Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KONSEP DASAR PENYAKIT DAN KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


SARKOMA KAPOSI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

1. BAIQ RIA SYAFRAINI


2. MARETA SUCI LISTARI
3. ANGGA YUDA PRATAMA
4. AMELIA EKA PRATIWI
5. FIKRI RAHMAWATI
6. ARIANI
7. EVI SUSANTI
8. IWAN SETIAWAN
9. IKA WAHYUNI

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG STRATA I
MATARAM
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, serta nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen :
Sarkoma Kaposi ”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak penulisan makalah
ini tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan hingga terselesainya
makalah ini, khususnya kepada dosen kami atas bimbingannya.
Penulis berusaha semampunya untuk menyelesaikan makalah ini semaksimal mungkin,
akan tetapi penulis juga tidak mengelak bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari
berbagai pihak senantiasa penulis harapkan untuk menyempurnakan pembuatan makalah ini
dimasa mendatang. Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan ridho’Nya
sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan yang menulis khususnya.

Mataram, November 2017

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sarkoma Kaposi ( SK ) adalah tumor yang disebabkan oleh Human herpesvirus 8
(HHV8) yang dikenal dengan istilah sarkoma kaposi – dikaitkan dengan herpesvirus
(KSHV). Penyakit ini ditemukan pada tahun 1872 oleh dermatologist Hongaria bernama
Moriz Kaposi yang menjelaskan tentang 5 pasien dengan agresif idiopatik multiple pigmen
sarcoma pada kulitnya. Dan seorang pasien meninggal dengan perdarahan gastrointestinal
15 bulan setelah ditemukannya lesi pada kulit. Dan pada autopsy tampak lesi visceral di paru
– paru dan traktus pencernaannya. Virus penyebab tumor ini ditemukan pada tahun 1994.
HHV8 dapat ditularkan melalui kontak seksual sehingga risiko untuk tertular juga ada.
Bahkan, penyakit ini telah diidentifikasi pada pasien transplantasi organ dengan HIV
negative yang menerima terapi immunosupresif. Sejak tahun 1990-an sarkoma kaposi
semakin diteliti hingga didapatkan 4 jenis sarkoma kaposi dengan manifestasi klinis yang
berbeda namun patofisiologinya sama, diantaranya : SK klasik, SK endemik pada orang
Afrika, SK pada pasien dengan terapi immunosupresan, dan SK terkait AIDS. Sarkoma
kaposi ini mengakibatkan beberapa gejala klinik mulai dari gangguan kulit ringan sampai
mempengaruhi organ tubuh.
SK tipe klasik biasanya menyerang orang tua dari wilayah Laut Tengah atau
keturunan Eropa Timur. SK endemik pada orang Afrika yang masih muda terutama dari
daerah Afrika Sub-Sahara sebagai penyakit yang lebih agresif menyerang kulit terutama
anggota badan bagian bawah dengan prevalensi pria dan wanita 3:1. 10% laki-laki yang
menderita kanker di Afrika penyebabnya adalah SK. SK pada pasien dengan terapi
immunosupresan termasuk didalamnya pasien post transplantasi organ dan terbanyak
pada pasien dengan penyakit autoimun. Lebih dari 20 % penderita AIDS di Eropa
menderita SK dan SK ini didapat pada pasangan muda homoseksual.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja definisi dari sarkoma kaposi?
2. Bagaimana penjelasan anatomi dan fisiologi kulit?
3. Apa saja etiologi dari sarkoma kaposi?
4. Apa saja klasifikasi dari sarkoma kaposi?
5. Apa saja manifestasi klinis dari sarkoma kaposi?
6. Bagaimana patofisiologi dari sarkoma kaposi?
7. Bagaimana pathway dari sarkoma kaposi?
8. Apa saja komplikasi dari sarkoma kaposi?
9. Apa saja pemeriksaan penunjang dari sarkoma kaposi?
10. Bagaimana penatalaksanaan dari sarkoma kaposi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari sarkoma kaposi
2. Untuk mengetahui penjelasan anatomi dan fisiologi kulit
3. Untuk mengetahui etiologi dari sarkoma kaposi
4. Untuk mengetahui klasifikasi dari sarkoma kaposi
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari sarkoma kaposi
6. Untuk mengetahui patofisiologi dari sarkoma kaposi
7. Untuk mengetahui pathway dari sarkoma kaposi
8. Untuk mengetahui komplikasi dari sarkoma kaposi
9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari sarkoma kaposi
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari sarkoma kaposi
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Sarkoma Kaposi adalah kanker yang berasal dari pembuluh darah, biasanya pada
kulit. Sarkoma Kaposi adalah tumor yang disebabkan oleh virus human herpesvirus 8
(HHV8).
Sarkoma Kaposi pertama kali dideskripsikan oleh Moritz Kaposi, seorang ahli ilmu
penyakit kulit Hongaria di Universitas Wina tahun 1872. Sarkoma Kaposi secara luas
diketahui sebagai salah satu penyakit yang muncul akibat dari AIDS pada tahun 1980-an
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang disebabkan oleh Human herpesvirus 8 ( HHV8 )
yang dikenal dengan istilah sarkoma kaposi - dikaitkan dengan herpesvirus ( KSHV ).
Penyakit ini ditemukan pada tahun 1872 oleh dermatologist Hongaria bernama Moriz
Kaposi yang menjelaskan tentang 5 pasien dengan agresif idiopatik multiple pigmen
sarcoma pada kulitnya. Dan seorang pasien meninggal dengan perdarahan gastrointestinal
15 bulan setelah ditemukannya lesi pada kulit. Dan pada autopsy tampak lesi visceral di
paru – paru dan traktus pencernaannya.

