Sama dengan halnya model pelayanan VCT, PITC juga terdiri dari
beberapa komponen untuk mendukung pelayanan pada program ini.
Komponen PITC tersebut adalah :
a. Informasi-informasi pre-tes dan informed consent
PITC memberikan sesi pendidikan dan pengkajian resiko
dengan fokus konseling pencegahan untuk klien sebelum dan sesudah
menerima hasil tes. Informed consent seharusnya diberikan secara
individual dan pribadi pada kehadiran klien di pelayanan kesehatan.
Informasi minimum yang perlu klien ketahui sebelum informed
consent adalah :
- Alasan HIV konseling dan tes disarankan
- Keuntungan klinis dan pencegahan tes dan potensial resiko, seperti
diskriminasi, penelantaran dan kekerasan
- Pelayanan yang tersedia dengan hasil tes negativ atau positif HIV,
termasuk ART
- Fakta tentang perlakuan hasil tes HIV akan diperlakukan secara
rahasia dan tidak akan diberitahukan kepada orang lain
- Fakta bahwa pasien berhak menerima atau menolak konseling dan
tes HIV
- Kesempatan klien untuk bertanya kepada penyelenggara pelayanan
b. Post-tes konseling
Isi dan inti dari post-test konseling dari PITC sama dengan
post-test konseling pada VCT, yaitu penyampaian hasil test dan
informasi yang dibutuhkan setelah mengetahui hasil tes.
c. Petunjuk pelayanan HIV yang lain
Hasil tes HIV harus disampaikan dengan penjelesan-penjelasan
tentang pencegahan, terapi, pelayanan, dan pelayanan pendukung yang
diperlukan oleh klien. Petunjuknya tediri dari informasi siapa dan
kapan yang akan dihubungi, dan bagaimana cara menghubungi.
d. Frekwensi tes yang dilakukan
Tes ulang setiap 6-12 bulan lebih diperlukan untuk individu
yang terpapar HIV dengan resiko tinggi, seperti individu dengan
riwayat STI, PSK dan kliennya, seks pada pasangan homo, IDU
(injection drug user), dan pasangan hidup dengan HIV. Hal yang perlu
diingat bahwa tes HIV rutin tidak menjadi subsitusi untuk pencegehan
perilaku beresiko. Penyelenggara pelayanan kesehatan seharusnya
menekankan pada klien untuk tetap mempertahankan perilaku yang
aman.
2.3 Efektivitas Program VCT dan PITC Terhadap Penyebaran HIV &
AIDS
Voluntary Counselling and Testing (VCT) memiliki fungsi sebagai
perangkat kesehatan mayarakat yang efektif. Model standard dari VCT
secara keseluruhan terdiri dari pencegahan dengan penekanan terhadap
kerahasiaan dan kesediaan individual dalam mengambil keputusan,
termasuk melindungi keputusan individu untuk tidak melakukan tes atau
mendengar hasil tes. Konseling VCT meliputi dialog antara konselor dan
klien dengan penekanan terhadap perilaku yang aman, dukungan terhadapa
adanya perubahan perilaku dan menjadi netral dalam menghargai
keputusan klien untuk melaksanakan tes, karena ini merupakan keputusan
klien yang mandiri dan tanpa paksaan dalam menjalani tes HIV.
Pandangan publik secara perspektif menunjukkan bahwa pelayanan VCT
semakin mempermudah individu untuk melakukan pencegahan dan
mendapatkan perawatan HIV.
Model dari VCT memperlihatkan keefektifannya dalam
meningkatkan pengertian terhadap resiko, penyelenggaraan lingkungan
yang mendukung bagi seseorang yang baru mengetahu status HIV,
menunjukkan perubahan perilaku sebagai langkah pencegahan, dan
meningkatkan akses terhadap layanan pendukung. Ketika VCT
diimplementasikan secara luas dalam lingkup mobilisasi komunitas, maka
VCT akan membantu untuk membukan epidemik HIV, penurunan
penolakan, stigma dan diskriminasi, meningkatkan kesempatan konseling
untuk pasangan dan respon dukungan yang sangat besar.
VCT tidak dapat diimplementasikan pada skala besar dalam
komunitas dan negara yang memiliki pendapatan rendah. Salah satu alasan
bahwa VCT mahal dan sulit diimplementasikan dikarenakan VCT
memerlukan infrastruktur substansial, waktu dan staf yang terlatih. Alasan
lainnya adalah fakta ketika seseorang tidak ingin memeriksakan status
HIV-nya. (WHO: 2002, Increasing Access of HIV Counselling and
Testing)
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendesak pemerintah lebih
menerapkan pola provider initiated testing and counseling (PITC) dalam
strategi penemuan kasus orang yang terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Pola
baru itu harus diterapkan lantaran tingkat penemuan kasus orang terkena
HIV/AIDS di Indonesia masih rendah. Berdasarkan estimasi, terdapat 270
ribu orang terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Namun, hanya sekitar 27 ribu
atau 10% penderita yang bisa ditemukan. Dari jumlah itu, hanya 13 ribu di
antaranya yang mendapat pengobatan.
Ketua Bidang Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI Pandu
Riono memaparkan, pola voluntary counseling test (VCT), yang dijadikan
ujung tombak dalam tingkat penemuan kasus penderita HIV, dinilai sudah
usang dan tidak lagi efektif. Alasannya, lewat mekanisme VCT, provider
kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan tenaga medis lebih bersifat
pasif. Pola semacam itu hanya mengimbau masyarakat secara sukarela
untuk memeriksakan diri ke rumah sakit, dan bersedia menjalani tes dan
konsultasi. Sebaliknya dalam mekanisme PITC, peran provider kesehatan
lebih efektif. Dokter berperan aktif untuk melihat pasien bersangkutan
memiliki gejala penyakit HIV, dengan melihat faktor risiko tinggi terpapar
HIV. Atas dasar itu dokter berhak memberi rujukan agar pasien melakukan
pemeriksaan lanjutan di laboratorium atau klinik HIV. Oleh karena itu, laju
penyebaran HIV lebih mudah diketahui dengan menggunakan PITC
daripada VCT.
DAFTAR PUSTAKA