Anda di halaman 1dari 21

SINTESIS

A. ANEMIA HEMOLITIK
1. Diagnosis banding

2. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat bervariasi
dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA tipe dingin
jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat sedangkan
jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit umumnya normal.

2. Retikulositosis ( polikromatopilik, stipling)


Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung ribosom,
pemeriksaannyadilakukan dengan menggunakan pengecatan Brelian Cresiel
Blue (BCB), nilai normal berkisar antara 0,8-2,5 % pada pria dan 0,8-4,1 % pada
wanita, jumlah retikulosit ini harusdikoreksi dengan rasio
hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang jumlah retikulosit absolutdapat
dihitung dengan mengkalikan jumlah retikulosit dengan jumlah eritrosit.Perlu
juga dihitung Retikulosit Production Index ( RPI) yaitu:
o Makrositosis
Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai Mean
Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
o Eritroblastosis
Leukositosis dan trombositosis. Pada sumsum tulang dijumpai adanya
eritroid hiperplasia. Ferrokinetik :
o Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
o Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )

3. Biokimiawi darah :
o Meningkatnya kreatin eritrosit
o Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya yaitu:
urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT

4. Morfologi darah tepi


Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis, polikromasi,
sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.Polikromasi menunjukkan
peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang. Sferositosis dapat
terjadi pada proses hemolitik pada anemia hemolitik sedang sampai berat.

5. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat dehidrogenase


(LDH)
Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan didapatkan
peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis ekstravaskuler terjadi
melalui proses fagositosis eritrosit oleh sistem retikuloendotelial yang
menyebabkan eritrosit lisis dan hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin
oleh lisosom. Globin dihidrolisis menjadi asam amino. Heme kemudian menjadi
besi dan protoporfirin yang terdiri dari biliverdin dan karbonmonoksida.
Biliverdin yang terikat dengan albumin merupakan bilirubin yang tidak
terkonjugasi di dalam darah. Bilirubin yang tidak terkonjugasi/indirek masuk ke
hepar dan menjadi bilirubin terkonjugasi/direk. Bilirubin direk dirubah menjadi
urobilinogen yang diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi di
ginjal dirubah urobilinogen urin.
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang
menyebabkan penurunan kadar haptoglobin. Hemolisis intravaskuler
menimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan dengan
haptoglobin menjadi haptoglobin hemoglobin sehingga kadar haptoglobin
menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin dimetabolisme menjadi bilirubin.

6. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT) yang
menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen anti
globulin yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya reaksi aglutinasi. Hal
ini menandakan adanya Ig G dan C3d pada permukaan eritrosit pasien

3. Algoritma penegakan diagnosis


4. Diagnosis kerja
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA / AHA)

5. Definisi
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA / AHA)
merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit
sehingga eritrosit mudah lisis dan umur eritrosit memendek. Meskipun umur
eritrosit pada orang dewasa berkisar 120 hari namun disepakati bahwa umur
eritrosit memendek adalah kurang dari 100 hari. Jadi untuk timbulnya AIHA
diperlukan adanya antibodi dan proses destruksi eritrosit.

6. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.
Fungsi T regulatory CD4+CD2S+ yang intak mampu mencegah timbulnya
autoantibodi. Suatu percobaan dengan menggunakan model Marshal Clarke and
Playfair hewan coba murin AIHA digunakan untuk melihat etiologi anemia
hemolitik imun dan peran dari Tregulatory.
Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa T regulatory (CD4+CD25+)
berperan dalam mengendalikan induksi anemia hemolitik imun.
Sebagian besar anemia hemolitik autoimun adalah penyakit sekunder akibat
penyakit virus, penyakit autoimun lain, keganasan atau karena obat. Beberapa
penyakit yang disertai dengan AIHA adalah leukemia limfositik kronik, limfoma
non Hodgkin, gamopati IgM,
limfoma Hodgkin, tumor solid, kista dermoid ovarium, SLE, kolitis ulseratif,
Common Variable Immune Deficiency, Autoimmune Lymphoproliferative
Disease, setelah terapi transplantasi sel punca alogenik, pasca transplantasi
organ.Beberapa jenis obat yang digunakan pada kasus leukemia limfositik kronik
bisa menginduksi AIHA, begitu pula interferon-a, levofloksasin, lenalidomid dan
juga transfusi darah.
7. Epidemiologi
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan insiden anemia
di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua
anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per tahun, dengan
prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka kematian AIHA berkisar antara 20-
50%, bergantung kepada penyakit yang mendasari munculnya penyakit AIHA.

