Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN STUNTING DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS

PADA BALITA

RELATIONSHIP NUTRITIONAL STUNTING AND TUBERCULOSIS


AMONG CHILDREN UNDER FIVE YEARS

Jahiroh,1 Nurhayati Prihartono2


1
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
2
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok

Abstrak : Tuberkulosis (TB) dan stunting masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Tujuan penelitian
adalah mengetahui hubungan stunting dengan kejadian TB pada anak usia 1-59 bulan. Penelitian ini
menggunakan desain kasus-kontrol. Kasus adalah anak usia 1-59 bulan yang berobat di puskesmas yang
didiagnosis TB oleh dokter menggunakan sistem skoring. Kontrol adalah anak usia 1-59 bulan yang berkunjung
ke puskesmas yang sama dengan kasus, didiagnosis bukan TB. Pemilihan kontrol menggunakan teknik
sampling acak sederhana. Balita dengan TB dan bukan TB terdistribusi yang hampir sama menurut jenis
kelamin dan ventilasi rumah. Jika dibandingkan dengan balita gizi normal, balita gizi stunting mempunyai risiko
yang lebih tinggi sakit TB. Balita pendek dan sangat pendek mempunyai risiko masing-masing 3,5 kali dan 9 kali
sakit TB [adjusted odds ratio (OR = 3.54; P = 0,004 and and OR = 9.06; P = 0.001) respectively. Ditinjau dari
segi imunisasi BCG, balita yang tidak diimunisasi dibandingkan yang diimunisasi BCG mempunyai risiko 4 kali
sakit TB. Pada kontak serumah dengan pasien TB, balita yang mempunyai kontak dibandingkan tidak
mempunyai kontak serumah dengan pasien TB berisiko hampir 12 kali sakit TB (OR = 11.96; P = 0.000).
Sedangkan jika ditinjau dari usia balita, balita usia < 24 bulan dibandingkan balita usia > 24 bulan mempunyai
risiko 2,8 kali sakit TB OR = 2.84; P = 0.011). Balita stunting, yang tidak diimunisasi, dan yang mempunyai
kontak TB serumah TB mempunyai risiko lebih besar sakit TB.
Kata kunci: tuberkulosis, malnutrisi, studi kasus-kontrol

Abstract : Tuberculosis (TB) and stunting remain a health problem in Indonesia. The objective orf this study was
to identify the relationship of stunting with the incidence of TB in children aged 1-59 months. This case-control
study in district of West Bandung (West Java). Cases were children aged 1-59 months who visited at clinic health
center diagnosed TB by a doctor using a scoring system. Controls were the same age who visited the same clinic
with the case, not diagnosed TB. Balita dengan TB dan bukan TB terdistribusi yang hampir sama menurut jenis
kelamin dan ventilasi rumah. Jika dibandingkan dengan balita gizi normal, balita gizi stunting mempunyai risiko
yang lebih tinggi sakit TB. Balita pendek dan sangat pendek mempunyai risiko masing-masing 3,5 kali dan 9 kali
sakit TB [adjusted odds ratio (OR = 3.54; P = 0,004 and and OR = 9.06; P = 0.001) respectively. Ditinjau dari
segi imunisasi BCG, balita yang tidak diimunisasi dibandingkan yang diimunisasi BCG mempunyai risiko 4 kali
sakit TB. Pada kontak serumah dengan pasien TB, balita yang mempunyai kontak dibandingkan tidak
mempunyai kontak serumah dengan pasien TB berisiko hampir 12 kali sakit TB (OR = 11.96; P = 0.000).
Sedangkan jika ditinjau dari usia balita, balita usia < 24 bulan dibandingkan balita usia lebih 24 bulan mempunyai
risiko 2,8 kali sakit TB OR = 2.84; P = 0.011). Stunting toddler, not immunized, and had TB contact at home had
higher risk to be TB.

