Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah adalah tempat dimana anak-anak dari berbagai lapisan masyarakat

dan berbagai corak keadaan keluarga dapat berkumpul dan saling berinteraksi satu

dengan yang lain. Sekolah memiliki pengaruh serta peran penting bagi

perkembangan anak terutama perkembangan sosialnya. Hubungan interaksi antara

siswa dan guru serta interaksi dengan teman sebaya di sekolah memberikan

pengaruh yang besar bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan

keterampilan sosial, memperoleh pengetahuan tentang dunia serta

mengembangkan konsep diri sepanjang masa pertengahan dan akhir anak-anak.

(Setiawati, 2010). Tujuan pendidikan telah diatur dengan baik, namun pada

kenyataannya hal tersebut tidak secara otomatis berimplikasi pada permasalahan di

dunia pendidikan. Permasalahan di dunia pendidikan meliputi fasilitas sekolah

sampai perilaku siswa. Permasalahan di bidang fasilitas misalnya, banyaknya

bangunan SD yang rusak dan masih minimnya alat peraga pendidikan maupun

sarana belajar mengajar sebagai penunjang proses penyampaian materi di kelas.

Permasalahan selanjutnya yang masih luput dari pengawasan pihak-pihak terkait

adalah masalah perilaku siswa mulai dari yang ringan seperti mencontek saat ujian

1
2

sampai perkelahian atau pemukulan hingga berakibat pada kematian. (Widiharto,

dkk, 2010).

Menurut Wiyani (Nurhayanti., dkk, 2013) saat ini pendidikan dunia tak

terkecuali Indonesia tengah menyoroti kasus kekerasan yang dilakukan antarsiswa

di sekolah. Berbagai media cetak dan elektronik pun diramaikan oleh kasus

tawuran pelajar dan berbagai tindak kekerasan (bullying) antara senior dengan

juniornya ataupun antara teman sebaya. Hal tersebut menjadi bukti telah

tercabutnya nilai-nilai kemanusiaan yang jika dibiarkan akan menjadi masalah

yang serius. Astuti (Usman, 2013) mengemukakan bahwa senioritas sebagai salah

satu perilaku bullying, seringkali justru menjadi kegiatan yang dilakukan turun-

temurun seperti pada ajang masa orientasi siswa (MOS). Senioritas sering

dijadikan sebagai hiburan, penyaluran dendam, iri hati, atau mencari popularitas,

melanjutkan tradisi atau untuk menunjukkan kekuasaan. Perilaku ini diperparah

dengan kurang tegasnya pengawasan serta sanksi dari para guru serta pengurus

sekolah bagi pelaku bullying. Sebagian guru cenderung mengabaikan fenomena

bullying yang terjadi pada siswa, sementara sebagian yang lain melarang.

Menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

menyenangkan yang mengakibatkan seseorang terluka secara fisik dan psikis dan

biasanya terjadi berulang-ulang. Bullying merupakan fenomena yang tersebar di

seluruh dunia. Kim (Adilla, 2009) menyatakan bahwa bullying dapat dilakukan

secara verbal, psikologis dan fisik. Bentuk fisik, seperti memukul, mencubit,

menampar, dan memalak (meminta dengan paksa yang bukan miliknya). Bentuk
3

verbal, seperti memaki, menggosip, atau mengejek. Bentuk psikologis, seperti

mengintimidasi, mengecilkan, dan diskriminasi. (Widayanti, 2009).

Prevalensi bullying diperkirakan 8%-50% di beberapa negara Asia,

Amerika, dan Eropa. Penelitian Amy pada tahun 2006, diperkirakan 10%-16%

pelajar Sekolah Dasar (SD) kelas empat hingga enam di Indonesia mengalami

bullying sebanyak satu kali per minggu. Bullying pada anak paling sering terjadi di

sekolah, tetapi belum banyak guru di Indonesia yang menganggap bullying sebagai

masalah serius. Survei di berbagai belahan dunia menyatakan bahwa bullying

paling banyak terjadi pada usia tujuh tahun (kelas dua SD), dan selanjutnya

menurun hingga usia 15 tahun. Studi lain menyatakan prevalensi bullying tertinggi

pada usia tujuh tahun dan 10-12 tahun. Anak laki-laki lebih sering terlibat dalam

bullying dibandingkan anak perempuan. (Soedjatmiko, dkk, 2013). Bullying juga

meningkat selama periode Sekolah Menengah Pertama sebagai anak yang baru

memasuki masa remaja. (Cook. 2010)

Di Indonesia, kasus bullying di sekolah menduduki peringkat teratas

pengaduan masyarakat ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di sektor

pendidikan. Sejak tahun 2011 sampai Agustus 2014, KPAI mencatat 369

pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25 persen dari total

pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut

KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah mengalahkan tawuran pelajar,

diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar. (Republika, 2014).