2.2 Anatomi & Fisiologi


1. Kulit
Kulit merupakan pelindung tubuh beragam luas dan tebalnya. Luas kulit orang
dewasa adalah satu setengah sampai dua meter persegi. Tebalnya antara 1,5 – 5 mm,
bergantung pada letak kulit, umur, jenis kelamin, suhu, dan keadaan gizi. Kulit paling
tipis pada kelopak mata, penis, labium minor dan bagian medial lengan atas,
sedangkan kulit tebal terdapat di telapak tangan dan kaki, punggung, bahu, dan
bokong.
Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan
jaringan subkutan atau subkutis.
a. Epidermis
Epidermis tersusun atas lapisan tanduk lapisan korneum dan lapisan Malpighi.
Lapisan korneum merupakan lapisan kulit mati, yang dapat mengelupas dan
digantikan oleh sel-sel baru. Lapisan Malpighi terdiri atas lapisan spinosum dan
lapisan germinativum. Lapisan spinosum berfungsi menahan gesekan dari luar.
Lapisan germinativum mengandung sel-sel yang aktif membelah diri,
mengantikan lapisan sel-sel pada lapisan korneum.Lapisan Malphighi
mengandung pigmen melanin yang memberi warna pada kulit.
Bagian dari Epidermis:
a) Lapisan tanduk atau stratum korneum yaitu lapisan kulit yang paling luar yang
terdiri dari beberapa lapis sel gepeng yang mati, tidak berinti dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
b) Stratum Lusidum yaitu lapisan sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma
berubah menjadi eleidin (protein). Tampak jelas pada telapak tangan dan kaki.
c) Lapisan granular atau stratum granulosum yaitu 2 atau 3 lapisan sel gepeng
dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Mukosa
biasanya tidak memiliki lapisan ini. Tampak jelas pada telapak tangan dan
kaki.
d) Lapisan malpighi atau stratum spinosum. Nama lainnya adalah pickle cell layer
(lapisan akanta). Terdiri dari beberapa lapis sel berbentuk poligonal dengan
besar berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasma jernih karena
mengandung banyak glikogen dan inti terletak ditengah-tengah. Makin dekat
letaknya ke permukaan bentuk sel semakin gepeng. Diantara sel terdapat
jembatan antar sel (intercellular bridges) terdiri dari protoplasma dan tonofibril
atau keratin. Penebalan antar jembatan membentuk penebalan bulat kecil
disebut nodus bizzozero. Diantara sel juga terdapat sel langerhans.
e) Lapisan basal atau stratum germinativium. Terdiri dari sel berbentuk kubus
tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal, berbaris seperti pagar
(palisade),mengadakan mitosis dari berbagai fungsi reproduktif.
b. Dermis
Dermis atau korium merupakan lapisan bawah epidermis dan diatas jaringan
subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang dilapisan atas terjalin rapat
(pars papillaris), sedangkan dibagian bawah terjalin lebih lebih longgar (pars
reticularis). Lapisan pars retucularis mengandung pembuluh darah, saraf,
rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus.
c. Jaringan Subkutan (Subkutis atau Hipodermis)
Jaringan subkutan merupakan lapisan yang langsung dibawah dermis.
Batas antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel yang terbanyak
adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan subkutan
mengandung saraf, pembuluh darah dan limfe, kandungan rambut dan di
lapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringan. Fungsi dari jaringan
subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma dan tempat
penumpukan energi.
2. Kulit mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai berikut :
a. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan- jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh- pengaruh luar
seperti luka dan serangan kuman. Lapisan paling luar dari kulit ari diselubungi
dengan lapisan tipis lemak, yang menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan
suhu tubuh, menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk
ke dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar
ultraviolet dari matahari.
b. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang berhubungan
dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, dan getaran. Kulit sebagai
alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf sensasi
c. Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh kapiler
serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Tubuh
yang sehat memiliki suhu tetap kira-kira 98,6 derajat Farenheit atau sekitar
36,50C. Ketika terjadi perubahan pada suhu luar, darah dan kelenjar keringat
kulit mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing.
Pengatur panas adalah salah satu fungsi kulit sebagai organ antara tubuh dan
lingkungan. Panas akan hilang dengan penguapan keringat.
d. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar-kelenjar keringat
yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam, yodium dan
zat kimia lainnya. Air yang dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui
keringat tetapi juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan
keringat yang tidak disadari.
e. Penyimpanan.
Kulit dapat menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut dalam
lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada krim muka
dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit pada tingkatan yang
sangat tipis. Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke
dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh darah ke
dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya.
g. Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang tampak
halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan Fungsi lain dari kulit
yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi seseorang seperti kulit memerah, pucat
maupun konstraksi otot penegak rambut.
h. Sistem imun
Organ Yang Terlibat Dalam Sistem Kekebalan Tubuh
a) Nodus Limfe
Dalam tubuh manusia ada semacam angkatan kepolisian dan organisasi