Keywords: tuberculosis, stunting, case-control

Korespondensi : Jahiroh sebesar 6 persen, yang terdiri dari


RSPI Sulianti Saroso, Jl. Baru Sunter Permai kelompok umur 0-4 tahun sebesar 2
Raya Jakarta Utara 14340 persen dan kelompok umur 5-14 tahun
Phone : 021-6506559Fax : 021-6401411 sebanyak 4 persen dari semua kasus TB.1
Email : jahiroh1974@yahoo.com
Tahun 2012, proporsi TB anak di provinsi
Jawa barat sebesar 14.2 persen dan di
PENDAHULUAN
Kabupaten Bandung Barat sebesar 19.5
persen yang terdiri dari kelompok umur 0-
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan
4 tahun sebesar 8 persen dan kelompok
masalah kesehatan global, termasuk juga
umur 5-14 tahun sebesar 11.5 persen
di Indonesia. Tahun 2010, jumlah kasus
dari jumlah seluruh kasus TB.2
TB anak (usia< 14 tahun) di Indonesia
Faktor-faktor yang mempengaruhi

6 The Indonesian Journal of Infectious Disease


seseorang menjadi sakit TB meliputi langsung dapat membunuh kuman.
karakteristik individu (umur, jenis kelamin, Semakin padat penghuni rumah/kamar
status imunisasi BCG, status gizi), tingkat akan berpengaruh terhadap kadar
pajanan (konsentrasi percikan dahak oksigen, kadar uap air dan suhu udara
dalam udara, lamanya menghirup udara dalam ruangan tersebut, maka akan
tersebut) dan lingkungan rumah (ventilasi, semakin cepat pula udara di dalam rumah
pencahayaan, kelembaban dan tersebut mengalami pencemaran. Hal ini
kepadatan hunian rumah).3-5 akan menyebabkan kuman
Sesudah usia satu tahun sampai Mycobacterium tuberkulosis dapat tumbuh
sebelum masa pubertas, seorang anak dan berkembang biak dengan cepat.
yang terinfeksi TB dapat berkembang Dengan demikian akan semakin banyak
menjadi TB milier atau meningitis atau kuman TB yang terhisap oleh penghuni
salah satu bentuk Tuberkulosis kronis rumah melalui saluran pernapasan.3,4
yang lebih meluas, terutama mengenai Selain masalah TB, Indonesia sampai
kelenjar getah bening, tulang atau saat ini masih menghadapi masalah gizi
penyakit persendian.4 yaitu kekurangan energi dan protein
Pemberian immunisasi BCG secara (KEP), yang menyebabkan masalah balita
konsisten memberikan perlindungan stunting.
terhadap terjadinya meningitis TB dan TB Hasil Riskesdas 2010, prevalensi balita
milier pada anak usia dibawah lima tahun. pendek secara nasional sebesar 35.6
Anggota keluarga yang tinggal serumah persen. terdiri dari 18.5 persen balita
dengan pasien TB, tidak dapat sangat pendek dan 17.1 persen balita
menghindari kontak atau selalu pendek. Prevalensi balita stunting di
berhubungan langsung dengan tingkat Provinsi Jawa Barat sebesar 33.7 persen
pajanan dalam jangka waktu lama, yang terdiri dari balita pendek 17.1
mempunyai risiko terinfeksi kuman TB persen dan balita sangat pendek sebesar
sebesar 30 persen.5 16.6 persen.6 Tahun 2012, prevalensi
Status gizi merupakan faktor yang balita gizi stunting di Kabupaten Bandung
penting bagi terjadinya penyakit infeksi Barat masih tinggi sebesar 22.8 persen,
termasuk penyakit TB. Tubuh mampu yang terdiri dari prevalensi balita pendek
melawan infeksi dengan baik bila dicukupi 16.3 persen dan prevalensi balita sangat
dengan makanan bergizi dalam jumlah pendek 6.5 persen.7
yang memadai. Status gizi masa lalu anak Setiap bentuk gangguan gizi akan
sangat menentukan kemampuan anak menyebabkan gangguan sistem
untuk melawan kuman TB. Anak dengan kekebalan tubuh terhadap penyakit
gizi baik mampu mencegah penyebaran infeksi, karena status gizi memberikan
penyakit di dalam paru. Namun, anak pengaruh terhadap penurunan daya tahan
dengan gizi kurang termasuk gizi stunting tubuh dalam menghadapi invasi kuman.
dapat menderita penyakit paru dengan Stunting merupakan masalah gizi kronis
kavitas yang luas pada usia dini. Pada yang disebabkan oleh asupan gizi yang
populasi yang mempunyai banyak jumlah kurang dalam waktu lama, sehingga akan
kasus TB BTA positif, maka banyak pula berpengaruh terhadap kemampuan balita
anak yang akan menjadi sakit TB.Risiko tersebut untuk melawan kuman TB. Balita
untuk menjadi sakit TB paling tinggi pada stunting lebih rentan tertular penyakit TB
usia kurang 3 tahun.4.5 dibandingkan dengan balita gizi nomal.
Penularan TB pada umunya terjadi Berkaitan dengan hal tersebut di atas,
pada ruangan dimana percikan dahak maka perlu dilakukan penelitian
berada dalam waktu yang lama dalam mengenai hubungan antara gizi stunting
keadaan yang gelap dan lembab. Ventilasi terhadap kejadian TB pada balita di suatu
dapat mengurangi jumlah percikan dahak, kabupaten di Indonesia.
di dalam ruangan dengan ventilasi yang
baik maka percikan dahak (droplet nuklei)
yang mengandung kuman TB akan
terbawa oleh aliran udara. Sinar matahari

