Anda di halaman 1dari 87

RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN

KAJIAN PROYEKSI IKLIM DI KALIMANTAN BARAT

SYAMSU DWI JADMIKO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Risiko Kebakaran Hutan
dan Lahan berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim di Kalimantan Barat” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Syamsu Dwi Jadmiko


NRP G251120011
RINGKASAN
SYAMSU DWI JADMIKO. Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan
Kajian Proyeksi Iklim di Kalimantan Barat. Dibimbing oleh DANIEL
MURDIYARSO dan AKHMAD FAQIH

Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bencana yang berulang
hampir setiap tahun di Sumatra dan Kalimantan. Salah satu kejadian terbesar adalah
pada tahun 1997/98 dimana kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di seluruh
Sumatra dan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat. Dampak yang dihadapi
akibat kebakaran hutan dan lahan terutama adalah masalah asap yang tidak hanya
mengganggu kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas perekonomian
masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan juga menyebabkan degradasi lahan dan
fungsinya. Tingginya dampak kebakaran hutan dan lahan tentunya memerlukan
tindakan untuk meminimalkan kejadian kebakaran.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji risiko kebakaran hutan dan lahan di
Propinsi Kalimantan Barat menggunakan analisis iklim ekstrim dan analisis
kerentanan. Dalam analisis iklim ektrim, informasi data iklim hitoris dan proyeksi
diperoleh melalui dynamical downscaling menggunakan model iklim regional
RegCM4.4. Data curah hujan luaran model RegCM.4.4 untuk Kalimantan Barat
secara umum menunjukkan nilai lebih tinggi (overestimate). Oleh karena itu
diperlukan proses koreksi bias data luaran model RegCM.4.4 sebelum digunakan
dalam analisis iklim ekstrim. Proses koreksi dilakukan melalui dua tahap yaitu (1)
koreksi bias data curah hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasi
dan (2) koreksi bias data luaran model RegCM4.4 menggunakan data curah hujan
CHIRPS yang sudah dikoreksi. Analisis kerentanan dilakukan dengan metode
analisis pemetaan komposit (composite mapping analysis) yang menghubungkan
hotspot dengan 11 (sebelas) indikator penentu kerentanan. Indikator mewakili
komponen tingkat keparahan dan sensitivitas, sedangkan komponen kemampuan
adaptif dianggap konstan.
Hasil analisis koreksi bias tahap pertama menunjukkan bahwa data curah
hujan CHIRPS memiliki kemiripan dengan data curah hujan observasi. Nilai faktor
koreksi untuk data curah hujan CHIRPS berkisar antara 0.82 – 1.26. Pada analisis
koreksi tahap kedua, dari simulasi koreksi bias pertama kami mendapati bahwa
koreksi bias menggunakan regresi linier yang digunakan untuk seluruh bulan tidak
memperbaiki distribusi spasial dan pola hujan. Begitu pula pada simulasi kedua
yang menggunakan regresi linier tetapi untuk setiap bulan tidak mampu
memperbaiki pola hujan spasial. Namun demikian, dengan menggunakan regresi
polynomial seperti pada simulasi ketiga dan keempat, koreksi bias menunjukkan
hasil yang lebih baik terutama dengan regresi polinomial orde 3. Lebih dari itu,
regresi polinomial orde 3 yang dikombinasikan dengan nilai intersep yang
dikembalikan pada titik (0,0) seperti pada simulasi kelima memberikan hasil yang
terbaik sehingga digunakan untuk melakukan analisis iklim dan kekeringan lahan.
Kekeringan lahan di Kalimantan Barat pada periode historis (periode tahun
1981-2005) secara umum memiliki hubungan dengan kondisi anomali hujan. Akan
tetapi kekeringan dengan intensitas kuat terjadi pada tahun El-Nino. Pada periode
proyeksi (periode tahun 2016-2040), kondisi kekeringan diproyeksikan akan terjadi
sebanyak (7) tujuh kali yaitu periode tahun 2017/2018, periode tahun 2021/2022,
periode tahun 2023/2024, periode tahun 2026/2027, periode tahun 2029/2030,
periode tahun 2033/2034 dan periode tahun 2037/2038. Periode kekeringan
diproyeksikan akan berulang setiap 2 hingga 5 tahun sekali. Periode ulang tersebut
berkaitan dengan kejadian El-Nino yang juga memiliki periode ulang 2 hingga 5
tahun.
Dari hasil analisis hujan ekstrim kering dapat diketahui bahwa tingkat curah
hujan ekstrim kering berada pada wilayah selatan dan sepanjang wilayah pantai
barat Kalimantan Barat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh curah hujan tahunan di
Kalimantan Barat yang berkisar antara 1753 – 4861 mm. Curah hujan rendah terjadi
pada di wilayah bagian selatan dan wilayah pantai barat Propinsi Kalimantan Barat,
sedangkan curah hujan tinggi umumnya berada pada wilayah bagian timur yang
memiliki tutupan lahan hutan primer. Kondisi topografi dan tutupan lahan
mempengaruhi curah hujan. Wilayah dataran rendah yang berbatasan dengan pantai
memiliki curah hujan lebih rendah dibandingkan daratan diluar pantai. Di lain sisi,
adanya vegetasi di wilayah hutan primer mengakibatkan siklus hidrologi terjadi
pada wilayah hutan primer lebih intensif.
Pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa indikator penggunaan lahan memberikan pengaruh sebesar
24.09% dalam menentukan tingkat kerentanan. Dilihat secara keseluruhan, faktor
biofisik (ketebalan gambut, tutupan lahan dan sistem lahan) memberikan pengaruh
sebesar 49.85% dibandingkan faktor aktivitas manusia (jarak dari jalan, jarak dari
sungai dan jarak dari pusat desa/kota) sebesar 16.0% dan faktor sosial ekonomi
(Kepadatan penduduk, PDRB, luas HTI, luas HGU dan luas HPH) sebesar 34.15%.
Hasil analisis model kerentanan menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat
kerentanan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi terjadi pada tutupan lahan
berupa perkebunan dan hutan rawa sekunder. Kerentanan sangat tinggi juga terjadi
pada lahan gambut dengan ketebalan 50 – 200 cm.
Hasil analisis risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa pola sebaran tingkat risiko sama dengan pola sebaran tingkat
kerentanan. Wilayah yang sangat berisiko terjadi kebakaran hutan dan lahan
utamanya berada pada wilayah perkebunan dan lahan gambut yang telah dikeloka.
Pada wilayah hutan primer di bagian timur Kalimantan Barat tidak berisiko
terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi, apabila akses menuju
suatu lokasi dapat mudah dijangkau oleh masyarakat, tidak menutup kemungkinan
wilayah yang berisiko kebakaran hutan dan lahan semakin luas.
Melihat kondisi diatas menunjukkan bahwa lokasi kebakaran hutan dan lahan
berada pada lokasi yang hampir sama dalam 15 tahun terakhir. Kondisi ini
setidaknya dapat diketahui dari sebaran hotspot pada tahun 2002, 2006 dan 2009 di
Kalimantan Barat. Lokasi yang dimaksud adalah lahan perkebunan, rawa sekunder
dan lahan gambut di wilayah selatan dan sepanjang pantai barat Kalimantan Barat.
Pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan dan pertanian disinyalir
mempengaruhi kondisi kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, di masa
mendatang perlu adanya pengelolaan lahan yang lebih baik oleh berbagai pihak
sehingga kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalkan.

Kata kunci: dynamical downscaling, koreksi bias, curah hujan ekstrim kering,
pemodelan kerentanan, tingkat risiko kebakaran
SUMMARY
SYAMSU DWI JADMIKO. Forest and Land Fire Risk based on Climate Projection
Analysis in West Kalimantan. Supervised by DANIEL MURDIYARSO and
AKHMAD FAQIH

Forest and land fires have become the annual phenomena regarding disaster
in Indonesia, especially in Sumatra and Kalimantan. The biggest forest and land
fires in 1997/98 occurred nearly in the entire islands of Sumatra and Kalimantan,
including West Kalimantan Province. The main impact posed by forest and land
fires is the haze which not only impacting on human health, but also interfere with
the social-economic activities. Forest and land fire also led to land degradation and
the forest function. Understanding the level of risk of land and forest fires would
minimize the incidence of land and forest fires.
The objective of this research is to analysis of the risk of forest and land fires
in West Kalimantan Province by using extreme climate and vulnerability analysis.
The extreme climate analysis, historical climate data information and projections
are obtained through dynamical downscaling using regional climate model
RegCM4.4. Rainfall data output of RegCM.4.4 models for West Kalimantan are
generally overestimated. Bias correction process was performed before the output
of RegCM.4.4 models used in the analysis of extreme climates. Bias correction
process was done by two step: (1) bias correction for CHIRPS data by using
observation data and (2) bias correction for RegCM4.4 outputs by using corrected
CHIRPS data. Vulnerability analysis was conducted by using a composite mapping
analysis connecting the hotspot with eleven indicators of vulnerability. Indicators
represent the severity and sensitivity components, while the adaptive capability is
considered as constant.
The results of the first bias correction indicated that the CHIRPS rainfall data
has similarities with the observation data. The value of the correction factor for the
CHIRPS data ranged between 0.82 and 1.26. In the second bias correction analysis,
the first simulation of bias correction we found that the refractive correction using
linear regression were used for the all month (January to December) did not
improve the spatial distribution and rainfall patterns. Similarly, in the second
simulation which uses linear regression but for every month was not able to improve
spatial rainfall patterns. However, by using polynomial regression as the third and
forth simulation showed better results were performed especially third order
polynomial. Moreover, when the third order of polynomial regression was
combined with the value of intercept at the orogin (0.0) as fifth simulation, it gave
the best bias correction and therefore, can be further used for climate and drought
analysis.
Drought in West Kalimantan on the historical period generally had a
relationship with rainfall anomalies. However drought with strong intensity
occurred in the El-Nino years. In the projection period, the drought conditions are
projected to occur seven times for the period of 2016-2040, namely the period of
2017/2018, 2021/2022, 2023/2024, 2026/2027, 2029/2030, 2033/2034 and
2037/2038. Periods of drought were projected to be repeated in every 2 to 5 years.
This return period related to El-Nino events which had 2 to 5 years of return period.
The results of extreme dry rainfall can be seen that the very high level of the
extreme dry rainfall located in the south and along the west coast of West
Kalimantan. The condition was influenced by environmental factors such as
topography and land use. The condition is associated with annual rainfall in West
Kalimantan which ranges between 1753-4861 mm. Low rainfall occurred in the
southern region and the western coast of West Kalimantan province, while high
rainfall generally located in the eastern part of West Kalimantan which has
relatively good forest cover. A topography and land cover affect rainfall. Lowland
area bordering the beach resulted in air masses that bring moist air will flow into
the land area behind the beach. On the other hand, the vegetation in the area of
primary forest resulted in the hydrological cycle occurs in this areas.
Modelling of the vulnerability of land and forest fires in West Kalimantan
showed that the land use impact 24% in the vulnerability level. Based on all
indicators, biophysical factors (as deep of the peat, land cover and land systems)
provides 49.85% compared to the effect of human activity factor (the distance from
the road, distance from the river and the distance from the center of the village /
town) of 16% and a socio-economic factor (population density, the GDP, HTI,
HGU and HPH) amounted to 34 %. The results of the vulnerability model analysis
show that plantations areas and secondary swamp forests are highlu vulnerable,
particularly on peat depth betwen 50 to 200 cm.
The result of the risk analysis of forest and fires in West Kalimantan shows
that vulnerable areas have high risk of forest and land fires. These are the managed
plantations and peatlands. Lowland forests in the eastern part of West Kalimantan
have a low risk of forest and land fires. However, if the access to a sites was
provided, there is a possibility that the risks will be increased.
Based on the above conditions, there is a tendency that the locations of recent
forest and land fires are almost the same in the last 15 years. This condition can be
seen from the hotspot distribution at the year of 2002, 2006 and 2009 in West
Kalimantan. The location is the plantation areas, secondary land and peat land in
the south and along the west coast of West Kalimantan. Land clearing for
plantations and agriculture are allegedly affect land and forest fires. Therefore,
better land management is essentially needed in the future by the various parties so
that the condition of land and forest fires in West Kalimantan can be minimized.

Keywords: dynamical downscaling, bias correction, extreme rainfall, modelling of


vulnerability, level of fire risk
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN
KAJIAN PROYEKSI IKLIM DI KALIMANTAN BARAT

SYAMSU DWI JADMIKO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul
‘Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim di
Kalimantan Barat’ merupakan tugas akhir untuk mendapatkan gelar master pada
program studi Klimatologi Terapan.
Pelaksanaan penelitian dan pembuatan tesis ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Daniel Murfiyarso, M.Sc dan Dr. Akhmad Faqih, S.Si selaku
pembimbing yang telah membimbing dan memberikan banyak saran selama
penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom selaku penguji yang telah memberikan
koreksi dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor atas bantuannya.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi yang telah memberikan sponsorship selama perkuliahan
dan Center for International Forestry Research (CIFOR) atas bantuan
pendanaan untuk melaksanakan penelitian.
5. Center for Climate Risk and Opportunity Managemen in Southest Asia and
Pacific (CCROM-SEAP) IPB untuk fasilitas dan data pendukung dalam
penyelesaian tesis ini.
6. Seluruh Staf Departemen Geofisika dan Meteorologi dan CCROM-SEAP
atas dukungan dan bantuannya.
7. Rekan-rakan mahasiswa pascasarjana Klimatologi Terapan atas dukungan,
semangat dan kerjasamanya.
8. Ibunda Tri Sumarsih serta adik-adik penulis atas segala do’a, kasih sayang
yang tak terhingga serta semangat selama kuliah hingga penelitian. Teruntuk
Bapak Sadeli (alm) semoga penulis dapat melanjutkan semangat
pendidikannya.
Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis sehingga masih
banyak kekurangan dalam tesis ini. Kritik dan saran akan sangat penulis hargai.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2016

Syamsu Dwi Jadmiko


DAFTAS ISI

DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 3
Kajian Perubahan Iklim 4
Model Iklim Regional (Regional Climate Models/RCMs) 5
Konsep Kerentanan dan Risiko 6

METODE 8
Data Penelitian dan Model Iklim Regional 8
Tahapan Penelitian 11
Simulasi Model Iklim Regional RegCM4.4 13
Koreksi Bias Data Curah Hujan 13
Analisis Iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat 15
Analisis Standardized Precipitation Index (SPI) 16
Analisis Kerentanan dan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 21


Penggunaan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat 21
Curah Hujan CHIRPS Hasil Koreksi 24
Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4 25
Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4 Terkoreksi 26
Kondisi Iklim Propinsi Kalimantan Barat 31
Curah Hujan Ekstrim Kering 38
Kondisi Kekeringan di Kalimantan Barat 41
Kondisi Kebakaran Lahan di Kalimantan Barat 43
Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat 46
Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan 53

