Anda di halaman 1dari 15

2.

1 Voluntary Counselling and Testing (VCT)


2.1.1 Pengertian VCT
Voluntary Counselling and Testing atau yang lebih dikenal dengan
VCT HIV & AIDS merupakan salah satu program yang dilaksanakan
dalam upaya mencegah penyebaran penyakit HIV & AIDS. Voluntary
Counselling and Testing (VCT) merupakan entry point untuk memberikan
perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA. VCT juga merupakan
salah satu model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan
dukungan untuk merubah perilaku berisiko serta mencegah penularan
HIV/AIDS. (Haruddin, dkk., 2007)
Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah suatu pembinaan
dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan
kliennya dengan tujuan mencegah penularan. (Nursalam, 2007).
WHO menyatakan bahwa VCT atau CITC (Client-Initiated Testing
and Counselling) merupakan pendekatan primer dalam konseling dan tes
HIV & AIDS yang ditekankan pada pengkajian dan menejemen dari
perilaku beresiko, memberikan pengetahuan tentang isu-isu dan informasi
seperti keinginan dan implikasi untuk melakukan tes, dan strategi-strategi
untuk mengurangi perilaku-perilaku beresiko dengan partisipasi klien
secara aktif dating ke pelayanan kesehatan secara sukarela. Konseling
dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tes untuk mendiagnosa HIV &
AIDS, jika didapatkan hasil tes positif maka konseling akan mengarah
pada perawatan, terapi dan pelayanan pendukung lainnya.

2.1.2 Tujuan VCT


Voluntary Counselling and Testing (VCT) berperan dalam
memberikan dukungan moral, informasi serta dukungan lainnya kepada
ODHA, keluarga dan lingkungan. Menurut Nursalam (2007), VCT
mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Upaya pencegahan HIV & AIDS
b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan
persepsi/pengetahuan tentang factor-faktor resiko penyebab seseorang
terinfeksi HIV & AIDS.
c. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini
mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretroviral (ART), serta membantu
mengurangi stigma dalam masyarakat.

2.1.3 Model Pelayanan VCT


Model pelayanan VCT adalah klien mencari pelayanan konseling
dan tes HIV & AIDS, dimana klien akan menerima beberapa pelayanan
yaitu,
 Konseling sebelum tes (Pre-Test Counselling),
 Persetujuan untuk tes HIV & AIDS (Informed Consent),
 Tes HIV & AIDS (Testing),
 Konseling pasca tes dengan pembacaan hasil tes (receive HIV test
results during a post-test counseling). (WHO, 2006)

Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pelayanan VCT digunakanan


untuk menjaga hak-hak dari individu yang mengikuti VCT. Prinsip-prinsip
VCT adalah sebagai berikut :
a. Voluntary Pengetuahuan terhadap status HIV harus secara sukarela.
Keputusan untuk menjalani tes adalah berdasarkan keputusan klien.
b. Confidential Informasi yang diberikan selama konseling tidak boleh
diberitahukan kepada orang lain (bersifat rahasia). Hasil tes HIV hanya
diberitahukan kepada klien, kecuali klien memperbolehkan orang lain
(anggota keluarga, pasangan atau teman dekat) mengetahui hasil tes.
c. Counselling Pre-test konseling memberikan kesempatan pada klien
untuk mengeksplorasi resiko klien terhadap HIV dan bagaimana
menguranginya, dan membantu klien untuk memutuskan untuk
mengikuti tes HIV atau tidak.
d. Konseling harus ditawarkan kepada setiap klien sebagai pertimbangan
klien untuk mengikuti tes HIV.
e. Klien yang setuju melakukan tes akan mendapatkan hasil tes HIV pada
post-test konseling. Konseling yang diberikan harus memiliki kualitas
yang tinggi.
f. Testing Diagnosa HIV dilihat pada adanya antibodi HIV pada darah,
saliva dan urin. Hasil positif dipastikan dengan beberapa tes tambahan.
Informed Consent Klien setuju untuk mengikuti tes HIV dengan
memberikan persetujuan.
g. Privacy Lingkungan fisik harus mendukung berjalannya konseling
secara pribadi antara konselor dan klien. Penyelenggara kesehatan
harus menjaga data-data pribadi klien.
h. Refferal Klien harus mendapatkan akses untuk pelayanan pencegahan,
perawatan dan pelayanan pendukung yang tersedia. Pelayanan referral
harus dilaksanakan dengan menghormati kerahasiaan klien.
i. Counsellor Karakteristik konselor terdiri dari tidak menghakimi,
empati, mengormati dan mendukung. Staf yang melakukan konseling
harus dilatih sesuai dengan teknik konseling HIV.
j. Equality HIV positif seharusnya tidak didiskriminasi.
k. Adherence Pelayanan harus mengacu pada protocol lokal atau
nasional, hokum dan peraturan pemerintah terkait dengan pelayanan
HIV.
l. Monitoring & Evaluation Konseling dan tes HIV harus dimonitor dan
dievalusi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, untuk memastikan
pelayanan pada kualitas yang tinggi.