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenmegali
terjadi pada 50 – 60%, hepatomegaly terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi
pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan
limfonodi.

8. Faktor risiko
Anemia hemolitik dapat menyerang segala usia, ras, dan jenis kelamin.
Walaupun demikian, beberapa jenis anemia hemolitik biasa muncul di antara
populasi tertentu. Misalnya, sebagian besar kasus defisiensi glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD) terjadi pada laki-laki keturunan Afrika atau Mediterania. Di
Amerika Serikat, kondisi ini lebih sering menimpa orang Afrika-Amerika daripada
orang Kaukasia.

9. Pathogenesis

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme , atau kombinasi keduanya.

Aktivasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen


akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis
intravaskular.yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgGl, IgG2, IgG3. Imunoglobulin M disebut sebagai aglutinin tipe dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah
merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat
karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.

a. Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi CI, suatu
protein yang dikenal sebagai recognition unit. Protein CI akan berikatan dengan
kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis
reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen CI akan mengaktifkan C4 dan C2
menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan
konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan
membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada
membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5
convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang
berperan dalann kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur
membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air
dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.

b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivator jalur alternatif akan


mengaktifkan C3, dan C3b yang terbentuk akan berikatan dengan membran sel
darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan faktor B dipecah oleh
D menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat
pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi
C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a
dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.

Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah


disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel
eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-
FcR akan menyebabkan fagositosis

10. Patofisiologi

Proses hemolisis akan menimbulkan, sebagai berikut:

a) Penurunan kadar hemoglobin akan menyebabkan anemia. Hemolisis dapat


terjadi perlahan-lahan sehingga dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi
tubuh, tetapi dapat juga terjadi secara tiba-tiba sehingga dapat menurunkan
kadar hemoglobin. Tergantung derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis
ringan sampai sedang maka sumsum tulang masih dapat melakukan
kompensasi 6 sampai 8 kali normalsehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini
disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytic
state). Akan tetapi, apabila derajat hemolisis berat maka mekanisme
kompensasi tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga terjadi anemia
hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat bervariasi dari ringan sampai
sedang. Penurunan hemoglobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi sering
sekali sangat cepat (lebih dari 2 g/dL dalam waktu satu minggu).
b) Peningkatan hasil pemecahan eritrosit arena hemolisis ekstravaskular.
Hemolisis ekstravaskular lebih sering dijumpai dibandingkan dengan
hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makroag dari sistem
retikuloendothelial (RES) terutama paa lien, hepar dan sumsum tulang karena
sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi karena kerusakan
membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibodi), presipitasi hemoglobin
dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan
diameter yang relatif kecil dan suasan arelatif hipoksik akan memberi
kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi.
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan di kembalikan ke
protein pool, serta besi yang akan dikembalikan ke makrofag (cadangan besi)
selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan
gas CO dan bilirubin Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi
bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk
kemudian dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen
dalam feses dan urobilinogen dalam urine. Sebagian hemoglobin akan lepas ke
plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga akan turun
tetapi tidak serendah pada hemolisis intravaskuler.

c) Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritopoesis. Destruksi


eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme biofeedback (melalui
eritropoetin) sehingga sumsum tulang meningkatkan eritropoesis. Sumsum
tulang normal dapat meningkatkan kemampuan eritropoesisnya 6-8 kali lipat.
Peningkatan ini ditandai oleh peningkatan jumlah eritroblast (normoblast)
dalam sumsum tulang sehingga terjadi hiperplasi normoblastik. Peningkatan
normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik normoblast basofilik,
normoblast polikromatofilik, ataupun normoblast asidofilik atau ortokromatik.
Normoblast sering dilepaskan ke drah tepi sehingga sering terjjadi
normoblastemia. Sel eritrosit muda yang masih mengandung sisa inti (RNA)
disebut sebagai retikulosit, akan dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi
retikulositosis dalam darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak merata (ada
sel yang lebih gelap) disebut poikromasia. Produksi sistem lain dalm sumsum
tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi leukositosis dan trombositosis
ringan.
11. Manifestasi klinis
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah konjungtiva
pucat, sklera berwarna kekuningkan, splenomegali, urin berwarna merah gelap.
Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis,
peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan Direct
antiglobulin Test menunjukan hasil positif.
Pada AHA tipe panas terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada wanita
muda. Gejala yang menonjol adalah anemia, demam, ikterus, dan splenomegali.
Gejala sering hilang timbul.