SIMPULAN DAN SARAN 57


Simpulan 57
Saran 58

GLOSARI 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN 65

RIWAYAT HIDUP 69
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Nilai (a) radiative forcing dan (b) emisi CO2 dalam skenario
RCPs. GCAM 4.5 merupakan acuan dalam skenario RCP-4.5
(Moss et al. 2010). 6
Gambar 2 Diagram alir penelitian analisis risiko kebakaran hutan dan
lahan 11
Gambar 3 Ilustrasi proses koreksi data berdasarkan metode yang
dilakukan oleh Piani et al. (2010) 15
Gambar 4 Contoh proses transformasi curah hujan berdasarkan nilai CDF
Gamma ke CDF Normal yang digunakan pada nilai SPI
(Diadaptasi dari Lloyd-Hughes dan Saunders (2002)) 16
Gambar 5 Perbandingan besaran luas penggunaan lahan (PL; dalam
persen) di Kalimantan Barat tahun 1990 hingga tahun 2012.
Data penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 22
Gambar 6 Penggunaan lahan Propinsi Kalimantan Barat tahun 1990-
2012. Data penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 23
Gambar 7 Perbandingan curah hujan observasi dengan data CHIRPS
terkoreksi 24
Gambar 8 Perbandingan curah hujan luaran simulasi model RegCM4.4
tanpa koreksi (kiri) dengan curah hujan CHIRPS yang sudah
dikoreksi (kanan) 25
Gambar 9 Perbandingan pola hujan luaran simulasi model RegCM4.4
dengan pola hujan CHIRPS 26
Gambar 10 Perbandingan pola hujan antara data curah hujan CHIRPS
terkoreksi dan simulasi koreksi bias luaran model RegCM4.4 27
Gambar 11 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 1. Secara umum terlihat adanya ketidakkonsistenan
hasil koreksi bias 27
Gambar 12 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 2. Secara umum tidak menjukkan adanya perbaikan
sebaran curah hujan 28
Gambar 13 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 3. Hasil koreksi menjukkan kondisi yang hampir
sama dengan Simulasi 2 28
Gambar 14 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 4. Secara umum memiliki pola spasial yang
konsisten. Akan tetapi perlu perbaikan pada bulan Juli-
Agustus-September 29
Gambar 15 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 5. Hasil Simulasi 5 merupakan hasil terbaik
dibandingkan simulasi lain 29
Gambar 16 Nilai koefisien P1, P2 dan P3 dalam persamaan polinomial
(Y= P3*X3 + P2*X2 + P1*X + 0) pada Simulasi 5 yang
digunakan untuk mengkoreksi data curah hujan luaran model
RegCM4.4 30
Gambar 17 Perbandingan data curah hujan bulanan dari data CHIRPS
terkoreksi dengan data luaran simulasi RegCM4.4 yang sudah
dikoreksi (CanESM2 terkoreksi). Secara umum koreksi bias
menggunakan simulasi mampu meperbaiki data luaran
simulasi RegCM4.4 31
Gambar 18 Tren curah hujan tahunan historis wilayah Kalimantan Barat
tahun 1981-2005 32
Gambar 19 Tren curah hujan tahunan proyeksi wilayah Kalimantan Barat
tahun 2016-2040 32
Gambar 20 Tren curah hujan musiman periode historis tahun 1981-2005.
Musim peralihan (MAM dan SON) menunjukkan adanya tren
penurunan curah hujan sedangkan musim hujan (DJF)
menunjukkan adanya tren peningkatan curah hujan dan musim
kemarau (JJA) konstan 32
Gambar 21 Tren curah hujan musiman periode proyeksi tahun 2016-2040.
Secara umum di masa mendatang curah hujan musim
penghujan (DJF) dan musim peralihan penghujan ke kamarau
(MAM) menunjukkan adanya peningkatan tren. Akan tetapi
pada musim kemarau (JJA) dan peralihan musim kemarau ke
musim penghujan (SON) menunjukkan adanya penurunan tren
33
Gambar 22 Distribusi spasial curah hujan periode baseline (tahun 1981-
2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) di Kalimantan Barat 34
Gambar 23 Besaran perubahan curah hujan proyeksi (tahun 2016-2040)
dibandingkan dengan curah hujan baseline (tahun 1981-2005) 35
Gambar 24 Pola spasial suhu maksimum Kalimantan Barat periode
baseline (1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) 35
Gambar 25 Pola spasial suhu minimum Kalimantan Barat periode baseline
(1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) 36
Gambar 26 Pola spasial suhu rata-rata Kalimantan Barat periode baseline
(1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) 36
Gambar 27 Tren suhu maksimum, suhu minimum dan suhu rata-rata di
Kalimantan Barat periode tahun 1981-2040 37
Gambar 28 Pola distribusi peningkatan suhu maksimum, suhu minimum
dan suhu rata-rata untuk proyeksi tahun 2016-2040
dibandingkan dengan periode baseline tahun 1981-2005 38
Gambar 29 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-
Agustus (JJA) periode tahun 1981-2005. Kondisi sangat
kering pada umunya terjadi pada bagian selatan Propinsi
Kalimantan Barat. 39
Gambar 30 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-
Agustus (JJA) periode tahun 1981-2005. 39
Gambar 31 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-
Agustus (JJA) periode tahun 2016-2040. Pada periode
proyeksi ini, curah hujan ekstrim kering memiliki
kecenderungan meningkat dibandingkan dengan periode
historis. 40
Gambar 32 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-
Agustus (JJA) periode tahun 2016-2040. Kondisi curah hujan
ekstrim kering tidak berbeda jauh dengan nilai persentil 5%.
Akan tetapi luasan wilayah yang sangat ekstrim kering lebih
sedikit. 40
Gambar 33 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1
bulan hingga 24 bulan periode tahun 1981-2005. Warna merah
menunjukkan nilai SPI negatif/kering, warna biru
menunjukkan nilai SPI positif/basah dan warna hijau
menunjukan nilai anomali curah hujan 42
Gambar 34 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1
bulan hingga 24 bulan periode tahun 2016-2040. Warna merah
menunjukkan nilai SPI negatif/kering, warna biru
menunjukkan nilai SPI positif/basah dan warna hijau
menunjukan nilai anomali curah hujan 43
Gambar 35 Jumlah hotspot bulanan di Propinsi Kalimantan Barat pada
tahun a) 2002, b) 2006 dan c) 2009. Ketiga tahun diatas adalah
periode dalam 15 tahun terakhir dengan jumlah hotspot
tertinggi dan periode tahun tersebut yang digunakan dalam
analisis kerentanan kebakaran hutan dan lahan. (Sumber
Pengolahan data hotspot MODIS (Satelit Terra dan Aqua) dari
NASA FIRMS Fire Archive dengan confidence level > 50) 45
Gambar 36 Hubungan antara indeks SOI dengan jumlah hotspot di
Propinsi Kalimantan Barat 46
Gambar 37 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor aktivitas
manusia antara skor dugaan dengan kelas masing-masing
indikator 47
Gambar 38 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor biofisik antara
skor dugaan dengan kelas masing-masing indikator 48
Gambar 39 Persamaan regresi tiap variabel untuk faktor sosial ekonomi
antara skor dugaan dengan kelas masing-masing indikator 50
Gambar 40 Sebaran hotspot pada tiap tingkat kerentanan kebakaran hutan
dan lahan di Kalimantan Barat 52
Gambar 41 Tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan
Barat 53
Gambar 42 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 5%) luaran
model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 1981-
2005 54
Gambar 43 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran
model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 1981-
2005 55
Gambar 44 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 5%) luaran
model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 2016-
2040. 55
Gambar 45 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran
model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 2016-
2040. 56

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Estimasi luas wilayah yang terbakar pada kejadian kebakaran
hutan dan lahan tahun 1997/98 (x 1000 ha) di wilayah Sumatra
(Sum), Jawa (Jaw), Kalimantan (Kal), Sulawesi (Sul) dan Papua
(Pap). 3
Tabel 2 Jumlah hotspot dalam periode 2001-2009 di Pulau Kalimantan 4
Tabel 3 Distribusi hotspot per provinsi di pulau Kalimantan 4
Tabel 4 Daftar stasiun cuaca/iklim BMKG yang digunakan dalam
penelitian 8
Tabel 5 Data spasial yang digunakan untuk menentukan tingkat
kerentanan 9
Tabel 6 Informasi pengaturan parameter fisik yang dipilih dan
digunakan dalam simulasi RegCM4.4 di wilayah Kalimantan
Barat. Pengaturan fisik ini dapat digunakan untuk analisis
sensitivitas model RegCM4.4 12
Tabel 7 Kategori kekeringan berdasarkan nilai SPI dan peluang
kejadiannya 17
Tabel 8 Kelas dari indikator penentu kerentanan 18
Tabel 9 Matrik risiko kebakaran hutan dan lahan. Tingkat risiko dibagi
menjadi 5 yaitu Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S),
Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Kategori curah hujan
ekstrim memiliki rentang nilai (1) 0-40 mm, (2) 41-80 mm, (3)
81-120 mm, (4) 121-160 mm dan (5) 161-200 mm. 20
Tabel 10 Nilai faktor koreksi antara data Observasi BMKG dengan data
CHIRPS 24
Tabel 11 Distribusi hotspot MODIS per Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2014 44
Tabel 12 Nilai koefisien dan bobot penyusun skor komposit model
tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi
Kalimantan Barat 51
Tabel 13 Sebaran Luas Kebakaran dengan lima kelas Model Kerentanan
Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Luas tiap penggunaan lahan (PL) di Propinsi Kalimantan Barat
Tahun 1990-2012. Data penggunaan lahan diperoleh dari
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 67
Lampiran 2 Sebaran dan tingkat ketebalan gambut di Propinsi Kalimantan
Barat. Data diperoleh dari Balai Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian (BBSDLP) tahun 2012 68
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana yang sering terjadi terutama di
Kalimantan dan Sumatera. Dampak kebakaran hutan dan lahan cukup besar dan
mencakup berbagai sektor seperti sosial-ekonomi, lingkungan dan ekologi
(Suratmo et al. 2003; Varma 2003). Kajian Taconi (2003) menyebutkan bahwa
kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 mengakibatkan kerugian
ekonomi dan kabut asap yang menyebar hingga ke negara Association of Southeast
Asian Nations (ASEAN). Tingginya kerugian akibat kejadian kebakaran hutan dan
lahan sudah semestinya diantisipasi agar tidak terjadi di masa mendatang.
Kejadian Kebakaran hutan dan lahan umumnya disebabkan oleh aktivitas
manusia. Beberapa aktivitas manusia menjadi sumber utama dalam munculnya api
seperti pada saat pembukaan lahan atau konversi lahan baik untuk usaha pertanian,
perkebunan, kehutanan dan kebutuhan tempat tinggal. Selain aktivitas manusia,
faktor fisik seperti iklim juga menjadi faktor pemicu yang dominan dalam kejadian
kebakaran lahan. Fenomena iklim seperti El-Nino Southern Oscillation (ENSO)
yang berdampak pada kekeringan panjang dapat mengakibatkan kondisi lahan
mudah terbakar (Woster et al. 2012; Putra et al. 2008; Fuller dan Murphy 2006).
Analisis risiko merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengkaji kejadian kebakaran hutan dan lahan pada kondisi saat ini dan
kemungkinannya di masa mendatang. Risiko didefinisikan sebagai peluang
kejadian alam yang berhubungan dengan (i) peluang kejadian bahaya yang
berdampak pada bencana yang tidak diinginkan, atau (ii) peluang kejadian atau
dampak yang menggabungkan kondisi peluang kejadian bencana dengan
konsekuensinya (Downing et al. 2001; Brooks 2003; Jones and Boer 2003). Dasar
dari analisis Risiko adalah analisis kerentanan dan analisis peluang kejadian iklim
ekstrim (risk = vulnerability × climate hazard). Oleh karena itu penentuan Risiko
merupakan kombinasi dari kedua analisis tersebut di atas (Jones et al. 2004).
Konsep kerentanan umumnya digunakan dalam kajian terkait dengan
bencana dan kemudian digunakan oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) dalam kajian perubahan iklim (IPCC 2001; IPCC 2007).
Kerentanan meruakan derajat atau tingkat kemudahan terkena atau
ketidakmampuan sistem dalam menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim
termasuk keragaman iklim dan iklim ekstrim (IPCC 2007). Tingkat kerentanan dari
suatu sistem ditentukan oleh indikator penentu kerentanan yang mewakili penyebab
suatu kejadian seperti kejadian kebakaran hutan dan lahan (Adger 2006; IPCC
2007). Penentuan kerentanan umumnya dilakukan berdasarkan analisis data spasial
menggunakan sistem informasi geografi (SIG).
Kajian iklim ekstrim dalam konteks risiko ditekankan pada kemungkinan
meningkat atau menurunnya peluang kejadian iklim ekstrim seperti curah hujan
atau indeks kekeringan melebihi ambang batas yang ditentukan. Dalam analisis
kebakaran hutan dan lahan, indeks kekeringan merupakan salah satu iklim ekstrim
yang sesuai untuk dianalisis. Kekeringan lahan memiliki hubungan yang erat
dengan kejadian kebakaran lahan di Indonesia. Pada lahan yang kering, api akan
mudah menjalar dan menjadi besar sehingga akan sulit dipadamkan. Selain itu,
kombinasi suhu udara yang tinggi dan kekeringan lahan akan meningkatkan Risiko
2

kebakaran hutan dan lahan (Caesar dan Golding 2011). Kebakaran hutan dan lahan
pada tahun 1997/1998 merupakan salah satu kebakaran hutan dan lahan besar dalam
sejarah Indonesia. Pada tahun tersebut terjadi kekeringan lahan akibat terjadinya
El-Nino (Murdiyarso dan Adiningsih 2005).
Informasi data iklim historis dan proyeksi yang memiliki skala spasial dan
temporal tinggi diperlukan dalam kajian iklim pada skala regional yaitu pada
cakupan wilayah yang kecil seperti Propinsi Kalimantan Barat. Di lain sisi, luaran
model iklim global (Global Climate Models/GCMs) memiliki resolusi spasial
rendah (100-250 km skala spasial) dan bila digunakan untuk kajian pada skala
regional tidak memadai (Salathe Jr. 2003). Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan
downscaling statistik maupun dinamik seperti menggunakan model iklim regional
(Regional Climate Models/RCMs). Pemanfaatan RCMs sangat membantu untuk
memperoleh informasi iklim dengan resolusi tinggi dan lebih detil.
Luaran simulasi RCMs umumnya memiliki bias yang sistematis dan dapat
memberikan informasi yang berbeda baik secara temporal maupun spasial
dibandingkan dengan data observasi (Christensen et al. 2008; Teutschbein dan
Siebert 2010; Varis et al. 2004). Diantara faktor yang mempengaruhi adanya bias
dalam simulasi RCMs adalah pemilihan parameter fisik, data luaran GCMs yang
digunakan sebagai data initial condition/boundary condition (ICBC) dan resolusi
spasial dan temporal yang digunakan dalam simulasi. Bias pada luaran simulasi
RCMs ditandai dengan nilai yang melebihi atau kurang dari data observasi baik
secara pola spasial maupun temporal sehingga diperlukan proses koreksi bias.
Penelitian ini mengadopsi metode yang digunakan oleh Lenderink et al. (2007) dan
Piani et al. (2010). Secara spesifik metode Piani et al. (2010) digunakan untuk
memperbaiki distribusi data luaran model sehingga mendekati dengan distribusi
data observasi.
Analisis risiko yang menggabungkan informasi kerentanan dan iklim ekstrim,
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk proses pemantauan sekaligus pencegahan
dini kebakaran hutan dan lahan. Informasi risiko yang telah dipetakan juga dapat
membantu pihak tekait untuk melakukan strategi antisipasi terhadap ancaman
kebakaran hutan dan lahan.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:


1. Melakukan simulasi model iklim regional (Regional Climate Models/RCMs).
2. Melakukan analisis koreksi data luaran simulasi RCMs.
3. Melakukan kajian iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat.
4. Melakukan analisis kekeringan lahan di Kalimantan Barat.
5. Melakukan kajian kerentanan dan risiko kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Barat.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB; 2015) menyatakan bahwa


kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan lahan dilanda
api yang mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan serta menimbulkan kerugian
ekonomis dan nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali
menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas manusia dan
kesehatan masyarakat sekitar.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia dilanda kejadian kebakaran hutan dan
lahan ang cukup besar yaitu tahun 1982/83, 1987, 1991, 1994 dan 1997/98 (Bowen
et al. 2001). Dari lima kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut, kejadian pada
tahun 1997/98 merupakan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan
kerugian terbesar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun tersebut terjadi hampir di
seluruh pulau Sumatra dan Kalimantan. Daerah pertanian menjadi area yang paling
luas terbakar (Tabel 1).

Tabel 1 Estimasi luas wilayah yang terbakar pada kejadian kebakaran hutan dan
lahan tahun 1997/98 (x 1000 ha) di wilayah Sumatra (Sum), Jawa (Jaw),
Kalimantan (Kal), Sulawesi (Sul) dan Papua (Pap).
Tipe Vegetasi Sum Jaw Kal Sul Pap Total
Hutan pegunungan 100 100
Hutan dataran rendah 383 25 2375 200 300 3283
Hutan payau dan gambut 308 750 400 1458
Semak dan rumput kering 263 25 375 100 763
HTI 72 116 188
Perkebunan 60 55 1 3 119
Pertanian 669 50 2829 199 97 3843
Total 1755 100 6500 400 1000 9755
Sumber: BAPPENAS-ADB (1999)

Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan secara umum adalah aktivitas
manusia akibat kelalaian ataupun disengaja (Suratmo et al. 2003). Aktivitas
manusia berkaitan dengan munculnya api di lahan hutan. Pembukaan dan
penyiapan lahan dengan cara membakar dianggap masyarakat lebih murah dan
mudah dilakukan. Arianti et al. (2007) menyatakan bahwa faktor aktivitas manusia
lebih dominan dibandingkan faktor biofisik dalam kejadian kebakaran hutan dan
lahan. Bahkan Purnama dan Jaya (2007) memberikan bobot faktor aktivitas
manusia sebesar 51.4 % dalam membuat model kerentanan kabakaran hutan dan
lahan di Propinsi Riau dan sisanya merupakan bobot untuk faktor biofisik. Salah
satu faktor biofisik yang cukup dominan adalah iklim. Iklim berpengaruh besar
terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Iklim berpengaruh pada jumlah
bahan bakar yang tersedia, keparahan dan periode kebakaran, kemudahan terbakar
(flammability) dan penyebaran kebakaran (Chandler et al. 1983). Oleh karena itu,
informasi iklim dapat dimanfaatkan dalam analisis risiko kebakaran hutan dan
lahan.
4

Tabel 2 Jumlah hotspot dalam periode 2001-2009 di Pulau Kalimantan


Tahun Jumlah hotspot
2001 1351
2002 12219
2003 5869
2004 10973
2005 3121
2006 16495
2007 1912
2008 1919
2009 23551
Sumber: Suwarsono et al. (2010)

Tabel 3 Distribusi hotspot per provinsi di pulau Kalimantan


Provinsi Jumlah Hotspot Persentase (%)
Kalimantan Tengah 40541 52.2
Kalimantan Barat 21090 27.3
Kalimantan Timur 8261 10.7
Kalimantan Selatan 7611 9.8
Sumber: Suwarsono et al. (2010)

Titik panas (hotspot) dapat menjadi representasi kejadian kebakaran hutan


dan lahan. Daerah yang memiliki jumlah hotspot tinggi memiliki potensi kejadian
kebakaran lebih besar. Oleh karena itu, hotspot banyak digunakan dalam
monitoring kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pulau Kalimantan merupakan
salah satu wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan. Setiap tahun
hampir terjadi kebakaran hutan dan lahan yang dapat diidentifikasi dari jumlah
hotspot seperti pada Tabel 2. Tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 memiliki jumlah
hotspot yang cukup tinggi. Berdasarkan distribusi hotspot per provinsi, Kalimantan
Barat menjadi daerah dengan ancaman kebakaran terbesar kedua setelah
Kalimantan Tengah (Tabel 3). Hal tersebut mengindikasikan tingkat risiko
kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat juga tinggi.

Kajian Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan nilai atau
pola unsur iklim dalam skala waktu yang lama baik pada wilayah lokal maupun
global. Kajian perubahan iklim sudah dilakukan hampir seluruh negara di dunia
dalam upaya melakukan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) di atmosfer akibat dari aktifitas manusia seperti penggunaan bahan bakar
fosil dan deforestasi/perubahan penggunaan lahan (IPCC 2007). Secara alami GRK
mampu melindungi bumi tetap hangat pada kisaran suhu rata-rata 15ºC. Akan
tetapi, dengan semakin meningkatnya konsentrasi GRK, maka proses transfer
bahang (heat) dari bumi ke atmosfer luar terhambat yang mengakibatkan adanya
akumulasi bahang sehingga bumi menjadi lebih panas.
Perubahan iklim menimbulkan dampak yang luas dalam banyak sektor. Pada
sektor pertanian, dengan meningkatnya suhu udara dan berkurangnya curah hujan
5

dimasa mendatang akan menyebabkan produksi pertanian berkurang akibat banjir


dan kekeringan (Nara et al. 2014). Pola tanam juga akan mengalami keterlambatan
akibat perubahan pola hujan dan irigasi (Seung-Hwan et al. 2013). Chavas et al.
(2009) menambahkan bahwa tanpa adanya peningkatan pemupukan, di masa
mendatang produksi lima tanaman pertanian (canola, jagung, kentang, beras, dan
gandum) akan mengalami penurunan sebesar 2.5-12% akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim juga mempengaruhi siklus hidrologi dimana pada musim kemarau
akan lebih kering dan banjir akan lebih sering terjadi pada musim penghujan. Kajian
Leng et al. (2015) menyebutkan bahwa akibat perubahan iklim di masa mendatang
kekeringan akan lebih parah, berkepanjangan dan sering terjadi terutama pada
musim kemarau. Begitu pula kejadian banjir yang diproyeksikan akan lebih sering
terjadi. Perubahan iklim juga mempengaruhi kebakaran akibat cuaca, perilaku
kebakaran dan emisi karbon akibat kebakaran (de Groot et al. 2013). Bahaya
kebakaran hutan dan lahan yang dianalisis menggunakan beberapa indek kebakaran
hutan secara umum menunjukkan tren peningkatan akibat meningkatnya suhu
udara dan perubahan pola hujan (Wastl et al. 2012).
Di Indonesia, kajian perubahan iklim pada skala regional telah dilakukan
sejak tahun 1990-an. Analisis dilakukan menggunakan data observasi historis
ataupun analisis data model (Faqih et al. 2013; Sarah dan Tohari 2009; Susandi et
al. 2008; Susandi 2006). Laporan IPCC (2013) menyatakan bahwa akibat
perubahan iklim, suhu di wilayah Indonesia diproyeksikan akan mengalami
peningkatan sebesar 0.8°C apabila menggunakan skenario emisi terendah dan
peningkatan 4.0°C apabila menggunakan skenario emisi tertinggi. Curah hujan
mengalami perubahan dari -20% hingga 20% dimana musim kemarau mengalami
penurunan curah hujan dan musim penghujan mengalami peningkatan curah hujan.