intel kepolisian yang tersebar di seluruh tubuh. Pada sistem ini terdapat juga
kantor-kantor polisi dengan polisi penjaga, yang juga dapat menyiapkan polisi
baru jika diperlukan. Sistem ini adalah sistem limfatik dan kantor-kantor polisi
adalah nodus limfa. Polisi dalam sistem ini adalah limfosit. Sistem limfatik ini
merupakan suatu keajaiban yang bekerja untuk kemanfaatan bagi umat
manusia. Sistem ini terdiri atas pembuluh limfa-tik yang terdifusi di seluruh
tubuh, nodus limfa yang terdapat di beberapa tempat tertentu pada pembuluh
limfatik, limfosit yang diproduksi oleh nodus limfa dan berpatroli di sepanjang
pembuluh limfatik, serta cairan getah bening tempat limfosit berenang di
dalamnya, yang bersirkulasi dalam pembuluh limfatik. Cara kerja sistem ini
adalah sebagai berikut: Cairan getah bening dalam pembuluh limfatik
menyebar di seluruh tubuh dan berkontak dengan jaringan yang berada di
sekitar pembuluh limfatik kapiler. Cairan getah bening yang kembali ke
pembuluh limfatik sesaat setelah melaku-kan kontak ini membawa serta
informasi mengenai jaringan tadi. Infor-masi ini diteruskan ke nodus limfatik
terdekat pada pembuluh limfatik. Jika pada jaringan mulai merebak
permusuhan, pengetahuan ini akan diteruskan ke nodus limfa melalui cairan
getah bening.
b) Timus
Selama bertahun-tahun timus dianggap sebagai organ vestigial atau organ
yang belum berkembang sempurna dan oleh para ilmuwan evolusionis
dimanfaatkan sebagai bukti evolusi. Namun demikian, pada tahun-tahun
belakangan ini, telah terungkap bahwa organ ini merupakan sumber dari sistem
pertahanan kita.
c) Sumsum Tulang
Sumsum tulang janin di rahim ibunya tidak sepenuhnya mampu
memenuhi fungsinya memproduksi sel-sel darah. Sumsum tulang mam-pu
mengerjakan tugas ini hanya setelah lahir. Pada tahap ini, limpa akan bermain
dan memegang kendali. Merasakan bahwa tubuh mem-butuhkan sel darah
merah, trombosit, dan granulosit, maka limpa mulai memproduksi sel-sel ini
selain memproduksi limfosit yang merupakan tugas utamanya.
d) Limpa
Unsur menakjubkan lainnya dari sistem pertahanan kita adalah limpa.
Limpa terdiri dari dua bagian: pulp merah dan pulp putih. Limfosit yang baru
dibuat di pulp putih mula-mula dipindahkan ke pulp merah, lalu mengikuti
aliran darah. Kajian saksama mengenai tugas yang dilak-sanakan organ
berwarna merah tua di bagian atas abdomen ini menying-kapkan gambaran luar
biasa. Fungsinya yang sangat sulit dan rumitlah yang membuatnya sangat
menakjubkan.
Keterampilan limpa tidak hanya itu. Limpa menyimpan sejumlah ter-tentu
sel darah (sel darah merah dan trombosit). Kata “menyimpan” mungkin
menimbulkan kesan seakan ada ruang terpisah dalam limpa yang dapat
dijadikan tempat penyimpanan. Padahal limpa adalah organ kecil yang tak
memiliki tempat untuk sebuah gudang. Dalam kasus ini limpa mengembang
supaya ada tempat tersedia untuk sel darah merah dan trombosit. Limpa yang
mengembang disebabkan oleh suatu penyakit juga memungkinkan memiliki
ruang penyimpanan yang lebih besar.
2.3 Etiologi
Etiologi dari sarkoma kaposi tidak jelas. Neoplasma endothelial ganas sering
berhubungan dengan AIDS dan mungkin juga dengan infeksi sitomegalovirus (CMV).
Terkadang sarkoma kaposi adalah bentuk pertama dari infeksi HIV. Human Herpes Virus
8 (HHV-8) DNA bisa ditemukan dalam sel-sel sarkoma, dan pasien dengan infeksi HIV
dan HHV-8 mempunyai resiko tinggi mengembangkan sarkoma kaposi. Pada penderita
AIDS, penyakit ini terjadi akibat gangguan sistem kekebalan dan penelitian terakhir
menyebutkan adanya kombinasi antara gangguan sistem kekebalan dengan sejenis virus
herpes 8 (HHV8).
Adanya peranan faktor-faktor virus (mungkin CMV) yang berkaitan dengan
angiogenesis juga diduga sebagai penyebab sarkoma kaposi. Dalam suatu penelitian baru
lelaki dengan virus herpes manusia 8 (HHV-8) hampir 12 kali lipat lebih mungkin
didiagnosa sarkoma kaposi dibandingkan lelaki yang tidak terinfeksi HHV-8.Sarkoma
kaposi pada awalnya dikenal sebagai penyakit yang mempengaruhi laki-laki usia lanjut
dari daerah Eropa Timur dan Laut Tengah. Sarkoma kaposi juga terjadi pada laki-laki
Afrika dan orang dengan system kekebalan tubuh yang lemah. Penyakit ini paling banyak
terdapat pada orang-orang kulit hitam dari Afrika Tengah, tetapi dalam beberapa tahun
belakang ini penyakit ini dilaporkan sebagai bagian dari AIDS dan sebagai komplikasi
pada terapi imunosupresif. Di Amerika Serikat ada delapan kali lebih banyak laki-laki
dengan sarkoma kaposisi dibandingkan dengan perempuan.
2.4 Klasifikasi
Terdapat 4 variant tentang sarkoma kaposi, yaitu :
1. Klasik (sporadic) sarkoma Kaposi
Jenis sarkoma kaposi ini sering terjadi pada pasien manula pada suku Mediterania
dan Eropa Timur. Dengan ratio pria banding wanita 10-15 : 1. Dengan usia berkisar
50-70 tahun. Penyakit ini jarang terdapat adanya benjolan limfe, membrane mukosa,
atau keterlibatan organ viseral. Kekambuhan bisa terjadi karena imunosupresi oleh
karena faktor umur, genetic, sejarah pernah terkena keganasan, dan kemungkinan
karena infeksi malaria. Tingkat kebersihan juga berpengaruh dalam resiko terjadinya
sarkoma kaposi tipe klasik.
Tumor ini selalu dimulai pada kulit bagian distal dari ekstremitas bawah baik
unilateral maupun bilateral berbentuk makula berwarna merah sehingga terlihat
seperti hematom. Lesi ini perjalanannya perlahan bisa vertikal maupun horizontal dan
berkembang sampai menjadi plak atau kadang – kadang nodul. Awalnya tumor
berwarna coklat dan hiperkeratosis dan pada ekstremitas bawah bisa terjadi ulserasi.
Tumor ini bisa menimbulkan pitting edema sampai terjadi fibrosis.
Klasik SK bermanifestasi pada nodus limfatikus di membrane mukosa dan organ
dalam seperti traktus pencernaan yang seringnya jarang bergejala karena sarkoma
kaposi tipe ini banyak mengenai orang usia tua dan meninggal karena penyakit
lainnya.

