Anda di halaman 1dari 24

OSTEOMYELITIS

PENDAHULUAN
Osteomyelitis merupakan inflamasi pada tulang yang disebabkan infeksi piogenik atau non-piogenik
seperti Micobacterium tuberkulosa atau Staphylococcus aureus. Infeksi dapat terbatas pada sebagian
kecil tempat pada tulang atau melibatkan beberapa daerah seperti sum-sum, perioesteum, dan jaringan
lunak disekitar tulang.
Awal tahun 1900 sekitar 20% pasien dengan osteomyelitis meninggal dan mereka yang selamat
mengalami morbiditas yang bermakna. Sekarang ini, mortalitas dan morbiditas akibat osteomyelitis
relatif rendah karena metode penanganan yang modern, termasuk penggunaan antibiotik dan intervensi
invasif. Kunci keberhasilan penatalaksanaan osteomyelitis adalah diagnosis dini dan operasi yang tepat
serta pemilihan jenis antibiotik yang tepat. Secara umum, dibutuhkan pendekatan multidisipliner yang
melibatkan ahli orthopaedi, spesialis penyakit infeksi, dan ahli bedah plastik pada kasus berat dengan
hilangnya jaringan lunak.

Gambar 1. Perbandingan antara tulang sehat dan


tulang yang terinfeksi

PATOFISIOLOGI
Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di periosteum, korteks,
sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang menginfeksi bergantung pada usia
pasien dan mekanisme infeksi.
Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui
inokulasi langsung dari jaringan sekitar.
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya bibit
bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri
yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang mengalami peradangan.
Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut.
Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi dan dalam masa
perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah yang terjadi pada pada metaphyse distal
menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari
jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena
inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang
yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi.

Gambar 2. Perubahan patofisiologis pada osteomyelitis


yang disebabkan oleh infeksi daerah sekitar.

KLASIFIKASI
Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi dan jenis
respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat diklasifikasi menjadi
akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme
infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka,
operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat
bakteremia. Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian
tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem
klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi
yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan berdasarkan
mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous).

A. Osteomyelits Hematogenous Akut


Osteomyelitis hematogenous akut merupakan tipe infeksi tulang yang paling sering terjadi dan seringkali
ditemukan pada anak. Infeksi ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding dengan wanita di segala
kelompok usia. Penyebab terjadinya Osteomyelitis hematogenous akut ini adalah bakteremia, dimana
keadaan ini umum ditemukan pada anak. Pertumbuhan bakteriologis dalam tulang pada umumnya
terkait dengan beberapa keadaan yaitu trauma, penyakit kronik, malnutrisi, dan sistem imun yang
inadekuat. Pada beberapa kasus, penyebab pasti dari penyakit ini tidak dapat ditentukan.

