PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
menguatkan efek inhibitorik. Saluran klorida (reseptor asam ɣ-aminobutirat-
A (GABAA) dan glisin ) dan saluran kalium (saluran K2P, mungkin KV, dan
KATP) masih merupakan saluran ion inhibitorik utama yang dianggap
sebagai kandidat efek anestetik. Saluran ion eksitatorik yang merupakan
sasaran mencakup saluran yang diaktifkan oleh asetilkolin (reseptor
nikotinik dan muskarinik), oleh asam amino eksitatorik (reseptor asam
amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol-pro-pionat (AMPA), kainat, dan N-
metil-D-aspartat (NMDA)), atau oleh serotonin (reseptor 5-HT2 dan 5-HT3)
(Katzung, 2012).
3
2.1.1 Obat Anestesi Inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan
untuk membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul, eter
kloroform, etil-klorida, etilen, divinil-eter, siklopropan, trikloro-etilen, iso-
propenil-vinil-eter, propenil-metil-eter, fluoroksan, etil-vinil-eter, halotan,
metoksi-fluran, enfluran, isoflurane, desfluran dan sevofluran. Dalam dunia
modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah
N2O, halotan, enfluran, isoflurane, desfluran, dan sevofluran. Obat- obat lain
ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki misalnya:
4
kecepatan induksi dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung
cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada yang larut (Latief, 2010).
1. Konsentrasi inspirasi
Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah
penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentras uap
inspirasi sama dengan alveoli. Hal ini dalam praktek tak
pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin
tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang laring.
Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin
rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah.
5. Hubungan ventilasi-perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas
anestetik.
5
anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernapasan (Latief,
2010).
B. Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan.
Baunya yang enak dan tak merangsang jalan napas, maka sering
digunakan sebagai induksi anesthesia kombinasi dengan N 2O.
Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak
dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01% (Latief, 2010).
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi,
asalkan anestesianya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
6
laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskopi
intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot
cukup baik (Latief, 2010).
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi reflex baroreseptor.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada indikasi
kontra (Latief, 2010).
Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan disaritmia,
sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan
dengan pengenceran 1:200.000 (5ug/ml) dan maksimal
penggunaannya 2ug/kg. Pada bedah sesar, halotan dibatasi
maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus akan menimbulkan
perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan
kadar gula darah (Latief, 2010).
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara
oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat.
Secara reduktif menjadi komponen fluoride dan produk non-volatil
yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan
hepar kerja keras, sehingga merupakan kontra indikasi pada
penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu
kurang tiga bulan atau pada pasien kegemukan (Latief, 2010).
C. Enfluran
Enfluran (etran,alira) merupakan halogenasi eter dan cepat
popular setelah ada kecurigaan gangguan fungsi hepar oleh halotan
pada penggunaan berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda
epileptic, apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari
penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsy, walaupun
ada yang beranggapan bukan kontra indikasi untuk dipakai pada
7
kasus dengan riwayat epilepsy. Kombinasi dengan adrenalin lebih
aman 3 kali dibanding halotan (Latief, 2010).
Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi
produk nonvolatile yang dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan
lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari anesthesia lebih
cepat disbanding halotan (Latief, 2010).
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan
enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding
halotan (Latief, 2010).
D. Isoflurane
Isoflurane (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang
pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolism
otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan
tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan
intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik anesthesia
hiperventilasi, sehingga isoflurane banyak digunakan untuk bedah
otak (Latief, 2010).
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan coroner. Isoflurane
dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan
relaksasi dan kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitoksin,
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika
menggunakan isoflurane (Latief, 2010).
E. Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus
bangun dan efek klinisnya mirip isoflurane. Desfluran sangat mudah
8
menguap dibandingkan anestetik volatile lain, sehingga perlu
menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati
suhu ruangan (23.5˚C). Potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isoflurane dan etran. Desfluran
merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi anesthesia (Latief, 2010).
F. Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan
pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isoflurane.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anesthesia inhalasi disamping
halotan (Latief, 2010).
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap system saraf pusat seperti
isoflurane dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.
Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi
belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia (Latief,
2010).
Tabel 2.1 Sifat fisik dan kimia anestetik inhalasi (Latief, 2010).
Anestetik
N2O Halotan Enfluran Isoflurane Desfluran Sevofluran
inhalasi
Berat
44 197 184 184 168 200
molekul
Tekanan uap
(mmHg -89 50-50.2 172-174.5 238-240 669-673 160-170
20˚C)
Bau Manis Organic Eter Eter Eter Eter
Pengawet - Perlu - - - -
Koefisien
partisi 0.47 2.4 1.9 1.4 0.42 0.65
darah/gas
9
Dengan
kapur soda Stabil Tidak Stabil Stabil Stabil Tidak
40˚C
MAC (KAM)
37˚C,usia
104-
30-35 0.75 1.63-1.70 1.15-1.20 6.0-6.6 1.80-2.0
105
th,tekanan
760 mmHg
Kardiovaskuler
Tekanan darah TB ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓
Laju nadi TB ↓ ↑ TB TB
Tahanan vaskuler TB TB ↓ ↓↓ ↓↓ ↓
Curah jantung TB ↓ ↓↓ TB TB ↓
Respirasi
Volume tidal ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju napas ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
PaCO2 istirahat TB ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑
Challenge ↑ ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑
Cerebral
Aliran darah ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑
Tekanan
↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
intracranial
Laju metabolisme ↑ ↓ ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓
Seizure ↓ ↓ ↑ ↓ ↓ ↓
Blokade
Pelumpuh otot non
↑ ↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑
depolarisasi
Ginjal
Aliran darah ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju filtrasi
↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
glomerulus
Output urin ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ?↑ ?
Hepar
Aliran darah ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓
10
2.1.1.2 Farmakokinetik
Anestetika inhalan yang mudah menguap atau berbentuk gas,
diserap melalui pertukaran gas di alveolus. Penyerapan dari alveolus ke
dalam darah serta distribusi dan partisi ke dalam kompartemen-
kompartemen efek merupakan penentu penting kinetika obat-obat ini.
Seperti telah disebutkan, suatu anestetik yang ideal memiliki awitan kerja
(induksi) yang cepat, dan efeknya harus cepat dihentikan. Untuk mencapai
hal ini, konsentrasi di tempat efek di SSP (otak dan korda spinalis) perlu
berubah dengan cepat. Beberapa faktor memengaruhi seberapa cepat
konsentrasi di SSP berubah (Katzung, 2012).
11
anesthetic dengan kelarutan darah yang rendah, tetapi dapat secara
signifikan meningkatkan tegangan bahan yang kelarutan dalam
darahnya sedang atau tinggi. Sebagai contoh, peningkatan 4x lipat
laju ventilasi hampir meningkatkan 2x lipat rasio FA/ FI untuk haloten
selama 10 menit pertama pemberian tetapi meningktakan rasio F A/
FI untuk nitrosaoksida hanya 15%. Karena itu, hiperventilasi
meningktkan kecepatan induksi anesthesia dengan anesthetik
inhalan yang normalnya memiliki awitan lambat. Depresi pernafasan
oleh anlgesik opioid memperlambat awitan anesthesia anesthetik
inhalan kecuali jika ventilasi dibantu secara manual dan mekanis
(Katzung, 2012).