The Indonesian Journal of Infectious Disease 7


METODOLOGI Tuberkulin; (3) berat badan/keadaan
status gizi; (4) demam tanpa sebab jelas;
Desain penelitian ini adalah kasus (5) batuk; (6) pembesaran kelenjar limfe
kontrol. Penelitian dilaksanakan pada koli, axila, inguinal; (7) pembengkakan
bulan April-Juni 2013 di tujuh puskesmas tulang/sendi panggul, lutut, falang; (8)
di wilayah kerja Dinas Kesehatan foto/rontgen thoraks.
Kabupaten Bandung Barat. Rentang skor yang diberikan untuk
Kasus adalah semua anak usia 1-59 setiap parameter yaitu 0-3. Pasien dengan
bulan yang ber obat di pusk esm as jumlah skor > 6 harus ditatalaksana
dan didiagnosis s a k i t TB oleh dokter sebagai pasien TB dan mendapat obat
atau petugas TB (perawat terlatih), anti Tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang
menggunakan sistem skoring yaitu dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke
pembobotan terhadap gejala atau tanda arah TB kuat, maka dilakukan
klinis pada anak yang dicurigai sakit TB. pemeriksaan diagnostik lainnya, seperti
Setelah dokter/perawat terlatih melakukan foto/rontgen thoraks dan uji tuberkulin.
anamnesis, pemeriksaan fisik dan Perincian lebih lanjut tentang sistem
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan skoring gejala dan pemeriksaan
pembobotan dengan sistem skor terhadap penunjang TB sebagai berikut : (3.8)
parameter : (1) kontak TB; (2) uji

Tabel 1. Skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB


Nilai
Parameter Jumlah
0 1 2 3
Kontak TB Tidak - Laporan keluarga, BTA (+) 3
jelas BTA (-), tidak tahu
atau tidak jelas
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (>10 mm
atau >5 mm pada 3
imunosupresi
Berat - Bawah garis Klinis gizi buruk -
badan/Keadaan merah (KMS) (BB/U < 60%)
2
status gizi atau BB/U <
80%
Demam tanpa
- > 2 minggu - - 1
sebab jelas
Batuk - > 3 minggu - - 1
Pembesaran - >1 cm, - -
kelenjar limfe koli, jumlah >1, 1
axila, inguinal tidak nyeri
Pembengkakan - Terdapat - -
tulang/ sendi pembengkakan
1
panggul, lutut,
falang
Foto rontgen Norma Kesan TB - -
thoraks l/ tidak 1
jelas
Total 13
Sumber: Diagnosisdan t atalaksanaTuberkulosis pada anak (2008)

Penentuan status gizi balita diukur versi 3.2.2 tahun 2011, sehingga
secara anthropometri berdasarkan tinggi didapatkan nilai Z-skore.9 Selanjutnya
badan menurut umur (TB/U), berdasarkan nilai Z-score tersebut,
menggunakan software WHO Anthro ditentukan status gizi balita sesuai

8 The Indonesian Journal of Infectious Disease


dengan standar antropometri penilaian responden (ibu balita) untuk
status gizi anak di Indonesia.10 Batasan mendapatkan data riwayat kontak
Z-skore mengacu pada Kepmenkes serumah dengan pasien TB, data riwayat
No.1995/Menkes/SK/XII/2010, yaitu status imunisasi BCG (observasi kartu
normal (-2 SD s/d 2 SD), pendek (-3 SD menuju sehat/KMS atau catatan kader),
s/d -2SD) dan sangat pendek (<-3SD).10 data jumlah penghuni rumah dan
Analisis statistik menggunakan melakukan pengukuran terhadap luas
regresi logistik dengan program stata kamar, luas rumah dan luas ventilasi
versi 9. rumah.
Sumber data kasus berasal dari Berdasarkan hasil pengumpulan data,
register TB 03 di tujuh puskesmas tidak semua kasus dan kontrol yang telah
Kabupaten Bandung Barat pada periode ditetapkan tersebut dapat ikut dalam
bulan Januari 2012 sampai Mei 2013. penelitian, karena tidak memenuhi kriteria
Selanjutnya dilakukan penapisan inklusi (ada data tinggi badan, status gizi
berdasarkan umur, diagnosis, alamat balita stunting atau severely stunting,
lengkap pasien dan data tinggi badan. ditemukan alamatnya di wilayah
Seluruh balita yang didiagnosis TB Kabupaten Bandung Barat dan orang
diambil sebagai kasus, didapatkan jumlah tua/ibu balita bersedia ikut dalam
kasus sebanyak 109 balita. Kemudian penelitian).
dibuat daftar kelompok kasus per Pada kelompok kasus sebanyak 3
puskesmas. kasus tidak ditemukan alamatnya,
Kontrol adalah anak usia 1-59 bulan sebanyak 5 kasus tidak ada data tinggi
yang berobat di puskesmas yang sama badan dan 3 kasus mempunyai status
dengan kasus dan didiagnosis bukan TB gizi tinggi. Jadi jumlah kasus yang ikut
oleh dokter atau perawat terlatih dalam penelitian adalah 98 balita.
puskesmas setempat. Sumber data Pada kelompok kontrol, sebanyak 5
kontrol berasal dari register poli Balita kontrol tidak ditemukan alamatnya,
periode bulan Januari 2012– Mei 2013. sebanyak 2 kontrol tidak ada data tinggi
Selanjutnya dilakukan penapisan badan dan sebanyak 2 kontrol
berdasarkan umur, diagnosis bukan TB mempunyai status gizi tinggi. Jadi jumlah
(Dermatitis/Konjungtivitis/Caries Dentis), kontrol yang ikut dalam penelitian adalah
alamat lengkap pasien dan data tinggi 100 balita.
badan, didapatkan jumlah pasien Penelitian ini memiliki keterbatasan,
sebanyak 374 pasien. Kemudian dibuat antara lain: 1) Bias pewawancara karena
daftar nama kelompok kontrol per adanya subyektifitas atau sugesti
puskesmas dan diberi nomer urut. pewawancara dalam proses
Pengambilan subyek sebagai kontrol pengumpulan data. Untuk mengendalikan
menggunakan teknik sampling acak bias ini maka sebelum pengumpulan data
sederhana dengan menggunakan tabel terlebih dahulu dilakukan pelatihan/
bilangan random per puskesmas. sosialisasi terhadap petugas enumerator,
Pemilihan subyek pertama tentang pertanyaan-pertanyaan dalam
berdasarkan hasil pembagian jumlah kuesioner untuk menyamakan persepsi
kontrol yang ditemukan dibagi besar tentang pertanyaan-pertanyaan dalam
sampel yang dibutuhkan per puskesmas. kuesioner tersebut. 2) Measurement error
Pemilihan subyek berikutnya dipilih yaitu kesalahan-kesalahan yang terjadi
berdasarkan kelipatan dari hasil pada saaat pengukuran tinggi badan.
pembagian tersebut. Jumlah kontrol yang Pada penelitian ini data tinggi badan
diambil sama dengan jumlah kasus TB balita menggunakan data sekunder yang
balita yang didapatkan di puskesmas berasal dari tiga sumber, yaitu register
tersebut. Jumlah kontrol seluruhnya 109 poli balita (56%), KMS (30%) dan catatan
balita. kader (14%), yang merupakan hasil
Setelah ditetapkan kasus dan kontrol, pengukuran petugas kesehatan dari tujuh
selanjutnya dilakukan kunjungan rumah puskesmas, sehingga kemungkinan
untuk dilakukan wawancara terhadap besar bisa terjadi kesalahan pada waktu

The Indonesian Journal of Infectious Disease 9


melakukan pengukuran tinggi badan. Tabel 2 menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan masing-masing sub-
HASIL DAN PEMBAHASAN grupnya, balita TB dan bukan TB,
Pada penelitian ini digunakan: didistribusikan hampir sama menurut
penentuan anak yang didiagnosis TB oleh gender dan ventilasi rumah. Selanjutnya,
dokter atau petugas TB (perawat terlatih) dibandingkan dengan referensi masing-
telah menggunakan sistem skoring sesuai masing sub-grupnya, maka balita usia <
dengan Pedoman Nasional 24 bulan, subyek yang tinggal dalam satu
Penanggulangan Tuberkulosis Anak. kamar yang padat penghuni dan tinggal
Setiap anak yang didiagnosis TB, dalam satu rumah yang padat penghuni,
dilakukan skoirng dan hasil skoring memiliki risiko lebih tinggi untuk TB.
masing-masing pasien dilampirkan Tabel 3 (model akhir kami)
dengan form TB 01. Hasil skoring menunjukkan bahwa dibandingkan
berdasarkan jumlah skor : jumlah skoring dengan balita gizi normal, maka balita
> 6 sebanyak 97% , dan jumlah skoring 5 yang mempunyai status gizi stunting
sebanyak 3%. Hasil skoring berdasarkan berisiko 2,96 kali untuk menjadi sakit TB
parameter penilaian : sebanyak 95% (95% CI : 1,29– 6,73) dan balita yang
hasil rongent menunjukkan curiga proses mempunyai status severely stunting
spesifik, 95 % balita mengalami batuk berisiko 8,18 kali (95% CI : 2,36 – 28,29)
lebih dari tiga minggu, 92 % balita untuk menjadi sakit TB, setelah dikontrol
mempunyai kontak dengan penderita TB dengan variabel imunsiasi BCG dan
BTA positif, 71 % balita mengalami kontak serumah dengan pasien TB
demam lebih dari 2 minggu, 66 % balita dewasa.
mengalami penurunan berat badan dalam Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dua bulan berturut-turut, 34 % balita balita gizi stunting dan severely stunting
mengalami pembesaran kelenjar limfe, 33 mempunyai risiko yang lebih tinggi sakit
% uji tuberkulinnya positif dan 3 % balita TB dibandingkan dengan balita gizi
mengalami sakit persendian. normal.

Table 2. Hubungan Umur, Jenis Kelamin Kepadatan Rumah dan Ventilasi Rumah Dengan Kejadian
TB
Bukan TB TB Crude 95 persen P Value
(n=100) (n=98) odds confidence
n Persen N perse ratio interval
n
Umur
25- 59 bulan 49 49 33 34 1.00 Reference
1 - 24 bulan 51 51 65 66 1.89 1.02 – 3.50 0.028
Sex
Perempuan 52 52 43 44 1.00 Reference
Laki-laki 48 48 55 56 1.39 0.76 - 2.53 0.252
Kepadatan rumah
Tidak padat 42 42 33 34 1.00 Reference
Padat 58 58 65 66 1.46 0.77 - 2.65 0.227
Kepadatan Kamar
Tidak padat 33 33 22 22 1.00 Reference
Padat 67 67 76 78 1.70 0.86 - 3.37 0.097
Ventilasi Rumah
Baik 92 92 88 90 1.00 Reference
Kurang 8 8 10 10 1.30 0.44 - 3.99 0.589

10 The Indonesian Journal of Infectious Disease


Table 3. Hubungan antara status gizi, Imunisasi BCG, kontak TB serumah dengan kejadian TB
Bukan TB TB
95%
(n=100) (n=98) Adjuste
confidence P Value
N d odd
N interval
persen persen ratio*
Status Gizi
Normal 81 81 59 60 1.00 Reference
Stunting 15 15 25 26 2.96 1.29 – 6.73 0.01
Severely stunting 4 4 14 14 8.18 2.36 – 28.29 0.001
Imunisasi BCG
Ya 55 55 36 37 1.00 Reference
Tidak 45 45 62 63 2.45 1.25 – 4.78 0.009
Kontak TB serumah
Tidak 91 92 53 54 1.00 Reference
Ya 9 8 45 46 11.96 4.67 – 30.61 0.000

Gambar 1. Perkembangan Penyakit TB

Jumlah basil Penyakit TB Daya tahan


penyebab TB pasien
Sangat banyak +++++++  Sangat mungkin + Sangat 1
buruk
Banyak +++++  Mungkin +++ Buruk 2
Sedikit +++  Tidak Mungkin +++++ Baik 3
Sangat sedikit +  Sangat tidak mungkin +++++++ Sangat 4
baik

Menurut Crofton, anak-anak yang TB. Namun, sesudah berbulan-bulan atau


masih sangat kecil, mempunyai kekebalan bertahun-tahun pertahanannya mungkin
tubuh yang masih lemah. Kekebalan melemah, disebabkan oleh kurang gizi
tubuh juga menurun bila anak tersebut atau penyakit lain. Kemudian penyakit TB
menderita kurang gizi. Pada anak tersebut mulai menyebar dalam paru.
infeksi primer dapat segera diikuti Balita gizi stunting dapat menurunkan
Tuberkulosis milier dan TB meningitis.4 kekebalan anak dan membuat anak lebih
Penderita TB BTA positif, akan rentan terhadap kuman TB. Dan TB yang
berperan sebagai sumber penularan pada tidak diobati pada anak-anak juga dapat
anggota keluarga yang tinggal serumah menyebabkan gangguan pertumbuhan
terutama pada anak-anak, karena anak- gizi. Kemungkinan berkembangnya
anak tidak dapat menghindari kontak penyakit TB dapat digambarkan pada
dengan penderita TB. gambar 1.
Dari semua orang yang terinfeksi TB, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sekitar 10% yang akan berkembang ada hubungan yang signifikan antara TB
menjadi sakit TB, tergantung pada dan gizi stunting. Dibandingkan dengan
banyaknya kuman TB yang terhirup dan balita yang memiliki status gizi normal,
pertahanan tubuh orang yang terinfeksi mereka yang stunting dan severely
(daya tahan seseorang). Pada awalnya stunting memiliki risiko yang lebih tinggi
pertahanan pasien dapat mengendalikan untuk menjadi sakit TB, masing-masing

The Indonesian Journal of Infectious Disease 11


(3 kali lipat dan 8 kali lipat ), setelah atau tetangga terdekat. Kedua orang tua
dikontrol variabel status imunisasi BCG yang menderita TB infeksius (yang
dan kontak dengan TB serumah. menular) merupakan bahaya bagi bayi
Hasil penelitian yang sama yaitu atau anak-anaknya apalagi bila tinggal
penelitian oleh Madanijah dan Triana atau tidur di ruangan yang sempit.4
(2006) menujukkan bahwa terdapat Menurut Chin, bahwa keluarga yang
korelasi signifikan antara status gizi anak tinggal serumah dengan penderita TB
masa lalu (menggunakan indeks mempunyai resiko yang lebih besar untuk
anthropometri tinggi badan menurut umur) tertular TB karena tidak dapat
dengan kejadian TB pada anak taman menghindari kontak dengan penderita.
kanak-kanak (p=0,01 ; r = -0,546). Pajanan dengan kuman TB dalam jangka
Semakin rendah status gizi masa lalu waktu lama dan dalam lingkungan
anak maka semakin besar risikonya untuk keluarga menyebabkan risiko terinfeksi
menjadi sakit TB dibandingkan dengan sebesar 30 persen. Jika infeksi terjadi
anak gizi normal.11 pada anak maka risiko menjadi sakit
Penelitian Gusnilawati (2006) juga selama hidupnya sekitar 10 persen.5
menunjukkan bahwa anak yang memiliki Hasil penelitian Basri (2002) juga
gizi kurang (BB/U) berisiko 3.17 kali menunjukkan hal yang sama yaitu anak
terkena penyakit TB paru pada usia 1-59 yang tidak mendapatkan imunisasi BCG
bulan dibandingkan dengan anak dengan mempunyai risiko untuk sakit TB berat
status gizi baik.12 Meskipun indeks sebesar 3.85 kali dibandingkan dengan
anthropometri yang digunakan untuk anak yang mendapatkan imunisasi BCG
menentukan status gizi berbeda yaitu (95 persen CI = 1.62-9.28).13 Demikian
menggunakan berat badan menurut umur, juga hasil penelitian Amran (2006) bahwa
namun hasil penelitian ini menunjukkan anak yang tidak mendapatkan imunisasi
bahwa anak gizi kurang mempunyai risiko BCG mempunyai risiko untuk sakit TB
yang lebih tinggi untuk terkena sakit TB berat sebesar 2.34 kali dibandingkan
dibanding anak gizi normal. Status gizi dengan anak yang mendapatkan
balita menurut (BB/U) menggambarkan imunisasi BCG (95 persen CI: 1.13-
keadaan/status gizi balita pada saat ini 4.82).14
(current nutritional status) sehingga tidak Hasil penelitian oleh Supriyadi (2003)
dapat ditetapkan apakah status gizinya menunjukkan bahwa responden yang
turun sehingga anak mengalami sakit mempunyai hubungan kontak serumah
ataukah anak mengalami sakit dulu baru dengan sumber penular serumah
status gizinya turun. (penderita TB BTA positif) mempunyai
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peluang untuk menjadi TB paru BTA
ada dua variabel konfounder pada positif sebesar 3.4 kali dibandingkan
hubungan status gizi stunting dengan responden yang tidak mempunyai
kejadian TB pada balita adalah imunisasi hubungan kontak serumah dengan
BCG dan kontak TB serumah. Balita yang penderita TB BTA postif.15 Hal yang sama
tidak mendapat imunisasi BCG hasil dari riset operasional yang dilakukan
mempunyai risiko untuk sakit TB berat di Yogyakarta (2011) menunjukkan bahwa
sebesar 2.45 kali dibandingkan dengan risiko terjadinya infeksi TB meningkat jika
anak yang mendapatkan imunisasi BCG sumber penularan dengan BTA positif
(95 persen CI = 1.25-4.70). Dan balita (OR : 2.8; 95 persen CI 1.2 – 6.6).16
yang mempunyai kontak serumah dengan Kesimpulan, balita stunting, tidak
pasien TB dewasa mempunyai risiko diimunisasi BCG dan memiliki kontak TB
untuk sakit TB berat sebesar 10.73 kali di rumah memiliki risiko yang lebih tinggi
(95 persen CI = 1.25-4.70) dibandingkan untuk sakit TB sebanyak 2.9 kali dan
dengan anak yang tidak ada kontak balita severely stunting memiliki risiko
serumah dengan pasien TB dewasa. untuk sakit TB sebanyak 8.18 kali
Hal ini sesuai pendapat Crofton dibandingkan dengan balita gizi normal.
bahwa anak yang terinfeksi TB hampir
selalu tertular oleh anggota keluarganya