Patofisiologi
Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut bergantung pada umur, daya tahan tubuh,
lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus ke tempat yang lain
dalam tubuh pada fase bakteremia dan dapat menimbulkan septikemia. Embolus infeksi kemudian
masuk ke dalam luksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi
dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana
jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah.
Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada
pembuluh daragh tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Di samping proses yang
disebabkan diatas, pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam perosteum
sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti
mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Apabila pus menembus
tulang, maka terjadi pengaliran pus dari involucrum kelual melalui lubang yang disebut kloaka atau
melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit.
Tahap selanjutnya, penyakit dapat berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang
kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang
kronik yang disebut abses Brodi.
Infeksi ini pada umumnya melibatkan metaphyse dari tulang panjang yang sedang berkembang
terutama pada pasien pediatrik. Invasi bakteri mengakibatkan reaksi radang yang dapat menyebabkan
nekrosis iskemik lokal pada tulang dan pembentukan abses. Semakin abses membesar maka tekanan
intramedullare semakin meningkat dan mengakibatkan iskemia kortikal, yang kemudian mengakibatkan
materi purulen keluar dari korteks masuk kedalam ruang subperiosteal. Abses subperiosteal pun terjadi.
Jika dibiarkan tanpa penanganan proses ini akan mengakibatkan pembentukan sequestra yang luas dan
osteomyelitis kronik. Efek ostemyelitis hematogenous akut pada anak tergantung pada suplai darah dan
struktur anatomis tulang
Anak yang lebih muda dari 2 tahun memiliki beberapa pembuluh darah yang melintasi physis dan
memudahkan tersebarnya infeksi pada epiphyse. Karena alasan ini, balita cenderung mengalami
deformitas atau pemendekan tungkai jika physis dan epiphyse rusak akibat infeksi tersebut. Physis
berperan sebagai barrier yang mencegah penyebaran langsung abses dari metaphyse ke epiphyse.
Metaphyse memiliki sel fagosit yang relatif rendah dibanding physe dan diaphyse, keadaan ini
menyebabkan infeksi lebih sering terjadi pada daerah ini. Abses yang terbentuk akan merusak korteks
metaphyse yang tipis dan membentuk abses subperiosteal. Diaphyse sangat jarang terkena dan
sekuestrasi jarang terjadi kecuali pada kasus-kasus yang berat
Anak dengan usia diatas 2 tahun memiliki physe yang secara efektif menjadi barrier terhadap
penyebaran abses metaphyse. Akan tetapi, karena korteks metaphyse pada anak yang lebih tua semakin
tebal, bagian diaphyse memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi. Jika infeksi mengenai
diaphyse, suplai darah pada endosteal dipertaruhkan. Dengan adanya abses periosteal, suplai darah
periosteal akan rusak dan mengakibatkan penyebaran yang lebih luas dan osteomyelitis kronis jika tidak
ditangani dengan tepat.
Dari penelitian yang dilakukan Riise et al total insiden tahunan terjadinya osteomyelitis pada anak
adalah 13 dari 100.000 orang. Osteomyelitis paling sering terjadi pada anak dibawah 3 tahun.
Setelah physis menutup, osteomyelitis hematogenous akut lebih jarang terjadi. Penyebaran bakteri
secara hematogenous di tulang pada orang dewasa hanya ditemukan pada keadaan imun yang buruk.
Walaupun infeksi ini dapat terjadi pada tulang mana saja ditubuh, pada umumnya corpus vertebra yang
terkena. Pada pasien ini, abses menyebar secara perlahan, dan sekuestrasi yang luas jarang terjadi. Jika
destruksi lokal pada tulang kortikal terjadi, maka akan menyebabkan fraktur patologis.
Infeksi akan menyebabkan terkumpulnya sel-sel inflamasi dan jika tidak diterapi, sel-sel inflamasi akan
menghasilkan purulen. Pus ini akan menyebar melaui tiga jalan : melalui physis, kearah diaphysis, atau
disekitar korteks. Purulen ini cenderung untuk mencari jalan yang minimal resistensinya, melalui korteks
metaphysis, selanjutnya terbentuk pus subperiosteal. Walaupun hal ini merupakan rute yang biasanya
terjadi, anak yang lebih muda ( kurang dari 1 tahun) dengan pembuluh darah transphyseal yang intak
akan menunjukkan penyebaran epiphyseal dengan membentuk abses epiphyseal.
Penyebaran infeksi pada sendi juga dipengaruhi oleh usia seseorang. Pada anak dengan usia dibawah 2
tahun, suplai darah metaphyse dan epiphyse melintasi physis, memudahkan penyebaran abses
metaphyse pada epiphyse dan pada akhirnya pada sendi. Sendi panggul yang paling sering terkena pada
pasien usia muda, akan tetapi, physe humerus proximal, kolum radius, dan fibula distal berada
intraartikuler dan infeksi pada daerah ini dapat mengakibatkan arthritis septik. Pada anak dengan usia
yang lebih tua, sirkulasi seperti ini tidak ditemukan lagi dan arthritis septik jarang terjadi. Setelah physe
menutup, infeksi dapat menyebar secara langsung dari metaphyse ke epiphyse dan kemudian
melibatkan persendian.
Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling sering menginfeksi anak yang lebih tua dan
orang dewasa dengan osteomyelitis. Bakteri gram negatif telah diketahui menjadi penyebab infeksi
corpus vertebra pada orang dewasa. Pada bayi dengan ostemyelitis akut hematogenous, Staphylococcus
aureus paling sering ditemukan, akan tetapi, kelompok streptokokkus dan koliform gram negatif juga
sering didapati. Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif merupakan penyebab paling umum dari
infeksi ortopedik pada bayi prematur yang dirawat pada Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Pada dasarnya penyebaran agen bakteri ini memiliki dua cara yaitu penyebaran umum dan penyebaran
lokal. Penyebaran umum yaitu melalui sirkulasi darah akibat bakteremia dan septikemia dan melalui
embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah-daerah lain. Penyebaran lokal
dengan adanya subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum, selulitis akibat abses
subperiosteal menembus sampai di bawah kulit, penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis
septik, dan penyebaran ke medulla tulang sekitar.