2.1.4 Proses dan Mekanisme VCT


2.1.4.1 Pre-Test Konseling
Sesi Pre-Test Konseling ini akan membahas tentang informasi dan
pengkajian terhadap resiko HIV & AIDS dengan fokus utama pada
konseling pencegahan terhdapa reaksi klien sebelum dan sesudah klien
mengetahui hasil tes. (WHO, 2007)
Konseling Pre-Test ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap
keputusan yang diambil betul telah dipahami dan sukarela, menyiapkan
klien akan penerimaan apapun hasil tes, negatif-positif-indeterminan,
kemudian memberikan informasi untuk mengurangi resiko dan strategi
menghadapi tes, memberikan pilihan untuk PMTCT dan menyediakan
pintu masuk untuk terapi dan perawatan. Adapun sumber lain
menyebutkan tujuan klien melakukan pre-test konseling adalah :
 Klien memahami benar kegunaan tes HIV&AIDS,
 Klien dapat menilai resiko dan mengerti persoalan dirinya,
 Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya,
 Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya,
 Klien memilih dan memahami apakah aakan melakukan tes darah
HIV&AIDS. (Nursalam, 2007)

Pra-test konseling juga disebut konseling pencegahan AIDS. Dua


hal yang penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang
menyebabkan klien dapat berisiko tinggi terinfeksi HIV&AIDS dan
apakah klien mengetahui tentang HIV&AIDS dengan benar. Hal yang
perlu ditanyakan oleh konselor yaitu ada tidaknya sumber dukungan moral
dalam hidup klien yang dapat membantu ketika menunggu hasil tes sampai
hasil diagnosa keluar (baik jasil tes positif ataupun negative). Masa ketika
menunggu hasil tes adalah masa yang paling berat bagi klien. Saaat itu,
jika tidak ada seorangpun sebagai pendukung moral makan konselor
diharapkan dapat bertindak sebagai keluarga klien.
Ada lima prinsip praktis yang biasa dilakukan saat pra-test
konseling yaitu :
a. Motif dari klien
Klien yang secara sukarela (voluntary) dan secara paksa (compulsory)
mempunyai perasaan yang berbeda dalam menghadapi segala
kemungkinan, baik pra-tes ataupun post-tes.
b. Intepretasi hasil pemeriksaan
- Uji saring atau skrining dan tes konfirmasi,
- Asimtomatik atau gejala nyata (Full Blown Symptom)
- tidak dapat disembuhkan (HIV) tetapi masih dapat diobati (infeksi
sekunder).
c. Estimasi hasil
Pengkajian resiko bukan hasil yang diharapkan dan masa jendela.
d. Rencana ketika hasil diperoleh
Apa yang akan dilakukan oleh klien ketika telah mengetahu hasil
pemeriksaan baik positif maupun negative.
e. Pembuatan keputusan
Klien dapat memutuskan untuk bersedia atau tidak diambil darahnya
guna melakukan pemeriksaan HIV. (Nursalam, 2007)