12 The Indonesian Journal of Infectious Disease


KESIMPULAN 2010.
7. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung
Stunting, imunisasi dan kontak Barat. Laporan Bulan Penimbangan
serumah dengan penderita berisiko untuk Balita Kabupaten Bandung Barat.
menderita TB. 2012.
8. K e m e n t e r i a n Kesehatan RI.
SARAN Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Pada Anak. Jakarta;
Berdasarkan hal tersebut maka penting 2008. 14p.
untuk memeriksakan orang-orang yang 9. Department of Nutrition WHO. WHO
kontak erat dengan penderita TB paru, AnthroVersi3.2.2(Computersoftware);2
sehingga perlu ditemukan penderita TB 011.http://www.who.int/childgrowth/en
sedini mungkin untuk diberi pengobatan 10. Kementerian Kesehatan RI;
sampai sembuh sehingga tidak lagi Kepmenkes
membahayakan lingkungannya. Namun, No.1995/Menkes/SK/XII/2010.
karena kurangnya pemahaman Kategori dan Ambang Batas Status
masyarakat tentang pencegahan dan Gizi Balita Berdasarkan Indeks.
pencarian pengobatan TB, maka Jakarta; 2010
penderita sendiri tidak sadar bahwa 11. Madanijah, Siti., & Nina, Triana.
mereka menjadi sumber penularan bagi Hubungan Antara Status Gizi Masa
anggota keluarganya dan masyarakat Lalu Dan Partisipasi Ibu Dengan
sekitarnya. Kejadian Tuberkulosis Pada Murid
Taman Kanak-Kanak. Jurnal Gizi dan
DAFTAR PUSTAKA Pangan. 2007 Maret ; 2(1) : 29-41
12. Gusnilawati. Hubungan Usia Saat
1. Direktorat Jendral Pengendalian Imunisasi BCG dan Status Gizi
Penyakit Dan Penyehatan Dengan Kejadian TB Paru Pada Anak
Lingkungan, Direktorat Imunisasi, Usia < 5 Tahun di RSUD Dr.M. Yunus
Karantina Dan Kesehatan Matra, Sub Bengkulu Tahun 2004-2005.[Tesis]
Direktorat Surveilans Dan Respon Jakarta. Universitas Indonesia; 2006.
KLB, Buku Data 2010. Jakarta. 2011 13. Basri, C. Vaksinasi BCG & Risiko
Juli; 103p. Terjadinya TB Berat Pada Anak di
2. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo 1997-
Barat. Laporan Tuberkulosis 2001. [Tesis] Jakarta. Universitas
Kabupaten Bandung Barat. Bandung; Indonesia ; 2002.
2012. 14. Amran, Ali. Faktor-Faktor Yang
3. Kementerian Kesehatan RI . Pedoman Berhubungan Dengan Kejadian
Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tuberkulosis Klinis Pada Anak Di
Tahun 2011. Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
4. Crofton J, Horne N, Miller F. 2006 . [Tesis] Jakarta. Universitas
Tuberkulosis Klinis. 2rd. ed. Indonesia ; 2006
Muherman Harun. Penerjemah. 15. Supriyadi. Hubungan antara kontak
Jakarta: Widya Medika; 2002. serumah dan faktor risiko lain
9,12,13,15,16,32,33,44,46,50. terhadap kejadian TB paru BTA positif
5. Chin,James. Manual Pemberantasan di kota Banjarmasin tahun 2003.
Penyakit Menular. 1 7 r d r e v . e d . I [Tesis] Jakarta. Universitas Indonesia.
Nyoman Kandun. Penerjemah. 2003.
Jakarta: Infomedika; 2009. 16. Warta Tuberkulosis Indonesia. Berita
639,641,644. Riset Operasional Tuberkulosis. 2012
6. Kementerian Kesehatan RI. Badan Juli.
Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.

The Indonesian Journal of Infectious Disease 13

Anda mungkin juga menyukai