Diagnosis
Evaluasi ostemyelitis hematogenous akut sebaiknya dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Gejala dan tanda dapat sangat beragam. Pada bayi, lansia, dan pasien dengan imunitas buruk, gambaran
klinis minimal. Demam dan malaise dapat ditemukan pada stadium awal penyakit, namun kadangkala
gejala ini juga tidak dirasakan. Adanya pembengkakan menandakan keadaan yang signifikan dimana
sindrom kompartmen sering dilaporkan terjadi pada anak akibat osteomyelitis.
Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya nyeri tekan pada palpasi daerah yang terinfeksi dan
gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat jika
terjadi spasme lokal. Gangguan pergerakan sendi juga dapat disebabkan oleh efusi sendi atau septik
sendi.
Jumlah sel darah putih biasanya normal, akan tetapi nilai sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-reactive
protein (CRP) biasanya meningkat. CRP merupakan pengukuran respon fase akut dan berguna dalam
mengawasi proses penyembuhan dari osteomyelitis akut karena nilainya kembali ke normal lebih cepat
dibanding dengan ESR. Pada penelitian yang dilakukan oleh Orimolade et al pada pasien Osteomyelitis
akut di Nigeria, ditemukan bahwa pasien osteomyelitis lebih cenderung mengalami anemia dibanding
kelompok kontrol.
Gambaran radiologi polos biasanya tidak menunjukkan kelainan namun dapat ditemukan
pembengkakan jaringan lunak. Perubahan skelet seperti reaksi periosteal atau destruksi tulang biasanya
tidak ditemukan pada foto polos hingga hari ke 10 dan 12 infeksi. Pemindaian tulang dengan
menggunkan Technetium 99m dapat mengkonfirmasi diagnosis dalam 24 hingga 48 jam setelah
terjadinya onset pada 90% hingga 95% pasien. MRI dapat memperlihatkan adanya perubahan akibat
proses radang pada sum-sum tulang dan jaringan lunak.
Organisme penyebab dapat ditentukan pada sekitar 50% penderita melalui kultur darah. Aspirasi tulang
biasanya memberikan diagnosis bakteriologis yang akurat dan sebaiknya dilakukan dengan abocath
nomor 16 atau 18 pada tempat terjadinya pembengkakan dan nyeri yang maksimal, biasanya pada
metaphyse tulang panjang. Ruang subperiosteal sebaiknya diaspirasi pertama kali dengan memasukkan
jarum pada korteks bagian luar. Jika tidak didapatkan cairan atau material purulent, jarum diposisikan
lebih dalam lagi untuk mengambil aspirat sum-sum tulang. Sampel yang diambil dikirim untuk dilakukan
pewarnaan gram, kultur, dan tes sensitivitas antibiotik.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat segera setelah onset osteomyelitis hematogenous akut dapat memperkecil
morbiditas. Operasi dan penanganan antibiotik merupakan penatalaksanaan terpenting dan pada
beberapa pasien, dengan pemberian antibiotik saja dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Pemilihan
antibiotik berdasar pada aktivitas bakteriosidal yang terkuat, toksisitas yang paling rendah, dan
pertimbangan sosioekonomi.
Telah lama diketahui bahwa abses yang meluas membutuhkan drainase operatif. Akan tetapi, daerah
peradangan ringan tanpa pembentukan abses dapat ditangani hanya dengan antibiotik. Pada tahun
1983 Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan osteomyelitis hematogenous akut
yang masih dapat diterapkan hingga saat ini: (1) Pemberian antibiotik yang tepat akan efektif sebelum
pembentukan pus; (2) antibiotik tidak dapat mensterilkan jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau
abses dan daerah tersebut membutuhkan penanganan operatif; (3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik
sebaiknya diberikan untuk mencegah pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman;
(4) operasi sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik; (5) antibiotik sebaiknya
tetap diberikan setelah infeksi.
Pasien dengan osteomyelitis hematogenous akut sebaiknya mendapatkan perawatan supportif standar
termasuk pemberian cairan intravena, analgetik yang tepat, dan penempatan tungkai atau ekstremitas
yang terkena yang nyaman. Pemeriksaan berkala yang rutin sebaiknya dilakukan. Jika abses yang
membutuhkan drainase operatif tidak ditemukan dengan aspirasi sum-sum tulang atau subperiosteal,
maka pemberian antibiotik intravena berdasarkan pewarnaan gram diberikan. Antibiotik dengan
spektrum yang sempit khusus untuk bakteri penyebab sebaiknya diberikan jika pewarnaan gram negatif,
dan keadaan pasien tetap dimonitor. Kadar CRP serum sebaiknya diperiksa 2 – 3 hari setelah pemberian
awal antibiotik. Jika dalam waktu 24 hingga 48 jam, tidak ada respon klinis yang bermakna terhadap
pemberian antibiotik, maka abses yang tak terlihat sebaiknya dicari dan drainase operatif
dipertimbangkan. Terdapat dua indikasi utama untuk operasi pada osteomyelitis hematogenous akut
yaitu (1) keberadaan abses yang membutuhkan drainase dan (2) keadaan pasien tidak membaik
walaupun telah diberikan antibiotik yang tepat.
Tujuan dari operasi adalah untuk drainase rongga abses dan membuang seluruh jaringan nekrotik.
Ketika abses subperiosteal ditemukan pada bayi, beberapa lubang kecil sebaiknya dibuka melalui
korteks hingga mencapai kanal meduller. Jika pus intrameduller ditemukan, maka sedikit bagian dari
tulang diangkat. Kulit kemudian ditutup dengan longgar dan pada tungkai diberikan splint. Tungkai
tersebut dijaga selama beberapa minggu agar terhindar dari fraktur patologis. Antibiotik intraavena
sebaiknya diberikan setelah operasi. Durasi dari terapi antibiotik kontroversial, akan tetapi, saat ini
cenderung mengarah pada terapi antibiotik yang semakin pendek, diikuti dengan antibiotik oral dan
pengawasan kadar antibiotik serum. Hal ini sebaiknya ditentukan berdasar pada kebutuhan tiap individu
dan dengan konsultasi dari ahli penyakit infeksi.
Setelah operasi dilakukan, splint tungkai posterior panjang diberikan pada tungkai dalam posisi
anatomis, tumit dengan posisi 90 derajat dan jika pada siku dengan fleksi 20 derajat. Setelah luka telah
sembuh, splint dilepas dan pasien diminta menggunakan tongkat bantu. Pasien di follow up selama 1
tahun dengan pemeriksaan radiologik.