2.1.4.2 Tes HIV


HIV&AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat
penularan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang
tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV, sehingga menjadi
sumber penularan bagi orang lain.
Seseorang terkena HIV biasanya diketahui jika telah terjadi
Sindrom Defisiensi Imun Dapatan (AIDS) yang ditandai antara lain
penurunan berat badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan
beberapa gejala lainnya. Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini
mengijinkan kita untuk mendeteksi HIV lebih dini.
Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain adalah :
a. ELISA
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini
mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi
tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah
minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Karena alasan inilah maka
para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu
ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk
jarum suntik yang terkontaminasi.
Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur,
atau air kencing. Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV
Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam
cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur.
Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang
diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain,
yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan
ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada
dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau
betul-betul telah terinfeksi HIV.
b. Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi
antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi
ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik,
sehingga kasus ”yang tidak dapat disimpulkan” sangat kecil. Walaupun
demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam
melakukannya.
c. IFA
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan
pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya dua
pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah
satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal.
d. Rapid Test
Rapid test menggunakan enzim immunoassay untuk
mendeteksi dan membedakan antibody HIV-1 dan HIV-2 dalam serum
dan plasma. Saat ini teknik yang umum digunakan untuk deteksi
antibodi adalah Elisa dan Rapid test dan paling banyak digunakan
adalah Rapid test. Teknis pemeriksaan Rapid test adalah yang paling
efisien dan banyak digunakan oleh para klinisi.
e. PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa
langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat
dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus
HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh
karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak
memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan
secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang
akan didonorkan.
Hal yang perlu diingat terhadap pemeriksaan darah pasien
tidakh hannya dilakukan satu kali, namun menggunakan 3 metode
pemeriksaan yang berbeda dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas
yang berbeda. Misal, jika didapatkan tes ELISA atau EIA positif maka
harus dilakukan konfirmasi dengan metode lain yaitu Western Blot ,
yaitu suatu pemeriksaan yang memiliki spesifisitas sangat tinggi.
Terdapat beberapa kemungkinan hasil yang akan didapatkan
dari tes tersebut adalah sebagai berikut :
 Hasil positif dilaporkan setelah konfirmasi dengan pemeriksaan
menggunakan metode Western Blot menunjukkan hasil positif.
 Hasil negative setelah dilakukan tes konfimasi tetap negatif,
 Bila hasil tes meragukan atau indeterminate (dapat terjadi pada
stadium awal dari serokonversi) maka diambil sampel darah kedua
pada 2 minggu (14 hari) kemuadian dan diperikasa kemabali. lebih
baik lagi bila dilakukan pemeriksaan Western Blot. Jika hasil tetap
meragukan maka dilakukan pemeriksaan serial setiap 3 bulan
selama sedikitnya 6 bulan atau sampai dengan 12 bulan. Jika hasil
tes tetap meragukan dan keadaan memungkinkan maka dapat
dilakukan pemerikasaan PCR.

2.1.4.3 Post-Test Konseling


Post-tes konseling adalah bagian integral dari komponen proses tes
HIV. Semua individu yang akan melakukan tes HIV harus dikonseling
ketika tes diberikan, dengan tanpa melihat hasil tes. Hasil tes seharusnya
diberikan kepada klien secara personal oleh pemberi pelayanan. Idealnya,
post-test konseling seharusnya dilakukan dengan konselor yang sama saat
pre-test konseling dan tes HIV dilakukan. Hasil seharusnya tidak diberikan
dalam kelompok. Meskipun klien dapat menolak untuk menerima hasil
dari tes, konselor seharusnya dapat memberikan alasan yang tepat untuk
meyakinkan klien dapat menerima dan mengerti hasil tes secara rahasia
dan dengan rasa simpati.(WHO, 2007)
Konseling Pasca-Test bertujuan untuk menyiapkan klien untuk
dapat menerima hasil, membantu klien memahami dan menyesuaikan diri
akan hasil tes, menyediakan informasi lebih lanjut, jika dimungkinkan,
lantas merujuk kepada layanan lainnya ketika diperlukan dan
mendiskusikan kepada klien strategi pengurangan penularan HIV.
Konselor juga hendaknya harus waspada terhadap respon klien saat
pembacaan hasil tes. Ada dua kemungkinan hasil intepretasi hasil tes yang
akan mempengaruhi kondisi psikologis klien yaitu :
a. Hasil tes negatif
Konseling yang diperlukan untuk individu dengan hasil tes
HIV negatif adalah informasi tentang sebagai berikut :
- Penjelasan tentang hasil tes, termasuk informasi tentang periode
jendela untuk terbentuknya HIV-antibodi dan merekomendasikan
untuk tes ulang untuk memastikan,
- Metode dasar untuk mencegah transmisi HIV,
- Menyarankan menggunakan kondom pria dan wanita serta cara
penggungaannya,
b. Hasil tes positif
Fokus dari post-test konseling pada klien dengan hasil tes HIV-
positif adalah dukungan psikososial untuk mengatasi dampak
emosional dari hasil tes, fasilitasi akses terapi, perawatan dan
pelayanan pencaegahan, pencegahan transmisi dan pengakuan
pasangan seksual dan pemakaian narkoba. Konselor hendaknya
memberitahukan tentang :
- Memberitahukan hasil tes kepada klien dengan singkat dan jelas,
dan memberikan waktu pada pasien untuk memperimbangkannya,
- Memastikan bahwa klien mengerti hasil tes,
- Mengijinkan klien untuk mengajukan pertanyaan,
- Membantu klien untuk mengatasi emosi yang timbul setelah
mengetahui hasil tes,
- Diskusikan setiap pendapat klien terhadap perannya di masyarakat,
- Menggambarkan pelayanan lanjutan yang ada di fasilitas kesehatan
dan di komunitas dengan fokus terapi yang ada, PMTCT dan
perawatan serta pelayanan pendukung,
- Berikan informasi yang relevan untuk mencegah virus HIV
termasuk penggunaan kondom saat berhubungan,
- Berikan informasi-informasi lain yang relevan untuk menjaga
kesehatan, seperti nutrisi, konsumsi contrimoxazole dan lain-lain,
- Diskusikan kemungkinan memberitahukan hasil,
- Dorong dan tawarkan untuk VCT pasangan dan anak,
- Kaji resiko kekerasan atau upaya bunuh diri dan diskusikan
kemungkinan untuk keselamatan fisik klien,
- Rencanakan waktu dan tanggal yang spesifik untuk kunjungan
lanjutan atau terapi referal , perawatan, konseling, dukungan dan
pelayanan lain yang sesuai (misal, skrining dan terapi TB,
profilaksis dari infeksi oportunistik, terapi Sexual Transmitted
Infection (STI), KB, ANC, terapi pengganti subsitusi, dan akses
terhadap jarum dan syringe yang steril.

