Produk makanan gorengan,
merupakan makanan yang setiap hari hampir pasti dikonsumsi oleh semua orang. Tepung
terigu merupakan bahan baku untuk berbagai macam produk makanan olahan seperti mie,
dan roti. Demikian pula dengan gula, hampir semua orang setiap harinya selalu
mengkonsumsinya. Selain beberapa faktor di atas parameter lain yang juga perlu
diperhatikan adalah (a). kualitas produk setelah penyimpanan, tidak mengalami perubahan
sifat fisik dan kimia, (b). stabilitas vitamin dan mineral setelah pnyimpanan, yaitu 90 hari
penyimpanan, tidak berubah, (c). karakteristik tepung terigu tidak berubah, seperti sifat
adonan, penyerapan air, elastisitas, development time, warna, aktivitas enzim

Menurut Hurrell, (2002) dan Verster (1996), fortifikan besi yang dipilih harus memenuhi
kreteria sebagai berikut: (a). cukup baik diserap tetapi tidak menyebabkan perubahan
sensoris pangan pembawa, (b). mampu menanggulangi inhibitor pada pangan seperti asam
pitat, phenol dan calcium. Bentuk fe sebaiknya tidak dalam bentuk larutan karena akan
menimbulkan problem jika ditambahkan pada tepung cereal, sebagai contoh sering
menyebabkan ketengikan, dan di dalam garam dengan cepat mengakibatkan perubahan
warna. Beberapa fortifikan besi yang dapat digunakan: a. Ferro sulfate. Jenis ini sering
dianggap paling baik (Verst, 1996 dan Micronutrient Initiative, 2001), dengan ukuran
partikel kecil sebagai bahan kering. Ukuran partikel besar menyebabkan problem spot.
Konsentrasi ferro sulfat yang bisa diberikan < 40 ppm. Hasil penelitian Purnomo (2002),
menunjukkan ferro sulfat menimbulkan efek warna gelap dan rasa pahit pada mie yang
dimasak. b. Elemental Iron. Berdasarkan uji organoleptik pada roti dan mie dapat diterima
baik pada level 40 dan 60 ppm (Purnomo, 2002). Pada penelitian di Jordan, fortifikasi
tepung dengan 30 ppm elemental iron sebagai ferro sulfat meningkatkan absorbsi besi.
Namun demikian penambahan besi sebagai fero sulfat menghasilkan roti dengan skor
falvor dan warna lebih rendah. (prihananto, 2004)

III. PROSES FORTIFIKASI DALAM BAHAN PANGAN

Fortifikasi besi yang sering digunakan adalah FeSO4 karena harganya murah dan mudah
untuk di dapatkan. Fortifikasi pada susu tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan
pada warna, rasa dan penampilan. Namun fortifikasi pada susu dapat mengakibatkan
ketengikan karena terjadinya oksidasi lemak. Oksidasi tersebut di karenakan adanya
reaktivitas logam besi dapat dikurangi dengan penggunaan kelat seperti
ethylendiaminetetraacetate pada NafEDTA dan 2 glisin pada ferrous bislycinate. ferrous
bislycinate mengandung besi yang lebih tinggi dibandingkan dengan FeSO4 dan absorpsi
dari NafEDTA mencapai 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan FeSO4. Dosis yang
digunakan untuk fortifikasi besi yaitu sebesar 30 mg/L susu.