4

Beberapa tahun belakangan ini, berbagai topik media massa menyoroti

kekerasan di sekolah. Misalnya saja Koran Suara Merdeka menyoroti kekerasan

yang terjadi di lingkungan sebuah akademi militer di Semarang, dimana seorang

taruna dihajar oleh seniornya, kisah yang sama terjadi beberapa tahun sebelumnya

di sebuah sekolah tinggi di Bandung dimana calon pejabat pemerintahan menjadi

korban bullying secara fisik hingga berakibat pada kematian yang dilakukan oleh

beberapa seniornya. (Widayanti, 2009). Survei yang dilakukan oleh Juwita

(Wahyuni, Tanpa Tahun) menemukan bahwa 70,65% SMP dan SMA di Yogyakarta

melakukan bullying. Hasil ini lebih tinggi dari sekolah-sekolah di kota-kota besar

lainnya, seperti Jakarta dan Surabaya.

Beberapa penelitian terdahulu berpendapat bahwa faktor seseorang

melakukan agresivitas termasuk bullying merupakan akibat pengaruh dari

eksternal dirinya dan lingkungan, sehingga mengabaikan faktor internal seperti

kontrol diri pelaku. Individu yang memiliki kontrol diri yang rendah cenderung

menjadi impulsif, senang malakukan perilaku yang beresiko dan berpikiran sempit.

(Aroma, 2012). Kontrol diri menurut Anshari (Ruhban, 2013) merupakan

kemampuan untuk mengarahkan, menekan, atau untuk mencegah sikap dan

perilaku yang menurut pada kata hati yang cenderung negatif. Gottfredson dan

Hirschi’s (Shohibullana, 2014) menyusun teori yang dinamakan A Theory of

Crime yang menjelaskan bahwa rendahnya kontrol diri akan berdampak pada

terjadinya perilaku kejahatan.


5

Kontrol diri sangat penting dimiliki oleh setiap orang, terutama bagi remaja.

Apalagi ketika memasuki remaja awal dimana tugas perkembangannya ialah

mencari identitas diri (Ruhban, 2013). Dibanding dengan anak-anak, remaja

cenderung lebih memiliki kesadaran diri dan lebih fokus pada pemahaman dirinya.

Sebuah studi longitudinal menemukan bahwa antara usia 13 tahun hingga 18

tahun, remaja memiliki kesadaran diri yang meliputi aspek yang dapat diamati oleh

orang lain seperti, penampilan, tindakan dan percakapan (Santrock, 2007). Salah

satu aspek diantaranya adalah tindakan, yang di dalamnya termasuk kontrol diri,

sehingga kontrol diri sudah mulai ada sejak perkembangan remaja awal. Apabila

remaja tersebut tidak dapat melakukan kontrol diri dengan baik, dikhawatirkan

remaja tersebut akan mengalami krisi identitas yang berdampak pada perilakunya

yang bersifat negatif.

Kontrol diri merupakan faktor dari perilaku bullying yang diperkuat dari

penelitian oleh Khairunnisa (2013) yang menemukan bahwa kontrol diri dapat

membatasi individu untuk bertingkah laku negatif. Individu yang memiliki kontrol

diri yang baik akan terhindar dari berbagai tingkah laku negatif. Selain itu,

penelitian oleh Widodo (2013) menyebutkan bahwa kontrol diri berkaitan dengan

kemampuan individu untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Jika seseorang mampu

mengevaluasi dirinya, maka dia akan mampu mengendalikan emosi dalam dirinya.

Sementara individu yang memiliki kontrol diri yang rendah, cenderung bertingkah

laku negatif atau cenderung menunjukkan gejala perilaku melanggar atau


6

menyimpang. Hasil penelitian selanjutnya oleh Aroma (2012) menyatakan bahwa

individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung bertindak impulsif, lebih

memilih tugas sederhana, melibatkan kemampuan fisik, egois, senang mengambil

resiko dan mudah kehilangan kendali karena frustrasi. Dari beberapa penjelasan di

atas maka disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki kontrol diri yang tinggi

cenderung akan lebih sedikit melakukan perilaku bullying.

Alasan penelitian ini masih perlu diteliti karena seorang remaja memiliki

tugas perkembangan yang lebih kompleks dan masalah bullying yang sampai saat

ini belum dapat teratasi sehingga diperlukan penelitian-penelitian terbaru untuk

mengakaji fenomena bullying. Selain itu pula, diperlukan pennjelasan mengenai

pentingnya kontrol diri dalam menjalani tugas perkembangan remaja dan masalah

bullying tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan

adalah, apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku bullying. Untuk

menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini akan menggunakan pendekatan

kuantitatif dimana data penelitian akan dianalisis dengan angka sehingga akan

memberikan hasil yang akurat. Adapun subjek yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah siswa-siswi sekolah menengah pertama, dan tinggal di daerah

Sleman, Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian
7

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dan

perilaku bullying.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

psikologi khususnya Psikologi Pendidikan dan Psikologi Perkembangan dalam

ruang lingkup remaja.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan

kepada guru dan orangtua untuk membantu anak dan siswa di sekolah agar

memiliki kontrol diri yang baik, selain itu pihak sekolah dapat meningkatkan

kebijakan seperti peraturan dan sanksi yang tegas bagi pelaku bullying serta

memfasilitasi siswa yang menjadi korban bullying.