2.2 Provider-Initiated Testing and Counsolling (PITC)


2.2.1 Definisi PITC
Fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu jalan
dimana ODHA memerlukan pelayanan pencegahan, terapi dan dukungan.
Hal tersebutlah yang mendasari terbentuknya Provider-Initiated Testing
and Counselling (PITC) selain untuk menyempurnakan program lainnya,
yaitu Client-Initiated Counselling and Testing (CICT) atau yang lebih
dikenal sebagai VCT. PITC memberikan kesempatan individu untuk
mengetahui status HIV secara sistematis di fasilitas pelayanan kesehatan
dengan tujuan memfasilitasi klien untuk menggunakan akses yang
dibutuhkan terkait dengan pencegahan, terapi, perawatan, dan pelayanan
pendukung HIV. Keterlambatan seseorang didiagnosa terinfeksi HIV
dikarenakan banyak orang tidak peduli terhadap status HIV masing-
masing, dengan adanya program PITC ini diharapkan masyarakat lebih
peduli tentang status HIV mereka dan mengurangi perilaku-perilaku
beresiko yang dapat menyebabkan terinfeksi HIV.
Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC) adalah
konseling dan tes HIV yang disarankan oleh penyelenggara pelayanan
kesehatan kepada seseorang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
sebagai suatu komponen standard dari pelayanan medis. Seseorang yang
datang ke pelayanan kesehatan dengan tanda dan gejala terinfeksi HIV,
merupakan tanggung jawab penyelenggara pelayanan kesehatan untuk
merekomendasikan kepada orang tersebut untuk melakukan tes dan
konseling sebagai bagian dari standar rutin dari manajemen klinis,
termasuk penyaranan konseling dan tes pada pasien TB dan seseorang
yang dicurigai TB.
PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi HIV terhadap
klien yang tidak dikenali dan tidak dicurigai datang ke pelayanan
kesehatan. Tes dan konseling HIV disarankan oleh penyelenggara
pelayanan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan yang diberikan kepada
seluruh pasien selama interaksi-interaksi klinis yang dilakukan di
pelayanan kesehatan. (WHO, 2007)