Gambar 1 dan 2. Tipe klasik dengan gambaran papul dan nodul di ekstremitas.
2. Sarkoma kaposi berkaitan dengan AIDS ( AIDS – SK )
Sebelum dekade pertama pandemi AIDS, SK didiagnosis > 20% pada pasien
HIV-1 di Eropa. Frekuensinya pada pria dan wanita yang berhubungan seks, pada
pengguna narkoba suntik, hemofilia, resipien transfusi darah dan bayi yang lahir dari
ibu positif HIV di kota industri. Hal inilah yang menyebabkan sarkoma kaposi
merupakan keganasan yang paling sering dijumpai pada pasien terinfeksi HIV,
khususnya pada daerah yang terbatas ketersediaan HAART (highly active
antiretroviral therapy).
Di Amerika Serikat, sarkoma kaposi terdapat pada 2-3% pasien homoseksual
yang terinfeksi HIV. Pada pertengahan tahun 1990, sarkoma kaposi merupakan gejala
yang jelas didapat pada 15% homoseksual. Di Afrika dan negara berkembang,
epidemic sarkoma kaposi terkait AIDS umum didapat pada heteroseksual dewasa dan
sedikit pada anak-anak. Kaposi sarcoma terkait AIDS merupakan bentuk kaposi
sarcoma yang paling agresif.
Serokonversi dari human herpevirus 8 (HHV-8) secara positif meningkatkan
epidemic kaposi sarcoma dalam 5-10 tahun. Adanya penurunan CD4 dan
peningkatan jumlah virus HIV-1 merupakan ukuran prognosa dari epidemic sarkoma
kaposi. Kurang dari 1/6 penderita HIV memiliki jumlah CD4 diatas 500 per
mikroliter. Penyakit ini biasanya berkembang pada pasien dengan imunodefisiensi
yang parah.
AIDS – SK memiliki lesi berupa makula bentuk oval kecil yang akan berkembang
menjadi plak dan nodul kecil. Lesi biasanya di wajah khususnya di hidung, alis,
telinga dan bisa juga di tenggorokan. Lesi bisa menjadi plak yang besar di area yang
luas pada wajah, tenggorokan atau ekstremitas dan menyebabkan gangguan fungsi.
Mukosa mulut bisa terkena sarkoma kaposi juga pada 10 – 15% pada kasus ini. Dan
lesi pada faring menyebabkan sulitnya menelan, berbicara dan bernafas.
Lesi pada lambung dan duodenum merupakan lesi yang paling sering
menyebabkan perdarahan dan ileus. Walaupun mungkin terlihat di gastroskopi,
beberapa lesi tidak terdiagnosa histologisnya karena lokasi lesinya di submukosa dan
bisa diambil dengan forsep biopsi. Sarkoma kaposi pulmonal dapat menyebabkan
gejala tertentu seperti spasmebronkus, batuk, penurunan fungsi respirasi.
Bronkoskopi dengan transbronkhial biopsi penting untuk diagnosa sarkoma kaposi
pulmonal.

Gambar 3. Terdapat multipel lesi yaitu makula, papul dan nodul pada SK-AIDS

3. Sarkoma kaposi pada pasien terapi immunosupresan


Kejadian ini dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi organ atau
pasien yang mendapatkan terapi immunosupresor seperti penderita penyakit
autoimun. Insiden sarkoma kaposi meningkat 100x lipat pada pasien yang menjalani
transplantasi. Pada pasien dengan penyakit kongenital yang menyebabkan
imunodefisiensi tidak terjadi peningkatan resiko. Rata-rata peningkatan terjadinya
sarkoma kaposi pada pasien transplantasi di waktu 1 sampai 10 tahun setelah
transplantasi. Penanganan agresif perlu dilakukan bila ada keterlibatan organ viseral.
Pada pasien yang menjalani penanganan immunosupresi kemungkinan terjadinya
penyakit ini meningkat. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa keterlibatan
immunosupresi memegang peran penting dalam perkembangan sarkoma kaposi.
Aktivasi sistem imun dan immunosupresi memegang peran dalam perubahan
komplek HHV-8.
Tipe ini memiliki manifestasi klinis yang perjalanannya perlahan seperti SK tipe
klasik tetapi dapat juga cepat seperti SK pada AIDS. Dosis, tipe obat serta onset yang
lebih awal pada pemberian immunosupresan sangatlah penting pengaruhnya terhadap
perkembangan SK yang dihubungkan dengan siklosporin A yang tinggi pada
beberapa obat seperti glukokortikoid dan azatriopine. Tumor akan lebih progresif
bila dosis dinaikkan. Lesi pada tipe ini sama dengan tipe klasik dan AIDS berkaitan
dengan sarkoma kaposi. Dan lesi ini ditemukan pada > 85% pasien dengan
transplantasi dan < 15% memiliki kelainan pada organ viseralnya ( gastrointestinal,
paru ataupun nodus limfatikus ) tanpa gejala kulit yang terlihat.