12
adalah karakteristik kelarutannya. Koefisien partisi darah : gas
merupakan suatu indeks kelarutan yang berguna dan
mendefinisikan afinitas relatif suatu anesthetic terhadap darah
dibandingkan dengan gas inspirasi. Koefisien partisi untuk
desfluran dan nitrosaoksida, yang relative tidak larut dalam
darah, sangatlah rendah. Ketika suatu anesthetik dengan
kelarutan darah yang rendah berdifusi dari paru ke dalam darah
arteri maka diperlukan jumlah molekul yang relative lebih sedikit
untuk meningkatkan tekanan parsialnya; karena itu, tegangan
arteri cepat meningkat. Sebaliknya, untuk anesthetiknya dengan
kelarutan sedang-tinggi, lebih bnayak molekul yang larut sebelum
perubahan tekanan parsial berubah secara signifikan, dan
tegangan arteri gas lebih lambat meningkatnya. Koefisien partisi
darah; gas sebesar 0.47 untuk nitrosaoksida berarti bahwa dalam
keadaan keseimbangan, konsentrasi dalam darah adalah 0,47x
konsetrasi di ruang alveolus ( gas ). Koefisien partisi darah: gas
yang lebih besar menghasilkan penyerapan anesthetic yang lebih
besar dan karenanya mengurangi waktu yang diperlukan untuk
FA/ FI mendekati 1.
13
2. Curah Jantung- Perubahan pada aliran darah paru jelas berefek
pada penyerapan gas anethetik dari ruangan alveolus.
Meningkatnya aliran darah paru ( meningkatnya curah jantung )
akan meningkatkan penyerapan anesthetik sehingga laju
peningkatan FA/ FI berkurang dan kecepatan induksi anesthesia
juga berkurang. Meningkatnya curah jantung dan aliran darah
paru akan meningkatkan penyerapan anesthetik ke dalam darah,
tetapi anesthetik yang diserap akan didistribusikan keseluruh
jaringan, bukan hanya SSP. Aliran darah otak diatur dengan baik
dan karenanya meningkatnya curah jantung akan meningkatkan
penyaluran anethetik ke jaringan lain dan bukan ke otak.
3. Perbedaan Tekanan Parsial Alveolus – Vena- Perbedaan
tekanan parsial anesthetik antara alveolus dengan darah vena
campuran terutama bergantung pada penyerapan anesthetik
oleh jaringan, termasuk jaringan non saraf. Bergantung pada laju
dan tingkat penyerapan jaringan, darah vena yang kembali ke
paru mungkin mengandung anesthetik jauh lebih sedikit daripada
darah arteri. Semakin besar perbedaan dalam tegangan gas
anesthetik ini semakin banyak waktu yang diperlukan untuk
mencapai kesimbangan dengan jaringan otak. Penyerapan
anesthetik ke dalam jaringan yang dipengaruhi oleh factor-faktor
yang serupa dengan yang menetukan pemindahan anethetik dari
paru ke ruang intravascular, termasuk koefisien partisi jaringan:
darah, kecepatan aliran darah ke jaringan, dan gradient
konsentrasi (Katzung, 2012).
14
ELIMINASI
A. Ventilasi
Dua parameter yang dapat dimanipulasi oleh dokter anestesiologi
untuk mengontrol kecepatan induksi dan pemulihan dari anestetik
inhalan adalah : (1) konsentrasi anestetik dalam gas inspirasi dan (2)
15
ventilasi alveolus. Karena konsentrasi anestetik dalam gas inspirasi
tidak dapat dikurangi di bawah nol maka ventilasi adalah satu-
satunya cara untuk mempercepat pemulihan.
B. Metabolisme
Anestetik inhalan modern dieliminasi terutama melalui ventilasi dan
hanya sedikit yang dimetabolisasi; karena itu, metabolism obat-obat
ini tidak berperan signifikan dalam penghentian efek mereka.
Namun, metabolism mungkin berdampak penting untuk toksisitas
mereka. Metabolism hati juga dapat berperan dalam eliminasi dan
pemulihan dari beberapa obat anestetik lama yang mudah-
menguap. Dari segi tingkat metabolism hati, urutan rangking untuk
anestetik inhalasi adalah halotan > enfluran > sevofluran > isoflurane
> desfluran > nitrosa oksida. Nitrosa oksida tidak dimetabolisme oleh
jaringan manusia. Namun, bakteri di saluran cerna mungkin mampu
menguraikan molekul nitrosa oksida (Katzung, 2012).