2.2.2 Implementasi PITC di Pelayanan Kesehatan


Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC) sebaiknya
diimplementasikan dengan memaksimalkan kesehatan dan kesejahteraan
individu dengan penentuan waktu deteksi HIV yang tepat, pencegahan
transmisi HIV, dan akses-akses fasilitas kesehatan terkait pencegahan,
terapi, perawatan dan pelayanan pendukung HIV.
Implementasi dari PITC harus meliputi pengukuran untuk
mencegah tes yang dipaksakan, penyebaran status HIV tanpa ijin, dan
kemungkinan hasil negatif lainnya terkait mengatahui status HIV
seseorang. PITC harus disertai dengan satu paket pelayanan yang terdiri
dari pencegahan, terapi, perawatan dan pelayanan pendukung yang ada
pada tabel berikut :
1. Informasi Pre-tes kepada individu atau kelompok
2. Pelayanan pencegahan dasar untuk klien didiagnosa HIV-negatif
- Konseling post-tes untuk individu atau pasangan yang berisi
informasi pencegahan HIV
- Promosi dan penjelesan penggunaan kondom pria dan wanita
- Intervensi untuk mengurangi pengunaan IDU (Injecting Drug
User)
- Profilaksis setelah paparan,
3. Pelayanan pencegahan dasar untuk klien didiagnosa HIV-positif
- Individual post-tes konseling oleh penyelenggara terlatih terdiri
dari informasi tentang dan mengacu pada pencegahan, perawatan
dan pelayanan terapi yang dibutuhkan
- Mendukung untuk membuka status HI pada pasangan dan
menyarankan konseling untuk pasangan
- Konseling tentan seks aman dan penurunan perilaku beresiko
dangan menggunakan kondom pria atau wanita
- Intervensi untuk mengurangi pengunaan IDU (Injecting Drug
User)
- Intervensi untuk mencegah transmisi ibu ke anak pada wanita
hamil (PMTCT) termasuk profilaksis ARV
- Pelayanan kesehatan reproduksi
4. Perawatan dasar dan pelayanan pendukung untuk klien
didiagnosa HIV-positif
- Dukungan pendidikan, psikososial dan dukungan sebaya untuk
manajemen HIV
- Pengkajian klinis secara periodik dan stadium klinis
- Manajemen dan terapi untuk infeksi oportunistik tersering
- Profilaksis kontrimoxazole
- Skrining TB dan terapi ketika terindikasi, terapi pencegahan ketika
dibutuhkan
- Pencegahan dan terapi Malaria ketika dibutuhkan
- Manajemen kasus dan terapi STI (Sexual Transmitted Infection)
- Perawatan paliatif dan manajemen gejala
- Menyarankan dan mendukung intervensi, seperti minum air yang
sehat
- Peningkatan gizi, konseling pemberian makanan bayi
- ART, ketika diperlukan

Sama dengan halnya model pelayanan VCT, PITC juga terdiri dari
beberapa komponen untuk mendukung pelayanan pada program ini.
Komponen PITC tersebut adalah :
a. Informasi-informasi pre-tes dan informed consent
PITC memberikan sesi pendidikan dan pengkajian resiko
dengan fokus konseling pencegahan untuk klien sebelum dan sesudah
menerima hasil tes. Informed consent seharusnya diberikan secara
individual dan pribadi pada kehadiran klien di pelayanan kesehatan.
Informasi minimum yang perlu klien ketahui sebelum informed
consent adalah :
- Alasan HIV konseling dan tes disarankan
- Keuntungan klinis dan pencegahan tes dan potensial resiko, seperti
diskriminasi, penelantaran dan kekerasan
- Pelayanan yang tersedia dengan hasil tes negativ atau positif HIV,
termasuk ART
- Fakta tentang perlakuan hasil tes HIV akan diperlakukan secara
rahasia dan tidak akan diberitahukan kepada orang lain
- Fakta bahwa pasien berhak menerima atau menolak konseling dan
tes HIV
- Kesempatan klien untuk bertanya kepada penyelenggara pelayanan
b. Post-tes konseling
Isi dan inti dari post-test konseling dari PITC sama dengan
post-test konseling pada VCT, yaitu penyampaian hasil test dan
informasi yang dibutuhkan setelah mengetahui hasil tes.
c. Petunjuk pelayanan HIV yang lain
Hasil tes HIV harus disampaikan dengan penjelesan-penjelasan
tentang pencegahan, terapi, pelayanan, dan pelayanan pendukung yang
diperlukan oleh klien. Petunjuknya tediri dari informasi siapa dan
kapan yang akan dihubungi, dan bagaimana cara menghubungi.
d. Frekwensi tes yang dilakukan
Tes ulang setiap 6-12 bulan lebih diperlukan untuk individu
yang terpapar HIV dengan resiko tinggi, seperti individu dengan
riwayat STI, PSK dan kliennya, seks pada pasangan homo, IDU
(injection drug user), dan pasangan hidup dengan HIV. Hal yang perlu
diingat bahwa tes HIV rutin tidak menjadi subsitusi untuk pencegehan
perilaku beresiko. Penyelenggara pelayanan kesehatan seharusnya
menekankan pada klien untuk tetap mempertahankan perilaku yang
aman.