Besi yang difortifikasi pada pangan dengan dosis lebih dari 20 ppm sebesar 84-91% terikat
pada misel kasein. Konsentrasi besi pada filtrate dapat menurun dikarenakan terjadinya
karbonasi pada susu. Mineral mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan vitamin dalam proses pengolahan dan penyimpanan. Stabilitas dari zat besi dapat
dipengaruhi oleh sifat alami bahan pembawa, ukuran partiel, paparan terhadap panas,
kelembapan dan udara (Paramastuti & Rustanti, 2016).
Pemberian tempe fortifikasi kepada sasaran dilakukan setelah tempe diolah, dalam hal ini
dimasak. Faktor pemasakan (pemanasan) pada tempe fortifikasi tentunya akan berpengaruh
terhadap kadar zat gizinya. Tempe fortifikasi yang dihasilkan dengan makin banyaknya zat
besi yang ditambahkan maka tempe akan makin hitam, namun tidak terlalu kentara warna
hitamnya sampai kadar 130 mg/100 gr kedele. Setelah proses pemasakan juga tidak terlalu
berbeda. Tempe yang difortifikasi zat besi, makin tinggi zat besi fortifikan yang
ditambahkan maka kadar zat besi tempe makin meningkat da nada perbedaan yang
bermakna. Pada tempe fortifikasi masak juga ada pengaruh perlakuan terhadap kadar besi,
namun antar perlakuan kadar zat besinya bervariasi (Astuti, Aminah, & Syamsianah, 2012).

Fortifikasi zat besi dengan tepung terigu, tepung jagung atau keduanya. Meskipun program
fortifikasi besi sudah sukses, tetapi masalah masih tetap ada. Pertama, semaunya memilih
senyawa besi. Kedua, program fortifikasi tidak memiliki jaminan kualitas dan Negara-
negara belum menerapkan sistem pemantauan dan pengawasan. Ketiga, undang-undang
belum disesuaikan sesuai dengan perubahan yang diperlukan. Karena meluasnya
penggunaan serbuk besi dengan unsur bioavailabilitas yang tidak pasti, program ini
cenderung memiliki dampak yang terbatas. Rekomendasi untuk fortifikasi:

1) Tepung terigu: fortifikasi, ferrous sulfate atau fumarat sebanyak 2 kali lipat
jumlahnya. Tingkat 45 ppm, tetapi di Negara-negara di mana konsumsi produk
gandum per kapita adalah > 100 g/hari.
2) Tepung Maizena: fortifikasi, NaFeEDTA, fumarat. Setidaknya tingkatnya 5
mg/hari.
3) Makanan Pelengkap: fortifikasi, ferrous sulfate + ascorbic acid or ferrous
fumarat + ascorbic acid. Tingkat: berdasarkan persyaratan khusus untuk usia
(Pan American Health Organization, 2001).

Ferrous sulfate dan fumarate cocok untuk tepung gandum olahan dengan tingkat inhibitor
besi yang rendah. Unsur besi meskipun sangat kompatibel dengan kebanyakan matriks
makanan sangat diserap dengan buruk dan, dengan demikian, tidak berguna bahkan pada
tingkat tinggi fortifikasi. Pengecualian adalah besi elektrolitik (tidak termasuk dalam
gambar), yang memiliki daya serap lebih baik dan banyak digunakan dalam sereal bayi
komersial. Pemilihan matrik makanan dan sumber zat besi harus didasarkan pada
kombinasi optimal mengingat bahwa dampak biologis bergantung pada keduanya.
Percobaan efikasi berfungsi untuk memilih senyawa besi terbaik (fumarat besi / sulfat,
bisglycinate atau NaEDTA) untuk membentengi makanan yang memiliki tingkat inhibitor
yang tinggi. Akhirnya, keefektifan membutuhkan makanan yang diperkaya dikonsumsi
oleh populasi target, biaya rendah dan memiliki sifat organoleptik yang baik. Kegagalan
upaya fortifikasi untuk mencegah defisiensi besi dapat dijelaskan dalam banyak kasus oleh
kurangnya kepatuhan dengan kriteria ini. Proses pemilihan kendaraan makanan terbaik dan
sumber besi mungkin tampak sederhana tetapi sebenarnya merupakan proses kompleks
yang memerlukan evaluasi di setiap langkah.

IV. KESIMPULAN
V. DAFTAR PUSTAKA
http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/08234/prihananto.pdf

file:///C:/Users/ethar/Desktop/ratz/2286-2704-1-PB.pdf

http://stakc.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/10-ITEKIMA_UI_Amin.pdf

Anda mungkin juga menyukai