16
Secara tradisional, efek anestetik pada otak menimbulkan 4
stadium atau tingkat kedalaman depresi SSP : Stadium I—
analgesia : pasien awalnya mengalami analgesia tanpa anesthesia.
Kemudian pada stadium I, terjadi baik analgesia maupun amnesia.
Stadium II—excitement : selama stadium ini, pasien tampak delir,
mungkin bersuara tetapi sama sekali amnesia. Pernapasan cepat,
dan kecepatan jantung dan tekanan darah meningkat. Durasi dan
keparahan stadium ringan anesthesia ini dipersingkat oleh
peningkatan cepat konsentrasi obat. Stadium III—anestesia bedah
: stadium ini dimulai dengan melambatnya pernapasan dan
kecepatan jantung serta meluas hingga ke penghentian total
pernapasan spontan (apneu). Berdasarkan perubahan pada
gerakan mata, reflex mata, dan ukkuran pupil terdapat empat bidang
stadium III yang dikenal yang menunjukkan kedalaman anesthesia.
Stadium IV—depresi medulla : stadium dalam anesthesia ini
mencerminkan depresi berat SSP, termasuk pusat vasomotor di
medulla dan pusat pernapasan di batang otak. Tanpa bantuan
sirkulasi dan pernapasan, pasien cepat meninggal (Katzung, 2012).
B. Efek kardiovaskular
Halotan, enfluran, isoflurane, desfluran, dan sevofluran
semuanya menekan kontraktilitas normal jantung (halotan dan
enfluran lebih kuat daripada isoflurane, desfluran, dan sevofluran).
Akibatnya, semua bahan mudah menguap cenderung menurunkan
tekanan arteri rerata setara dengan konsentrasi alveolus mereka.
Pada halotan dan enfluran, berkurangnya tekanan arteri terutama
disebabkan oleh depresi miokardium (berkurangnya curah jantung)
dan tidak banyak perubahan pada resistensi vascular sistemik.
Sebaliknya, isoflurane, desfluran, dan sevofluran lebih
menyebabkan vasodilatasi dengan efek minimal pada curah jantung.
Perbedaan ini mungkin berpengaruh pada pasien dengan gagal
jantung. Karena isoflurane, desfluran, dan sevofluran lebih baik
17
dalam mempertahankan curah jantung serta berkurangnya preload
(pengisian ventrikel) dan afterload ( resistensi vascular sistemik)
maka obat-obat ini mungkin lebih baik untuk pasien dengan
gangguan fungsi miokardium (Katzung, 2012).
Nitrosa oksida juga menekan fungsi miokardium melalui
mekanisme dependen-konsentrasi. Penekanan ini dapat dikurangi
oleh pengaktifan secara bersamaan system saraf simpatis yang
menyebabkan curah jantung terjaga. Karena itu, pemberian nitrosa
oksida dalam kombinasi dengan anestetika mudah menguap yang
lebih poten dapat meminimalkan depresi sirkulasi melalui
mekanisme pengaktifan simpatis dan penghematan anestetik
(Katzung, 2012).
18
atelektasia dan terjadinya penyulit pernapasan pascaoperasi,
termasuk hipoksemia dan infeksi pernapasan (Katzung, 2012).
19
persalinan. Namun, hal ini juga dapat menyebabkan peningkatan
perdarahan uterus (Katzung, 2012).
20
sensitisasi jantung terhadap katekolamin (Ganiswara, 1995 ; Katzung,
2002).
Natrium tiamilal dosis untuk induksi pada orang dewasa adalah 2-4
ml larutan 2,5%, diberikan intravena secara intermiten setiap 30-60 detik
sampai efek yang diinginkan tercapai, dosis penunjang 0,5-2 ml larutan
2,5% a tau digunakan larutan 0,3% yang diberikan secara terus menerus
(drip) (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).