12. Klasifikasi

Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun

I. Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA)

a. AIHA tipe hangat

- Idiopatik

- Sekunder (karena CLL, limfoma, SLE)

b. AIHA tipe dingin

- Idiopatik

- Sekunder (Karen infeksi mikoplasma, mononukleosis virus,


keganasan limforetikuler)

c. Paroxysmal cold hemoglobin

- Idiopatik

- Sekunder (viral dan sifilis)

d. AIHA Atipik

- AIHA tes antiglobulin negatif


- AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin

II. AIHA diinduksi obat

III. AIHA diinduksi aloantibodi

13. Tatalaksana

Terapi gawat darurat

Pada AIHA yang disertai hemolisis berat kadang-kadang diperlukan tindakan


darurat karena anemia berat yang terjadi tiba-tiba dapat membahayakan fungsi
jantung sehingga terjadi gagal jantung. Dalam keadaan demikian, transfusi
terpaksa harus dilakukan dengan kehati-hatian. Sebaiknya diberi washed red cell
untuk mengurangi beban antibodi. Pada saat yang sama dapat diberikan steroid
parenteral dosis tinggi untuk menekan fungsi makrofag atau pemberian
hiperimunglobulin dengan fungsi yang sama.

Terapi suportif-simptomatik

Steroid memberikan respon terhadap kasus imunohemolitik tertentu


terutamayang disertai antibodi panas. Penderita yang tidak memberikan respon
terhadp steroid dapat diberikan obat imunosuprsif lain sepertiazathioprin.
1. Kortikosteroid: 1 – 1.5 mg/kgBB/hari dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukkan respon klinis baik (Hematokrit meningkat, retikulosit meningkat,
tes coombs direk positif lemah, tes comb indirek negative). Nilai normal dan
stabil akan didapat pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon
terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu mencapai dosis 10-20 mg/hari.
Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa
pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun
bila dosis perhari melebihi 15mg/hari untuk mempertahankan terapi dengan
modalitas lain.
Tujuan pemberian kortikosteroid adalah untuk menekan antibody anti-eritrosit
yang terbentuk oleh sel B secara cepat, dan dengan autoantibodi dalam tubuh
dapat menyebabkan terjadinya hemolysis.
2. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering
dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi
akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis
masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan
jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk
menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remrsi komplit pasca splenektomi
mencapai 50-l5Vc, namun tidak bersifat pernanen. Glukokortikoid dosis rendah
masih sering digunakan setelah splenektomi.
3. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon
yang cukup mengembirakan sebagai “salvage therapy”. Dosis Rituximab 100
mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan
tubuh. Beberapa literature menganjurkan rituximab 375/m2 hari.
4. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamrd 50- 150
mg/hari (60 mg/m2)
5. Terapi lain: Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama
steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis
danazol diturunkan menjadi 200-400 mg.hari. Kombinasi Danazol dan
prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan
respon pada 80% kasus.'Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus
relaps atau Evan's Syndrome.
Terapi immunoglobulin intravena (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari)
menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga
tidak efektif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 40% Jadi
terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil500 mg perhari sampai 1000 mg per hari dilaporkan
memberikan hasil yang bagus pada AIHArefrakter. Terapi plasmafaresis masih
kontroversial.

14. KIE
Edukasi

a. Memberitahu kepada pasien bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan.


b. Pengonsumsian asam folat yang adekuat.
c. Pemberian besi oral kepada pasien yang kekurangan zat besi karena hemolisis
intravaskular.
d. Mengurangi penggunaan kortikosteroid. Pasien diharap melanjutkan dengan
steroid dosis rendah.
e. Hindari transfusi kecuali terdapat angina, dekompensasi kardiopulmoner, atau
gangguan organ berat lainnya.