Model Iklim Regional (Regional Climate Models/RCMs)

Kajian perubahan iklim banyak dilakukan menggunakan RCMs dalam proses


dynamical downscaling untuk memperoleh informasi iklim yang lebih detil pada
kondisi saat ini maupun proyeksinya di masa mendatang. Salah satu RCMs yang
dapat digunakan adalah Regional Climate Model version 4.4.5 (RegCM4.4).
RegCM4.4 merupakan model iklim regional yang dikembangkan oleh International
Centre for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italy. RegCM4.4 merupakan RCMs
yang biasanya digunakan untuk tujuan dynamical downscaling dari data model
iklim global (Global Climate Model/GCMs) yang memiliki resolusi spasial rendah
menjadi data iklim yang memiliki resolusi tinggi.
Kajian proyeksi iklim menggunakan model RegCM4.4 memerlukan skenario
perubahan iklim. IPCC telah mengembangkan dua buah skenario yaitu Special
Report on Emissions Scenarios (SRES) dan Representative Concentration
Pathways (RCPs). RCPs merupakan skenario terbaru yang digunakan oleh IPCC
dalam penyusunan laporan kelima IPCC (Fifth Assessment Report/AR5) dan
skenario tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. RCPs didasarkan pada
besarnya nilai radiative forcing pada tahun 2100. Ada empat skenario RCPs yaitu
RCP-2.6, RCP-4.5, RCP-6.0, dan RCP-8.5 yang masing-masing merepresentasikan
besarnya radiative forcing di tahun 2100 yaitu 2.6 W/m2, 4.5 W/m2, 6.5 W/m2, dan
8.5 W/m2 (Gambar 1). Namun dalam kajian ini hanya akan digunakan satu skenario
RCPs yaitu RCP-4.5. Besarnya radiative forcing tersebut juga setara dengan
6

peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer pada tahun 2100 (Moss et al. 2010).
Skenario RCP-4.5 telah memasukkan nilai emisi GRK historis dan informasi
tutupan lahan untuk mencapai target nilai radiative forcing yang diinginkan. Target
tersebut juga diupayakan melalui penggunaan energi alternatif dan penyimpanan
karbon oleh permukaan. RCP-4.5 bertujuan untuk menjaga kestabilan radiative
forcing pada tahun 2100. Namun demikian bukan berarti emisi GRK, konsentrasi
GRK dan sistem iklim akan stabil. Pada RCP-4.5 besarnya radiative forcing akan
stabil mulai tahun 2080-2100, tetapi emisi dan konsentrasi GRK tetap akan
bervariasi. Penggunaan RCP-4.5 dalam model iklim dimaksudkan untuk melihat
respon sistem iklim dalam menstabilkan besarnya radiative forcing dari faktor
antropogenik (Thomson et al. 2011).

Gambar 1 Nilai (a) radiative forcing dan (b) emisi CO2 dalam skenario RCPs.
GCAM 4.5 merupakan acuan dalam skenario RCP-4.5 (Moss et al.
2010).

Dalam simulasi RegCM4.4, terdapat parameter fisik yang dapat ditentukan


oleh pengguna sesuai dengan kebutuhan. Pengguna dapat melakukan studi
sensitivitas melalui pemilihan parameter fisik yang sesuai lokasi kajian dengan
luaran model terbaik. Beberapa parameter fisik yang dapat dipilih seperti skema
konveksi untuk awan (Cumulus Convection scheme), skema fluks lautan (Ocean
Flux scheme) dan skema lapisan perbatas (Boundary Layer scheme) (Giorgi et al.
2013).

Konsep Kerentanan dan Risiko

Kerentanan merupakan suatu konsep yang sudah cukup banyak digunakan


dalam kajian yang berkaitan dengan bencana. Dalam perkembangan saat ini,
konsep kerentanan juga digunakan dalam kajian dampak perubahan iklim. Dalam
laporan IPCC yang ketiga (IPCC Third Assessment Report), kerentanan
didefinisikan sebagai derajat atau tingkat kemudahan terkena atau ketidakmampuan
suatu sistem untuk menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim, termasuk
keragaman iklim dan iklim ekstrim. Kerentanan merupakan fungsi dari karakter,
besaran, dan laju variasi iklim yang berhubungan langsung dengan sistem baik dari
segi sensitifitas dan kapasitas adaptifnya (IPCC 2007). Oleh karena itu, kerentanan
7

ditentukan berdasarkan tiga komponen yaitu tingkat keterpaparan, tingkat


sensitifitas dan kapasitas adaptif. Dua komponen utama mengindikasikan dampak
sedangkan kapasitas adaptif menyatakan sejauh mana dampak dapat dihindari.
Tingkat keterpaparan menunjukkan derajat, lama dan atau besar peluang
suatu sistem untuk kontak dengan goncangan atau gangguan. Tingkat sensitifitas
merupakan kondisi internal dari sistem yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
manusia dan lingkungannya. Kondisi manusia meliputi tingkatan sosial seperti
populasi, lembaga, struktur ekonomi dan sebagainya. Kondisi lingkungan meliputi
kondisi biofisik seperti tanah, air, iklim, mineral dan struktur dan fungsi ekosistem.
Kedua faktor tersebut menentukan kemampuan adaptif suatu sistem yang juga
sangat dipengaruhi oleh keragaman iklim. Kemampuan adaptif menunjukkan
kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap
perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak
positif dapat dimaksimalkan (Adger 2006).
Risiko didefinisikan sebagai peluang kejadian alam yang berhubungan
dengan (i) peluang kejadian bahaya yang berdampak pada bencana yang tidak
diinginkan, atau (ii) peluang kejadian atau dampak yang menggabungkan kondisi
peluang kejadian bencana dengan konsekuensinya (Downing et al. 2001; Brooks
2003; Jones and Boer 2003). Tingkat Risiko dapat ditentukan oleh peluang kejadian
bencana (iklim ekstrim) yang dapat menimbulkan bencana dan dampak yang
ditimbulkan oleh kejadian tersebut. Dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana
ditentukan oleh tingkat kerentanan. Oleh karena itu, Risiko dapat dihitung
berdasarkan hubungan antara kerentanan dengan peluang kejadian bencana (risk =
hazard × vulnerability) (Jones et al. 2004). Konsep Risiko ini banyak digunakan
untuk menilai tingkat bahaya suatu wilayah baik kondisi saat ini ataupun proyeksi
akibat perubahan iklim.
8

METODE

Data Penelitian dan Model Iklim Regional

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data iklim observasi
BMKG, Data curah hujan The Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with
Stations (CHIRPS; Funk et al. 2014; Funk et al. 2015), data Global Climate Model
(GCM) Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) Canadian
Centre for Climate Modelling and Analysis (CCCma) second-generation Earth
System Model (CanESM2; Arora dan Boer 2010), data titik api (hotspot), data
spasial ketebalan gambut, data spasial tutupan lahan, data spasial sistem lahan, data
spasial jaringan sungai, data spasial jaringan jalan, data spasial titik pusat
desa/kecamatan/kabupaten (pusat pemerintahan), data spasial kepadatan penduduk,
data pendapatan daerah (Produk Domestik Regional Bruto/PDRB), data spasial
sebaran Hutan Tanaman Industri (HTI), data spasial sebaran Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) dan data spasial sebaran Hak Guna Usaha (HGU) di Kalimantan
Barat.
Data iklim observasi meliputi data curah hujan dan suhu udara. Data curah
hujan observasi digunakan sebagai data untuk analisis iklim historis dan untuk
proses koreksi terhadap data curah hujan CHIRPS berdasarkan titik stasiun yang
ada. Data iklim observasi yang digunakan diperoleh dari delapan stasiun
meteorologi/klimatologi BMKG yang ada di Kalimantan Barat (Tabel 4).

Tabel 4 Daftar stasiun cuaca/iklim BMKG yang digunakan dalam penelitian


No. Nama Stasiun
Lintang Bujur Elevasi
Meteorologi/Klimatologi*
1 Stasiun Maritim Pontianak -0.030 109.34 4
2 Stasiun Susilo Sintang 0.060 111.47 31
3 Stasiun Rahadi Usman Ketapang -1.800 109.97 9
4 Stasiun Pangsuma Putusibau 0.840 112.93 43
5 Stasiun Paloh 1.740 109.30 15
6 Stasiun Nanga Pinoh -0.420 111.47 40
7 Stasiun Supadio Pontianak -0.140 109.45 3
8 Stasiun Siantan Pontianak* 0.075 109.19 2

Data curah hujan CHIRPS merupakan data curah hujan yang dikeluarkan oleh
U.S. Geological Survey, Amerika. Data curah hujan CHIRPS awalnya hanya
tersedia untuk wilayah daratan Afrika dan digunakan untuk peringatan dini
kekeringan. Namun demikian saat ini sudah tersedia hampir untuk seluruh wilayah
daratan bumi. Data curah hujan CHIRPS merupakan gabungan dari data curah
hujan yang dihitung dari satelit dan data curah hujan stasiun. Gabungan data
tersebut kemudian di-regridding dengan resolusi spasial 0.05º (sekitar 5 km x 5 km)
dengan periode tahun 1981 sampai saat ini dan resolusi waktu harian (Funk et al.
2014; Funk et al. 2015). Data curah hujan CHIRPS diperoleh dari website berikut:
http://chg.geog.ucsb.edu/data/chirps/. Data curah hujan CHIRPS dalam penelitian
ini digunakan sebagai tambahan data curah hujan observasi untuk memperoleh
informasi curah hujan dengan sebaran yang merata di seluruh wilayah Propinsi
Kalimantan Barat. Hal tersebut dilakukan mengingat sebaran stasiun
9

meteorologi/klimatologi tidak menyebar merata dimana sebagian besarnya berada


di bagian barat Propinsi Kalimantan Barat. Data curah hujan CHIRPS yang sudah
dikoreksi menggunakan data curah hujan observasi juga digunakan untuk
melakukan proses koreksi bias terhadap luaran simulasi RCMs.
Data CanESM2 digunakan sebagai Initial Condition and Boundary Condition
(ICBC) dalam simulasi RCMs. Model CanESM2 merupakan salah satu model yang
dikembangkan oleh Canadian Centre for Climate Modelling and Analysis
(CCCma) dan merupakan gabungan model CanCM4 dan siklus karbon terrestrial
berdasarkan Canadian Terrestrial Ecosystem Model (CTEM) dengan adanya
pertukaran karbon tanah dan atmosfer (Arora dan Boer 2010).
Dalam penentuan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan, informasi
data titik api (hotspot) sangat dibutuhkan karena merupakan informasi lokasi dari
kebakaran hutan dan lahan. Data titik api diperoleh dari Fire Information for
Resource Management System (FIRMS) yang merupakan hasil ekstraski dari satelit
MODIS dengan algoritma deteksi titik api oleh Giglio et al. (2003). Data dapat
diperoleh dari website pusat data NASA (http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-
timedata/firms).
Penentuan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dibutuhkan data
spasial yang merupakan indikator penentu kerentanan. Data spasial yang digunakan
meliputi komponen tingkat keterpaparan, tingkat sensitivitas dan kapasitas adaptif.
Komponen tingkat keteraparan meliputi jaringan jalan, jaringan sungai dan titik
pusat pemerintahan. Komponen tingkat sensitivitas ketebalan gambut, tutupan
lahan, sistem lahan, kepadatan penduduk, PDRB, sebaran HTI, sebaran HPH dan
sebaran HGU. Adapun komponen kapasitas adaptif dalam penelitian ini tidak
digunakan atau dianggap konstan. Sehingga dalam penentuan tingkat kerentanan
digunakan persamaan linier yang menggabungkan informasi komponen tingkat
keterpaparan dan tingkat sensitivitas. Tabel 5 menunjukkan informasi sumber data
dan tahun data yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 5 Data spasial yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan


No. Data Spasial Sumber Tahun
Komponen Keterpaparan
1 Jaringan Sungai BIG 2012
2 Jaringan Jalan BIG 2012
3 Titik Pusat Pemerintahan BIG 2012
Komponen Sensitivias
4 Ketebalan Gambut BBSLDP 2012
5 Tutupan Lahan Kemenhut 2012
6 Sistem Lahan RePPProt 2012
7 Kepadatan Penduduk worldpop.org.uk 2014
8 PDRB BPS 2012
9 Sebaran HTI Kemenhut 2014
10 Sebaran HPH Kemenhut 2014
11 Sebaran HGU Kemenhut 2014
10

Penjelasan dari masing-masing indikator kerentanan adalah sebagai berikut:


1. Jaringan sungai adalah informasi data spasial yang menggambarkan
keberadaan sungai yang terdiri dari saluran utama dan cabang-cabangnya
pada lokasi tertentu
2. Jaringan jalan adalah informasi data spasial mengenai kesatuan jaringan
jalan berupa jalan utama (primer) dan jalan pendukung (sekunder) yang
berada pada lokasi tertentu
3. Titik pusat pemerintahan menggambarkan letak kantor desa, kantor
kecamatan, kantor kabupaten dan kantor propinsi yang merupakan pusat
dari pemerintahan
4. Ketebalan gambut merupakan informasi spasial mengenai ketebalan
gambut yang diukur dari permukaan tanah kearah vertikal ke bawah dari
lahan gambut yang ada pada suatu lokasi
5. Tutupan lahan adalah informasi mengenai hamparan yang berada di atas
permukaan tanah baik yang dikelola ataupun yang secara alami berada di
suatu lokasi
6. Sistem lahan merupakan karakteristik suatu lahan yang berhubungan
dengan tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah, dan organisme pada suatu
lokasi
7. Kepadatan penduduk merupakan kondisi jumlah penduduk per satu
kilometer persegi wilayah
8. PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha
dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi
9. Sebaran HTI menggambarkan persentase luasan HTI per kecamatan. HTI
didefinisikan sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun
oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan
produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka memenuhi
kebutuhan bahan baku industri
10. Sebaran HPH mengambarkan persentase luasan HPH per kecamatan. HPH
merupakan hak untuk mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan,
yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan,
pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan
rencana kerja pengusahaan hutan menurut ketentuan-ketentuan yang
berlaku serta berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan
11. Sebaran HGU mengambarkan persentase luas HGU per kecamatan. HGU
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan

RCMs yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regional Climate Model
version 4.4.5 (RegCM4.4) yang dikembangkan oleh The International Centre for
Theoretical Physics (ICTP). Model RegCM4.4 digunakan untuk kajian dynamical
downscaling karena memiliki parameter fisik yang dapat dipilih sesuai kebutuhan
wilayah kajian seperti skema konveksi awan kumulus, skema transfer fluks lautan,
skema lapisan perbatas, skema lapisan permukaan dan skenario emisi gas rumah
kaca. Model RegCM4.4 dapat digunakan untuk mensimulasikan parameter iklim
seperti curah hujan, suhu, tekanan udara, kelembaban, medan angin, radiasi,
11

kelembaban tanah, aliran permukaan (runoff), fraksi awan dan lain-lain secara lebih
detil berdasarkan informasi data model iklim global (Giorgi et al. 2013).

Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap mulai dari proses simulasi model
iklim regional hingga penentuan tingkat Risiko kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Barat. Secara garis besar alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir penelitian analisis risiko kebakaran hutan dan lahan
12

Tabel 6 Informasi pengaturan parameter fisik yang dipilih dan digunakan dalam
simulasi RegCM4.4 di wilayah Kalimantan Barat. Pengaturan fisik ini
dapat digunakan untuk analisis sensitivitas model RegCM4.4
Digunakan
Parameter Diskripsi (Giorgi et al. 2013)
dalam simulasi
&dimparam
Iy Number of grid points in y direction (i) 80
Jx Number of grid points in x direction (j) 90
Kz Number of vertical levels (k) 18
&geoparam
‘NORMER’ (Normal
iproj Map projection
Mercator)
Ds Grid point separation in km 10
ptop Pressure of model top in cbar 5
clat Central latitude of model domain in degrees -0.55
clon Central longitude of model domain in degrees 111.5
&globdatparam
ibdyfrq Boundary condition interval (hours) 6
ssttyp Type of Sea Surface Temperature used 'CA_45'
dattyp Type of global analysis datasets used 'CA_45'
1979120100 /
gdate1 Start date for ICBC data generation
2006020100
2015120100 /
gdate2 End data for ICBC data generation
2041120100
calendar Calendar to use 'noleap'
&timeparam
dtrad Time step in seconds 30
dtabem Time interval solar radiation calculated (minutes) 18
dtsrf Time interval absorption-emission calculated (hours) 90
dt Time interval at which land model is called (seconds) 30
&physicsparam
Lateral Boundary conditions scheme
0 => Fixed
1 => Relaxation, linear technique.
iboudy 2 => Time-dependent 5
3 => Time and inflow/outflow dependent.
4 => Sponge (Perkey & Kreitzberg, MWR 1976)
5 => Relaxation, exponential technique.
Boundary layer scheme
0 => Frictionless
ibltyp 1 => Holtslag PBL (Holtslag, 1990) 1
2 => UW PBL (Bretherton and McCaa, 2004)
99 => Holtslag PBL, with UW in diag. mode
Cumulus convection scheme
1 => Kuo
2 => Grell
3 => Betts-Miller (1986) DOES NOT WORK !!!
4 => Emanuel (1991)
icup 4
5 => Tiedtke (1986) UNTESTED !!!
96 => Use Tiedtke over land and Grell over ocean
97 => Use Tiedtke over land and Emanuel over ocean
98 => Use Emanuel over land and Grell over ocean
99 => Use Grell over land and Emanuel over ocean
Moisture scheme
ipptls 1 => Explicit moisture (SUBEX; Pal et al 2000) 1
2 => Explicit moisture Nogherotto/Tompkins
Ocean Flux scheme
1 => Use BATS1e Monin-Obukhov
iocnflx 2
2 => Zeng et al (1998)
3 => Coare bulk flux algorithm (snowice),
scenario RCP Scenarios in RCP3PD,RCP4.5,RCP6,RCP8.5 'RCP4.5'
13

Simulasi Model Iklim Regional RegCM4.4


Simulasi RegCM4.4 dilakukan melalui tiga tahap yaitu (1) tahap pre-
processing (2) tahap processing dan (3) tahap post-processing. Tahap pre-
processing adalah tahap persiapan sebelum simulasi dilakukan meliputi penentuan
lokasi domain wilayah kajian, periode simulasi, penentuan data ICBC, penentuan
parameter fisik dan penyiapan sistem untuk simulasi model RegCM4.4. Periode
simulasi model RegCM4.4 dibagi menjadi periode historis (baseline; tahun 1981-
2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040). Domain wilayahnya adalah 107°27’ BT -
115°32’ BT dan 3°05’ LU - 4°10’ LS dengan skala spasial 10 × 10 km. Data ICBC
yang digunakan adalah CanESM2 dengan skenario emisi GRK berupa
Representative Concentration Pathway 4.5 (RCP-4.5). Skenario RCP-4.5
merupakan skenario emisi GRK menengah (moderate) dimana radiative forcing
dari permukaan bumi sebesar 4.5 W m-1 pada tahun 2100. Besarnya peningkatan
radiative forcing oleh bumi konsisten dengan peningkatan gas rumah kaca di
atmosfer. Pada RCP-4.5 besarnya konsentrasi CO2 stabil pada level 650 ppm
ekuivalen (Moss et al. 2010). Informasi parameter fisik yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tahap processing adalah tahap simulasi RegCM4.4 dalam sistem komputer
yang telah diinstal model RegCM4.4. Pada tahap ini model RegCM4.4 dijalankan
sesuai pengaturan yang ditentukan pada tahap pre-processing. Tahap post-
processing adalah tahap pengolahan data luaran simulasi RegCM4.4 seperti
pemilihan data iklim yang digunakan (misalnya curah hujan dan suhu maksimum),
konversi satuan data iklim dan konversi sistem grid sehingga data luaran simulasi
dapat dimanfaatkan untuk analisis lain seperti analisis kekeringan (Giorgi et al.
2013).

Koreksi Bias Data Curah Hujan


Koreksi bias dilakukan melalui dua tahap yaitu (1) koreksi bias data curah
hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasidan (2) koreksi bias data
curah hujan luaran RegCM4.4 menggunakan data curah hujan CHIRPS yang sudah
dikoreksi.

1. Koreksi bias data curah hujan CHIRPS


Metode yang digunakan untuk proses koreksi bias data CHIRPS adalah
berdasarkan metode yang digunakan oleh Lenderink et al. (2007). Data curah hujan
dikoreksi menggunakan rasio curah hujan rata-rata bulanan klimatologi observasi
dengan data yang akan dikoreksi seperti yang dijelaskan pada persamaan sebagai
berikut:
𝜇𝑚 𝑃(𝑜𝑏𝑠)
𝑃 ∗ (𝑚𝑑𝑙) = 𝑃(𝑚𝑑𝑙) 𝑥 [ ]
𝜇𝑚 𝑃(𝑚𝑑𝑙)

Keterangan:
P*(mdl) = Data curah hujan luaran model terkoreksi (CHIRPS terkoreksi)
P(mdl) = Data curah hujan luaran model (CHIRPS)
µm P(obs) = Data curah hujan rata-rata klimatologis observasi (Data Stasiun)
µm P(mdl) = Data curah hujan rata-rata klimatologis luara model (CHIRPS)
Pemilihan metode koreksi bias yang sederhana pada tahap ini didasarkan pada
kajian bahwa data CHIRPS mampu mewakili data curah hujan observasi terutama
14

pada wilayah yang kurang atau tidak memiliki stasiun observasi (Tote et al. 2015).
Sehingga proses koreksi yang dilakukan selain untuk memperbaiki data juga
digunakan untuk melihat hubungan antara data CHIRPS dengan data observasi.
Dalam proses koreksi, data CHIRPS yang digunakan adalah data titik
berdasarkan lokasi stasiun observasi yang digunakan yaitu delapan stasiun
meteorologi/klimatologi. Data delapan stasiun tersebut dibuat nilai rata-rata yang
menggambarkan data curah hujan wilayah yang kemudian dihitung nilai faktor
koreksi untuk masing-masing bulan. Nilai faktor koreksi bulanan yang diperoleh
digunakan untuk menghitung curah hujan CHIRPS terkoreksi pada setiap grid yang
digunakan.

2. Koreksi bias data curah hujan luaran simulasi RegCM4.4


Koreksi bias dilakukan menggunakan metode Piani et al. (2010). Data yang
dikoreksi adalah data curah hujan luaran model iklim regional menggunakan data
curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi. Metode Piani et al. (2010) digunakan
untuk mengkoreksi distribusi data. Hal tersebut penting utamanya digunakan untuk
tujuan analisis iklim ekstrim.
Langkah pertama dalam koreksi bias adalah membuat hubungan fungsi
transfer distribusi kumulatif gamma (Inverse Gamma Cumulative Distribution
Functions (CDFs)) antara data curah hujan luaran model RegCM4.4 dengan data
curah hujan CHIRPS terkoreksi. Langkah kedua adalah menentukan faktor koreksi
yang dihasilkan dari persamaan regresi linier atau polinomial. Gambar 3
menjelaskan proses koreksi data yang dilakukan. Persamaan distribusi gamma yang
digunakan dalam analisis adalah sebagai berikut:
x
(− ) (k−1)
e θ x
pdf(x) =
Ґ(𝑘)𝜃 𝑘

Keterangan:
x = Curah hujan normalisasi
k = Parameter bentuk
θ = Parameter skala

Adapun persamaan umum regresi linier dan regresi polinomial adalah sebagai
berikut:

𝑌1 = 𝑎 𝑥 + 𝑏

𝑌2 = 𝑎𝑛 𝑥 𝑛 + 𝑎𝑛−1 𝑥 𝑛−1 + 𝑎𝑛−2 𝑥 𝑛−2 + ⋯ + 𝑎2 𝑥 2 + 𝑎1 𝑥 + 𝑎0

Keterangan:
Y1 = Persamaan regresi linier
Y2 = Persamaan regresi polinomial
n = Derajat/orde polinomial
15

Gambar 3 Ilustrasi proses koreksi data berdasarkan metode yang dilakukan oleh
Piani et al. (2010)

Dalam prosesnya, persamaan regresi yang digunakan dapat disimulasikan


untuk memperoleh persamaan regresi terbaik. Oleh karena itu, dalam kajian ini
dilakukan lima simulasi proses koreksi yang dibedakan berdasarkan kategori
sebagai berikut:
1. Koreksi untuk semua bulan dan setiap grid dengan persamaan regresi linier
2. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan regresi linier
3. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan polinomial orde 2
4. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan polinomial orde 3
5. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan polinomial orde 3
dengan nilai intersep yang dikembalikan pada titik (0,0) (forcing intercept to
zero)
Berdasarkan lima simulasi yang dilakukan di atas akan ditentukan hasil yang
paling mendekati dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi. Penentuan simulasi
koreksi terbaik didasarkan pada pola sebaran spasial dan temporal yang mendekati
dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi.

Analisis Iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat


Analisis iklim dilakukan untuk mengetahui kondisi iklim historis dan
proyeksi di Kalimantan Barat. Beberapa analisisnya adalah analisis spasial dan
temporal curah hujan dan suhu, analisis tren temporal curah hujan dan suhu udara,
dan analisis indek iklim. Analisis spasial dimaksudkan untuk melihat sebaran hujan
dan suhu baik historis dan temporal di Kalimantan Barat. Dari analisis spasial akan
diketahui wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi ataupun rendah dengan
suhu yang tinggi atau rendah. Analisis temporal secara umum akan menampilkan
data deret waktu (time series) sehingga kita mengetahui tren dari curah hujan dan
16

suhu udara. Tren curah hujan dilakukan pada data bulanan dan musiman untuk
mengetahui kecenderungan curah hujan historis maupun proyeksi. Periode
musiman yang digunakan adalah bulan Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-
April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November
(SON). Analisis proyeksi iklim dilakukan untuk melihat perubahan kondisi curah
hujan dan suhu di masa mendatang yang dibandingkan dengan kondisi historis.

Analisis Standardized Precipitation Index (SPI)


Kondisi kekeringan lahan dihitung menggunakan metode Standardized
Precipitation Index (SPI; McKee et al. 1993). Perhitungan SPI didasarkan pada
distribusi statistik gamma. Langkah pertama adalah menghitung fungsi kepadatan
peluang (probability density function/PDF) berdasarkan distribusi gamma. Langkah
kedua adalah menghitung nilai fungsi distribusi kumulatif (cumulative distribution
function/CDF) dari nilai PDF. Langkah ketiga adalah transformasi nilai CDF
gamma kedalam nilai CDF pada distribusi normal dalam rentang nilai SPI (Lloyd-
Hughes dan Saunders 2002). Sebagai gambaran proses transformasi nilai curah
hujan terhadap nilai SPI dapat dilihat pada Gambar 4. Kategori kondisi kekeringan
berdasarkan nilai SPI dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai SPI negatif menunjukkan
kondisi CH yang defisit atau dalam kondisi kekeringan sedangkan nilai SPI positif
menunjukkan kondisi CH yang surplus hingga dapat menyebabkan kejadian banjir.

Gambar 4 Contoh proses transformasi curah hujan berdasarkan nilai CDF Gamma
ke CDF Normal yang digunakan pada nilai SPI (Diadaptasi dari Lloyd-
Hughes dan Saunders (2002))
17

Tabel 7 Kategori kekeringan berdasarkan nilai SPI dan peluang kejadiannya


Nilai SPI Kategori
> 2.00 Exceptionally moist
1.60 to 1.99 Extremely moist
1.30 to 1.59 Very moist
0.80 to 1.29 Moderately moist
0.51 to 0.79 Abnormally moist
0.50 to -0.50 Near normal
-0.51 to -0.79 Abnormally dry
-0.80 to -1.29 Moderately dry
-1.30 to -1.59 Severely dry
-1.60 to -1.99 Extremely dry
< -2.00 Exceptionally dry

Analisis Kerentanan dan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan


Penentuan tingkat kerentanan dapat dilakukan berdasarkan perhitungan
statistik nilai skor dan bobot dari indikator penentu kerentanan. Akan tetapi, dalam
analisis spasial hal tersebut sulit dilakukan secara langsung karena data yang
digunakan merupakan data spasial (keruangan). Oleh karena itu diperlukan metode
analisis yang memungkinkan perhitungan nilai skor dan bobot dalam skala spasial.
Composite mapping analysis (CMA) memungkinkan kita melakukan perhitungan
nilai skor dan bobot indikator penentu tingkat kerentanan secara spasial. Metode ini
banyak digunakan dalam analisis spasial, tidak hanya dalam menentukan
kerentanan kebakaran hutan dan lahan akan tetapi juga dapat digunakan dalam
kerentanan spasial yang lainnya (Boonyanuphap 2005; Jaya et al. 2007). Berikut
langkah yang dilakukan dalam menentukan tingkat kerentanan.
1. Menghitung kepadatan hotspot dalam 1 km2 dari data hotspot tahun 2002, 2006
dan 2009. Data hotspot yang digunakan adalah data hotspot dengan nilai
kepercayaan (confidence level) diatas 50%.
2. Membuat peta jarak (buffer) untuk data jaringan jalan, jaringan sungai dan pusat
pemerintahan.
3. Menghitung sebaran hotspot berdasarkan kelas indikator penentu kerentanan.
Tujuan dari langkah ini adalah untuk mengetahui berapa banyak jumlah hotspot
dalam satu kelas indikator penentu kerentanan tertentu. Tabel 8 menunjukkan
kelas dari masing-masing indikator.
18

Tabel 8 Kelas dari indikator penentu kerentanan


Indikator penentu kerentanan Kelas
Ketebalan Gambut 1. Non Gambut
2. < 50 cm
3. 50 – 100 cm
4. 100 – 200 cm
5. 200 – 400 cm
6. 400 – 800 cm
7. 800 – 1200 cm
Tutupan/Penggunaan Lahan Sesuai dengan kelas penutupan lahan
Sistem Lahan Sesuai dengan kelas sitem lahan
Jarak terhadap jalan Buffer dengan interval 1000 m (1km)
Jarak terhadap sungai Buffer dengan interval 1000 m (1km)
Jarak terhadap pusat pemerintahan Buffer dengan interval 1000 m (1km)
Kepadatan Penduduk Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran
data
PDRB Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran
data
Sebaran HTI Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran
data
Sebaran HPH Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran
data
Sebaran HGU Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran
data

4. Menentukan nilai skor dan bobot dari masing-masing indikator penentu


kerentanan. Sebelum menghitung bobot dari masing-masing indikator, terlebih
dahulu dihitung skor masing-masing kelas dari indikator penentu kerentanan.
Nilai skor dari masing-masing kelas dihitung berdasarkan formula berikut (Jaya
et al. 2007):

𝑂𝑖 100
𝑋𝑖 = [ ] ×
𝐸𝑖 𝑂
∑𝑛𝑖=1 𝑖
𝐸𝑖

𝑇×𝐹
𝐸𝑖 = [ ]
100

Keterangan:
Xi = Skor aktual setiap kelas indikator penentu kerentanan
Oi = Jumlah hotspot yang ada pada setiap kelas indikator (obserbved
hotspot)
Ei = Jumlah hotspot yang diharapkan pada setiap kelas indikator (expected
hotspot)
T = Jumlah total hotspot setiap indicator
F = Persentase luas (ha) pada masing-masing kelas
i = Kelas setiap indikator yang berjumlah sebanyak n
19

Setelah skor masing-masing kelas diperoleh, selajutnya dilakukan


penghitungan skor dugaan. Skor dugaan dihitung berdasarkan persamaan
regresi antara skor aktual setiap kelas dengan kepadatan hotspot (jumlah
hotspot/km2). Selanjutnya skor dugaan tersebut dibuat skor skala antara 10-100
dengan menggunakan formula berikut:

𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒𝐸𝑖𝑛𝑝𝑢𝑡 − 𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒𝐸𝑚𝑖𝑛
𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒 𝑅𝑜𝑢𝑡 = [( ) × (𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒𝑅𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒𝑅𝑚𝑖𝑛 )] + 𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒𝑅𝑚𝑖𝑛
𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒𝐸𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒𝐸𝑚𝑖𝑛

dengan:
Score Rout = Nilai skor hasil rescalling
ScoreE input = Nilai skor dugaan (estimated score) input
ScoreE min = Nilai minimal skor dugaan
ScoreE max = Nilai maksimal skor dugaan
ScoreR max = Nilai skor tertinggi hasil rescalling (100)
ScoreR min = Nilai skor terendah hasil rescalling (10)

Skor hasil rescalling digunakan untuk menentukan bobot dari masing-masing


indikator melalui analisis pemetaan komposit yang menghubungkan kepadatan
hotspot dengan semua indikator kerentanan. Hasil analisis pemetaan komposit
selanjutnya dibuat persamaan regresi yang menunjukkan hotspot sebagai fungsi
dari semua indikator kerentanan. Bobot kemudian ditentukan berdasarkan
proporsi masing-masing koefisien dari persamaan regresi dengan nilai total
bobot adalah 1. Persamaan umum (model) kerentanan kemudian disusun
berdasarkan formula berikut:

Y = a GMB + b PLH + c JLN + d SNG + e PEM + f SLH + g HTI +


h HGU + i HPH + j POP + k PDRB

Keterangan:
Y = Skor Total Tingkat Kerentanan
GMB = Skor kedalaman gambut
PLH = Skor penutupan lahan
JLN = Skor jarak dari jalan
SNG = Skor jarak dari sungai
PEM = Skor jarak dari pusat pemerintahan
SLH = Skor sistem lahan
HTI = Skor Persentase luas HTI per kecamatan
HGU = Skor Persentase luas HGU per kecamatan
HPH = Skor Persentase luas HPH per kecamatan
POP = Skor Kepadatan Penduduk
PDRB = Skor PDRB
a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k adalah bobot dari setiap indikator penentu kerentanan.
20

Tabel 9 Matrik risiko kebakaran hutan dan lahan. Tingkat risiko dibagi menjadi 5
yaitu Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T) dan Sangat
Tinggi (ST). Kategori curah hujan ekstrim memiliki rentang nilai (1) 0-40
mm, (2) 41-80 mm, (3) 81-120 mm, (4) 121-160 mm dan (5) 161-200 mm.
CH Ekstrim Kering
Kerentanan
5 4 3 2 1
SR SR SR R R S
R SR R R S T
S R R S T T
T R S T T ST
ST S T T ST ST

Tingkat kerentanan yang digunakan dalam analisis ini adalah tingkat


kerentanan dengan 5 kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat
tinggi. Risiko yang merupakan fungsi dari tingkat kerentanan dan kejadian iklim
ekstrim, dihitung berdasarkan nilai tingkat kerentanan dengan nilai kejadian iklim
ekstrim berupa curah hujan ekstrim kering pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA).
Curah hujan ekstrim dihitung berdasarkan nilai persentil 10% dan persentil 5% dari
data curah hujan JJA. Matrik risiko yang digunakan dalam menentukan tingkat
risiko kebakaran hutan dan lahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tingkat risiko dibagi
kedalam 5 kelas risiko kebakaran hutan dan lahan yaitu sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi dan sangat tinggi. Pada tahapan akhir nilai risiko tersebut akan
dipetakan untuk menjadi peta risiko kebakaran lahan di Kalimantan Barat.
Pemetaan risiko kebakaran dimaksudkan untuk mengetahui dengan mudah wilyah
mana saja yang memiliki risiko tinggi sehingga proses antisipasi mudah dilakukan.
21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat

Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi yang masih memiliki


banyak lahan hutan yang bermanfaat sebagai salah satu cagar alam bagi satwa
maupun tumbuhan. Namun demikian, dengan semakin bertambahnya jumlah
penduduk dan kebutuhan akan lahan untuk pemukiman dan pertanian, keberadaan
lahan hutan sebagian beralih fungsi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Analisis
penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dari
tahun 1990 hingga tahun 2012 di Propinsi Kalimantan Barat.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang cukup signifikan
terhadap luasan hutan terutama hutan rawa primer yang sebagian besar merupakan
lahan gambut. Area lahan tersebut sebagian besar berubah menjadi lahan
perkebunan dimana antara tahun 2006 dan 2009 terlihat sangat jelas perubahannya.
Kondisi tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Carlson et al. (2012)
yang menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2008 telah terjadi degradasi atau
kehilangan luasan lahan gambut hingga 40% akibat dari pembukaan lahan untuk
kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Kalimantan Barat. Selain area
rawa gambut, area mangrove juga banyak mengalami degradasi terutama antara
tahun 1990 hingga tahun 2000.
Penambahan luas area pertambangan juga menjadi salah satu sebab
berkurangnya wilayah rawa gambut dan area mangrove. Pada tahun 2012 terdapat
peningkatan area pertambangan hingga 10% dibandingkan dengan tahun 2009.
Penambahan luas area juga terjadi pada lahan terbuka (Gambar 5). Hal tersebut
diduga menjadi lahan yang sudah tidak digarap oleh masyarakat akibat fungsinya
yang sudah menurun. Luas masing-masing tutupan lahan dapat dilihat di Lampiran
1.
Perubahan penggunaan lahan dari tahun ke tahun seperti yang dijelaskan
berdampak pada kondisi emisi gas rumah kaca di atmosfer. Perubahan penggunaan
lahan terutama pada lahan gambut merupakan salah satu dari sumber peningkatan
gas rumah kaca di atmosfer. Dalam kajian van der Werf et al. (2009) disebutkan
bahwa emisi GRK yang dihasilkan dari perubahan penggunaan lahan dapat
mencapai 10-20% dari total emisi GRK global. Peningkatan emisi gas rumah kaca
dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global yang memicu perubahan iklim.
22

Gambar 5 Perbandingan besaran luas penggunaan lahan (PL; dalam persen) di


Kalimantan Barat tahun 1990 hingga tahun 2012. Data penggunaan lahan
diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012
23

Gambar 6 Penggunaan lahan Propinsi Kalimantan Barat tahun 1990-2012. Data


penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tahun 2012
24

Hasil Koreksi Curah Hujan CHIRPS

Analisis koreksi bias menunjukkan bahwa data curah hujan CHIRPS


memiliki kemiripan dengan data curah hujan observasi dimana perbandingan nilai
curah hujannya tidak tinggi (Tabel 10). Nilai faktor koreksi untuk data curah hujan
CHIRPS berkisar antara 0.82 hingga 1.26. Dilihat dari pola hujan antara data curah
hujan CHIRPS terkoreksi dan data curah hujan BMKG menunjukkan kemiripan
pola hujan yaitu pola hujan ekuatorial (Gambar 6). Hal tersebut menunjukkan
bahwa data curah hujan CHIRPS mampu digunakan mewakili data curah hujan
pada daerah yang tidak memiliki stasiun meteorologi/klimatologi.
Pemanfaatan data global seperti CHIRPS pada dasarnya dilakukan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan data curah hujan yang memiliki sebaran
spasial secara merata pada suatu daerah. Hal tersebut dilakukan mengingat
penyebaran stasiun meteorologi/klimatologi di Kalimantan Barat tidak merata.
Sebagian besar stasiun meteorologi/klimatologi di Kalimantan Barat berada pada
wilayah bagian barat, sehingga untuk wilayah bagian timur sulit untuk
mendapatkan informasi data curah hujan.

Tabel 10 Nilai faktor koreksi antara data Observasi BMKG dengan data CHIRPS
CHIRPS
Bulan CHIRPS Observasi Faktor Koreksi
Terkoreksi
Jan 318.4 261.6 260.2 0.82
Feb 212.0 190.8 189.7 0.90
Mar 226.6 220.4 219.2 0.97
Apr 218.0 248.6 247.2 1.14
Mei 208.4 230.6 229.3 1.11
Jun 178.5 221.1 221.1 1.24
Jul 155.9 196.0 196.0 1.26
Ags 165.3 167.9 167.9 1.02
Sept 196.1 182.4 182.4 0.93
Okt 275.9 252.1 252.1 0.91
Nov 288.8 289.7 289.7 1.00
Des 311.4 287.9 287.9 0.92

Gambar 7 Perbandingan curah hujan observasi dengan data CHIRPS terkoreksi


25

Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4

Luaran simulasi model RegCM4.4 menggunakan parameter fisik yang dipilih


secara umum menunjukkan kondisi nilai curah hujan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai curah hujan dari data CHIRPS terkoreksi. Meskipun
demikian, sebaran spasial data curah hujan luaran simulasi model RegCM4.4 dapat
menggambarkan kondisi curah hujan di Kalimantan Barat. Wilayah bagian barat
Propinsi Kalimantan Barat memiliki curah hujan yang lebih rendah dibandingkan
dengan wilayah bagian timur (Gambar 8). Dilihat dari sebaran bulanan, pola hujan
luaran simulasi model RegCM4.4 menunjukkan pola hujan monsunal, sedangkan
hasil analisis menggunakan data curah hujan observasi dan CHIRPS menunjukkan
bahwa pola hujan di Kalimantan Barat adalah pola hujan ekuatorial.

Gambar 8 Perbandingan curah hujan luaran simulasi model RegCM4.4 tanpa


koreksi (kiri) dengan curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi (kanan)

Dari sebaran bulanan juga dapat kita lihat secara jelas bahwa curah hujan
luaran simulasi model RegCM4.4 melebihi nilai curah hujan CHIRPS terkoreksi
(Gambar 9). Analisis Ogwang et al. (2015) yang melakukan kajian sensitivitas
model RCM untuk wilayah tropis menunjukkan bahwa penggunaan skema
konveksi awan kumulus MIT-emmanuel menghasilkan kecenderungan nilai curah
hujan yang lebih tinggi dari observasi. Oleh karena itu dibutuhkan proses koreksi
bias agar data luaran simulasi model RCMs mendekati data observasi.
26

Gambar 9 Perbandingan pola hujan luaran simulasi model RegCM4.4 dengan pola
hujan CHIRPS

Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4 Terkoreksi

Hasil analisis simulasi koreksi bias data curah hujan luaran model RegCM4.4
dapat dilihat pada Gambar 11 sampai Gambar 15. Berdasarkan Simulasi 1, hasil
koreksi data curah hujan menunjukkan adanya ketidakkonsistenan antara nilai
curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan nilai curah hujan luaran model RegCM4.4.
Pada beberapa bulan dimana nilai curah hujan CHIRPS terkoreksi menunjukkan
nilai rendah, nilai curah hujan luaran model RegCM4.4 menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut memberi informasi bahwa satu
persamaan regresi linier yang digunakan untuk seluruh bulan tidak memberikan
hasil yang baik. Hasil analisis juga menunjukkan tidak adanya perubahan pola
hujan hasil koreksi bias dimana masih menggambarkan pola hujan monsunal
(Gambar 10).
Hasil koreksi bias pada Simulasi 2 menunjukkan adanya kemiripan pola
hujan antara data curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan data curah hujan luaran
model RegCM4.4. Namun demikian, secara sebaran spasial masih terdapat bias
yang perlu diperbaiki seperti pada Bulan Agustus dimana hasil koreksi bias data
curah hujan luaran model RegCM4.4 menunjukkan nilai yang lebih rendah
dibandingkan dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi (Gambar 12). Pada
Simulasi 3 dan Simulasi 4 hasil koreksi bias yang diperoleh tidak jauh berbeda
dengan Simulasi 2. Pola hujan mampu diperbaiki dengan baik, namun sebaran
spasial masih menunjukkan adanya bias. Meskipun demikian, persamaan
polinomial orde tiga menjadi pilihan terbaik. Pertimbanganya adalah, hubungan
antara data curah hujan CHIRPS terkoreksi dan data curah hujan luaran model
RegCM4.4 tidak linier karena mempertimbangkan pola hujan yang berbeda antara
kedua data. Selain itu, pada persamaan polinomial orde dua, maka akan ada
penurunan nilai curah hujan hasil koreksi bias pada satu titik tertentu. Koreksi bias
data curah hujan luaran model RegCM4.4 pada Simulasi 5 menunjukkan hasil
paling mendekati dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi dimana pola hujan
dan sebaran spasial hampir sama. Oleh karena itu, koreksi bias pada Simulasi 5
menjadi hasil terbaik dari seluruh simulasi koreksi bias yang dilakukan (Gambar
15).
27

Gambar 10 Perbandingan pola hujan antara data curah hujan CHIRPS terkoreksi
dan simulasi koreksi bias luaran model RegCM4.4

Gambar 11 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan


luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 1.
Secara umum terlihat adanya ketidakkonsistenan hasil koreksi bias
28

Gambar 12 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan


luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 2.
Secara umum tidak menjukkan adanya perbaikan sebaran curah hujan

Gambar 13 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan


luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 3.
Hasil koreksi menjukkan kondisi yang hampir sama dengan Simulasi 2
29

Gambar 14 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan


luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 4.
Secara umum memiliki pola spasial yang konsisten. Akan tetapi perlu
perbaikan pada bulan Juli-Agustus-September

Gambar 15 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan


luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 5.
Hasil Simulasi 5 merupakan hasil terbaik dibandingkan simulasi lain
30

Nilai koefisien regresi polinomial pada Simulasi 5 terdapat pada Gambar 16.
Perbedaan nilai koefisien yang paling besar terjadi pada bulan Mei dan bulan
November. Hal tesebut terjadi karena adanya pengaruh perbedaan pola hujan
sehingga untuk menyesuaikan pola hujan antara kedua data tersebut dibutuhkan
nilai yang lebih besar.

Gambar 16 Nilai koefisien P1, P2 dan P3 dalam persamaan polinomial (Y= P3*X3
+ P2*X2 + P1*X + 0) pada Simulasi 5 yang digunakan untuk
mengkoreksi data curah hujan luaran model RegCM4.4
31

Hasil koreksi bias curah hujan luaran model RegCM4.4 menggunakan


Simulasi 5 secara time series dari tahun 1981-2005 dapat dilihat pada Gambar 17.
Secara umum koreksi bias menunjukkan hasil yang baik meskipun masih terdapat
beberapa yang tidak sesuai. Perubahan pola musim hujan dan kemarau jelas terlihat
menunjukkan adanya kemampuan koreksi bias mengkoreksi pola hujan yang ada.

Gambar 17 Perbandingan data curah hujan bulanan dari data CHIRPS terkoreksi
dengan data luaran simulasi RegCM4.4 yang sudah dikoreksi
(CanESM2 terkoreksi). Secara umum koreksi bias menggunakan
simulasi mampu meperbaiki data luaran simulasi RegCM4.4

Kondisi Iklim Propinsi Kalimantan Barat

Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi yang berada pada wilayah
garis khatulistiwa. Kondisi tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada kondisi
cuaca/iklim wilayah tersebut. Salah satu ciri dari wilayah yang berada pada daerah
khatulistiwa adalah suhu udara yang tinggi hampir sepanjang tahun dibandingkan
dengan wilayah yang berada di selatan ataupun utara khatulistiwa. Selain itu, curah
hujan di wilayah khatulistiwa juga terjadi hampir setiap bulan.
Analisis curah hujan di propinsi Kalimantan Barat meliputi tren curah hujan,
distribusi spasial dan perubahan curah hujan proyeksi dibandingkan dengan nilai
historis. Tren curah hujan tahunan historis dan proyeksi dapat dilihat pada Gambar
18 dan Gambar 19. Pada periode historis, kondisi curah hujan menunjukkan adanya
sedikit tren penurunan, sedangkan pada periode proyeksi menunjukkan adanya tren
peningkatan curah hujan. Dilihat pada gambar tersebut pula kita dapat memperoleh
gambaran bahwa curah hujan bulanan periode proyeksi memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan curah hujan historis. Dalam beberapa waktu juga dapat
dilihat bahwa terdapat beberapa nilai curah hujan tahunan yang termasuk dalam
kategori cukup tinggi yang mencapai lebih dari 4000 mm/tahun.
32

Gambar 18 Tren curah hujan tahunan historis wilayah Kalimantan Barat tahun
1981-2005

Gambar 19 Tren curah hujan tahunan proyeksi wilayah Kalimantan Barat tahun
2016-2040

Gambar 20 Tren curah hujan musiman periode historis tahun 1981-2005. Musim
peralihan (MAM dan SON) menunjukkan adanya tren penurunan curah
hujan sedangkan musim hujan (DJF) menunjukkan adanya tren
peningkatan curah hujan dan musim kemarau (JJA) konstan
33

Gambar 21 Tren curah hujan musiman periode proyeksi tahun 2016-2040. Secara
umum di masa mendatang curah hujan musim penghujan (DJF) dan
musim peralihan penghujan ke kamarau (MAM) menunjukkan adanya
peningkatan tren. Akan tetapi pada musim kemarau (JJA) dan peralihan
musim kemarau ke musim penghujan (SON) menunjukkan adanya
penurunan tren

Tren curah hujan musiman ditunjukkan pada Gambar 20 untuk periode


historis dan Gambar 21 untuk periode proyeksi. Pada periode historis, curah hujan
musim penghujan (DJF) mengalami peningkatan dengan nilai tren 5.7 mm tahun-1.
Pada musim kemarau juga mengalami peningkatan curah hujan akan tetapi
memiliki tren yang lebih rendah. Pada musim peralihan baik dari musim penghujan
ke musim kemarau ataupun sebaliknya, curah hujan historis mengalami penurunan
curah hujan. Penurunan curah hujan tertinggi terjadi pada musim MAM dengan
nilai tren penurunan curah hujan sebesar 6.5 mm tahun-1.
Pada periode proyeksi, curah hujan musiman menunjukkan peningkatan tren
pada musim penghujan dan penurunan tren pada musim kemarau. Di masa
mendatang curah hujan JJA diproyeksikan mengalami penurunan dengan tren 13.4
mm tahun-1 mulai tahun 2016 hingga 2040. Penurunan curah hujan musim kemarau
akan berdampak pada semakin berkurangnya curah hujan yang dapat
mengakibatkan kekeringan yang bisa jadi akan semakin parah. Kondisi kekeringan
di masa mendatang dapat dilihat pada bahasan di bab terpisah.
Curah hujan pada musim penghujan diproyeksikan akan mengalami
peningkatan dengan tren peningkatan sebesar 3.1 mm tahun-1. Kondisi ini akan
mempengaruhi kondisi curah hujan ekstrim basah yang dapat menyebabkan banjir.
Kondisi peningkatan curah hujan juga berlanjut pada musim peralihan dari musim
penghujan ke musim kemarau (MAM). Kondisi tersebut berimplikasi pada
pergeseran musim dimana musim kemarau akan semakin panjang dan awal musim
hujan akan mundur.
34

Gambar 22 Distribusi spasial curah hujan periode baseline (tahun 1981-2005) dan
proyeksi (tahun 2016-2040) di Kalimantan Barat

Propinsi Kalimantan Barat memiliki pola hujan ekuatorial. Salah satu ciri dari
pola hujan tersebut adalah terjadinya dua puncak hujan yang terjadi pada bulan
Maret/April dan Oktober/November. Selain itu, pola hujan ekuatorial juga memiliki
hari hujan yang lebih banyak sehingga setiap bulan hampir selalu terjadi hujan.
Curah hujan di Propinsi Kalimantan Barat umumnya tinggi di wilayah bagian timur
yang memiliki tutupan lahan hutan primer, sedangkan pada bagian barat memiliki
curah hujan yang lebih rendah. Secara alami keberadaan hutan dapat mempengaruhi
kondisi iklim termasuk curah hujan di suatu lokasi. Vegetasi yang ada di hutan akan
mempengaruhi siklus hidrologi yang pada akhirnya akan berpengaruh pada jumlah
hujan. Kajian Hasler et al. (2009) menggunakan modeling iklim menyebutkan
bahwa dengan adanya penurunan luas hutan (deforestasi) dapat mempengaruhi
siklus hidrologi dan berakibat menurnnya curah hujan tahunan hingga 80%. Hal
yang sama dikemukakan oleh Werth dan Avissar (2005) dan Sen et al. (2010).
Menurut Werth dan Avissar (2005) jika semua tutupan lahan hutan di Asia
Tenggara hilang akan terjadi penurunan curah hujan 1 mm hari-1 sepanjang tahun
sedangkan Sen et al. (2010) menyebutkan akan terjadi penurunan curah hujan
sebesar 20-30% di China dan Vietnam. Berbanding terbalik dengan wilayah hutan,
wilayah yang berdekatan dengan pantai umumnya memiliki curah hujan yang lebih
rendah. Curah hujan di wilayah yang berdekatan pantai sangat dipengaruhi oleh
pola aliran angin yang membawa uap air. Wilayah yang mengarah ke laut akan
lebih rendah akibat aliran angina yang meningkat (Hamada et al. 2008).
Hasil analisis perubahan curah hujan menunjukkan bahwa curah hujan di
Kalimantan Barat terdapat beberapa bulan yang mengalami penurunan dan
peningkatan curah hujan. Penurunan tertinggi terjadi pada bulan November yang
35

mencapai 7.8% dibandingkan dengan periode historis, sedangkan peningkatan


tertinggi terjadi pada bulan Februari yang mencapai 11.1% (Gambar 23). Dilihat
pada pola perubahan tersebut, dapat dikatakan bahwa peningkatan dan penurunan
curah hujan dapat terjadi pada bulan basah maupun bulan kering. Kondisi tersebut
tentu menarik untuk melihat bagaimana dampak dari perubahan tersebut terhadap
kejadian iklim ektrim di masa mendatang yang di bahas pada Bab terpisah.