B. Ketamin
Ketamin merupakan larutan larutan yang tidak berwarna, stabil pada
suhu kamar dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesic, anestetik
21
dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk
system somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral (Katzung, 2002).
Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk (Dewoto, 2012).
D. Diazepam
Diazepam menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesic. Juga
tidak menimbulkan potensiasi terhadap efek penghambat neuromuscular
dan efekanalgesik obat narkotik. Diazepam digunakan untuk menimbulkan
sedasi basal pada anesthesia regional, endoskopi dan prosedur dental,
juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovascular (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).
22
Dibandingkan dengan ultra short acting barbiturate, efek anestesi
diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa
pemulihannya lama. Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik
dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan obat anestesi local
(Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).
E. Etomidat
Etomidat merupakan anestetik non barbiturat yang digunakan untuk
induksi anestesi. Obat ini tidak berefek analgesic tetapi dapat digunakan
untuk anestesi dengan teknik infuse terus menerus bersama fentanil atau
secara intermiten. Dosis induksi eto-midat menurunkan curah jantung , isi
sekuncup dan tekanan arteri serta meningkat-kan frekuensi denyut jantung
akibat kompensasi (Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).
F. Propofol
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak
digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas
dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1% (1ml=10 mg).
Efek pemberian anestesi umum intravena propofol (2 mg/kg)
menginduksi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang terjadi
ditempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan thrombosis (Ganiswara,
1995 ; Katzung, 2002).
23
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolism otak,
dan tekanan intracranial akan menurun. Biasanya terdapat kejang
(Ganiswara, 1995 ; Katzung, 2002).
24
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi obat depolarisasi dan non-
depolarisasi berdasarkan pada mekanisme kerjanya. Obat pelumpuh otot
depolarisasi mengikat reseptor kolinergik pada motor endplate,
menyebabkan depolarisasi pada membran endplate diikuti dengan
hambatan transmisi neuromuskuler. Otot refrakter terhadap depolarisasi
ulangan hingga obat berdifusi dari reseptor ke sirkulasi dan dihidrolisis oleh
pseudocholinesterase plasma (Tietze KJ, 2015).
Obat pelumpuh otot non-depolarisasi secara kompetitif menghambat
reseptor acetylcholine pada motor endplate. Ikatan obat dengan reseptor
acetylcholine mencegah perubahan konformasi pada reseptor atau secara
fi sik menyumbat kanal ion, sehingga tidak timbul endplate potential (Tietze
KJ, 2015).
25
Merupakan obat turunan benzylisoquinoline dengan lama kerja
sedang. Atracurium didegradasi dengan eliminasi Hoffman
(autolisis) dan dengan hidrolisis ester, sehingga tidak memerlukan
penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati.
Asidosis dan hipotermia berat dapat menurunkan metabolisme obat,
sehingga perlu penurunan dosis. Efek samping utama atracurium
adalah hipotensi karena pe le pasan histamin.
2. Cisatracurium
Merupakan isomer atracurium dengan potensi 3 kali lebih kuat.
Cisatracurium juga didegradasi dengan eliminasi Hoff man menjadi
laudanosine, dan asidosis serta hipotermia memperlambat
metabolismenya. Namun, karena potensinya lebih besar,
cisatracurium di berikan dengan dosis lebih kecil, sehingga produksi
laudano sine lebih sedikit, pelepasan histamin lebih rendah, dan
efek samping kardiovaskuler lebih kecil. Penggunaannya di ICU
terbatas karena onsetnya relatif lambat (3-6 menit).
3. Doxacurium
Merupakan benzylisoquinoline kerja panjang dan obat pelumpuh
otot yang poten. Eliminasinya oleh ginjal dan dikaitkan dengan efek
samping kardiovaskuler yang rendah. Namun, pengalaman klinis
dengan obat ini terbatas.