D. Keaslian Penelitian

Topik mengenai bullying sudah umum terjadi dan bukanlah masalah baru,

namun masalah ini perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak yang terkait

karena masih banyak terjadi di dunia pendidikan sampai saat ini. Variabel

mengenai bullying sudah umum di teliti baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Penelitian di Indonesia yang meneliti mengenai topik yang sama, dilakukan oleh
8

Widayanti (2009) dengan judul Fenomena Bullying di Sekolah Dasar Negeri di

Semarang: Sebuah Studi Deskriptif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian

tersebut adalah kuisioner yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat

tertutup dan terbuka. Subjek dalam penelitian tersebut adalah siswa dan siswi

Sekolah Dasar. Hasil dari penelitian tersebut adalah adanya perbedaan perilaku

bullying pada siswa laki-laki dan perempuan.

Penelitian lain mengenai bullying juga dilakukan di luar negeri oleh Cook, dkk

(2010) dengan judul Predictors of Bullying and Victimization in Childhood and

Adolescence: A Meta-analytic Investigation. Penelitian tersebut menggunakan

metode meta-analisis dengan mengumpulkan data kuantitatif dari tahun 1970

sampai 2006. Hasil dari penelitian tesebut menunjukkan bahwa yang menjadi

prediktor perilaku bullying memiliki persamaan dengan prediktor agresi.

Penelitian mengenai kontrol diri juga sudah diteliti oleh beberapa peneliti dari

Indonesia maupun luar negeri. Salah satu penelitian mengenai kontrol diri diteliti

oleh Aroma (2012) dengan judul Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri dengan

Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja. Subjek yang digunakan dalam

penelitian ini adalah siswa SMK X Kediri dengan rentang usia 12-22 tahun yang

berjumlah 265 orang. Adapun alat ukur yang digunakan adalah skala kontrol diri

yang diadaptasi dari Tangney, dkk (2004). Hasil dari penelitian tersebut adalah

semakin tinggi skor kontrol diri, maka semakin rendah kecenderungan perilaku
9

kenakalan remaja. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor kontrol diri, maka

semakin tinggi kecenderungan perilaku kenakalan remaja.

Penelitian yang juga membahas mengenai kontrol diri dilakukan di Ohio oleh

Denson, dkk (2012) dengan judul Self-Control and Aggression. Penelitian tersebut

menggunakan metode eksperimen untuk melihat kontrol diri dan tingkat

agresivitas subjek. Hasil dari penelitian tersebut adalah kontrol diri diri yang

rendah membuat seseorang sulit untuk mengesampingkan dorongan agresif.

1. Keaslian Topik

Topik yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Hubungan antara

Kontrol Diri pada Perilaku Bullying”. Penelitian ini belum pernah diteliti oleh

peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian sebelumnya menggunakan variabel

bebas konsep diri, harga diri, dan pola asuh. Adapun variabel tergantung

terdapat perbedaan, penelitian sebelumnya mengaitkan kontrol diri dengan

cyberbullying. Maka penelitian yang akan dilakukan memiliki keaslian topik

dengan adanya variabel-variabel yang berbeda dari penelitian terdahulu.

2. Keaslian Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kontrol diri yang

dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kontrol diri dari Averill juga

skala bullying yang disusun berdasarkan aspek-aspek dari Olweus. Penelitian

sebelumnya yang meneliti mengenai kontrol diri menggunakan alat ukur milik
10

Tangney, self control scale juga penelitian lain yang membahas mengenai bullying

yang diteliti oleh Wahyuni dan Asra (2014) menggunakan alat ukur yang

dikembangkan oleh Sejiwa (2008). Dengan demikian, alat ukur yang digunakan

dalam penelitian ini masih orisinil dan belum pernah digunkan dalam penelitian

lain.

3. Keaslian Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja, siswa SMP

Madinatul Hadid dan SMP Raudahtul Jannah di Cilegon yang berjenis kelamin

laki-laki dan permpuan. Kedua sekolah tersebut belum pernah diteliti mengenai

kontrol diri dan bullying oleh peneliti lain. Pada penelitian sebelumnya, seperti

penelitian dari Widayanti (2009) menggunakan subjek penelitan siswa laki-laki

dan perempuan Sekolah Dasar Negeri Banyumanik V Semarang yang duduk di

kelas III – VI dan berusia 9-12 tahun. Pada penelitian lain yang membahas

mengenai topik kontrol diri yang diteliti oleh Shohibullana (2014) yaitu remaja

laki-laki dan perempuan di SMAN 1 Pagak kabupaten malang dan tempat kedua di

SMAN 8 Malang.

Anda mungkin juga menyukai