2.3 Efektivitas Program VCT dan PITC Terhadap Penyebaran HIV &
AIDS
Voluntary Counselling and Testing (VCT) memiliki fungsi sebagai
perangkat kesehatan mayarakat yang efektif. Model standard dari VCT
secara keseluruhan terdiri dari pencegahan dengan penekanan terhadap
kerahasiaan dan kesediaan individual dalam mengambil keputusan,
termasuk melindungi keputusan individu untuk tidak melakukan tes atau
mendengar hasil tes. Konseling VCT meliputi dialog antara konselor dan
klien dengan penekanan terhadap perilaku yang aman, dukungan terhadapa
adanya perubahan perilaku dan menjadi netral dalam menghargai
keputusan klien untuk melaksanakan tes, karena ini merupakan keputusan
klien yang mandiri dan tanpa paksaan dalam menjalani tes HIV.
Pandangan publik secara perspektif menunjukkan bahwa pelayanan VCT
semakin mempermudah individu untuk melakukan pencegahan dan
mendapatkan perawatan HIV.
Model dari VCT memperlihatkan keefektifannya dalam
meningkatkan pengertian terhadap resiko, penyelenggaraan lingkungan
yang mendukung bagi seseorang yang baru mengetahu status HIV,
menunjukkan perubahan perilaku sebagai langkah pencegahan, dan
meningkatkan akses terhadap layanan pendukung. Ketika VCT
diimplementasikan secara luas dalam lingkup mobilisasi komunitas, maka
VCT akan membantu untuk membukan epidemik HIV, penurunan
penolakan, stigma dan diskriminasi, meningkatkan kesempatan konseling
untuk pasangan dan respon dukungan yang sangat besar.
VCT tidak dapat diimplementasikan pada skala besar dalam
komunitas dan negara yang memiliki pendapatan rendah. Salah satu alasan
bahwa VCT mahal dan sulit diimplementasikan dikarenakan VCT
memerlukan infrastruktur substansial, waktu dan staf yang terlatih. Alasan
lainnya adalah fakta ketika seseorang tidak ingin memeriksakan status
HIV-nya. (WHO: 2002, Increasing Access of HIV Counselling and
Testing)
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendesak pemerintah lebih
menerapkan pola provider initiated testing and counseling (PITC) dalam
strategi penemuan kasus orang yang terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Pola
baru itu harus diterapkan lantaran tingkat penemuan kasus orang terkena
HIV/AIDS di Indonesia masih rendah. Berdasarkan estimasi, terdapat 270
ribu orang terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Namun, hanya sekitar 27 ribu
atau 10% penderita yang bisa ditemukan. Dari jumlah itu, hanya 13 ribu di
antaranya yang mendapat pengobatan.
Ketua Bidang Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI Pandu
Riono memaparkan, pola voluntary counseling test (VCT), yang dijadikan
ujung tombak dalam tingkat penemuan kasus penderita HIV, dinilai sudah
usang dan tidak lagi efektif. Alasannya, lewat mekanisme VCT, provider
kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan tenaga medis lebih bersifat
pasif. Pola semacam itu hanya mengimbau masyarakat secara sukarela
untuk memeriksakan diri ke rumah sakit, dan bersedia menjalani tes dan
konsultasi. Sebaliknya dalam mekanisme PITC, peran provider kesehatan
lebih efektif. Dokter berperan aktif untuk melihat pasien bersangkutan
memiliki gejala penyakit HIV, dengan melihat faktor risiko tinggi terpapar
HIV. Atas dasar itu dokter berhak memberi rujukan agar pasien melakukan
pemeriksaan lanjutan di laboratorium atau klinik HIV. Oleh karena itu, laju
penyebaran HIV lebih mudah diketahui dengan menggunakan PITC
daripada VCT.

DAFTAR PUSTAKA

Nursalam & Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi


HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika..
WHO. 2009. Guidance On Testing and Counselling For HIV In Settings Attended
By People Who Inject Drugs.
WHO. 2007. Guidance On Provider-Initiated HIV Testing and Counseling In
Health Facilities.
WHO. 2009. Priority Interventions, HIV/AIDS Prevention, Treatment, and Care
In Health Sector.

Anda mungkin juga menyukai