4. Metocurine
Merupakan analog tubocurarine dan turunan benzylisoquinoline
kerja panjang yang dieliminasi terutama oleh ginjal. Tidak umum
digunakan di ICU karena cenderung menyebabkan hipotensi akibat
pelepasan histamin serta hambatan ganglionik simpatetik, dan
karena eliminasinya hampir seluruhnya tergantung pada fungsi
ginjal yang adekuat.
26
5. Mivacurium
Merupakan benzylisoquinoline kerja singkat dengan onset
sebanding atracurium, tetapi dengan lama kerja sepertiganya,
karena hidrolisis yang cepat oleh pseudocholinesterase plasma.
Gangguan fungsi ginjal atau hati dapat menekan aktivitas
pseudocholinesterase, sehingga menyebabkan tertundanya
eliminasi. Mivacurium dikaitkan dengan efek samping
kardiovaskuler setelah pemberian dosis kecil, tetapi hipotensi yang
disebabkan pelepasan histamin, dapat terjadi setelah injeksi bolus
yang lebih besar. Informasi penggunaannya di ICU hanya sedikit
dan tampaknya tidak lebih menguntungkan dibanding atracurium.
6. Pancuronium
Merupakan turunan aminosteroid kerja panjang yang dimetabolisme
menjadi senyawa 3-hydroxypancuronium di hati dan kemudian
dieliminasi sebanding melalui urin dan empedu. Efek samping
kardiovaskuler meliputi takikardi, hipertensi, dan peningkatan curah
jantung akibat hambatan vagus.
7. Pipecuronium
Merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja yang lebih
panjang dibanding pancuronium dan terutama dieliminasi di ginjal.
Tidak menyebabkan pelepasan histamin dan dikaitkan dengan efek
samping kardiovaskuler yang minimal.
8. Vecuronium
Merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja sedang.
Dimetabolisme oleh hati menjadi 3 metabolit aktif, yang semuanya
dieliminasi oleh ginjal. Efek samping kardiovaskuler minimal pernah
dilaporkan pada penggunaan vecuronium.
9. Rocuronium
27
Merupakan turunan aminosteroid dan kurang poten dibanding
vecuronium, tetapi mempunyai onset cepat dan lama kerja singkat
hingga sedang. Metabolit rocuronium hanya mempunyai 5%
aktivitas hambatan neuromuskuler obat asal, sehingga tidak
bermakna secara klinis. Rocuronium menawarkan keuntungan
dibanding vecuronium pada dosis bolus untuk intubasi trakeal di
ICU, khususnya jika succinylcholine dikontraindikasikan. Di eliminasi
terutama oleh hati dan dikaitkan dengan sedikit efek samping
kardiovaskuler.
28
• Mencegah gerakan yang tidak diingin - kan pada pasien dengan
peningkatan tekanan
intrakranial
• Menurunkan tonus otot pada tetanus, sindrom neuroleptik maligna, status
epileptikus
• Memfasilitasi prosedur dan tes: transportasi pasien inter dan intra-rumah
sakit, bronkoskopi, trakeostomi, MRI, CT scan.
2.1.3.4 Pemberian
Obat pelumpuh otot yang ideal untuk digunakan di ICU adalah obat yang
menyebabkan relaksasi otot dengan onset cepat, dapat dititrasi, dan lama
kerja tidak panjang agar dapat dilakukan penilaian neurologi berulang, tidak
menyebabkan efek buruk pada hemodinamik atau tidak menyebabkan efek
samping kardiovaskuler dan fi siologi lainnya, eliminasi tidak tergantung
pada fungsi hati dan ginjal, tidak menghasilkan metabolit aktif (metabolit
dengan aktivitas penghambat neuromuskuler), tidak berinteraksi dengan
obat lain atau tidak ada kecenderungan berakumulasi, dan stabil selama 24
jam untuk infus kontinu (Tripathi SS, 2006).
Staf ICU harus dilatih dalam pemberian dan monitoring obat
pelumpuh otot. Kontrol jalan napas yang adekuat, dukungan pernapasan
mekanik, dan sedasi serta analgesia yang adekuat adalah esensial
sebelum mulai terapi obat pelumpuh otot. Harus tersedia perlengkapan
monitoring fungsi kardiorespirasi dan kemampuan menilai derajat relaksasi
otot. Pemilihan obat pelumpuh otot harus didasarkan pada karakteristik
individu setiap pasien
• Pasien dengan fungsi hati dan ginjal normal yang memerlukan relaksasi
otot lebih dari 1 jam: pancuronium.
• Pasien dengan gangguan hati dan/atau ginjal: atracurium dan
cisatracurium karena relatif tidak tergantung pada eliminasi hati dan ginjal.
• Penyakit kardiovaskuler: vecuronium, doxacurium, pipecuronium,
rocuronium. Obat pelumpuh otot diberikan dengan infus kontinu atau
injeksi intravena intermiten.
29
Obat pelumpuh otot kerja panjang cocok diberikan dengan injeksi
intermiten, sedangkan obat pelumpuh otot kerja singkat cocok diberikan
secara infus kontinu. Blokade neuromuskuler total (100%) tidak diperlukan
untuk semua pasien, tergantung situasi klinis. Lebih tepat memikirkan
kontrol pasien dibanding besarnya relaksasi otot pasien (Jani CK, 2012).
30
histamin. Obat dengan risiko komplikasi kardiovaskuler terendah adalah
cisatracurium, doxacurium, pipecuronium, rocuronium, dan vecuronium
(Jani CK, 2012).
Obat yang tergantung pada bersihan ginjal (doxacurium, metocurine,
pancuronium, pipecuronium) dapat berakumulasi pada pasien gagal ginjal
jika tidak dilakukan penyesuaian dosis terhadap respons stimulasi saraf
perifer dan dapat menyebabkan hambatan neuromuskuler berlanjut selama
1 minggu setelah pemberian obat dihentikan (Jani CK, 2012).
Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot setelah penghentian obat
disebabkan oleh akumulasi obat dan/atau metabolit aktif, atau miopati akut.
Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot dapat menyebabkan sindrom
miopati akut dengan hilangnya filamen miosin selektif. Obat pelumpuh otot
yang menghasilkan metabolit aktif adalah pancuronium, vecuronium, dan
atracurium. Kebanyakan kasus miopati terjadi setelah pemberian terapi
kombinasi corticosteroid dengan obat pelumpuh otot (Jani CK, 2012).
31
3. Stadium ( stage ) 3 : diesbut juga stadium pembedahan ( surgical
anethesia ), dibagi atas empat plana ( planes ), yaitu
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plane 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plane 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi
abdominal dan dangkal.
32
DAFTAR PUSTAKA
Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan
tambahan, tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai
Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210-218
Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology).
Greenberg SB, Vender J. The use of neuromuscular blocking agents in the
ICU. Where Are We Now? Crit Care Med. 2013; 41(5): 1332-44.
Jani CK. Use of neuromuscular blocking agents in ICU. Medicine Update
2012; 22: 691-4.
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik (Basic Clinical
Pharmacology).
Katzung, Betram G., Susan B. Masters, Anthony J. Trevor. 2012.
Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Latief, Said A., Kartini A. Suryadi, M. Ruswan Dachlan. 2010. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Penerbit Buku Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Munaf, Sjamsuir., 2004. Pengantar Farmakologi. In : Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, pp. 3-12
Tietze KJ, Parsons PE, Finlay G. Use of neuromuscular blocking
medications in critically ill patients [Internet]. 2015 [cited 2015 Feb 2].
Available from: http://www.uptodate.com/contents/ .
Tripathi SS, Hunter JM. Neuromuscular blocking drugs in the critically ill.
Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2006; 6(3): 119-23.
33