Gambar 23 Besaran perubahan curah hujan proyeksi (tahun 2016-2040)


dibandingkan dengan curah hujan baseline (tahun 1981-2005)

Dari analisis data suhu luaran model RegCM4.4 dapat dilihat bahwa suhu
maksimum wilayah Kalimantan Barat periode tahun 1981-2005 (rataan 25 tahun)
berada pada kisaran 29-320C. Wilayah bagian barat Propinsi Kalimantan Barat
memiliki suhu maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya
(Gambar 24a). Seperti diketahui bahwa wilayah bagian barat merupakan wilayah
yang berbatasan langsung dengan laut dimana pada umumnya memiliki pengaruh
pada kondisi suhu wilayah sekitarnya.

Gambar 24 Pola spasial suhu maksimum Kalimantan Barat periode baseline (1981-
2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040)
36

Gambar 25 Pola spasial suhu minimum Kalimantan Barat periode baseline (1981-
2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040)

Gambar 26 Pola spasial suhu rata-rata Kalimantan Barat periode baseline (1981-
2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040)

Pola spasial suhu minimum untuk wilayah Kalimantan Barat dapat dilihat
pada Gambar 16. Secara umum suhu minimum untuk periode tahun 1981-2005
berada pada kisaran 19-240C. Sebaran suhu minimum yang lebih tinggi berada pada
wilayah bagian barat dari Propinsi Kalimantan Barat (Gambar 25a). Adapun suhu
rata-rata berada pada kisaran 23-280C dengan pola spasial yang tidak jauh berbeda
dengan suhu maksimum maupun suhu minimum dimana suhu yang lebih tinggi
berada pada bagian barat dari Propinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung
dengan wilayah laut sedangkan wilayah timur yang sebagian besar berupa lahan
hutan primer memiliki suhu yang lebih rendah (Gambar 26a).
Kajian proyeksi suhu udara periode tahun 2016-2040 relatif terhadap periode
tahun 1981-205, secara umum terjadi peningkatan suhu udara yang berkisar antara
0.7-1.40C baik untuk suhu maksimum, suhu minimum maupun suhu rata-rata. Nilai
37

peningkatan suhu tersebut sesuai dengan beberapa kajian proyeksi suhu udara baik
dalam skala global maupun skala regional seperti yang dilakukan oleh IPCC (2013).
Tren peningkatan dapat dilihat pada Gambar 27. Secara umum tren peningkatan
suhu maksimum, suhu minimum dan suhu rata-rata hampir sama. Hanya saja tren
peningkatan suhu maksimum lebih tinggi dibanding dengan suhu minimum dan
suhu rata-rata.

Gambar 27 Tren suhu maksimum, suhu minimum dan suhu rata-rata di Kalimantan
Barat periode tahun 1981-2040

Dilihat dari pola spasialnya, peningkatan suhu lebih tinggi pada wilayah
bagian barat. Kondisi tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu indikator bahwa
dengan suhu yang lebih tinggi dibanding wilayah lain, ditambah dengan terjadinya
peningkatan suhu yang lebih tinggi pula, maka kedepan diproyeksikan wilayah
bagian barat dari Propinsi Kalimantan Barat akan memiliki suhu yang jauh lebih
tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 28b dimana proyeksi suhu
maksimum di wilayah bagian barat dapat mencapai 35°C. Sedangkan suhu
minimum yang biasanya terjadi pada dinihari dapat mencapai 27°C (Gambar 28b)
dan suhu rata-rata berada pada kisaran 30°C.
38

Gambar 28 Pola distribusi peningkatan suhu maksimum, suhu minimum dan suhu
rata-rata untuk proyeksi tahun 2016-2040 dibandingkan dengan periode
baseline tahun 1981-2005

Curah Hujan Ekstrim Kering

Kekeringan lahan menjadi salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan


dan lahan di sebagian wilayah Indonesia. Secara umum kekeringan terjadi akibat
berkurangnya curah hujan dalam periode tertentu. Curah hujan ekstrim kering
menjadi salah satu indikator untuk menentukan risiko kebakaran hutan dan lahan.
Curah hujan ekstrim kering dihitung berdasarkan nilai persentil 10% dan persentil
5% dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 untuk bulan Juni-Juli-Agustus
(JJA).
39

Gambar 29 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5% dari data
curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus (JJA)
periode tahun 1981-2005. Kondisi sangat kering pada umunya terjadi
pada bagian selatan Propinsi Kalimantan Barat.

Gambar 30 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10% dari data
curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus (JJA)
periode tahun 1981-2005.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan nilai persentil 5%, curah hujan
sangat ekstrim kering pada periode historis (tahun 1981-2005) terjadi pada bagian
selatan dan barat Propinsi Kalimantan Barat. Wilayah utara Propinsi Kalimantan
Barat memiliki tingkat curah hujan ekstrim kering yang rendah dibandingkan pada
wilayah lain. Pada wilayah utara, curah hujan bulanan secara umum diatas 100 mm
(Gambar 29). Pada nilai persentil 10%, curah hujan ekstrim kering secara umum
diatas nilai 50 mm atau lebih tinggi dibandingkan pada nilai persentil 5%. Namun
demikian, pola sebaran memiliki kemiripan dimana pada wilayah selatan dan barat
memiliki curah hujan yang lebih rendah (lebih kering) dibandingkan dengan
wilayah utara dan timur (Gambar 30). Pola sebaran curah hujan ekstrim di atas jika
40

dilihat berdasarkan penggunaan lahan bisa dikatakan bahwa pada wilayah hutan
lebih aman dari kondisi curah hujan ekstrim kering dibandingkan dengan wilayah
pada lahan pertanian/perkebunan dan lahan gambut yang umumnya berada di
sepanjang garis pantai barat dari selatan hingga ke bagian tengah Propinsi
Kalimantan Barat.

Gambar 31 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5% dari data
curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus (JJA)
periode tahun 2016-2040. Pada periode proyeksi ini, curah hujan
ekstrim kering memiliki kecenderungan meningkat dibandingkan
dengan periode historis.

Gambar 32 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10% dari data
curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus (JJA)
periode tahun 2016-2040. Kondisi curah hujan ekstrim kering tidak
berbeda jauh dengan nilai persentil 5%. Akan tetapi luasan wilayah
yang sangat ekstrim kering lebih sedikit.
41

Analisis proyeksi curah hujan ekstrim kering menunjukkan bahwa adanya


peningkatan luas wilayah yang mengalamai kekeringan sangat ekstrim. Pada nilai
persentil 5%, wilayah yang memiliki curah hujan sangat ekstrim menjadi lebih luas
hingga bagian tengah dari Propinsi Kalimantan Barat. Begitu pula pada nilai
persentil 10% dimana sebagian besar wilayah selatan Propinsi Kalimantan Barat
menjadi sangat ekstrim kering curah hujan pada bulan JJA. Peningkatan luasan
wilayah yang menjadi sangat ekstrim kering perlu menjadi perhatian dimana
dimungkinkan mengakibatkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan di
masa mendatang. Hasil analisis curah hujan ekstrim kering juga dapat menjadi
gambaran bahwa ada kecenderungan penurunan curah hujan di masa mendatang
pada periode musim kemarau yaitu bulan JJA.

Kondisi Kekeringan di Kalimantan Barat

Hasil analisis SPI untuk kekeringan lahan menunjukkan bahwa pada skala
waktu 1 bulan, pola SPI mengikuti dengan pola hujan dimana ketika anomali curah
hujan negatif, nilai SPI juga menunjukkan kondisi negatif yang berarti kondisi
kekeringan. Jika dikorelasikan antara nilai SPI 1 bulan dengan nilai anomali curah
hujan, maka diperoleh nilai korelasi sebesar 0.97. Nilai korelasi antara anomali
curah hujan dengan SPI 1 bulan merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan
SPI menggunakan skala waktu yang lainnya. Meskipun demikian, skala waktu yang
dipilih untuk analisis tidak didasarkan pada nilai korelasi tersebut melainkan dari
tujuan perhitungan indeks SPI seperti untuk informasi sistem pertanian dimana
kondisi meteorologis dan kelengasan tanah yang mudah berubah, dapat
memanfaatkan skala waktu SPI 1 dan 3 bulan. Selain itu, untuk tujuan jangka waktu
yang lebih panjang seperti dalam sistem hidrologi dapat memanfaatkan skala waktu
SPI 6 hingga 12 bulan.
Skala waktu dalam perhitungan indeks SPI juga digunakan untuk melihat
durasi kejadian kekeringan dan tingkat keparahan dari kekeringan (Szalai dan
Szinell 2000). Skala waktu yang lebih panjang akan berpengaruh pada durasi
kekeringan yang lebih lama. Pada skala waktu 1 bulan dimana pola SPI mengikuti
pola curah hujan sehingga durasi kekeringan juga mengikuti periode hujan bulanan.
Pada skala waktu 3 bulan dan lebih, durasi kekeringan menjadi lebih lama dimana
kondisi kekeringan mempertimbangkan kecenderungan kondisi hujan bulanan yang
terjadi. Pada tahun 1991 misalnya, terlihat jelas bahwa periode kekeringan menjadi
lebih lama menjadi sekitar 4 bulan bila menggunakan skala waktu 3 bulan atau lebih
(Gambar 33). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa metode SPI mampu
mensimulasikan kekeringan yang terjadi pada tahun El-Nino. Beberapa kejadian
kekeringan akibat fenomena El-Nino seperti tahun 1982/1983, tahun 1986/1987,
tahun 1991/1992 dan tahun 1997/1998 dapat disimulasikan menggunakan metode
SPI.
42

Gambar 33 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1 bulan hingga
24 bulan periode tahun 1981-2005. Warna merah menunjukkan nilai
SPI negatif/kering, warna biru menunjukkan nilai SPI positif/basah dan
warna hijau menunjukan nilai anomali curah hujan

Analisis SPI untuk periode proyeksi, intensitas dan durasi kekeringan lahan
tidak jauh berbeda dengan periode historis. Pola SPI juga mengikuti pola
kecenderungan dari nilai anomali curah hujan dimana pada saat anomali negatif,
SPI juga akan menunjukkan kondisi negatif. Dilihat dari keseluruhan skala waktu
SPI, di masa mendatang diproyeksikan setidaknya terdapat 7 (tujuh) periode
kekeringan dengan durasi kekeringan lebih dari 6 bulan yaitu periode tahun
2017/2018, periode tahun 2021/2022, periode tahun 2023/2024, periode tahun
2026/2027, periode tahun 2029/2030, periode tahun 2033/2034 dan periode tahun
2037/2038. Periode kekeringan diproyeksikan akan berulang setiap 2 hingga 5
43

tahunan sekali. Periode tersebut secara tidak langsung akan berkaitan dengan
kondisi variabilitas iklim lain seperti ENSO.

Gambar 34 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1 bulan hingga
24 bulan periode tahun 2016-2040. Warna merah menunjukkan nilai
SPI negatif/kering, warna biru menunjukkan nilai SPI positif/basah dan
warna hijau menunjukan nilai anomali curah hujan

Kondisi Kebakaran Lahan di Kalimantan Barat

Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi yang sering terjadi


kebakaran lahan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kondisi
44

kebakaran hutan dan lahan adalah titik api (hotspot). Pada tahun 2014 hingga bulan
September, Satelit Terra dan Aqua (MODIS) mendeteksi jumlah hotspot sebanyak
5803 buah titik yang tersebar hampir diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat.
Kabupaten Ketapang menjadi wilayah dengan jumlah titik panas terbanyak yaitu
1461 titik panas (Tabel 11).

Tabel 11 Distribusi hotspot MODIS per Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan


Barat Tahun 2014
No. Kabupaten/Kota* Jumlah Hotspot
1 Bengkayang 378
2 Kapuas Hulu 392
3 Kayong Utara 73
4 Ketapang 1.461
5 Pontianak* 5
6 Singkawang* 27
7 Kubu Raya 608
8 Landak 208
9 Melawi 210
10 Pontianak 427
11 Sambas 899
12 Sanggau 402
13 Sekadau 92
14 Sintang 621
Jumlah 5.803
Sumber: Pengolahan data hotspot MODIS (Satelit Terra dan Aqua) dari NASA
FIRMS Fire Archive 1 Januari – 28 September 2014 dengan confidence
level > 50

Berdasarkan sebaran musiman, jumlah titik panas terbanyak umumnya terjadi


pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Bulan tersebut merupakan waktu musim
kemarau di Kalimantan Barat dimana banyak digunakan oleh masyarakat untuk
mengelola lahan dengan cara yang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan dan
lahan seperti tebas dan bakar (slash and burn). Metode ini sangat umum digunakan
masyarakat karena mudah dan murah (Varma 2003). Masyarakat hanya perlu
menebas kemudian membiarkan hingga kering kemudian di bakar. Pada kondisi
yang tidak terkendali ditambah dengan kondisi lingkungan fisik kering, metode
tebas dan bakar ini akan menyebabkan terjadinya kebakaran besar akibat penjalaran
api pada lahan kering. Kejadian kebakaran hutan dan lahan akan lebih parah apabila
musim kemarau yang terjadi diikuti dengan kejadian El-Nino yang mempengaruhi
kondisi kekeringan lahan. Akibatnya pada tahun El-Nino biasanya akan terjadi
kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar. Gambar 35 merupakan distribusi
bulanan jumlah hotspot pada tahun 2002, 2006 dan 2009 yang merupakan tahun El-
Nino di Indonesia. Terlihat jelas bahwa periode JJA merupakan periode jumlah
hotspot tertinggi dalam setahun dengan bulan Agustus menjadi puncak jumlah
hotspot tertinggi. Pada tahun El-Nino, awal musim hujan umumnya akan mundur
hingga 1-3 bulan kedepan sehingga pada periode bulan SON pada tahun El-Nino
juga masih terdapat hotspot yang banyak. Gambar 36 menunjukkan hubungan
antara indeks SOI dengan jumlah hotspot bulanan tahun 2002-2013. Secara jelas
45

terlihat bahwa jumlah hotspot tinggi terjadi pada bulan JJA dan akan semakin
meningkat apabila diikuti dengan kondisi anomali iklim El-Nino.

Gambar 35 Jumlah hotspot bulanan di Propinsi Kalimantan Barat pada tahun a)


2002, b) 2006 dan c) 2009. Ketiga tahun diatas adalah periode dalam
15 tahun terakhir dengan jumlah hotspot tertinggi dan periode tahun
tersebut yang digunakan dalam analisis kerentanan kebakaran hutan
dan lahan. (Sumber Pengolahan data hotspot MODIS (Satelit Terra dan
Aqua) dari NASA FIRMS Fire Archive dengan confidence level > 50)
46

Gambar 36 Hubungan antara indeks SOI dengan jumlah hotspot di Propinsi


Kalimantan Barat

Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat

Indikator kerentanan yang digunakan dalam analisis kerentanan


menggambarkan kondisi faktor biofisik, aktivitas manusia dan sosial ekonomi di
Kalimantan Barat. Kondisi biofisik yang dimaksud adalah kondisi permukaan
wilayah yang ada di Kalimantan Barat yaitu meliputi ketebalan gambut,
penggunaan lahan dan sistem lahan. Adapun aktivitas manusia dimaksudkan
sebagai aksesbilitas orang dalam menjangkau wilayah-wilayah yang ada di
Kalimantan Barat yaitu meliputi jalan, sungai dan jarak dari pusat pemerintahan,
sedangkan kondisi sosial ekonomi dihitung berdasarkan data proporsi luas HTI,
HGU dan HPH tiap kecamatan, kepadatan penduduk dan tingkat pendapatan daerah
tiap kabupaten berdasarkan kelas penggunaan lahan.
Gambar 37 menunjukkan hubungan skor dugaan dengan masing-masing
kelas variabel untuk faktor aktivitas manusia. Terlihat bahwa secara umum, jarak
sangat mempengaruhi jumlah hotspot yang ada di Kalimantan Barat. Semakin dekat
dengan jalan, umumnya jumlah hotspot akan semakin banyak, akan tetapi jumlah
hotspot biasanya akan sangat tinggi pada jarak 3-5 km dari jalan. Pada wilayah
dengan lokasi 3-5 km dari pemukiman dan pusat pemerintahan juga memiliki
kecenderungan jumlah titik api paling banyak. Akan tetapi pada wilayah yang
sangat jauh dari pemukiman jumlah hotspot biasanya akan sedikit. Pola yang sama
juga terjadi pada indikator jarak dari sungai. Pada wilayah yang paling dekat dengan
sungai tidak terlalu tinggi jumlah hotpsotnya, akan tetapi pada wilayah dengan jarak
3-5 km dari sungai akan lebih tinggi jumlah hotspotnya dan akan semakin
berkurang dengan semakin jauh dari sungai. Indikator-indikator di atas merupakan
faktor aksesbilitas masyarakat dalam menjangkau suatu lokasi. Akan sangat mudah
masyarakat menjangkau wilayah yang berada disekitarnya dibandingkan dengan
wilayah yang jauh dari mereka.
47

10
a. skor dugaan_jarak dari jalan

Skor kelas jarak dari jalan


8

6
y = -0,0351x + 2,9737
4 R² = 0,3594

0
0 10 20 30 40 50
Kelas Jarak dari Jalan
10
b. skor dugaan_jarak dari pusat desa/kec/kota
8
Skor jarak dari pusat
desa/kec/kota

6
y = -0,0035x2 - 0,0026x + 4,3813
4 R² = 0,6979

0
0 10 20 30 40
Jarak dari pusat desa/kec/kota (km)
10
c. skor dugaan_jarak dari sungai
Skor Jarak dari Sungai

2 y = 0,0046x3 - 0,1445x2 + 1,0527x + 3,984


R² = 0,8052
0
0 5 10 15 20 25
Jarak dari Sungai (Km)

Gambar 37 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor aktivitas manusia antara
skor dugaan dengan kelas masing-masing indikator

Kemudahan terbakar suatu wilayah juga dipengaruhi oleh kondisi biofisik.


Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan lahan berupa rawa gambut dan
lahan perkebunan serta gambut dengan kedalaman 50-100 cm menjadi lahan yang
sangat mudah terjadi kebakaran. Hal tersebut dapat dilihat pada sebaran hotspot
yang banyak terlihat pada area tersebut.
Lahan perkebunan menjadi wilayah yang mudah terbakar diduga karena
kebakaran yang terjadi pada lahan sekitar perkebunan menjalar ke area perkebunan
48

sedangkan pada lahan hutan kering primer umumnya merupakan wilayah yang
belum memiliki akses sehingga sulit bagi masyarakat melakukan aktivitas yang
dapat menyebabkan kebakaran. Selain itu, area lahan gambut dengan kedalaman
50-100 cm semakin banyak dilakukan pembukaan lahan untuk keperluan lahan
pertanian dan perkebunan. Sebaran lahan gambut dapat dilihat pada Lampiran 2.