4. Sarkoma kaposi pada daerah endemik di Afrika


Penyakit ini utama terjadi pada pria juga pada wanita dan anak-anak dengan
seronegative HIV di Afrika. Sejak terjadi penyebaran penyakit AIDS, kejadian ini
meningkat sampai 20x lipat. Jarangnya pemakaian alas kaki berkaitan dengan
endemik sarkoma kaposi. Lesi sarkoma kaposi yang tampak yaitu berupa nodul,
vegetatif atau infiltrat dan tipe limfadenopati. Tipe vegetatif atau infiltrat ini
memiliki karakteristik lebih agresif pada proses biologis dan lesi bisa lebih dalam
sampai ke dermis, subkutis, otot dan tulang. Tipe limfadenopati dominan menyerang
anak – anak dan usia muda.

2.5 Manifestasi Klinis


Lesi sarkoma kaposi berbentuk nodul atau plak yang berwarna merah, ungu,
coklat atau hitam, dan biasanya bersifat papular. Sarkoma kaposi dapat ditemui pada
kulit, tetapi biasanya dapat menyebar kemanapun, terutama pada mulut, saluran
pencernaan dan saluran pernapasan. Perkembangan sarkoma dapat terjadi lambat sampai
sangat cepat, dan berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang penting.
1. Lesi pada kulit
Lesi pada kulit biasanya menyerang anggota tubuh bagian bawah, wajah, mulut
dan alat kelamin. Lesi biasanya berbentuk nodul atau bisul yang dapat berwarna
merah, ungu, coklat atau hitam, tetapi kadang-kadang berbentuk seperti plak (sering
ada pada telapak kaki), atau bahkan menyebabkan kerusakan kulit. Pembengkakan
mungkin dapat berasal dari peradangan atau limfedema (kerusakan sistem limfatik
yang disebabkan oleh lesi). Lesi pada kulit memperburuk penampilan penderita, dan
menyebabkan patologi psikososial.
Lesi pada badan dan punggung Lesi pada telapak kaki

2. Lesi pada mulut


Pada mulut, sarkoma kaposi berperan sebesar 30%, dan merupakan 15% awal dari
sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS. Pada mulut, sarkoma kaposi paling
sering menyerang langit-langit atas, diikuti oleh gusi. Lesi pada mulut mudah rusak
dengan digigit dan berdarah atau menderita infeksi sekunder, dan bahkan
mengganggu penderita untuk makan dan berbicara.

Lesi sarkoma kaposi pada mulut


3. Lesi pada saluran cerna
Sarkoma kaposi pada saluran pencernaan biasanya terjadi pada sarkoma kaposi
yang berhubungan dengan transplantasi atau yang berhubungan dengan AIDS, dan
dapat muncul dengan tidak adanya gangguan sarkoma kaposi pada kulit. Lesi saluran
pencernaan menyebabkan turunnya berat badan, tekanan, muntah, diare, berdarah,
malabsorpsi, atau gangguan perut.
Sarkoma kaposi pada lien

4. Lesi pada pernafasan


Sarkoma kaposi pada saluran pernapasan muncul dengan adanya sesak napas,
demam, batuk, hemoptisis (batuk darah), atau nyeri pada dada, atau sebagai
penemuan insiden pada sinar x tulang rusuk. Diagnosis dikonfirmasi oleh
bronkoskopi ketika lesi secara langsung terlihat dan biasanya dibiopsi.

Sarkoma kaposi pulmonal Sarkoma kaposi tracheal

2.6 Patofisiologi
Ditemukannya virus sarkoma kaposi yaitu human herpesvirus (KHSV) pada tahun
1994 mengarahkan kepada pemahaman akan patofisiologi dari penyakit ini. Perbedaan
epidemiologi dan presentasi klinik dari penyakit ini berhubungan dengan perbedaan faktor
resiko, seperti HIV tak terkontrol dan obat imunosupresi yang dipakai pada pasien
transplantasi. Sarkoma kaposi disebabkan oleh proliferasi sel spindle yang berlebihan.
Walaupun asal sel tumor ini tidak diketahui, peningkatan faktor endotel VIIIa antigen,
marker spindle sel seperti alpha – actin otot polos, dan marker makrofag seperti PAM – 1,
CD68, dan CD14 yang mengekspresikan spindle sel sudah diamati. Proliferasi spindle sel
menjadi serat retikuler, kolagen dan mononuclear sel meliputi makrofag, limfosit dan sel
plasma. Sel-sel ini cenderung melibatkan vascular baik di retikuler dermis (patch stage) atau
keseluruhan ketebalan dari dermis (plak atau tahap noduler).
KSHV memiliki genom yang luas sampai lebih dari 85 antigen. Pemakaian ELISA
sampai pemakaian antigen sudah dipakai untuk menghitung antibodi KSHV. Beberapa studi
molekular disampaikan bahwa sarkoma kaposi berasal dari satu klon sel lebih banyak
dibandingkan berasal dari multifokal sel. Walaupun demikian, banyak data terbaru yang
berasal dari studi terhadap 98 pasien dengan sarkoma kaposi dengan penyakit yang
menyerang sel kutaneus dianalisa dengan teknik diagnostic molekular dibandingkan dengan
virus DNA HHV8 dari tumor tersebut menunjukkan sekitar 80% dari tumor berasal dari
multiple sel.
Kesimpulannya bahwa sedikit dari sarkoma kaposi berasal dari sel tunggal dan
sarkoma kaposi mungkin tidak berasal dari metastasis tapi berasal dari multifocal dan
independen pada beberapa tempat. Data ini sesuai dengan sarkoma kaposi kutaneus yang
kurang agresif. Hal ini tidak sesuai dengan sarkoma kaposi di organ viseral yang agresif.
Virus HHV8 telah diidentifikasi lebih dari 90% pada semua tipe sarkoma kaposi dengan
menggunakan polymerase chain reaction (PCR), hipotesis terbaru mengatakan bahwa HHV8
harus ada untuk penyakit tersebut dapat berkembang. Penyakit ini ditularkan melalui saliva.
HIV meningkatkan resiko imunosupresi.
Faktor-faktor yang turut mempengaruhi perkembangan sarkoma kaposi pada individu
yang terinfeksi HHV8 dan HIV termasuk sitokin abnormal yang berasosiasi dengan infeksi
HIV dengan angiogenic sitokin-IL-1 beta, basic fibroblast growth factor (bfGF), acidic
fibroblast growth factor, endothelial growth factor, and vascular endothelial growth factor.
Sitokin lain termasuk IL-6, granulocyte-monocyte colony stimulating factor (GM-CSF),
transforming growth factor beta (TGF-beta), tumor necrosis factor (TNF), dan platelet-
derived growth factor alpha (PDGF-alpha berasal dari saluran pencernaan dan sel
mononuclear. Oncostatin M, IL-1, IL-6, fibroblast growth factor, tumor necrosis factor
(TNF), dan HIV-tat protein semua ini berasal dari sel T yang terinfeksi HIV berperan
sebagai stimulant dari sel sarkoma kaposi.
Kesimpulan, komplek imun deregulasi merupakan inti pathogenesis dari sarkoma
kaposi. Ini termasuk defek sel imun, defek imun humoral dan vascular endothelial
growth factor yang abnormal.
2.7 Patway/WOC
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang umum pada sarkoma kaposi tipe klasik adalah vena statis dan
lymphedema. Sebanyak 30 % pasien dengan sarkoma kaposi tipe klasik akan berisiko terjadi
keganasan kedua, dan yang paling sering terkena limfoma non-hodgkin. Kekambuhan bisa
terjadi karena imunosupresi oleh karena faktor umur, genetik, sejarah pernah terkena
keganasan, dan kemungkinan karena infeksi malaria. Tingkat kebersihan juga berpengaruh
dalam resiko terjadinya klasik Kaposi sarcoma.
Sarkoma kaposi terkait AIDS, tidak seperti jenis sarkoma kaposi yang lain karena jenis
ini lebih agresif. Morbiditas bisa terjadi karena terkaitnya gangguan kutaneus, mukosa dan
organ visceral secara luas. Lesi pada lambung dan duodenum merupakan lesi yang paling
sering menyebabkan perdarahan dan ileus dan bisa menyebabkan kematian apabila tidak
diatasi dengan baik. Sarkoma kaposi pulmonal dapat menyebabkan gejala tertentu seperti
spasmebronkus, batuk, penurunan fungsi respirasi. Penyebab umum terjadinya kematian
untuk lesi di paru dikarenakan adanya pendarahan paru.
Tipe vegetatif atau infiltrat pada sarkoma kaposi terkaid AIDS memiliki karakteristik
lebih agresif pada proses biologis dan lesi bisa lebih dalam sampai ke dermis, subkutis, otot
dan tulang. Lesi pada mulut yang mudah rusak dengan digigit dan berdarah atau menderita
infeksi sekunder, dan bahkan mengganggu penderita untuk makan dan berbicara.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil biopsi kulit.
2. Tes darah untuk mendeteksi antibodi melawan virus herpes penyebab sarcoma kaposi
telah dikembangkan dan dapat digunakan untuk menentukan jika pasien pada resiko
transmisi infeksi pada partner seksualnya, atau jika sebuah organ yang terinfeksi
digunakan untuk transplantasi.
3. Pemeriksaan fisik.