B. Osteomyelitis Hematogenous Subakut


Dibandingkan dengan oseomyelitis hematogenous akut, osteomyelitis subakut memiliki onset yang lebih
mendadak dan kurang memiliki gejala yang jelas, sehingga membuat diagnosis menjadi sulit.
Osteomyelitis subakut ini cukup sering ditemukan. Jones et al melaporkan bahwa 35% pasien mereka
dengan infeksi tulang memiliki osteomyelitis subakut

Diagnosis
Karena perjalanan penyakit yang samar dari osteomyelitis, diagnosis biasanya ditegakkan setelah 2
minggu. Tanda dan gejala sistemik minimal. Suhu tubuh hanya sedikit naik atau tidak sama sekali. Nyeri
dengan derajat ringan sedang merupakan tanda yang konsisten mengarahkan diagnosis. Sel darah putih
biasanya normal. ESR meningkat hanya pada 50% pasien dan kultur darah biasanya negatif. Bahkan
dengan biopsi atau aspirat tulang yang sudah adekuat, organisme patogen hanya ditemukan pada 60%
pemeriksaan. Pemindaian tulang dan foto radiologi polos pada umumnya positif.
Lambatnya perjalanan penyakit pada osteomyelitis subakut ini kemungkinan diakibatkan oleh
peningkatan resistensi host, penurunan virulensi bakteri, atau pemberian antibiotik sebelum onset
gejala penyakit muncul. Berkembang spekulasi bahwa kombinasi dari dua organisme dengan virulensi
yang rendah disertai dengan daya tahan tubuh yang kuat mengakibatkan adanya peradangan pada
tulang tanpa adanya tanda dan gejala yang bermakna. Akan tetapi, diagnosis yang akurat sangat
bergantung dari kecurigaan klinis dan penemuan radiologis.
Klasifikasi radiologik dari osteomyelitis hematogenous subakut dideskripsikan oleh Gledhill dan
dimodifikasi oleh Robert et al. Membedakan lesi ini dari tumor tulang primer kadang sulit dilakukan.
Diagnosis seringkali harus ditegakkan dengan biopsi terbuka dan kultur. Material purulen tidak selalu
diambil pada biopsi, jaringan granulasi yang paling sering ditemukan. Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus epidermidis adalah organisme yang dominan ditemukan pada osteomyelitis subakut.
Ross dan Cole merekomendasikan biopsi dan kuretase diikuti dengan penanganan antibiotik untuk
semua lesi yang terlihat agresif. Untuk lesi yang terlihat seperti abses ringan pada epiphysis dan
metaphysis, biopsi tidak direkomendasikan. Lesi seperti ini, yang merupakan karakteristik dari
osteomuelitis subakut, sebaiknya ditangani dengan antibiotik intravena dalam 48 jam pertama
dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral selama 6 minggu. Ross dan Cole memiliki angka
kesuksesan sebesar 87% dengan regimen penanganan ini. Pada tahun 1996, Hamdy et al meneliti 44
pasien dengan osteomyelitis subakut dan menemukan tidak ada perbedaan pada outcome antara
penanganan konservatif dan operatif pada lesi yang tampak jinak. Mereka menyarankan biopsi terbuka
dan kuretase hanya pada lesi yang tampak agressif atau untuk yang tidak berespon terhadap pemberian
antibotik.