30
a. skor dugaan_sistem lahan
25
Skor sistem lahan

20

15 y = 0,0164x2 - 1,5746x + 41,255


R² = 0,4693
10

0
40 45 50 55 60 65 70 75
Kelas sistem lahan
30
b. skor dugaan_kedalaman gambut
Skor Kedalaman Gambut

25

20

15
y = -1,8488x2 + 14,01x - 2,8415
10
R² = 0,8459
5

0
1 2 3 4 5 6
Kelas Kedalaman Gambut
30
c. skor dugaan_penutupan lahan
25
Skor Penutupan Lahan

20

15
y = 0,0131x2 - 0,0085x + 0,5857
10 R² = 0,5032

0
0 5 10 15 20 25
Kelas Penutupan Lahan
Gambar 38 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor biofisik antara skor
dugaan dengan kelas masing-masing indikator

Pada faktor sosial ekonomi, indikator yang dianalisis yaitu berupa HTI, HPH,
HGU pendapatan daerah (PDRB) dan kepadatan penduduk. HTI, HPH dan HGU
49

menjadi indikator yang sangat dominan berpengaruh dalam faktor sosial ekonomi
karena hal tersebut berkaitan dengan aktivitas pembukaan lahan. Pembukaan lahan
dengan cara tebas dan bakar (slash and burn) masih menjadi cara paling mudah dan
murah sehingga masih banyak dilakukan (Varma 2003). Pada lahan HTI dan HGU
yang semakin luas tiap kecamatan, maka nilai skor dugaan juga semakin besar.
Kondisi sebaliknya terjadi pada variabel HPH dimana pada luasan HPH yang
semakin kecil tiap kecamatan maka nilai skor dugaannya akan semkin tinggi. Pada
indikator kepadatan penduduk dapat dilihat bahwa semakin tinggi kepadatan
penduduk pada suatu wilayah, maka nilai skor dugaannya juga akan semakin tinggi.
Wilayah yang kepadatan penduduknya rendah biasanya kondisi tutupan lahannya
masih berupa hutan primer sehingga aktivitas yang berpotensi menyebabkan
kebakaran akan lebih sedikit. Namun pada wilayah dengan kepadatan penduduk
tinggi, masyarakat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani yang
mengelola lahan.

50
a. skor dugaan_kepadatan penduduk
Skor Kepadatan Penduduk

40

30

20

10 y = -1,5911x2 + 11,038x + 4,3869


R² = 0,5027
0
0 1 2 3 4 5
Kelas Kepadatan Penduduk
50
b. skor dugaan_PDRB
40
Skor Kelas PDRB

30

20
y = -1,3585x2 + 6,1994x + 16,345
10 R² = 0,9832

0
0 1 2 3 4 5
Kelas PDRB
50

50
c. skor dugaan_HTI
40
y = -2,1034x2 + 15,267x - 2,6635
Skor kelas HTI

30 R² = 0,6712

20

10

0
0 1 2 3 4 5
Kelas HTI

50
d. skor dugaan_HPH
40
Skor Kelas HPH

30

20
y = -0,6469x2 + 1,6557x + 22,149
10
R² = 0,9367
0
0 1 2 3 4 5
Kelas HPH
50
e. skor dugaan_HGU
40 y = 3,6164x3 - 29,036x2 + 70,776x - 35,675
Skor Kelas HGU

R² = 1
30

20

10

0
0 1 2 3 4 5
Kelas HGU
Gambar 39 Persamaan regresi tiap variabel untuk faktor sosial ekonomi antara skor
dugaan dengan kelas masing-masing indikator

Skor dugaan yang diperoleh dari persamaan setiap indikator di atas selajutnya
digunakan untuk menentukan model kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Model
yang dibangun adalah model regresi berganda dengan peubah bebas sebanyak
indikator penentu kerentanan yang digunakan. Sebagai peubah tak bebas yang
digunakan adalah kepadatan hotspot tiap km2 di wilayah Kalimantan Barat. Tabel
12 menunjukkan nilai koefisien regresi yang digunakan dalam menentukan bobot
setiap indikator penentu kerentanan yang kemudian digunakan dalam perhitungan
model kerentanan kebakaran lahan di Kalimantan Barat.
51

Tabel 12 Nilai koefisien dan bobot penyusun skor komposit model tingkat
kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat
Variabel Koefisien Bobot
Kedalaman Gambut 0.000229 0.0758
Tutupan Lahan 0.000727 0.2409
Jarak dari jalan 0.000058 0.0193
Jarak dari sungai 0.000035 0.0116
Jarak dari desa/kampung 0.000390 0.1291
Sistem Lahan 0.000549 0.1818
Persentase luas HTI per kecamatan 0.000145 0.0481
Persentase luas HGU per kecamatan 0.000390 0.1291
Persentase luas HPH per kecamatan 0.000263 0.0873
Kepadatan penduduk 0.000090 0.0297
PDRB 0.000143 0.0474

Model kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang diperoleh dari


perhitungan nilai skor dan bobot adalah sebagai berikut:

Y = 0.0758 GMB + 0.2409 PLH + 0.0193 JLN + 0.0116 SNG + 0.1291 PEM +
0.1818 SLH + 0.0481 HTI + 0.1291 HGU + 0.0873 HPH + 0.0297 POP +
0.0474 PDRB

Keterangan:
Y = Skor Total Tingkat Kerentanan
GMB = Skor kedalaman gambut
PLH = Skor penutupan lahan
JLN = Skor jarak dari jalan
SNG = Skor jarak dari sungai
PEM = Skor jarak dari pusat pemerintahan
SLH = Skor sistem lahan
HTI = Skor Persentase luas HTI per kecamatan
HGU = Skor Persentase luas HGU per kecamatan
HPH = Skor Persentase luas HPH per kecamatan
POP = Skor Kepadatan Penduduk
PDRB = Skor PDRB

Dari 11 (sebelas) indikator yang digunakan, penggunaan lahan memiliki


bobot paling tinggi dalam menentukan tingkat kerentanan kebakaran lahan di
Kalimantan Barat. Selain itu jika dilihat secara keseluruhan, faktor biofisik
(ketebalan gambut, tutupan lahan dan sistem lahan) memiliki bobot paling tinggi
yaitu 49.85% dibandingkan faktor aktivitas manusia (jarak dari jalan, jarak dari
sungai dan jarak dari pusat desa/kota) yang hanya 16.0% dan faktor sosial ekonomi
sebesar 34.15%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan tata ruang pada
penggunaan lahan perlu diperhatikan mengingat kondisi tersebut sangat
mempengaruhi kondisi kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Perubahan
penggunaan lahan akan sangat mempengaruhi kondisi kerentanan kebakaran hutan
dan lahan. Apabila perubahan penggunaan lahan diarahkan pada penggunaan lahan
yang memiliki korelasi kuat dengan keberadaan hotspot, maka kemungkinan besar
52

tingkat kerentanan akan meningkat. Sebaliknya, apabila penggunaan lahan


dikembalikan pada fungsi awalnya, tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan
kemungkinan akan semakin menurun. Hal tersebut tentu perlu didukung dengan
kondisi indikator yang lain. Sehingga pengelolaan lahan di wilayah yang rentan
kebakaran hutan dan lahan harus memperhatikan dampaknya. Dalam hal ini,
pemangku kepentingan memiliki peran penting dalam menentukan pengelolaan
lahan.
Tabel 13 menunjukkan hasil perhitungan skor total komposit untuk
kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Skor total dibagi dalam
tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Pembagian skor total kedalam lima
kelas kerentanan didasarkan pada sebaran data skor yang diperoleh. Tingkat
kerentanan yang diperoleh secara umum menggambarkan kondisi kebakaran hutan
dan lahan secara historis di Kalimantan Barat. Wilayah dengan tingkat kerentanan
tinggi umumnya terjadi pada lokasi yang memiliki jumlah hotspot banyak. Begitu
pula sebaliknya dimana pada wilayah dengan hotspot rendah atau tidak ada hotspot,
tingkat kerentanannya sangat rendah hingga rendah.

Tabel 13 Sebaran Luas Kebakaran dengan lima kelas Model Kerentanan


Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
Tingkat Kelas Skor
Luas (Ha) Persentase (%)
Kerentanan Komposit
Sangat Rendah 10.1 - 26.0 1 064 100 7.4
Rendah 26.0 - 41.9 6 161 600 43.1
Sedang 41.9 - 57.7 5 130 200 35.9
Tinggi 57.7 - 73.6 1 663 600 11.6
Sangat Tinggi 73.6 - 89.5 288 900 2.0

Gambar 40 Sebaran hotspot pada tiap tingkat kerentanan kebakaran hutan dan
lahan di Kalimantan Barat
53

Gambar 41 Tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat

Tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat sebagian


besar adalah wilayah dengan tingkat kerentanan rendah hingga sedang. Kerentanan
sedang sebagian besar meliputi wilayah dengan penggunaan lahan berupa lahan
pertanian dan hutan tanaman. Kerentanan rendah dan sangat rendah pada umumnya
terjadi pada lahan hutan dan sebagian pada lahan pertanian dan perkebunan,
sedangkan wilayah dengan kerentanan tinggi dan sangat tinggi terjadi pada
sebagian hutan lahan gambut (Gambar 41). Khusus pada lahan gambut, tingkat
kerentanan yang diperoleh adalah tinggi dan sangat tinggi. Akan tetapi jika dilihat
lebih teliti lagi berdasarkan tingkat ketebalan gambut, maka lahan gambut dengan
ketebalan 50-200 cm merupakan lahan gambut dengan tingkat kerentanan sangat
tinggi. Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 14 Tahun 2009 lahan gambut
dengan ketebalan 50-200 cm merupakan lahan gambut yang boleh dikelola oleh
masyarakat untuk budidaya pertanian dan perkebunan. Selain itu, pada lahan
gambut yang sudah dikelola memiliki karakter mudah terbakar dan apabila sudah
terbakar akan sangat sulit dipadamkan.

Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan

Hasil analisis risiko kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat
ditunjukkan pada Gambar 42 hingga Gambar 45. Secara umum, risiko kebakaran
hutan dan lahan pada periode historis memiliki pola yang hampir mirip dengan
kondisi kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Tingkat risiko kebakaran hutan dan
lahan sangat tinggi berada pada wilayah selatan dan barat yang secara umum
memiliki tutupan lahan gambut atau semak rawa dan lahan pertanian. Pada wilayah
dengan tutupan lahan hutan baik sekunder maupun primer, risiko kebakaran hutan
dan lahan rendah. Pada nilai curah hujan ekstrim dengan nilai persentil 5%
54

menunjukkan adanya risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai persentil
10%.
Proyeksi risiko kebakaran hutan dan lahan menunjukkan adanya peningkatan
risiko pada wilayah selatan Propinsi Kalimantan Barat dan penurunaan risiko
kebakaran hutan dan lahan di utara dan timur. Pada nilai persentil 5% terlihat jelas
terjadinya penurunan risiko kebakaran hutan dan lahan di wilayah utara, sedangkan
pada nilai persentil 10% secara jelas terlihat bahwa bagian selatan terjadi
peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
Dihubungkan dengan penggunaan lahan, risiko kebakaran hutan dan lahan
sangat tinggi umumnya berada pada lahan hutan rawa sekunder dan semak belukar
rawa yang berada di wilayah selatan. Wilayah tersebut juga merupakan lokasi tanah
gambut yang memiliki ketebalan 50 – 200 cm. Wilayah dengan kerentanan tinggi
umumnya berada pada penggunaan lahan perkebunan, pertanian dan hutan kering
primer termasuk hutan rawa gambut yang berada di sekitar wilayah Taman
Nasional Danau Sentarum (TNDS). Wilayah TNDS pada dasarnya adalah taman
nasional yang dilindungi. Akan tetapi ada kecenderungan masyarakat di sekitar
Danau Sentarum akan melakukan aktivitas memancing selama musim kemarau.
Aktivitas ini disinyalir mempengaruhi risiko kebakaran hutan dan lahan dimana
mereka akan melakukan perluasan wilayah memancing dengan cara yang dapat
menimbulkan kebakaran hutan dan lahan (Onrizal et al. 2005).

Gambar 42 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat


berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 5%) luaran model
RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 1981-2005
55

Gambar 43 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat


berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran model
RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 1981-2005

Gambar 44 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat


berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 5%) luaran model
RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 2016-2040.
56

Gambar 45 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat


berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran model
RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 2016-2040.

Risiko kebakaran hutan dan lahan yang didasarkan pada nilai kerentanan dan
kondis curah hujan ekstrim menunjukkan bahwa hujan ekstrim kering memiliki
pengaruh kuat terhadap risiko kebakaran hutan dan lahan. Pada wilayah dengan
curah hujan yang sangat rendah, risiko terjadi kebakaran akan sangat tinggi dan
apabila terdapat pemicu kebakaran akan mudah terbakar. Selain itu, beberapa
indikator yang menguatkan pemicu terjadinya kebakaran juga perlu diperhatikan
seperti jarak dari jalan, jarak dari pemerintahan/desa dan keberadaan lahan gambut.
Indikator tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi masyarakat
melakukan aktivitas yang menyebabkan terjadinya kebakaran.
Peran aktif semua pihak dalam mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan
sangat diperlukan. Pemerintah dapat melakukannya melalui kebijakan pengelolaan
lahan yang lebih ramah lingkungan. Masyarakat juga dapat berpartisipasi melalui
perubahan pola kelola lahan dengan cara tidak membakar atau dengan pembakaran
yang terkendali. Perusahaan yang melakukan perluasan area budidaya juga perlu
melakukan perubahan pola pembukaan lahan yang lebih adaptif.
57

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simulasi model iklim regional RegCM4.4 secara umum menunjukkan nilai


curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai curah hujan observasi.
Oleh karena itu diperlukan koreksi bias untuk memperoleh luaran simulasi
RegCM4.4 yang mendekati data observasi. Koreksi bias tahap (1) yaitu koreksi data
curah hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasi menunjukkan
bahwa data curah hujan CHIRPS memiliki kemiripan dengan data curah hujan
observasi, khususnya di wilayah Kalimantan Barat. Nilai faktor koreksi antara data
tersebut berkisar antara 0.82-1.26 yang artinya perbandingan antara kedua data
tidak terlalu besar. Pada koreksi bias tahap (2) yaitu koreksi data curah hujan luaran
model RegCM4.4 menggunakan data curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi,
hasil simulasi koreksi bias terbaik diperoleh dengan persamaan regresi polinomial
orde 3 yang dikombinasikan dengan nilai intersep yang dikembalikan pada titik
awal (0,0). Pola hujan dan sebaran spasial dari data curah hujan terkoreksi luaran
model RegCM4.4 memiliki kemiripan dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi.
Pola curah hujan di Propinsi Kalimantan Barat adalah pola hujan ekuatorial
dengan sebaran curah hujan tinggi berada pada wilayah utara dan timur sedangkan
curah hujan rendah pada wilayah selatan dan barat. Proyeksi curah hujan pada tahun
2016-2040 relatif terhadap tahun 1981-2005 menunjukkan bawah terdapat
peningkatan curah hujan pada musim penghujan dan penurunan curah hujan pada
musim kemarau. Kondisi suhu udara di Propinsi Kalimantan Barat berkisar antara
18ºC hingga 35ºC. Suhu udara yang lebih tinggi berada pada wilayah barat yang
berbatasan langsung dengan laut sedangkan suhu udara yang rendah terjadi pada
wilayah bagian timur yang merupakan wilayah hutan. Proyeksi suhu udara periode
2016-2040 relatif terhadap tahun 1981-2005 menunjukkan adanya peningkatan
suhu udara yang berkisar antara 0.7ºC hingga 1.4ºC.
Metode SPI mampu mensimulasikan kondisi kekeringan lahan di Propinsi
Kalimantan Barat. Dari beberapa catatan historis mengenai kekeringan lahan
terutama akibat kejadian El-Nino, nilai indeks SPI menunjukkan waktu kejadian
kekeringan seperti pada tahun 1982/1983, tahun 1986/1987, tahun 1991/1992 dan
tahun 1997/1998 dimana pada tahun-tahun tersebut terjadi kekeringan di sebagian
besar wilayah Indonesia.
Analisis kerentanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa
beberapa indikator seperti penutupan lahan, jarak dari pusat pemerintahan/desa dan
sistem lahan memiliki pengaruh yang kuat pada munculnya hotspot pada suatu
wilayah. Penutupan lahan berupa gambut dan lahan pertanian memiliki
kecederungan tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tutupan
lahan lainnya. Wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi
umumnya berada pada bagian selatan dan barat Propinsi Kalimantan Barat,
sedangkan tingkat kerentanan rendah dan sangat rendah umumnya berada pada
wilayah utara dan timur.
Risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat pada periode historis
memiliki pola yang sama dengan pola kerentanan. Pada periode proyeksi, risiko
kebakaran hutan dan lahan meningkat. Adanya kecenderungan berkurangnya curah
58

hujan pada musim kemarau di masa mendatang secara tidak langsung berpengaruh
pada meningkatnya risiko kebakaran hutan dan lahan.