2.10 Penatalaksanaan
Sarkoma kaposi tidak dapat disembuhkan, tetapi secara efektif dapat diredakan untuk
beberapa tahun dan hal ini merupakan tujuan dari perawatan. Terapi tergantung tipe dari
sarkoma kaposi, lesi dan sistem organ yang terkena. Pada sarkoma kaposi yang berhubungan
dengan defisiensi imun atau supresi imun, penanganan terhadap disfungsi sistem kekebalan
tubuh dapat memperlambat atau menghentikan perkembangan sarkoma kaposi.
Dalam penatalaksanaan sarkoma kaposi kita kenal istilah terapi lokal atau “localized
cutaneous disease“ dan terapi terhadap organ sistemik. Lokal terapi ini termasuk eksisi,
destruksi lokal dengan cairan nitrogen – laser, terapi sinar/photodynamic dan terapi topical
dengan 9-cis retinoic acid. Terapi radiasi sangat berguna dalam penyakit lokal yang sulit
dijangkau seperti lesi pada mukosa mulut dan hidung. Operasi tidak direkomendasikan
karena sarkoma kaposi dapat muncul pada tepi luka.
Terapi pada organ sistemik bisa untuk beberapa varian, seperti :
a. Pada klasik sarkoma Kaposi
Dilakukan kemoterapi termasuk doxorubicin 20 – 30 mg/m2, bleomycin 10 mg/m2,
vincristine 1 – 2 mg sefrrtiap 2 – 4 minggu. Bisa juga diberikan etoposide dan
dacarbazine yang bisa diberikan sendiri ataupun dengan kombinasi sehingga memberikan
efek terapi pada pasien sarkoma kaposi tipe klasik. Penyakit yang lebih banyak menyebar
dan atau yang menyerang organ internal ditangani dengan terapi sistemik dengan
interferon α 3 – 30 juta unit rutin 3x seminggu, liposomal anthracycline (seperti Doksil)
20 – 40 mg/m2 setiap 2 – 4 minggu atau vinblastin 6 mg i.v seminggu sekali.
b. Pada sarkoma kaposi terkait pasien dengan terapi immunosupresan
Bisa dilakukan penurunan dosis untuk terapi immunosupresannya atau menekan
penambahan kortikosteroid pada terapi immunosupresive, mengganti penghambat
calsineurin dengan rapamycin yang juga berguna untuk terapi sarkoma kaposi dengan
tipe lainnya.
c. Pada sarkoma kaposi terkait AIDS
Pemberian terapi dengan HAART pada 40% atau lebih pasien dengan sarkoma
kaposi yang berhubungan dengan AIDS lesinya akan mengecil dengan pemberian terapi
ini. Terapi paliatif dengan kombinasi kemoterapi atau terapi radiasi. HAART mensupresi
replikasi HIV-1 dan melindungi imunitas. HAART juga menurunkan insiden SK – AIDS,
berefek untuk menghambat protease ( kombinasi antiretroviral terapi ). Terapi dengan
liposomal anthracycline ( liposomal doxorubicin ) lebih efektif daripada kombinasi
bleomycin dan vincristine atau doxorubicin. Dosis liposomal anthracycline yaitu 20
mg/m2 i.v setiap 2 – 4 minggu. Atau bisa juga diberikan paclitaxel 100 mg/m2 setiap 2
minggu. Dengan berkurangnya kematian antara pasien AIDS yang menerima perawatan
pada tahun 1990-an, mengakibatkan insidensi epidemik sarkoma kaposi juga berkurang.
Namun, jumlah pasien yang hidup dengan AIDS meningkat di Amerika Serikat dan
jumlah pasien dengan sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS akan meningkat
kembali karena pasien tersebut hidup lebih lama dengan infeksi HIV. Tes darah untuk
mendeteksi antibodi melawan virus herpes penyebab sarkoma kaposi telah dikembangkan
dan dapat digunakan untuk menentukan apakah pasien memberikan risiko transmisi
infeksi pada partner seksualnya atau bisa juga dilakukan skrining terhadap sebuah organ
yang akan digunakan untuk transplantasi.
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Kaji nama klien, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan, status dan
nomor register.
b. Identitas Penanggung Jawab
Kaji nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan, status dan
hubungan dengan klien.
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri akibat timbulnya nodul atau lesi yang berwarna
merah maupun keunguan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
c. Riwayat penyakit Dahulu
d. Riwayat Penyakit keluarga
3. Pola Fungsional
a. Aktivitas/istirahat
Keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit
Perubahan tonus, massa otot
b. Integritas ego
Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan dan kecacatan
Ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah
c. Makanan / cairan
Mual/muntah
Anoreksia
BB menurun
d. Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan
e. Pernapasan
Sesak napas, batuk dan nyeri ketika bernapas
f. Eliminasi
Diare / susah buang air besar
4. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran TTV
b. Pengkajian Kardiovaskuler
Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal jantung
kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
c. Pengkajian Respiratori
Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia, nyeri dada,
napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
d. Pengkajian Neurologik
Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot, kejang-
kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran, delirium,
meningitis, keterlambatan perkembangan.
e. Pengkajian Gastrointestinal
Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan, bercak putih
kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis esophagus, candidisiasis
mulut, selaput lender kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat diare
kronis, pembesaran limfa.
f. Pengkajian Muskuloskeletal
Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infeksi virus.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan proses infeksi/inflamasi
3. Ketidakseimbangan volume cairan : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah, anoreksia, diare.
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual/muntah, adanya demam (respon infeksi)
5. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit.
3.3 Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infeksi virus.
No Intervensi Rasional
1. Kaji kulit setiap hari. Cata warna, Menetukan garis dasar dimana perubahan
turgor, sirkulasi, dan sensasi. pada status dapat dibandingkan dan
Gambarkan lesi dan amati melakukan intervensi yang tepat
perubahan.
2. Dorong untuk ambulasi / turun dari Menurunkan tekanan pada kulit dari
tempat tidur jika memungkinkan istirahat lama di tempat tidur
3. Pertahankan hygine kulit misalnya Mempertahankan kenersihan karena kulit
membasuh kemudian yang kering dapat enjadi barier infeksi.
mengeringkannya dengan berhati- Pembasuhan menurunkan resiko trauma
hati dan melakukan masase dengan dermal pada kulit yang rapuh. Masase
menggunakan lotion atau krim. meningkatkan sirkulasi kult dan
meningkatkan kenyamanan.
4. Berikan obat-obatan topikal/ Digunakan pada perawatan lesi kulit
sistemik sesuai indikasi

2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan proses infeksi/inflamasi

No Intervensi Rasional
1. Catat kecepatan/kedalaman Takipnea, sianosis menunjukkan kesulitan
pernapasan, sianosis, penggunaan bernapas dan addanya kebutuhan untuk
otot aksesori, ansietas dan meningkatkan pengawasan/intervensi
munculnya dispnea. medik.
2. Tinggikan kepala tempat tidur Membantu membersihkan jalan napas
sehingga memungkinkan terjadinya
pertukaran gas dan mencegah komplikasi
pernapasan
3. Auskultasi bunyi napas Memperkirakan adanya perkembangan
komplikasi
4. Berikan tambahan oksigen Mempertahankan ventilasi efektif untuk
mencegah krisis pernapasan

3. Ketidakseimbangan volume cairan : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


mual, muntah, anoreksia, diare

No Intervensi Rasional
1. Pantau tanda-tanda vital Indikator dari volume cairan sirkulasi
2. Kaji turgor kulit, membran mukosa Indikator tidak langsung dari status cairan
dan rasa haus
3. Pantau pemasukan oral dan Mempertahankan keseimbangan cairan,
masukan cairan sedikitnya 2500 mengurangi rasa haus, dan melembabkan
ml/hari membran mukosa.
4. Berikan cairan/elektrolit melalui Mungkin diperlukan untuk
selang pemberi makanan/IV mendukung/memperbesar volume sirkulas,
terutama jika pemasukan oral tak adekuat,
mual/muntah terus menerus

4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


mual/muntah, adanya demam (respon infeksi)

No Intervensi Rasional
1. Auskultasi bising usus Hipermotilitas saluran intestinal umum
terjadi dan dihubungkan dengan muntah
dan diare, yang dapat mempengaruhi
pilihan diet atau makanan.
2. Timbang berat badan sesuai Indikator kebutuhan nutrisi/pemasukan
kebutuhan yang adekuat
3. Berikan perawatan mulut yang Mengurangi ketidaknyamanan yang
terus menerus berhubungan dengan mual/muntah, lesi
oral, pebgeringan mukosa, dan halitosis.
4. Pasang/pertahankan NGT sesuai Mungkin diperlukan untuk mengurangi
petunjuk mual/muntah atau untuk pemberian makan
per selang.

5. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit.

No Intervensi Rasional
1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan Mengindikasikan kebutuhan untuk
lokasi, intensitas, frekuensi dan intervensi dan juga tanda-tanda
waktu perkembangan komplikasi.
2. Berikan aktivitas hiburan Memfokuskan kembali perhatian, mungkin
dapat meningkatkan kemampuan untuk
menaggulangi.
3. Dorong pengungkapan perasaan Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut
sehingga mengurangi persepsi akan
intensitas rasa takut
4. Berikan analgetik Mengurangi nyeri.
3.4 Implementasi
Implementasi adalah perawat mengimplementasikan intervensi-intervensi yang terdapat
dalam rencana perawatan. Komponen dalam tahap implementasi meliputi tindakan
keperawatann mandiri, kolaboratif, dokumentasi, dan respon pasien terhadap asuhan
keperawatan.

3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat, dan
anggota tim kesehatan lainnya. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang.
Teknik dalam melakukan evaluasi ada 2 yaitu :
1. SOAP
S : Subyektif
O : Obyektif
A : Analisa/ Assasment
P : Planing
2. SOAPIER :
S : Subyektif
O : Obyektif
A : Analisa/ Assasment
P : Planing
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassesmen
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang disebabkan oleh Human herpesvirus 8
( HHV8 ) yang dikenal dengan istilah sarkoma kaposi - dikaitkan dengan
herpesvirus ( KSHV ). Penyakit ini ditemukan pada tahun 1872 oleh
dermatologist Hongaria bernama Moriz Kaposi yang menjelaskan tentang 5
pasien dengan agresif idiopatik multiple pigmen sarcoma pada kulitnya. Dan
seorang pasien meninggal dengan perdarahan gastrointestinal 15 bulan setelah
ditemukannya lesi pada kulit. Dan pada autopsy tampak lesi visceral di paru –
paru dan traktus pencernaannya.
4.2 SARAN
Dengan adanya tugas ini penulis dapat lebih memahami tentang
bagaimana penyakit sarkoma kaposi dan dapat melakukan perawatan yang baik
serta menegakkan asuhan keperawatan yang baik. Dengan adanya hasil tugas ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai literatur untuk menambah wawasan dari ilmu
yang telah di dapatkan dan lebih baik lagi dari sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA

Arma, Utmi. 2009. Ilmu Penyakit Mulut. Universitas Baiturrahmah: 2009. Hlm
127-135

Yayasan Spiritia. 18 November 2017. “Sarkoma Kaposi (KS)”. Available at


http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=508

Rose LJ. 18 November 2017. Sarkoma Kaposi. Available at


http://www.medscape.com/sarkoma-kaposi.

James WD, Berger TG, Elston DM. Kaposi Sarcoma. In : Andrew’s Disease of
The Skin Clinical Dermatology. Tenth Edition. Philadelphia : WB Saunders Company ;
2006. Pg. 418 – 419, 599 – 601.

Antman K, Chang Y. Kaposi’s Sarcoma. The New England Journal of Medicine.


2000. 14. 1027 – 1038.

Katz MH, Zolopa AR, Hollander H. HIV Infection. In : Current Medical


Diagnosis & Treatment. 45th Edition. New York : McGraw-Hill ; 2006. Pg. 1318, 1320 –
1321.

Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease : AIDS and
Related Disorders. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition McGraw-
Hill ; 2005. Pg. 1098.

Anda mungkin juga menyukai