Pencegahan
Kasus idiopatik tidak diketahui cara pencegahannya, tetapi dapat diminimalisir
dengan perilaku/pola hidup yang sehat.
Kasus sekunder :
a. Bisa dihindari dengan vaksinasi berbagai macam bakteri terenkapsulasi
seperti Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumonia.
b. Pola hidup yang sehat.
c. Melakukan check-up kesehatan setiap enam bulan sekali.

15. Komplikasi

Komplikasi Anemia Hemolitik autoimun dapat meliputi:

a. Pembesaran hati

b. Gagal jantung

c. Kelelahan berlebihan yang mungkin menyulitkan seseorang untuk melakukan


aktivitas sehari-harinya

16. Prognosis
Hangat :
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian
besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali.
Kesintasan 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli paru, infark lien, dan
kejadian kardiovaskular lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Motalitas
selama 5 – 10 tahun sebesar 15 – 25%. Prognosis AIHA sekunder tergantung
penyakit yang mendasari.
Kasus :

1. Ad vitam : dubia ad bonam


2. Ad functionam : malam
3. Ad sanationam : dubia ad malam

17. SKDI
3A: bukan gawat darurat
 Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat.
 Mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien.Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

B. DESTRUKSI ERITROSIT

Destruksi eritrosit dibagi :

 Hemolisis Intravaskular

 Hemolisis Ekstravaskular

 Hemolisis intravaskular adalah proses penghancuran eritrosit langsung dalam


sirkulasi darah. Hemolisis abnormal

 Hemolisis ekstravaskular adalah proses penghancuran eritrosit diluar sirkulasi


darah. Merupakan proses homeolisis yang fisiologis.

Hemolisis Intravaskular

Prosesnya :

a. Eritrosit mengalami destruksi dalam sirkulasi darah. Lalu Hb terlepas ke dalam


plasma

b. Hb di plasma akan dibersihkan oleh haptoglobin – ikatan Hb-haptoglobin

c. Haptoglobin habis terpakai – Hb bebas berdesosiasi menjadi dimer-αß (molekul


kecil) – filtrat glomerulus
d. Di tubulus proksimal direabsorpsi oleh sel tubulus – mengalami degradasi : protein
dihancurkan, heme diubah menjadi bilirubin dan keluar bersama urin, Fe jadi
hemosiderin

e. Hemoglobin bebas di darah juga bisa mengalami oksidasi menjadi hemoglobin


teroksidasi (methemoglobin)

Hemolisis Ekstravaskular

Prosesnya :

a. Eritrosit dikeluarkan dari pembuluh darah oleh makrofag sistem retikuloendotelial


yang terdapat di sumsum tulang, hati, dan limpa

b. Sel menjadi tidak viable karena eritrosit tidak berinti sehingga metabolisme eritrosit
memburuk secara perlahan dan juga karena enzim didegradasi dan tidak diganti

c. Terjadi pemecahan heme dari eritrosit yang membebaskan Fe ke sirkulasi melalui


transferin plasma

d. Protoporfirin dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin bersirkulasi ke hati dan mengalami


konjugasi menjadi glukoronida yang dieskresikan ke dalam usus melalui empedu dan
diubah menjadi sterkobilinogen.

e. Sebagian diekskresikan ke dalam feses dan sebagainya lagi di ekskresikan sebagai


urine dalam bentuk urobilinogen dan urobilin

f. Rantai globin dipecah menjadi asam amino yang akan digunakan kembali untuk
sintesis protein umum dalam tubuh.
C. REAKSI KETIDAKCOCOKAN TRANSFUSI

Reaksi transfusi merupakan semua kejadian yang tidak menguntungkan penderita,


dapat timbul selama atau setelah transfusi. Jenis reaksi transfusi yang terjadi adalah
takikardia (0,09 %), demam (46,5%), mual (0,08 %), ruam (15,15%), hiperkalsemia
(0,08 %) dan pruritus (13,13%). Reaksi transfusi cepat: demam, alergi (urtikaria,
anafilaktik), hemolitik cepat, bakterimia/septik. Reaksi transfusi lambat ( > 48 jam):
reaksi hemolitik lambat, purpura post tranfusi, penularan penyakit, Graft Versus Host
Disease (GVHD), Circulatory overload.
1. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam
setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan,
sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan
timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh
hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah,
lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis
dapat ditemukan adanya warna kemerahan di
kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi ringan diatasi dengan
pemberian antipiretik, antihistamin atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi
dengan tetesan diperlambat.
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat,
demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein,
trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada,
nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri
kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi
(turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan
perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular
akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru
akut akibat transfusi.
1) Hemolisis intravaskular akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan
melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah
inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi
berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin
meningkatkan risiko.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya
terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah
dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label
pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi.
Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien
melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah
yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa
menit awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10
ml. Jika pasien tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang
tidak terkontrol mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas
transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit
darah.
2) Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini
dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu
cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada
pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.
3) Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam
plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi
pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak
mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan
ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa
demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan
agresif dengan antihistamin dan adrenalin.
4) Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury =
TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung
antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul
dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman
yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan pernapasan di
ruang rawat intensif.
2. Reaksi Hemolitik
1) Reaksi hemolitik kekebalan akut
Termasuk jenis yang paling serius dari reaksi transfusi, tetapi sangat
jarang terjadi. Reaksi hemolitik kekebalan akut terjadi ketika golongan darah
donor dan pasien tidak cocok. Antibodi pasien menyerang sel-sel darah merah
yang ditransfusikan, menyebabkan mereka mematahkan (hemolyze) dan
melepaskan zat-zat berbahaya ke dalam aliran darah.
Pasien mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung bawah, serta
mual. Ginjal dapat rusak parah, dan dialisis mungkin diperlukan. Reaksi
hemolitik dapat mematikan jika transfusi tidak dihentikan segera saat reaksi
dimulai.
2) Reaksi hemolitik tertunda
Reaksi ini terjadi ketika tubuh perlahan-lahan menyerang antigen
(antigen selain ABO) pada sel-sel darah yang ditransfusikan. Sel-sel darah
mengalami pemecahan setelah beberapa hari atau minggu transfusi dilakukan.
Biasanya tidak ada gejala, tetapi sel-sel darah merah yang ditransfusikan hancur
dan dan jumlah sel darah merah pasien mengalami penurunan. Dalam kasus
yang jarang ginjal mungkin akan terpengaruh, dan pengobatan mungkin
diperlukan.
Seseorang mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali
mereka pernah mendapat transfusi di masa lalu. Orang-orang yang mengalami
jenis reaksi hemolitik tertunda ini perlu menjalani tes darah khusus sebelum
menerima transfusi darah kembali. Unit darah yang tidak memiliki antigen yang
menyerang tubuh harus digunakan.
3. Reaksi Alergi
Alergi merupakan reaksi yang paling sering terjadi setelah transfusi darah. Hal
ini terjadi karena reaksi tubuh terhadap protein plasma dalam darah donor. Biasanya
gejala hanya gatal-gatal, yang dapat diobati dengan antihistamin seperti
diphenhydramine (Benadryl).
Gejala yang timbul:
 Ringan: urtikaria (gatal-gatal).
 Berat: Sesak nafas, Cyanosis, Hipotensi, Shock.
4. Reaksi Demam
Orang yang menerima darah mengalami demam mendadak selama atau dalam
waktu 24 jam sejak transfusi. Sakit kepala, mual, menggigil, atau perasaan umum
ketidaknyamanan mungkin bersamaan dengan demam. Acetaminophen (Tylenol)
dapat meredakan gejala-gejala ini.
Reaksi-reaksi tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah putih
dalam darah yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang yang
pernah mendapat transfusi sebelumnya dan pada wanita yang pernah beberapa kali
mengalami kehamilan. Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan demam, dan
pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa reaksi ini
hanya demam.
Pasien yang mengalami reaksi demam atau yang beresiko terhadap reaksi
tranfusi lainnya biasanya diberikan produk darah yang leukositnya telah dikurangi.
Artinya, sel-sel darah putih telah hilang setelah melalui filter atau cara lainnya.

Anda mungkin juga menyukai