Abses Brodie
Abses Brodie merupakan bentuk terlokalisir osteomyelitis subakut yang terjadi paling sering pada
ekstremitas bawah dari seorang dewasa muda. Sebelum penutupan epiphyseal, metaphysis paling
sering terkena. Pada orang dewasa, osteomyelitis subakut ini didapatkan pula pada daerah metaphyse –
epiphyse. Pada gambaran radiologi polos, abses Brodie ini pada umumnya menyerupai lesi litik dengan
lapisan tulang sklerotik akan tetapi dapat pula memiliki beragam jenis bentuk. Pemeriksaan secara
saksama pada foto polos sangat penting dilakukan karena abses Brodie sering menyerupai gambaran
tumor pada tulang.
Lesi ini diperkirakan disebabkan akibat organisme dengan virulensi yang rendah. Staphylococcus aureus
ditemukan pada 50% kultur pasien, dan dalam 20% kultur tidak ditemukan. Keadaan ini sering
membutuhkan biopsi terbuka dengan kuretase untuk menegakkan diagnosis. Luka sebaiknya ditutup
dengan longgar dan menggunakan drain.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan dapat berupa pemberian antibiotik yang adekuat selama 6 minggu. Apabila
diagnosis meragukan maka dapat dilakukan biopsi dan kuretase. Walaupun gejala pasien dapat
berkurang dengan pemberian antibiotik, penyembuhan radiologis tergolong lama yaitu selama 12
minggu, sehingga pada pasien Osteomyelitis subakut dibutuhkan follow-up yang cukup lama.

C. Osteomyelitis Kronik
Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat meringan, akan
tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material purulenta, jaringan granulasi yang
telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut intermitten dapat terjadi dalam beberapa tahun dan
seringkali membaik setelah beristirahat dan pemberian antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis
kronik adalah adanya tulang yang mati akibat infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus infeksi
didalam tulang dikelilingi oleh tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang dibungkus oleh
periosteum yang menebal dan jaringan parut otot dan subkutan. Pembungkus avaskuler jaringan parut
ini dapat menyebabkan pemberian antibiotik menjadi tidak efektif.
Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya tidak berkorelasi
secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat tumbuh dari kultur yang diambil dari
sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan lunak sekitar dan tulang.

Klasifikasi
Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik, berdasar dari kriteria
anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi.
Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A memiliki respon
pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang terbatas dan penyembuhan
luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi lebih buruk dibandingkan keadaan
sebelum penanganan, maka pasien digolongkan menjadi host kelas C.
Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada endosteal.
Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang, dan infeksi terjadi akibat
defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas
dengan sequestrasi kortikal tebal dan kavitasi (pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah
ini tidak dapat menyebabkan instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang menyebabkan
instabilitas mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah penanganan awal.
Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan membentuk 1 dari 12 kelas
stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II pada host kelas A dapat membentuk
osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini berguna untuk menentukan apakah penatalaksanaan
menggunakan metode yang sederhana atau kompleks, kuratif atau paliatif, dan mempertahankan
tungkai atau ablasi.

Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold standar
adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis dan
mikrobateriologis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak, menentukan daerah
yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan
laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR
dan CRP meningkat pada kebanyakan pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.
Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi osteomyelitis kronik;
akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis
osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk membantu konfirmasi diagnosis dan
untuk sebagai persiapan penanganan operatif.
Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis osteomyelitis
kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda dari destruksi kortikal
dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada osteomyelitis. Tomography polos dapat
berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada
sinus.
Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk
kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada
daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang
kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif,
walaupun negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan
pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan
Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk
membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.
CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup baik untuk
jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan tetapi, MRI lebih
berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI memperlihatkan daerah edema
tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat menunjukkan suatu lingkaran hiperintens
yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens
pada gambaran T2-weighted.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi dengan
kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, akan tetapi
juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan.

Gambar 3. Osteomyelitis pada pria berusia 84


tahun, foto CT Scantampak sagital (a) dan axial (b) memperlihatkan fraktur pada tulang metatarsal dan
sesamoid. Selain itu terdapat reaksi periosteal dan erosi pada caput metatarsal yang mengindikasikan
adanya osteomyelitis.

Penatalaksanaan
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis
termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi
adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler.
Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat
menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada
osteomyelitis tulang tengkorak.
Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk
mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang.
Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula
identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya
dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan
radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli
infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap
muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada
umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement
osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1
minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.
Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang.
Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan
dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang
sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis
tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi
antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan
jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan
transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup
segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan
yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas
tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous
dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis
dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang
sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi .

a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik


Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih banyak
kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah yang kurang
berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan
metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi dan eksisi.
Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang terinfeksi dan
eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi.
Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang tepat dan angkat dengan menggunakan
osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta, dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang
yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk
memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan
membantu melokalisir perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang
mencurigakan, eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga
kosong atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler lokal
atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika memungkinkan,
tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang berlebihan. Jika penutupan kulit
tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau berikan antibiotik dan rencanakan untuk
penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan datang.
Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian dilindungi untuk
mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode yang panjang dan
dimonitor dengan ketat.
Gambar 4. Teknik sekuestrektomi dan kuretase. A. Daerah tulang yang terinfeksi dibuka dan sequestrum
dibuang; B. Semua material yang terinfeksi dibuang; C. Luka dapat dibungkus terbuka atau ditutup
dengan longgar dan memakai drain

Defek jaringan lunak dan tulang harus diisi untuk mereduksi kemungkinan infeksi lanjutan dan
kerusakan fungsi. Beberapa teknik telah dideskripsikan untuk penanganan defek tersebut dan terbukti
berhasil jika dilakukan dengan benar. Metode untuk mengeliminasikan ruang kosong tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Bone graft dengan penutupan primer dan sekunder;
2. Penggunaan antibiotik polymethylsmethacrylate (PMMA) sebagai saringan temporer sebelum
rekonstruksi,
3. Flap muskuler lokal dan skin graft dengan atau tanpa bone graft,
4. Transfer mikrovaskuler flap muskuler, myokutaneus, osseous, dan osteocutaneous, dan
5. Penggunaan transport tulang (Illizarof technique).

b. Graft Tulang Terbuka


Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik.
Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi;
3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
4. Drainase yang adekuat;
5. Immobilisasi yang adekuat;
6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk
penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.2,6
Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan
atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous
autografting; dan (3) penutupan kulit.

c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)


Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan antibiotik PMMA
untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk
memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi
inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal
yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik.
Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat
tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal
dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media
tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer;
jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap
air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement
dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena
konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin,
cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut
dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik
pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan. Pada
implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka
panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus pada 17
pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini
dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4
minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap
benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA
juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang
fagositik.
Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan
debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.

d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)


Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi debridement luas
dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer jaringan lunak dengan
mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan
membawa suplai darah yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk
pengangkutan antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik
ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada tibia. Otot
gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek
sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek
sekitar 1/3 distal tibia.
Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada penanganaan osteomyelitis kronik
dengan penggunaan transfer jaringan bebas mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler dapat mengandung
otot yang menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan osteocutaneous. Debridement
awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu meningkatkan angka keberhasilan teknik ini.
e. Teknik Lizarof
Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan nonunion yang
terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai
dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan
hingga union dicapai. 2
Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden komplikasi yang
terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga terbentuknya union dengan
beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur
Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk
tercapainya stabilitas.

KOMPLIKASI
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali dan
pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab.
Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang
terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran darah
sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut:
a. Abses Tulang
b. Bakteremia
c. Fraktur Patologis
d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.

PROGNOSIS
Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti virulensi bakteri,
imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. Diagnosis yang dini dan
penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis yang memuaskan dan sesuai dengan
apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang berat sekalipun. Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan
pun dapat berkembang menjadi infeksi yang berat dan meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang
diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka
prognosis osteomyelitis menjadi buruk.