Saran

Kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan secara umum sesuai
dengan kondisi sebaran hotspot tahun 2002, 2006 dan 2009. Akan tetapi, untuk
memastikan hasil analisis kerentanan perlu dilakukan cek lapangan. Hal tersebut
dilakukan untuk mengetahui kondisi terkini dari kondisi kebakaran hutan dan lahan
di Kalimantan Barat. Disarankan pula dalam analisis kerentanan menggunakan data
terkini (update). Persamaan pendugaan skor juga perlu diperhatikan untuk beberapa
indikator.
Dalam kajian iklim historis dan proyeksi di masa mendatang, disarankan
memanfaatkan data GCMs lebih dari satu model. Dengan adanya data dari beberapa
model GCMs kita dapat melihat kecenderungan secara umum kondisi iklim di masa
mendatang. Selain itu, erlu ditambahkan pula analisis iklim ektrim dari kondisi
iklim lain sehingga dapat diketahui pengaruh kondsi iklim lain selain curah hujan
dalam analisis risiko kebakaran hutan dan lahan.
59

GLOSARI
Skor
Nilai yang diberikan pada setiap kelas variabel dalam menentukan tingkat
kerentanan

Bobot
Nilai yang diberikan pada variabel yang menyatakan proporsi dari koefisien regresi.
Jumlah total dari semua bobot adalah 1

Buffer
Istilah dalam analisis spasial yang menggambarkan zonasi dari suatu titik atau garis

Confidence level
Tingkat kepercayaan nilai titik api (hotspot) yang diekstraksi dari data modis
menggunakan metode Giglio et al. (2003). Nilai confidence level berkisar antara 0-
100
60

DAFTAR PUSTAKA
Adger, W.N. 2006. Vulnerability. Global Environmental Change. 16 (3): 268-281.
doi:10.1016/j.gloenvcha.2006.02.006.
Arianti, I., N. Sinukaban, dan I.N.S. Jaya. 2007. Modeling of Forest and Land Fires
Risk Level and Zone Using GIS in Kapuas Tengah Sub Basin, West
Kalimantan Province. Tropical Forest Management Journal. 13 (2).
Arora, V.K. dan G.J. Boer. 2010. Uncertainties in the 20th century carbon budget
associated with land use change. Glob. Change Biol. 16(12): 3327–3348.
doi:10.1111/j.13652486.2010.02202.x.
BAPPENAS-ADB. 1999. Cause, Extent, Impact and Cost of 1997/1998 Fire and
Drought. Laporan Akhir, Lampiran 1 dan 2. Planning for Fire Prevention and
Drought management Project. Asian Development Bank TA 2999-INO.
National Development Planning Agency (BAPPENAS) and Asian
Development Bank, Jakarta.
Boonyanuphap, J. 2005. Spastial Model for Determining Risk Area of
Deforestation. Suranaree J. Sci. Technol. 12 (2): 145-159.
Bowen, M.R., J.M. Bompard, I.P. Anderson, P. Guizol, dan A. Gouyon. 2001.
Anthropogenic fires in Indonesia: A view from Sumatra. In: P. Eaton and M.
Radojevic, eds., Forest Fires and Regional Haze in Southeast Asia.
Huntington: Nova Science. (pp. 41–66).
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2015. Definisi dan Jenis
Bencana [internet]. [diacu: 2 Juni 2015]. Tersedia dari:
http://www.bnpb.go.id/pengetahuan-bencana/definisi-dan-jenis-bencana.
Brooks, N. 2003. Vulnerability, risk and adaptation: a conceptual framework.
Working Paper 38. Tyndall Centre for Climate Change Research. University
of East Anglia. Norwich. Available at: www.tyndall.ac.uk
Caesar, J. dan N. Golding. 2011. Meteorological Factors Influencing Forest Fire
Risk under Climate Change Mitigation. Met Office Hadley Centre. (p.30).
Carlson, K.M., L.M. Curran, D. Ratnasari, A.M. Pittman, B.S. Soares-Filho, G.P.
Asner, S.N. Trigg, D.A. Gaveau, D. Lawrence, dan H.O. Rodrigues. 2012.
Committed carbon emissions, deforestation, and community land conversion
from oil palm plantation expansion in West Kalimantan, Indonesia. PNAS.
109 (19): 7559-7564. doi: 10.1073/pnas.1200452109.
Chandler, C., P. Chenery, P. Thomas, L. Trabaud, dan D. William. 1983. Forest
Fire Behavior and Effect. Volume 1. New York. Brisbane, Toronto.
Singapore: John Wiley and Sons.
Chavas, D.R., R.C. Izaurralde, A.M. Thomson, dan X. Gao. 2009. Long-term
Climate Change Impacts on Agricultural Productivity in Eastern China.
Agricultural and Forest Meteorology. 149 (6):1118-1128. doi:
10.1016/j.agrformet.2009.02.001.
Christensen, J.H., F. Boberg, O.B. Cristensen, dan P. Lucas-Picher. 2008. On the
need for bias correction of regional climate change projections of temperature
and precipitation. Geophys. Res. Lett. 35 (20): L20709.
doi:10.1029/2008GL035694.
de Groot, W.J., M.D. Flannigan, dan A.S. Cantin. 2013. Climate Change Impact on
Future Boreal Fire Regimes. Forest Ecology and Management. 294: 35-44.
doi: 10.1016/j.foreco.2012.09.027.
61

Downing, T.E., R. Butterfield, S. Cohen, S. Huq, R. Moss, A. Rahman, Y. Sokona,


L. Stephen. 2001. Vulnerability Indices: Climate Change Impacts and
Adaptation. UNEP Policy Series. UNEP. Nairobi.
Faqih, A., R. Boer, S.D. Jadmiko. A. Rakhman. dan Anria. 2013. Climate
Variability, Climate Change and Changes of Extremes In The Citarum River
Basin. Technical Report of TA ADB 7189-INO Package E.
Fuller, D.O. dan K. Murphy. 2006. The ENSO-Fire Dynamic in Insular Southeast
Asia. Climatic Change. 74 (4): 435-455. doi:10.1007/s10584-006-0432-5
Funk, C.C., P.J. Peterson, M.F. Landsfeld, D.H. Pedreros, J.P. Verdin, J.D
Rowland, B.E. Romero, G.J. Husak, J.C. Michaelsen dan A.P. Verdin. 2014.
A quasi-global precipitation time series for drought monitoring. U.S.
Geological Survey Data Series 832, 4p.
Funk, C.C., A. Verdin, J. Michaelsen, P. Peterson, D. Pedreros dan G. Husak. 2015.
A global satellite-assisted precipitation climatology. Earth Syst. Sci. Data. 7:
275–287. doi: 10.5194/essdd-8-401-2015.
Giglio, L., J. Descloitres, C.O. Justice dan Y.J. Kaufman. 2003. An enhanced
contextual fire detection algorithm for MODIS. Remote Sensing of
Environment. 87: 273-282. doi:10.1016/S0034-4257(03)00184-6.
Giorgi, F., N. Elguindi, S. Cozzini dan G. Giuliani. 2013. Regional Climatic Model
RegCM User’s Guide Version 4.4. The Abdus Salam International Centre for
Theoretical Physics, Strada Costiera. 11 I – 34151. Trieste. Italy.
Hamada, J., M.D. Yamanaka, S. Mori, Y.I. Tauhid, dan T. Sribimawati. 2008.
Differences of Rainfall Characteristics between Coastal and Interior Areas of
Central Western Sumatera, Indonesia. Journal of the Meteorological Society
of Japan, Vol. 86, No. 5, pp. 593−611, 2008. doi:10.2151/jmsj.86.593.
Hasler, N., D. Werth dan R. Avissar. 2009. Effects of tropical deforestation on
global hydroclimate: a multimodel ensemble analysis. Journal of Climate.
22:1124-1141.
Holtslag, A.A.M., E.I.F. de Bruijn dan H.L. Pan. 1990. A high resolution air mass
transformation model for short-range weather forecasting. Mon Wea Rev.
118:1561–1575.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001:
The Scientific Basis. Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge University Press.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Fourth Assessment
Report (AR4) of the IPCC (2007) on climate change: The Physical Science
Basis
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013. Summary for
Policymakers. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K.
Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and
P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge. United
Kingdom and New York. NY. USA
Jaya, I.N.S., E.S. Purnama, I. Arianti, J. Boonyanuphap. 2007. Forest fire risk
assessment model and post-fire evaluation using remote sensing and GIS: A
case study in Riau, West Kalimantan and East Kalimantan Provinces,
Indonesia. Paper presented at The Forest Restoration and Rehabilitation
62

Training Course and Workshop in the Viiki Tropical Resources Institute


(VITRI) of the University of Helsinki, Finland, 13~19 May 2007, Helsinki
(FIN).
Jones, R. dan R. Boer. 2003. Assessing current climate risks. Adaptation Policy
Framework: a Guide for Policies to Facilitate Adaptation to Climate Change.
UNDP: http://www.undp.org/cc/apf.htm.
Jones, R., R. Boer, S. Magezy dan L. Mearn. 2004. Assessing current climate risk.
In Bo Lim and E. Spanger-Siegfried (ed). Adaptation Policy Frameworks for
Climate Change: Developing Strategies, Policies and Measures. UNDP,
Cambridge University Press.
Lenderink, G., A. Buishand dan W. Van Deusen. 2007. Estimate of future
discharges of the river Rhine using two scenarios methodologies: direct
versus delta approach. Hydrol. Earth Syst. Sci. 11 (3). 1145-1159.
doi:10.5194/hess-11-1145-2007.
Leng, G., Q. Tang dan S. Rayburg. 2015. Climate Change Impact on
Meteorological, Agricultural and Hydrological Drought in China. Global and
Planetatary Change. 126:23-34. doi:10.1016/j.gloplacha.2015.01.003.
Lloyd-Hughes, B. dan M.A. Saunders. 2002. A drought climatology for Europe.
Int. J. Climatol. 22: 1571–1592. doi: 10.1002/joc.846.
McKee, T.B., N.J. Doesken dan J. Kleist. 1993. The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scales. Proceedings of the Eighth
Conference on Applied Climatology. American Meteorological Society:
Boston; 179–184.
Moss, R.H., J.A. Edmonds, K.A. Hibbard, M.R. Manning, S.K. Rose, D.P. van
Vuuren, T.R. Carter, S. Emori, M. Kainuma, T. Kram, G.A. Meehl, J.F.B.
Mitchel, N. Nakicennovic, K. Riahi, S.J. Smith, R.J. Stouffer, A.M.
Thomson, J.P. Weyant dan T.J. Wilbanks. 2010. The next generation of
scenarios for climate change research and assessment. Nature 463: 747-756.
doi:10.1038/nature08823.
Murdiyarso, D. dan E.S. Adiningsih. 2005. Climate Anomalies, Indonesian
Vegetation Fires and Terrestrial Carbon Emissions. Mitigations and
Adaptation Strategies for Global Change. 12: 101-112. doi: 10.1107/s11027-
006-9047-4.
Nara, P., G. Mao dan T Yen. 2014. Climate Change Impact on Agricultural
Products in Thailand: A Case Study of Thai Rice at the Chao Phraya River
Basin. APCBEE Procedia. 8:136-140. doi:10.1016/j.apcbee.2014.03.015.
Ogwang, B.A., H. Chen, X. Li dan C. Gao. 2015. Evaluation of the capability of
RegCM4.0 in simulating East African climate. Theor Appl Climatol.
124:303-313. doi: 10.1007/s00704-015-1420-3.
Onrizal, C. Kusmana, B.H. Saharjo, I.P. Handayani, dan T. Kato. 2005. Social and
environmental issues of Danau Sentarum National Park, West Kalimantan.
Biodiversitas. 6 (3): 220-223. doi: 10.12057/biodiv/d060317.
Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman
Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Jakarta.
Piani, C., J.O. Haerter dan Coppola. 2009. Statistical bias correction for daily
precipitation in regional climate models over Europe. Theor Appl Climatol.
99: 187–192. doi: 10.1007/s00704-009-0134-9.
63

Purnama, E.D. dan I.N.S. Jaya. 2007. Pemodelan spasial kerawanan kebakaran
hutan dan lahan menggunakan teknologi sistem informasi geografis (GIS)
dan pengindraan jauh di Propinsi Riau. Jurnal Manajemen Hutan Tropika
13(1): 84-97.
Putra, E.I., H. Hayasaka, H. Takahashi dan A. Usup. 2008. Recent Peat Fire
Activity in the Mega Rice Project Area, Central Kalimantan, Indonesia.
Journal of Disaster Research. 3 (5): 1-8.
Salathe Jr., E.P. 2003. Comparison of various precipitation downscaling method for
the simulation of streamflow in a rainshadow river basin. Int. J. Climatol. 23
(8). 887-901. doi: 10.1002/joc.922.
Schmidli J., Frei C., Vidale Pl. 2006. Downscaling from GCM precipitation: a
benchmark for dynamical and statistical downscaling method. Int. J.
Climatol. 26 (5). 679-689.
Sen, O., D. Bozkurt, J. Vogler, J. Fox, T. Giambelluca dan A. Ziegler. 2010. Hydro-
climatic effects of future land-cover/land-use change in montane mainland
southeast Asia. Climatic Change. doi. 10.1007/s10584-012-0632-0.
Seung-Hwan, Y., C. Jin-Yong, Yun-Gyeong dan Y.D. Koun. 2013. Climate Change
Impact on Water Storage Requirement of an Agricultural Reservoir
Considering Changes in Land Use and Rice Growing Season in Korea.
Agricultural Water Management. 117: 43-54.
doi:10.1016/j.agwat.2012.10.023.
Suratmo, F.G., I.N.S. Jaya dan E.A. Husaeni. 2003. Pengetahuan Dasar
Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : IPB Press.
Suwarsono, Y. Fajar, Parwati dan T. Suprapto. 2010. Analisis persebaran titik panas
(hotspot) indikasi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan
sepanjang tahun 2001-2009. Aplikasi Inderaja. 9: 32-37.
Szalai, S. dan C. Szinell. 2000. Comparison of two drought indices for drought
monitoring in Hungary – a case study. Drought and Drought Mitigation in
Europe. Vogt JV. Spmma F (eds). Kluwer. Dordrech. 161–166.
doi:10.1007/978-94-015-9472-1_12.
Taconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan. CIFOR Occasional Paper No. 38i. Bogor: CIFOR.
Teutschbein, C. dan J. Seibert. 2010. Regional climate model for hydrological
impact studies at the catchment scale: a review of recent modelling stategies.
Geogr. Compass. 4 (7): 834-860. doi: 10.1111/j.1749-8198.2010.00357.x.
Thomson, A.M., K.V. Calvin, S.J. Smith, G.P. Kyle, A. Volke, P. Patel, S. Delgado-
Arias, B. Bond-Lamberty, M.A. Wise, L.E. Clarke dan J.A. Edmonds. 2011.
RCP4.5: a pathway for stabilization of radiative forcing by 2100. Climatic
Change. 109:77–94. doi:10.1007/s10584-011-0151-4.
Tote, C., D. Patricio, H. Boogaard, R. van der Wijngaart, E. Tarnavsky dan C. Funk.
2015. Evaluation of Satellite Rainfall Estimates for Drought and Flood
Monitoring in Mozambique. Remote Sensing. 7(2): 1758-1776.
doi:10.3390/rs70201758.
van der Werf, G.R., D.C. Morton, R.S. DeFries, J.G.J. Olivier, P.S. Kasibhatla, R.B.
Jackson, G.J. Collatz dan J.T. Randerson. 2009. CO2 emissions from forest
loss. Nature Geoscience. 2: 737-738. doi:10.1038/ngeo671.
64

Varis, O., T. Kajander dan R. Lemmela. 2004. Climate and Water: from climate
models to water resources management and vice versa. Climatic Change. 66
(3): 321-344. doi:10.1023/B:CLIM.0000044622.42657.d4.
Varma, A. 2003. The economics of slash and burn: a case study of the 1997-1998
Indonesian forest fires. Ecological Economics. 46:159-171.
doi:10.1016/S0921-8009(03)00139-3
Wastl, C., C. Schunk, M. Leuchner, G. Pezzatti dan A. Menzel. 2012. Recent
Climate Change: Long-term Trends in Meteorological Forest Fire Danger in
the Alps. Agricultural and Forest Meteorology. 162-163:1-13.
doi:10.1016/j.agrformet.2012.04.001.
Werth, D dam R. Avissar. 2005. The local and global effects of Southeast Asian
deforestation. Geophysical Research Letters. 32:L20702.
Wooster, M.J., G.L.W. Perry dan A. Zoumas. 2012. Fire, Drought and El Niño
Relationship on Borneo (Southeast Asia) in the Pre-MODIS Era (1980-2000).
Biogeosciences. 9(1): 317-340. doi:10.5194/bg-9-317-2012
65

LAMPIRAN
66
67

Lampiran 1 Luas tiap penggunaan lahan (PL) di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 1990-2012. Data penggunaan lahan diperoleh dari
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012
Kode Luas (Ha)
Tipe PL
PL 1990 2000 2003 2006 2009 2012
2001 Hutan Lahan Kering Primer 3032313 2343177 2339497 2332618 2328822 2323275
2002 Hutan Lahan Kering Sekunder 2182977 2682714 2658960 2542443 2401635 2353479
2004 Hutan Mangrove Primer 138 33 33 33 33 33
2005 Hutan Rawa Primer 69846 29199 29199 28461 28461 26495
2006 Hutan Tanaman 10448 12397 12397 12309 12309 12309
2007 Semak Belukar 561324 539768 551595 597180 489380 506087
2010 Kebun Campuran 438446 347158 363101 430261 783668 814734
2012 Permukiman 37673 38044 38215 38215 38215 38242
2014 Tanah Terbuka 188013 269241 282046 304244 323650 451962
2500 Tertutup Awan 7819 26 0 0 0 0
5001 Tubuh Air 98430 108467 108467 108467 108467 108557
20041 Hutan Mangrove Sekunder 131276 134854 134625 133678 130696 128539
20051 Hutan Rawa Sekunder 2078650 1970120 1948663 1688278 1534484 1405777
20071 Semak Belukar Rawa 414645 545385 543267 762425 768573 790087
20091 Pertanian Lahan Kering 157982 225951 225914 227517 228838 229885
Pertanian Lahan Kering
20092 4932185 5075583 5080995 5110080 5122898 5082566
Campur Semak
20093 Sawah 200372 200289 200289 197696 202086 202086
20094 Tambak 4397 4393 4476 7560 8454 9046
20121 Bandara/Pelabuhan 64 64 64 64 64 64
20122 Transmigrasi 11378 12000 12474 12474 12474 12474
20141 Pertambangan 53057 55055 59626 59900 71787 99298
50011 Rawa 104999 122513 122528 122528 121437 121437
68

Lampiran 2 Sebaran dan tingkat ketebalan gambut di Propinsi Kalimantan Barat.


Data diperoleh dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
(BBSDLP) tahun 2012
69

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rimbo Bujang pada tanggal 27 Januari 1989 sebagai
anak kedua dari lima bersaudara. Penulis lahir dari pasangan Alm. Sadeli dan Tri
Sumarsih. Pada tahun 2004 penulis mulai menempuh pendidikan sekolah
menengah atas di SMA N 5 Kabupaten Tebo. Tahun 2007 penulis menempuh
pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah
(BUD) Jambi di Jurusan Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan
Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis
mendapatkan gelar sarjana pada tahun 2011. Sejak 2011, selaian menjadi
mahasiswa pascasarjana IPB, penulis juga bekerja di Center for Climate Risk and
Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) Institut
Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai