Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

Definisi Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,


tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh (Ganiswara, 1995).

Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr


pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible.
Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia,
relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien
(Ganiswara, 1995).

Tujuan anestesi umum adalah menjamin hidup pasien, yang


memungkinkan operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan
menghilakan rasa nyeri (Ganiswara, 1995).

Komplikasi (penyulit) kadang-kadang datangnya tidak diduga


kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Komplikasi
dapat dicetuskan oleh tindakan anesthesia sendiri atau kondisi pasien.
Penyulit dapat timbl pada waktu pembedahan atau kemudian segera
ataupun belakangan setelah pembedahan (lebih dari 12jam) (Ganiswara,
1995).

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anastesi Umum


Keadaan neurofisiologik yang ditimbulkan oleh anestetika umum
ditandai oleh lima afek primer : ketidaksadaran, amnesia, analgesia, inhibisi
reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Praktek modern anestesiologi
mengandalkan pemakaian kombinasi obat intravena dan inhalasi (teknik
anesthesia seimbang/balance anesthesia technique) untuk memanfaatkan
sifat-sifat menguntungkan dari masing-masing obat untuk meminimalkan
efek samping mereka. Pemilihan teknik anestetik ditentukan oleh jenis
intervensi diagnostik, terapeutik, atau bedah yang akan dilakukan. Untuk
bedah superfisial minor atau untuk tindakan diagnostik invasive, dapat
digunakan sedatif oral atau parenteral dikombinasi dengan anestetik lokal,
apa yang dinamai teknik monitored anesthesia care. Teknik-teknik ini
menghasilkan analgesia yang kuat, sementara pasien tetep mampu
mempertahankan kepatenan saluran napas dan berespons terhadap
perintah lisan. Untuk tindakan bedah yang lebih ekstensif, anesthesia dapat
di mulai dengan benzodiazepine praoperasi, induksi dengan obat intravena
(misal thiopental atau propofol), dan pemeliharaan oleh kombinasi obat
inhalan (misal bahan yang mudah menguap, nitrosa oksida) atau intravena
(misal propofol, analgesic opioid), atau keduanya (Katzung, 2012).

MEKANISME KERJA ANESTETIK UMUM

Obat anestetik memengaruhi neuron di berbagai lokasi di dalam sel,


tetapi fokus primer adalah di sinaps. Suatu efek prasinaps mungkin
mengubah pelepasan neurotransmitter, sementara efek pasca sinaps dapat
berubah perubahan frekuensi atau amplitude impuls yang keluar dari
sinaps. Di tingkat organ, efek obat anestetik mungkin terjadi karena
penguatan inhibisi atau berkurangnya eksitasi di dalam SSP. Studi-studi
pada isolate jaringan korda spinalis memperlihatkan bahwa obat anestetik
lebih menimbulkan gangguan pada transmisi eksitatorik daripada

2
menguatkan efek inhibitorik. Saluran klorida (reseptor asam ɣ-aminobutirat-
A (GABAA) dan glisin ) dan saluran kalium (saluran K2P, mungkin KV, dan
KATP) masih merupakan saluran ion inhibitorik utama yang dianggap
sebagai kandidat efek anestetik. Saluran ion eksitatorik yang merupakan
sasaran mencakup saluran yang diaktifkan oleh asetilkolin (reseptor
nikotinik dan muskarinik), oleh asam amino eksitatorik (reseptor asam
amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol-pro-pionat (AMPA), kainat, dan N-
metil-D-aspartat (NMDA)), atau oleh serotonin (reseptor 5-HT2 dan 5-HT3)
(Katzung, 2012).

3
2.1.1 Obat Anestesi Inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan
untuk membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul, eter
kloroform, etil-klorida, etilen, divinil-eter, siklopropan, trikloro-etilen, iso-
propenil-vinil-eter, propenil-metil-eter, fluoroksan, etil-vinil-eter, halotan,
metoksi-fluran, enfluran, isoflurane, desfluran dan sevofluran. Dalam dunia
modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah
N2O, halotan, enfluran, isoflurane, desfluran, dan sevofluran. Obat- obat lain
ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki misalnya:

 Eter : kebakaran, peledakan, sekresi bronkus berlebihan,


mual-muntah, kerusakan hepar, baunya
merangsang.
 Kloroform : aritmia, kerusakan hepar.
 Etil-klorida : kebakaran, peledakan, depresi jantung,
indeks terapi sempit, dirusak kapur soda.
 Triklor-etilen : dirusak kapur soda, bradi-aritmia, mutagenic.
 Metoksifluran : toksik terhadap ginjal, kerusakan hepar,
dan kebakaran.

Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit masih


merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik
inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan
suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi (Latief, 2010).

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh


sifat fisiknya :

1. Ambilan oleh paru


2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya

Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi


akan menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi
dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan

4
kecepatan induksi dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung
cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada yang larut (Latief, 2010).

Kadar alveolus minimal (KAM) atau MAC (minimum alveolar


concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada
tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50%
pasien yang dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai
pada 95% pasien, jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam
keadaan seimbang, tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama
dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat (Latief, 2010).

Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan


oleh :

1. Konsentrasi inspirasi
Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah
penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentras uap
inspirasi sama dengan alveoli. Hal ini dalam praktek tak
pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin
tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang laring.
Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin
rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah.
5. Hubungan ventilasi-perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas
anestetik.

Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran


yang sebenarnya, karena sebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit

5
anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernapasan (Latief,
2010).

2.1.1.1 Jenis Obat Anestesi Inhalasi


A. N2O
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat
sampai 240˚C.
NH4NO3 → 2H2O + N2O
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis,
tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini
dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000 liter atau
1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm (Latief, 2010).
Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal
25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian,
tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain seperti
halotan dan sebagainya. Pada akhir anesthesia setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga
terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi; berikan O2100% selama 5-10
menit (Latief, 2010).

B. Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan.
Baunya yang enak dan tak merangsang jalan napas, maka sering
digunakan sebagai induksi anesthesia kombinasi dengan N 2O.
Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak
dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01% (Latief, 2010).
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi,
asalkan anestesianya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring

6
laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskopi
intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot
cukup baik (Latief, 2010).
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi reflex baroreseptor.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada indikasi
kontra (Latief, 2010).
Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan disaritmia,
sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan
dengan pengenceran 1:200.000 (5ug/ml) dan maksimal
penggunaannya 2ug/kg. Pada bedah sesar, halotan dibatasi
maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus akan menimbulkan
perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan
kadar gula darah (Latief, 2010).
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara
oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat.
Secara reduktif menjadi komponen fluoride dan produk non-volatil
yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan
hepar kerja keras, sehingga merupakan kontra indikasi pada
penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu
kurang tiga bulan atau pada pasien kegemukan (Latief, 2010).

C. Enfluran
Enfluran (etran,alira) merupakan halogenasi eter dan cepat
popular setelah ada kecurigaan gangguan fungsi hepar oleh halotan
pada penggunaan berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda
epileptic, apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari
penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsy, walaupun
ada yang beranggapan bukan kontra indikasi untuk dipakai pada

7
kasus dengan riwayat epilepsy. Kombinasi dengan adrenalin lebih
aman 3 kali dibanding halotan (Latief, 2010).
Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi
produk nonvolatile yang dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan
lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari anesthesia lebih
cepat disbanding halotan (Latief, 2010).
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan
enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding
halotan (Latief, 2010).

D. Isoflurane
Isoflurane (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang
pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolism
otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan
tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan
intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik anesthesia
hiperventilasi, sehingga isoflurane banyak digunakan untuk bedah
otak (Latief, 2010).
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan coroner. Isoflurane
dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan
relaksasi dan kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitoksin,
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika
menggunakan isoflurane (Latief, 2010).

E. Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus
bangun dan efek klinisnya mirip isoflurane. Desfluran sangat mudah

8
menguap dibandingkan anestetik volatile lain, sehingga perlu
menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati
suhu ruangan (23.5˚C). Potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isoflurane dan etran. Desfluran
merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi anesthesia (Latief, 2010).

F. Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan
pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isoflurane.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anesthesia inhalasi disamping
halotan (Latief, 2010).
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap system saraf pusat seperti
isoflurane dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.
Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi
belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia (Latief,
2010).

Tabel 2.1 Sifat fisik dan kimia anestetik inhalasi (Latief, 2010).
Anestetik
N2O Halotan Enfluran Isoflurane Desfluran Sevofluran
inhalasi
Berat
44 197 184 184 168 200
molekul
Tekanan uap
(mmHg -89 50-50.2 172-174.5 238-240 669-673 160-170
20˚C)
Bau Manis Organic Eter Eter Eter Eter

Turunan eter Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya

Pengawet - Perlu - - - -
Koefisien
partisi 0.47 2.4 1.9 1.4 0.42 0.65
darah/gas

9
Dengan
kapur soda Stabil Tidak Stabil Stabil Stabil Tidak
40˚C
MAC (KAM)
37˚C,usia
104-
30-35 0.75 1.63-1.70 1.15-1.20 6.0-6.6 1.80-2.0
105
th,tekanan
760 mmHg

Tabel 2.2 Farmakologi klinik anestetik inhalasi (Latief, 2010).

N2O Halotan Enfluran Isoflurane Desofluran Sevofluran

Kardiovaskuler

Tekanan darah TB ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓

Laju nadi TB ↓ ↑ TB TB

Tahanan vaskuler TB TB ↓ ↓↓ ↓↓ ↓

Curah jantung TB ↓ ↓↓ TB TB ↓

Respirasi

Volume tidal ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓

Laju napas ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑

PaCO2 istirahat TB ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑

Challenge ↑ ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑

Cerebral

Aliran darah ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑
Tekanan
↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
intracranial
Laju metabolisme ↑ ↓ ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓
Seizure ↓ ↓ ↑ ↓ ↓ ↓
Blokade
Pelumpuh otot non
↑ ↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑
depolarisasi
Ginjal
Aliran darah ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju filtrasi
↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
glomerulus
Output urin ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ?↑ ?

Hepar

Aliran darah ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓

Metabolisme 0.004% 15-20% 2-5% 0.2% <0.1% 2-3%

10
2.1.1.2 Farmakokinetik
Anestetika inhalan yang mudah menguap atau berbentuk gas,
diserap melalui pertukaran gas di alveolus. Penyerapan dari alveolus ke
dalam darah serta distribusi dan partisi ke dalam kompartemen-
kompartemen efek merupakan penentu penting kinetika obat-obat ini.
Seperti telah disebutkan, suatu anestetik yang ideal memiliki awitan kerja
(induksi) yang cepat, dan efeknya harus cepat dihentikan. Untuk mencapai
hal ini, konsentrasi di tempat efek di SSP (otak dan korda spinalis) perlu
berubah dengan cepat. Beberapa faktor memengaruhi seberapa cepat
konsentrasi di SSP berubah (Katzung, 2012).

PENYERAPAN DAN DISTRIBUSI

A. Konsentrasi Inspirasi dan Ventilasi


Kekuatan pendorong untuk menyerap suatu anestetik inhalan adalah
konsentrasi alveolus. Dua parameter yang dapat dikontrol oleh
dokter anestesiologi menentukan seberapa cepat konsentrasi
alveolus berubah : (1) konsentrasi inspirasi atau tekanan parsial, dan
(2) ventilasi alveolus. Tekanan parsial anestetik inhalan dalam
campuran gas yang dihirup secara langsung memengaruhi tekanan
parsial maksimal yang dapat dicapai di alveolus dan kecepatan
peningkatan tekanan parsial di alveolus dan, pada akhirnya, darah.
Meningkatnya tekanan parsial inspirasi meningkatkan laju
peningkatan di alveolus dan karenanya mempercepat induksi.
Meningkatnya tekanan parsial di alveolus biasanya di nyatakan
sebagai rasio konsentrasi alveolus ( FA ) terhadap konsentrasi
inspirasi ( FI ); semakin cepat FA/ FI mendekati 1 ( 1 mencerminkan
keseimbangan ), semakin cepat anesthesia akan terjadi selama
induksi inhalasi (Katzung, 2012).
Parameter lain yang secara langsung mengontrol kecepatan
tercapainya FA/ FI adalah vemtilasi alveolus. Peningkatan ventilasi
akan meningkatkan laju peningkatan. Besar efek bervariasi
berdasarkan koefisien partisi darah : gas. Meningkatnya ventilasi
paru hanya disertai oleh peningkatan ringan tegangan arteri suatu

11
anesthetic dengan kelarutan darah yang rendah, tetapi dapat secara
signifikan meningkatkan tegangan bahan yang kelarutan dalam
darahnya sedang atau tinggi. Sebagai contoh, peningkatan 4x lipat
laju ventilasi hampir meningkatkan 2x lipat rasio FA/ FI untuk haloten
selama 10 menit pertama pemberian tetapi meningktakan rasio F A/
FI untuk nitrosaoksida hanya 15%. Karena itu, hiperventilasi
meningktkan kecepatan induksi anesthesia dengan anesthetik
inhalan yang normalnya memiliki awitan lambat. Depresi pernafasan
oleh anlgesik opioid memperlambat awitan anesthesia anesthetik
inhalan kecuali jika ventilasi dibantu secara manual dan mekanis
(Katzung, 2012).

B. Faktor yang Mengontrol Penyerapan


Meningkatnya FA/ FI , yaitu penentu penting kecepatan induksi,
dilawan oleh penyerapan anesthetik ke dalam darah, yang
ditentukan oleh parameter-parameter farmakokinetik yang khas
untuk obat anesthetic serta faktor pasien.
1. Kelarutan- salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi
pemindahan suatu obat anesthetik dari paru ke darah arteri

12
adalah karakteristik kelarutannya. Koefisien partisi darah : gas
merupakan suatu indeks kelarutan yang berguna dan
mendefinisikan afinitas relatif suatu anesthetic terhadap darah
dibandingkan dengan gas inspirasi. Koefisien partisi untuk
desfluran dan nitrosaoksida, yang relative tidak larut dalam
darah, sangatlah rendah. Ketika suatu anesthetik dengan
kelarutan darah yang rendah berdifusi dari paru ke dalam darah
arteri maka diperlukan jumlah molekul yang relative lebih sedikit
untuk meningkatkan tekanan parsialnya; karena itu, tegangan
arteri cepat meningkat. Sebaliknya, untuk anesthetiknya dengan
kelarutan sedang-tinggi, lebih bnayak molekul yang larut sebelum
perubahan tekanan parsial berubah secara signifikan, dan
tegangan arteri gas lebih lambat meningkatnya. Koefisien partisi
darah; gas sebesar 0.47 untuk nitrosaoksida berarti bahwa dalam
keadaan keseimbangan, konsentrasi dalam darah adalah 0,47x
konsetrasi di ruang alveolus ( gas ). Koefisien partisi darah: gas
yang lebih besar menghasilkan penyerapan anesthetic yang lebih
besar dan karenanya mengurangi waktu yang diperlukan untuk
FA/ FI mendekati 1.

13
2. Curah Jantung- Perubahan pada aliran darah paru jelas berefek
pada penyerapan gas anethetik dari ruangan alveolus.
Meningkatnya aliran darah paru ( meningkatnya curah jantung )
akan meningkatkan penyerapan anesthetik sehingga laju
peningkatan FA/ FI berkurang dan kecepatan induksi anesthesia
juga berkurang. Meningkatnya curah jantung dan aliran darah
paru akan meningkatkan penyerapan anesthetik ke dalam darah,
tetapi anesthetik yang diserap akan didistribusikan keseluruh
jaringan, bukan hanya SSP. Aliran darah otak diatur dengan baik
dan karenanya meningkatnya curah jantung akan meningkatkan
penyaluran anethetik ke jaringan lain dan bukan ke otak.
3. Perbedaan Tekanan Parsial Alveolus – Vena- Perbedaan
tekanan parsial anesthetik antara alveolus dengan darah vena
campuran terutama bergantung pada penyerapan anesthetik
oleh jaringan, termasuk jaringan non saraf. Bergantung pada laju
dan tingkat penyerapan jaringan, darah vena yang kembali ke
paru mungkin mengandung anesthetik jauh lebih sedikit daripada
darah arteri. Semakin besar perbedaan dalam tegangan gas
anesthetik ini semakin banyak waktu yang diperlukan untuk
mencapai kesimbangan dengan jaringan otak. Penyerapan
anesthetik ke dalam jaringan yang dipengaruhi oleh factor-faktor
yang serupa dengan yang menetukan pemindahan anethetik dari
paru ke ruang intravascular, termasuk koefisien partisi jaringan:
darah, kecepatan aliran darah ke jaringan, dan gradient
konsentrasi (Katzung, 2012).

14
ELIMINASI

Waktu untuk pulih dari anesthesia inhalasi bergantung pada


kecepatan eliminasi anethetik dari otak. Salah satu factor penting yang
mengatur kecepatan pemulihan adalah koefisien partisi darah : gas obat
anesthetik. Faktor lain yang mengontrol kecepatan pemulihan mencakup
aliran darah paru, tingkat ventilasi, dan kelarutan anesthetik dalam jaringan.
Anesthetik inhalan yang relative ke tidak larut dalam darah ( yakni memiliki
koefisien partisi darah : gas rendah ) dan otak lebih cepat diieliminasi dari
pada anesthetika yang lebih larut. Pembilasan nitrosaoksida, defluran, dan
sevofluran terjadi pada kecepatan tinggi sehingga pemulihan dari efek
anesthesia berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan halotan dan
isoflurane. Dibandingkan dengan nitrosaoksida dan desfluran, halotan
memiliki kelarutan sekitar 2x lipat di jaringan otak dan 5x lipat di darah ;
karena itu, eliminasinya berlangsung lebih lambat, dan pemulihan dari
anesthesia berbasis halotan dan isoflurane jelas lebih perlahan.

A. Ventilasi
Dua parameter yang dapat dimanipulasi oleh dokter anestesiologi
untuk mengontrol kecepatan induksi dan pemulihan dari anestetik
inhalan adalah : (1) konsentrasi anestetik dalam gas inspirasi dan (2)

15
ventilasi alveolus. Karena konsentrasi anestetik dalam gas inspirasi
tidak dapat dikurangi di bawah nol maka ventilasi adalah satu-
satunya cara untuk mempercepat pemulihan.
B. Metabolisme
Anestetik inhalan modern dieliminasi terutama melalui ventilasi dan
hanya sedikit yang dimetabolisasi; karena itu, metabolism obat-obat
ini tidak berperan signifikan dalam penghentian efek mereka.
Namun, metabolism mungkin berdampak penting untuk toksisitas
mereka. Metabolism hati juga dapat berperan dalam eliminasi dan
pemulihan dari beberapa obat anestetik lama yang mudah-
menguap. Dari segi tingkat metabolism hati, urutan rangking untuk
anestetik inhalasi adalah halotan > enfluran > sevofluran > isoflurane
> desfluran > nitrosa oksida. Nitrosa oksida tidak dimetabolisme oleh
jaringan manusia. Namun, bakteri di saluran cerna mungkin mampu
menguraikan molekul nitrosa oksida (Katzung, 2012).

2.1.1.3 Efek Anestetik Inhalan pada Sistem Organ


A. Efek pada otak
Anestetika inhalan menurunkan aktivitas metabolic otak.
Berkurangnya laju metabolisme otak (cerebral metabolic rate, CMR)
umumnya menurunkan aliran darah di dalam otak. Namun, anestetik
yang mudah menguap juga menyebabkan vasodilatasi otak, yang
dapat meningkatkan aliran darah otak. Efek akhir pada aliran darah
otak (meningkat,menurun, atau tidak berubah) bergantung pada
konsentrasi anestetik yang diberikan (Katzung, 2012).
Nitrosa oksida dapat meningkatkan aliran darah otak serta
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranium. Efek ini
kemungkinan besar disebabkan oleh pengaktifan system saraf
simpatis. Karena itu, nitrosa oksida dapat dikombinasikan dengan
obat lain (anestetika intravena) atau teknik lain (hiperventilasi) yang
mengurangi aliran darah otak pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranium (Katzung, 2012).

16
Secara tradisional, efek anestetik pada otak menimbulkan 4
stadium atau tingkat kedalaman depresi SSP : Stadium I—
analgesia : pasien awalnya mengalami analgesia tanpa anesthesia.
Kemudian pada stadium I, terjadi baik analgesia maupun amnesia.
Stadium II—excitement : selama stadium ini, pasien tampak delir,
mungkin bersuara tetapi sama sekali amnesia. Pernapasan cepat,
dan kecepatan jantung dan tekanan darah meningkat. Durasi dan
keparahan stadium ringan anesthesia ini dipersingkat oleh
peningkatan cepat konsentrasi obat. Stadium III—anestesia bedah
: stadium ini dimulai dengan melambatnya pernapasan dan
kecepatan jantung serta meluas hingga ke penghentian total
pernapasan spontan (apneu). Berdasarkan perubahan pada
gerakan mata, reflex mata, dan ukkuran pupil terdapat empat bidang
stadium III yang dikenal yang menunjukkan kedalaman anesthesia.
Stadium IV—depresi medulla : stadium dalam anesthesia ini
mencerminkan depresi berat SSP, termasuk pusat vasomotor di
medulla dan pusat pernapasan di batang otak. Tanpa bantuan
sirkulasi dan pernapasan, pasien cepat meninggal (Katzung, 2012).

B. Efek kardiovaskular
Halotan, enfluran, isoflurane, desfluran, dan sevofluran
semuanya menekan kontraktilitas normal jantung (halotan dan
enfluran lebih kuat daripada isoflurane, desfluran, dan sevofluran).
Akibatnya, semua bahan mudah menguap cenderung menurunkan
tekanan arteri rerata setara dengan konsentrasi alveolus mereka.
Pada halotan dan enfluran, berkurangnya tekanan arteri terutama
disebabkan oleh depresi miokardium (berkurangnya curah jantung)
dan tidak banyak perubahan pada resistensi vascular sistemik.
Sebaliknya, isoflurane, desfluran, dan sevofluran lebih
menyebabkan vasodilatasi dengan efek minimal pada curah jantung.
Perbedaan ini mungkin berpengaruh pada pasien dengan gagal
jantung. Karena isoflurane, desfluran, dan sevofluran lebih baik

17
dalam mempertahankan curah jantung serta berkurangnya preload
(pengisian ventrikel) dan afterload ( resistensi vascular sistemik)
maka obat-obat ini mungkin lebih baik untuk pasien dengan
gangguan fungsi miokardium (Katzung, 2012).
Nitrosa oksida juga menekan fungsi miokardium melalui
mekanisme dependen-konsentrasi. Penekanan ini dapat dikurangi
oleh pengaktifan secara bersamaan system saraf simpatis yang
menyebabkan curah jantung terjaga. Karena itu, pemberian nitrosa
oksida dalam kombinasi dengan anestetika mudah menguap yang
lebih poten dapat meminimalkan depresi sirkulasi melalui
mekanisme pengaktifan simpatis dan penghematan anestetik
(Katzung, 2012).

C. Efek pada pernapasan


Semua anestetika mudah menguap memiliki efek
bronkodilatasi dengan derajat bervariasi, suatu efek yang berguna
pada pasien dengan mengi aktif dan dalam status asmatikus.
Namun, iritasi saluran nafas, yang dapat memicu batuk atau
menahan napas, dapat timbul akibat bau sebagian anestetik mudah
menguap. Bau menyengat isoflurane dan desfluran menyebabkan
keduanya kurang cocok untuk induksi anesthesia pada pasien
dengan bronkospasme aktif. Reaksi-reaksi ini jarang terjadi dengan
halotan dan sevofluran, yang dianggap tidak berbau keras. Karena
itu, efek bronkodilatasi halotan dan sevofluran menyebabkan
keduanya menjadi obat pilihan pada pasien dengan gangguan
saluran napas. Nitrosa oksida juga tidak berbau dan dapat
menghasilkan induksi anesthesia inhalasi pada pasien dengan
bronkospasme (Katzung, 2012).
Anestetik inhalan juga menekan fungsi mukosilia di saluran
napas. Selama pajanan berkepanjangan ke obat anestetik inhalan,
penimbunan dan penyumbatan oleh mucus dapat menyebabkan

18
atelektasia dan terjadinya penyulit pernapasan pascaoperasi,
termasuk hipoksemia dan infeksi pernapasan (Katzung, 2012).

D. Efek pada Ginjal


Anestetik inhalan cenderung menurunkan laju filtrasi glomerulus
(LFG) dan aliran urin. Aliran darah ginjal juga dapat berkurang oleh
beberapa obat tetapi fraksi filtrasi meningkat, mengisyaratkan bahwa
control autoregulasi tonus arteriol eferen membantu
mengkompensasi dan membatasi penurunan LFG. Secara umum
efek obat-obat anestetik ini ringan dibandingkan dengan stress
pembedahan itu sendiri dan biasnya reversible setelah penghentian
anestetik (Katzung, 2012).

E. Efek pada Hati


Anestetik mudah menguap menyebabkan penurunan dependen-
konsentrasi aliran darah vena porta yang sejajar dengan penurunan
curah jantung akibat obat-obat in. Namun, aliran darah hati total
mungkin relative tidak terganggu karena aliran darah arteri hepatica
ke hati mungkin meningkat atau tetap sama. Meskipun dapat terjadi
perubahan sesaat dalam uji-uji fungsi hati setelah pajanan ke
anestetik mudah-menguap, jarang terjadi peningkatan enzim hati
yang terus menerus kecuali setelah pajanan berulang ke halotan
(Katzung, 2012).

F. Efek pada otot polos uterus


Nitrosa oksida tampaknya tidak berefek pada otot uterus. Namun,
anestetik berhalogen merupakan pelemas poten otot polos uterus
dan menimbulkan efek ini melalui mekanisme dependen-
konsentrasi. Efek farmakologis ini dapat membantu ketika
dibutuhkan relaksasi uterus yang tinggi untuk manipulasi janin
intrauterus atau ekstraksi manual plasenta yang tertahan selama

19
persalinan. Namun, hal ini juga dapat menyebabkan peningkatan
perdarahan uterus (Katzung, 2012).

2.1.2 Obat Anestesi Intravena


Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi
anesthesia, induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat,
suplementasi hypnosis pada anesthesia atau analgesia local, dan sedasi
pada beberapa tindakan medik. Anestesi intravena ideal membutuhkan
criteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu cepat
menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh
obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit
mendepresi fungsi restirasi dan kardiovasculer, pengaruh farmakokinetik
tidak tergantung pada disfungsi organ (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi


beberapa obat atau cara anestesi lain. Kebanyakan obat anestetik
intravena dipergunakan untuk induksi. Kombinasi beberapa obat mungkin
akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh
obat yang lain (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

2.1.2.1 Jenis Obat Anestesi Intravena


A. Barbiturate
Barbiturate menghilangkan kesadaran dengan blockade system
sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Pada pemberian
barbiturate dosis kecil terjadi penghambatan system penghambat ekstra
lemnikus, tetapi bila dosis ditingkatkan system perangsang juga dihambat
sehingga respons korteksmenurun. Pada penyuntikan thiopental.
Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medulla oblongata. Tidal
volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh
barbiturattetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan
berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan

20
sensitisasi jantung terhadap katekolamin (Ganiswara, 1995 ; Katzung,
2002).

Barbiturate yang digunakan untuk anestesi adalah natrium thiopental


dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan mempertahankan anestesi
tergantung dari berat badan, keadaan fisik dan penyakit yang diderita.
Untuk induksi pada orang dewasa diberikan 2-4 ml larutan 2,5% secara
intermitten setiap 30-60 detik sampai tercapai efek yang diinginkan. Untuk
anak digunakan larutan pentotal 2% dengan interval 30 detik dengan dosis
1,5 ml untuk berat badan 15 kg,3 ml untuk berat badan 30 kg, 4 ml untuk
berat badan 40 kg dan 5 ml untuk berat badan 50 kg (Ganiswara, 1995 ;
Katzung, 2002).

Untuk mempertahankan anesthesia pada orang dewasa diberikan


pentotal 0,5-2 ml larutan 2,5%, sedangkan pada anak 2 ml larutan 2%.
Untuk anesthesia basal pada anak, biasa digunakan pentotal per rectal
sebagai suspensi 40% dengan dosis 30 mg/kgBB (Ganiswara, 1995 ;
Katzung, 2002).

Natrium tiamilal dosis untuk induksi pada orang dewasa adalah 2-4
ml larutan 2,5%, diberikan intravena secara intermiten setiap 30-60 detik
sampai efek yang diinginkan tercapai, dosis penunjang 0,5-2 ml larutan
2,5% a tau digunakan larutan 0,3% yang diberikan secara terus menerus
(drip) (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

Natrium metoheksital dosis induksi pada orang dewasa adalah 5-12


ml larutan 1% diberikan secara intravena dengan kecepatan 1 ml/5 detik,
dosis penunjang 2-4 ml larutan 1% atau bila akan diberikan secara terus
menerus dapat digunakan larutan larutan 0,2% (Ganiswara, 1995 ;
Katzung, 2002).

B. Ketamin
Ketamin merupakan larutan larutan yang tidak berwarna, stabil pada
suhu kamar dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesic, anestetik

21
dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk
system somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral (Katzung, 2002).
Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk (Dewoto, 2012).

Untuk induksi ketamin secara intravena dengan dosis 2 mm/kgBB


dalam waktu 60 detik, stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk
mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari
semula (Katzung, 2002).

Ketamin intramuscular untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB, stadium


operasi terjadi dalam 12-25 menit (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

C. Droperidol dan Fentanil


Droperidol dan fentanil tersedia dalam kombinasi tetap, dan tidak
diperguna-kan untuk menimbulkan analgesia neuroleptik. Induksi dengan
dosis 1 mm/9-15 kg BB diberikan perlahan-lahan secara intravena (1 ml
setiap 1-2 menit) diikuti pemberian N2O atau O2 bila sudah timbul kantuk.
Sebagai dosis penunjang digunakan N2O atau fentanil saja (0,05-0,1 mg
tiap 30-60 menit) bila anesthesia kurang dalam. Droperidol dan fentanil
dapat diberikan dengan aman pada penderita yang dengan anestesi umum
lainnya mengalami hiperpireksia maligna (Ganiswara, 1995 ; Katzung,
2002).

D. Diazepam
Diazepam menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesic. Juga
tidak menimbulkan potensiasi terhadap efek penghambat neuromuscular
dan efekanalgesik obat narkotik. Diazepam digunakan untuk menimbulkan
sedasi basal pada anesthesia regional, endoskopi dan prosedur dental,
juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovascular (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

22
Dibandingkan dengan ultra short acting barbiturate, efek anestesi
diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa
pemulihannya lama. Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik
dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan obat anestesi local
(Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

E. Etomidat
Etomidat merupakan anestetik non barbiturat yang digunakan untuk
induksi anestesi. Obat ini tidak berefek analgesic tetapi dapat digunakan
untuk anestesi dengan teknik infuse terus menerus bersama fentanil atau
secara intermiten. Dosis induksi eto-midat menurunkan curah jantung , isi
sekuncup dan tekanan arteri serta meningkat-kan frekuensi denyut jantung
akibat kompensasi (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

Etomidat menurunkn aliran darah otak (35-50%), kecepatan


metabolism otak, dan tekanan intracranial, sehingga anestetik ini mungkin
berguna pada bedah saraf.Etomidat menyebabkan rasa nyeri ditempat
nyeri di tempat suntik yang dapat diatasi dengan menyuntikkan cepat pada
vena besar, atau diberikan bersama medikasi preanestetik seperti
meperidine (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

F. Propofol
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak
digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas
dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1% (1ml=10 mg).
Efek pemberian anestesi umum intravena propofol (2 mg/kg)
menginduksi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang terjadi
ditempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan thrombosis (Ganiswara,
1995 ; Katzung, 2002).

Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek


ini lebih disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah
jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol

23
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolism otak,
dan tekanan intracranial akan menurun. Biasanya terdapat kejang
(Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).

2.1.3 Obat Anestesi Pelumpuh Otot


Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat merelaksasi otot rangka
dengan menghambat transmisi impuls saraf pada sambungan otot-saraf.
Obat pelumpuh otot tidak mempunyai efek sedasi, amnesia, atau analgesic
(Tietze KJ, 2015).
Menurut suatu survei dari 34 ICU sejak tahun 1980-an, 90% pasien
dengan ventilasi mekanik mendapat obat pelumpuh otot. Suatu survei dari
praktisi perawatan kritis di Kanada mencatat bahwa faktor paling penting
untuk memilih obat pelumpuh otot yang spesifi k adalah pengalaman dokter,
lama kerja, mekanisme kerja, dan faktor spesifi k pasien. Survei di US juga
melaporkan bahwa pengalaman dan persepsi klinis merupakan alasan
paling umum pemilihan suatu obat pelumpuh otot (Greenberg, 2013).

2.1.3.1 Mekanisme Kerja Obat Pelumpuh Otot


Sambungan saraf otot terdiri dari ujung saraf, celah sinap, dan motor
endplate. Acetylcholine yang dilepaskan ke dalam celah sinap saat impuls
saraf mencapai ujung saraf, akan menyeberangi celah sinap ke motor
endplate. Ikatan acetylcholine dengan reseptor nikotinik pada otot rangka
menyebabkan perubahan konformasi reseptor yang meningkatkan
permeabilitas membran miosit terhadap ion natrium, kalium, klorida, dan
kalsium, serta melepaskan kalsium dari retikulum sarkoplasma,
mengakibatkan transmisi potensial aksi dan depolarisasi yang
menyebabkan kontraksi otot. Depolarisasi akan berhenti jika acetylcholine
lepas dari reseptor. Acetylcholine kemudian akan berdifusi kembali ke ujung
saraf atau dipecah oleh acetylcholinesterase. Obat pelumpuh otot secara
struktur berkaitan dengan acetylcholine dan bekerja mempengaruhi ikatan
acetylcholine pada motor endplate (Tietze KJ, 2015).

24
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi obat depolarisasi dan non-
depolarisasi berdasarkan pada mekanisme kerjanya. Obat pelumpuh otot
depolarisasi mengikat reseptor kolinergik pada motor endplate,
menyebabkan depolarisasi pada membran endplate diikuti dengan
hambatan transmisi neuromuskuler. Otot refrakter terhadap depolarisasi
ulangan hingga obat berdifusi dari reseptor ke sirkulasi dan dihidrolisis oleh
pseudocholinesterase plasma (Tietze KJ, 2015).
Obat pelumpuh otot non-depolarisasi secara kompetitif menghambat
reseptor acetylcholine pada motor endplate. Ikatan obat dengan reseptor
acetylcholine mencegah perubahan konformasi pada reseptor atau secara
fi sik menyumbat kanal ion, sehingga tidak timbul endplate potential (Tietze
KJ, 2015).

2.1.3.2 Jenis Obat Pelumpuh Otot


A. Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Succinylcholine, merupakan obat pelumpuh otot depolarisasi yang
digunakan untuk intubasi dan terapi laringospasme. Meskipun
mempunyai onset sangat cepat (<) menit) dan lama kerja singkat (7-8
menit), penggunaannya terbatas karena kerjanya tidak dapat dilawan
oleh pemberian obat lain. Efek samping yang bermakna meliputi
hipertensi, takikardi, bradikardi, artemia vertikel, hyperkalemia, dan
yang lebih jarang, peningkatan tekanan intrakranial dan hipertermia
maligna.

B. Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi:


Obat pelumpuh otot non-depolarisasi mempunyai onset 1-5 menit (lebih
lambat dibanding succinylcholine). Obat lama seperti tubocurarine lebih
sering dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler dan hipotensi
karena pelepasan histamin dibanding obat pelumpuh otot non-
depolarisasi yang lebih baru.
1. Atracurium

25
Merupakan obat turunan benzylisoquinoline dengan lama kerja
sedang. Atracurium didegradasi dengan eliminasi Hoffman
(autolisis) dan dengan hidrolisis ester, sehingga tidak memerlukan
penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati.
Asidosis dan hipotermia berat dapat menurunkan metabolisme obat,
sehingga perlu penurunan dosis. Efek samping utama atracurium
adalah hipotensi karena pe le pasan histamin.

2. Cisatracurium
Merupakan isomer atracurium dengan potensi 3 kali lebih kuat.
Cisatracurium juga didegradasi dengan eliminasi Hoff man menjadi
laudanosine, dan asidosis serta hipotermia memperlambat
metabolismenya. Namun, karena potensinya lebih besar,
cisatracurium di berikan dengan dosis lebih kecil, sehingga produksi
laudano sine lebih sedikit, pelepasan histamin lebih rendah, dan
efek samping kardiovaskuler lebih kecil. Penggunaannya di ICU
terbatas karena onsetnya relatif lambat (3-6 menit).

3. Doxacurium
Merupakan benzylisoquinoline kerja panjang dan obat pelumpuh
otot yang poten. Eliminasinya oleh ginjal dan dikaitkan dengan efek
samping kardiovaskuler yang rendah. Namun, pengalaman klinis
dengan obat ini terbatas.

4. Metocurine
Merupakan analog tubocurarine dan turunan benzylisoquinoline
kerja panjang yang dieliminasi terutama oleh ginjal. Tidak umum
digunakan di ICU karena cenderung menyebabkan hipotensi akibat
pelepasan histamin serta hambatan ganglionik simpatetik, dan
karena eliminasinya hampir seluruhnya tergantung pada fungsi
ginjal yang adekuat.

26
5. Mivacurium
Merupakan benzylisoquinoline kerja singkat dengan onset
sebanding atracurium, tetapi dengan lama kerja sepertiganya,
karena hidrolisis yang cepat oleh pseudocholinesterase plasma.
Gangguan fungsi ginjal atau hati dapat menekan aktivitas
pseudocholinesterase, sehingga menyebabkan tertundanya
eliminasi. Mivacurium dikaitkan dengan efek samping
kardiovaskuler setelah pemberian dosis kecil, tetapi hipotensi yang
disebabkan pelepasan histamin, dapat terjadi setelah injeksi bolus
yang lebih besar. Informasi penggunaannya di ICU hanya sedikit
dan tampaknya tidak lebih menguntungkan dibanding atracurium.

6. Pancuronium
Merupakan turunan aminosteroid kerja panjang yang dimetabolisme
menjadi senyawa 3-hydroxypancuronium di hati dan kemudian
dieliminasi sebanding melalui urin dan empedu. Efek samping
kardiovaskuler meliputi takikardi, hipertensi, dan peningkatan curah
jantung akibat hambatan vagus.

7. Pipecuronium
Merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja yang lebih
panjang dibanding pancuronium dan terutama dieliminasi di ginjal.
Tidak menyebabkan pelepasan histamin dan dikaitkan dengan efek
samping kardiovaskuler yang minimal.

8. Vecuronium
Merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja sedang.
Dimetabolisme oleh hati menjadi 3 metabolit aktif, yang semuanya
dieliminasi oleh ginjal. Efek samping kardiovaskuler minimal pernah
dilaporkan pada penggunaan vecuronium.

9. Rocuronium

27
Merupakan turunan aminosteroid dan kurang poten dibanding
vecuronium, tetapi mempunyai onset cepat dan lama kerja singkat
hingga sedang. Metabolit rocuronium hanya mempunyai 5%
aktivitas hambatan neuromuskuler obat asal, sehingga tidak
bermakna secara klinis. Rocuronium menawarkan keuntungan
dibanding vecuronium pada dosis bolus untuk intubasi trakeal di
ICU, khususnya jika succinylcholine dikontraindikasikan. Di eliminasi
terutama oleh hati dan dikaitkan dengan sedikit efek samping
kardiovaskuler.

2.1.3.3 Penggunaan Obat Pelumpuh Otot di ICU


Tujuan Obat pelumpuh otot bermanfaat di ICU untuk berbagai kondisi
klinik meliputi intubasi emergensi, sindrom gawat napas akut, status
asmatikus, peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan tekanan
intraabdominal, dan hipotermia terapeutik setelah henti jantung terkait
fibrilasi ventrikel (Greenberg, 2013).
Menurut panduan ICU yang dipublikasikan Critical Care Medicine 2002,
obat pelumpuh otot harus digunakan untuk pasien dewasa di ICU untuk
manajemen ventilasi, manajemen peningkatan tekanan intrakranial, terapi
spasme otot, dan penurunan konsumsi oksigen hanya jika semua cara lain
telah dicoba tanpa keberhasilan (rekomendasi C) (Greenberg, 2013).

Penggunaan obat pelumpuh otot di ICU antara lain bertujuan untuk:


• Memperbaiki sinkroni pasien-ventilator untuk meningkatkan pertukaran
gas dan untuk mengurangi risiko barotrauma
• Memfasilitasi ventilasi mekanik dan membantu oksigenasi, misalnya
pada pasien dewasa dengan sindrom gagal napas, dengan memperbaiki
kemampuan penyesuaian dinding dada, menurunkan tekanan jalan
napas maksimal, dan men cegah gerakan pernapasan yang tidak
terkoordinasi
• Memfasilitasi intubasi trakeal
• Mengontrol peningkatan tekanan intrakranial, misalnya setelah cedera
kepala, bedah saraf

28
• Mencegah gerakan yang tidak diingin - kan pada pasien dengan
peningkatan tekanan
intrakranial
• Menurunkan tonus otot pada tetanus, sindrom neuroleptik maligna, status
epileptikus
• Memfasilitasi prosedur dan tes: transportasi pasien inter dan intra-rumah
sakit, bronkoskopi, trakeostomi, MRI, CT scan.

2.1.3.4 Pemberian
Obat pelumpuh otot yang ideal untuk digunakan di ICU adalah obat yang
menyebabkan relaksasi otot dengan onset cepat, dapat dititrasi, dan lama
kerja tidak panjang agar dapat dilakukan penilaian neurologi berulang, tidak
menyebabkan efek buruk pada hemodinamik atau tidak menyebabkan efek
samping kardiovaskuler dan fi siologi lainnya, eliminasi tidak tergantung
pada fungsi hati dan ginjal, tidak menghasilkan metabolit aktif (metabolit
dengan aktivitas penghambat neuromuskuler), tidak berinteraksi dengan
obat lain atau tidak ada kecenderungan berakumulasi, dan stabil selama 24
jam untuk infus kontinu (Tripathi SS, 2006).
Staf ICU harus dilatih dalam pemberian dan monitoring obat
pelumpuh otot. Kontrol jalan napas yang adekuat, dukungan pernapasan
mekanik, dan sedasi serta analgesia yang adekuat adalah esensial
sebelum mulai terapi obat pelumpuh otot. Harus tersedia perlengkapan
monitoring fungsi kardiorespirasi dan kemampuan menilai derajat relaksasi
otot. Pemilihan obat pelumpuh otot harus didasarkan pada karakteristik
individu setiap pasien
• Pasien dengan fungsi hati dan ginjal normal yang memerlukan relaksasi
otot lebih dari 1 jam: pancuronium.
• Pasien dengan gangguan hati dan/atau ginjal: atracurium dan
cisatracurium karena relatif tidak tergantung pada eliminasi hati dan ginjal.
• Penyakit kardiovaskuler: vecuronium, doxacurium, pipecuronium,
rocuronium. Obat pelumpuh otot diberikan dengan infus kontinu atau
injeksi intravena intermiten.

29
Obat pelumpuh otot kerja panjang cocok diberikan dengan injeksi
intermiten, sedangkan obat pelumpuh otot kerja singkat cocok diberikan
secara infus kontinu. Blokade neuromuskuler total (100%) tidak diperlukan
untuk semua pasien, tergantung situasi klinis. Lebih tepat memikirkan
kontrol pasien dibanding besarnya relaksasi otot pasien (Jani CK, 2012).

Dianjurkan monitoring klinis dan train-offour (TOF) (rekomendasi B).


Penilaian klinik berulang, baik kualitatif maupun kuantitatif dari kedalaman
hambatan neuromuskuler dapat menyebabkan penurunan dosis obat
pelumpuh otot dan penurunan risiko komplikasi hambatan neuromuskuler
residual. Dokter harus mengevaluasi alasan (minimal setiap hari) dan
kedalaman hambatan neuromuskuler (secara terusmenerus), sehingga
mobilitas dapat tercapai lebih cepat, yang dapat menurunkan prevalensi
delirium, meningkatkan ketidaktergantungan fungsional, dan meningkatkan
hari-hari bebas ventilator (Greenberg, 2013).
Dianjurkan menggunakan stimulasi tetanik atau train-of-four (TOF)
untuk stimulasi saraf perifer dalam monitoring derajat hambatan
neuromuskuler. Kedalaman hambatan dinilai dengan stimulasi saraf perifer
setiap 2-3 jam hingga dosis obat pelumpuh otot stabil, kemudian setiap 8-
12 jam. Jika tidak ada kedutan otot, dosis diturunkan 10%, jika tampak 3
atau 4 kedutan otot, dosis ditingkatkan 10%.5 Pada pasien yang mampu
menoleransi interupsi hambatan neuromuskuler, infus obat pelumpuh otot
sebaiknya diinterupsi setiap hari untuk menilai fungsi motorik dan tingkat
sedasi (Greenberg, 2013).
Kerja obat pelumpuh otot non-depolarisasi dapat dilawan dengan
pemberian obat anticholinesterase seperti neostigmine 0,035-0,07
mg/kgBB. Efek samping anti cholinesterase dapat dicegah dengan
pemberian atropine 15 mcg/kgBB (Jani CK, 2012).

2.1.3.5 Efek Samping


Efek samping anafilaksis karena obat pelumpuh otot sangat jarang
terjadi. Efek samping kardiovaskuler dikaitkan dengan stimulasi atau
hambatan sistem saraf otonom dan efek vasodilatasi akibat pelepasan

30
histamin. Obat dengan risiko komplikasi kardiovaskuler terendah adalah
cisatracurium, doxacurium, pipecuronium, rocuronium, dan vecuronium
(Jani CK, 2012).
Obat yang tergantung pada bersihan ginjal (doxacurium, metocurine,
pancuronium, pipecuronium) dapat berakumulasi pada pasien gagal ginjal
jika tidak dilakukan penyesuaian dosis terhadap respons stimulasi saraf
perifer dan dapat menyebabkan hambatan neuromuskuler berlanjut selama
1 minggu setelah pemberian obat dihentikan (Jani CK, 2012).
Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot setelah penghentian obat
disebabkan oleh akumulasi obat dan/atau metabolit aktif, atau miopati akut.
Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot dapat menyebabkan sindrom
miopati akut dengan hilangnya filamen miosin selektif. Obat pelumpuh otot
yang menghasilkan metabolit aktif adalah pancuronium, vecuronium, dan
atracurium. Kebanyakan kasus miopati terjadi setelah pemberian terapi
kombinasi corticosteroid dengan obat pelumpuh otot (Jani CK, 2012).

2.1.4 Stadium Anestesi


Stadium anestesi (anesthesia staging) dibuat berdasarkan ether.
Ether merupakan zat anestetik volatil yang poten dan digunakan luas pada
jamannya. Selama masa penggunaan ether yang cukup lama, dilakukan
observasi dan pencatatan lengkap mengenai anestesia yang terjadi.
Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937,
meliputi :

1. Stadium ( stage ) 1 : disebut juga “ stadium induksi “, Ini adalah


periode sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran,
yang antara lain ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.
2. Stadium ( stage ) 2 : disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran
hilang, timbul eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi iregular,
dapat terjadi pasien menahan nafas. Terjadi REM. Timbul gerakan
involuntari, seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini
dapaf membahayakah jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung
pun dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus
simpatis. Stadium 2 adalah stadium beresiko tinggi.

31
3. Stadium ( stage ) 3 : diesbut juga stadium pembedahan ( surgical
anethesia ), dibagi atas empat plana ( planes ), yaitu
 Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
 Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
 Plane 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
 Plane 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi
abdominal dan dangkal.

Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan


menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.

4. Stadium ( stage ) 4 : merupakan stadium overdosis obat anestetik.


Anestesia menjadi terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua siste,
dalam tubuh, termasuk batang otak. Stadium ini letal. Potensi
bahaya yg demikian besar mendorong usaha-usaha untuk
memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern telah berkembsng
menajadi prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien. Obat
induksi masa kinj bekerja cepat dan melampaui stadium 2. Sekarang
hanya tiga stadium dalam anestesia umum, yaitu induksi, rumatan
(maintenance) dan emergence. ( Munaf, 2004 )

32
DAFTAR PUSTAKA

Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan
tambahan, tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai
Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210-218
Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology).
Greenberg SB, Vender J. The use of neuromuscular blocking agents in the
ICU. Where Are We Now? Crit Care Med. 2013; 41(5): 1332-44.
Jani CK. Use of neuromuscular blocking agents in ICU. Medicine Update
2012; 22: 691-4.
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik (Basic Clinical
Pharmacology).
Katzung, Betram G., Susan B. Masters, Anthony J. Trevor. 2012.
Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Latief, Said A., Kartini A. Suryadi, M. Ruswan Dachlan. 2010. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Penerbit Buku Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Munaf, Sjamsuir., 2004. Pengantar Farmakologi. In : Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, pp. 3-12
Tietze KJ, Parsons PE, Finlay G. Use of neuromuscular blocking
medications in critically ill patients [Internet]. 2015 [cited 2015 Feb 2].
Available from: http://www.uptodate.com/contents/ .
Tripathi SS, Hunter JM. Neuromuscular blocking drugs in the critically ill.
Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2006; 6(3): 119-23.

33

Anda mungkin juga menyukai