PENCEGAHAN
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada tulang
dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang tepat dan dini serta
penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.
Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah
yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik profilaksis
yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera
Catatan Kuliah
“ fractures and dislocations ”
dr. Puntodewo, M.Kes., Sp.OT., FISC
Oleh : yuan’s !nk

Sistem musculoskeletal memuat tulang, sendi dan otot beserta struktur penghubungnya yaitu tendo
(otot-tulang) dan ligament (tulang-tulang). Sistem ini merupakan 70% keseluruhan tubuh yang cukup sering
mengalami masalah baik berupa nyeri ataupun disabilitas. Kebanyakan injuri system muskuloskeletal terjadi
akibat trauma fisik yang menyebabkan trauma jaringan lunak, rupture tendo dan ligamen, ataupun sampai
fraktur tulang.

Penyebab trauma musculoskeletal


 kecelakaan kendaraan bermotor
Hal ini terjadi akibat meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan kecepatan kendaraan tersebut tapi tidak
disertai perbaikan system lalu lintas dan kehati-hatian pengendara. Trauma lalulintas ini banyak terjadi pada
laki-laki muda usia <45 tahun.
 kecelakaan olahraga
kecelakaan olah raga banyak terjadi pada anak dan dewasa muda. Sebanyak 80% kecelakaan olahraga
disebabkan oleh football, basket, baseball dan soccer. Kebanyakan injuri yang terjadi adalah strain dan sprain
atau bahkan sampai fraktur.
 kecelakaan rumah tangga
kecelakaan rumah tangga banyak terjadi pada anak dan dewasa tua. Kasusnya dapat berupa jatuh, terpeleset
dll. Bahkan, terdapat data bahwa 30% dewasa tua usia >65 tahun mengalami jatuh setidaknya sekali dalam
setahun. Pada usia tua, terdapat factor pendukung untuk jatuh seperti masalah penglihatan, pendengaran dan
keseimbangan. Selain itu terdapat proses degenerative pada semua organ tubuh termasuk musculoskeletal.
 kecelakaan kerja
kecelakaan kerja dapat bermacam-macam wujudnya seperti jatuh, terjepit, dll. Namun kecelakaan kerja ini
mulai dapat berkurang seiring makin ketatnya prosedur keselamatan kerja yang diterapkan dilingkungan
kerja seperti penggunaan alat pelindung diri (helm, masker, kacamata dll) sampai penggunaan alat kerja yang
aman dan pelatihan keterampilan kerja yang lebih baik.

Injuri sistem muskuloskeletal dapat dibedakan menjadi 2 menurut onsetnya yaitu :


 injuri akut  terjadi akibat trauma tiba-tiba yang terjadi pada jaringan lunak (kontusio, strain, sprain) dan
tulang (fraktur)
 injuri kronis/overuse  terjadi akibat penggunaan berlebih seperti stress fisiologis berulang atau high level
yang terjadi tanpa disertai waktu recoveri yang mencukupi (e.g. tennis elbow).
Spektrum injuri sistem musculoskeletal meliputi injuri jaringan lunak dan injuri tulang

 kontusio otot
Kontusio = injuri jaringan lunak (otot, tendo, dll) akibat trauma langsung (biasanya benturan dengan benda
keras). Kontusio biasa disebut memar / bruise dengan kulit area kontusio masih intak. Awalnya area luka
mengalami ekimosis (bisa hitam atau biru) karena perdarahan lokal, selanjutnya terjadi perubahan warna
secara gradual menjadi cokelat lalu kuning dan akhirnya direabsorbsi darah. Jika area perdarahan lokal ini
cukup luas, bisa disebut hematoma. Hematoma disertai nyeri akibat akumulasi darah yang menekan akhiran
syaraf. Nyeri ini semakin parah bila dilakukan gerakan. Hematom disertai adanya drainase akibat
peningkatan tekanan sedangkan kontusio tidak.
Injuri pada kulit berupa robekan disebut laserasi. Keparahan laserasi berdasarkan pada kedalaman robekan
dan adanya kontaminasi.
Prinsip penanganan kontusio dan hematoma adalah dengan metode RICE
R  rest  istirahatkan area injuri (mempercepat penyembuhan)
I  ice  berikan es/pendingin (agar vasokonstriksi  kurangi perdarahan & radang)
C  compress  berikan penekanan (untuk menghindari pembengkakan)
E  elevate  tinggikan area injuri (mengurangi aliran darah  kurangi radang)
Jika injuri sudah membiru, maka ice (pemberian es) digantikan dengan air hangat. Hal ini dimaksudkan untuk
membuat vasodilatasi guna membuang debris-debris bekas proses radang yang terjadi.

 strain dan sprain


Strain dan sprain merupakan injuri muskulotendinosa atau injuri sendi. Sendi adalah bagian paling lemah
system skeletal. Area sendi biasanya hanya ditopang oleh ligament (jaringan ikat kolagen antar tulang) dan
tendo (jaringan ikat padat dari otot ke tulang).
Strain = injuri peregangan pada otot atau unit muskulotendinosa akibat overload mekanis. Yang dimaksud
overload mekanis ini adalah seperti kontraksi berlebih atau peregangan berlebih. Strain disertai adanya
nyeri, kekakuan dan bengkak. Lokasi yang sering mengalami strain adalah lower back, spina region servikal,
siku, dan bahu.
Sprain = injuri ligament pada area persendian dengan nyeri dan bengkak yang sembuhnya lebih lama
daripada strain. Penyebabnya adalah gerakan abnormal berlebih pada persendian. Ligament bisa mangalami
robelan inkomplet dan bisa juga komplet (ruptur). Tanda sprain adalah adanya nyeri, bengkak cepat, heat,
disabilitas, diskolorisasi, dan keterbatasan gerak. Sprain paling sering terjadi pada ankle (sisi lateral), siku
(sisi ulnar) atau lutut (lig. collateral & cruciata anterior) yang terpuntir tiba-tiba.
Prinsip penanganan sprain dan strain pada dasarnya sama dengan penanganan kontusio dan hematom yaitu
dengan menggunakan prinsip RICE.

 fraktur terbuka dan tertutup


fraktur = suatu bentuk diskontinuitas / terputusnya hubungan struktur tulang. Fraktur merupakan lesi
tulang yang paling sering terjadi.

Klasifikasi fraktur :
Berdasarkan penyebabnya :
 fraktur traumatik  karena trauma
o direk  fraktur terjadi langsung pada area yang mengalami trauma. Contoh : antebrakhii dipakai menahan
pukulan lawan sehingga terjadi fraktur corpus ulna
o indirek  fraktur terjadi di area lain setelah gaya trauma dihantarkan melalui tulang. Contoh : jatuh dengan
lengan lurus menumpu sehingga terjadi fraktur clavikula.
Gaya pada trauma dapat berupa :
o gaya berputar / twisting  terjadi puntiran / rotasi berbeda arah antara ujung proksimal dan distal tulang
o gaya pembengkokan / bending  adanya gaya yang mengangulasikan tulang
o gaya kompresi  karena penekanan (e.g. fraktur vertebra karena terjepit vertebra diatas dan dibawahnya)
o gaya tarikan  karena tarikan otot berlebih  avulsion fracture (e.g. fraktur patella karena kontraksi berlebih
m. quadriceps femoris)
 fraktur fatik / stress  karena trauma kronis / berulang sehingga tulang tsb menjadi lemah (e.g. fraktur
fibula pada atlet)
 fraktur patologis  karena proses patologis yang membuat tulang menjadi rapuh
o general = osteoporosis, penyakit Paget, metastasis kanker ke tulang
o lokal = tumor, infeksi, kista pada tulang

Berdasarkan garis frakturnya :


 fraktur transversal  karena gaya angulasi/bending. Periosteum sobek pada salah satu sisi sehingga
terjadi buttonhole. Untuk mereposisi, dilakukan penambahan angulasi sampai 90° untuk menghilangkan
buttonhole terus baru diluruskandan dipasang alat fiksasi (e.g. gip) di 3 tempat / three-point fixation. Adanya
beban longitudinal akan mendekatkan fragmen tulang.
 fraktur oblik  terjasi karena beban aksial yang dihantarkan pada sudut 30° terhadap sumbu tulang.
Periosteum sober dan ffragmen tulang tidak stabil. Reposisi dilakukan dengan melakukan traksi/penarikan
yang dilanjutkan dengan fiksasi. Beban longitudinal akan menggeser fragmen.
 fraktur spiral  karena gaya memutar/twisting. Periosteum masih ututh sehingga tulang menjadi stabil.
Fiksasi dilakukan dengan mencegah terjadinya rotasi tulang tsb dengan crack-handle cast. Beban longitudinal
bisa menggeser fragmen tulang.
 fraktur butterfly  karena trauma beban aksial + angulasi. Trauma pukulan bisa menimbulkan fraktur
butterfly pada sisi yang terkena. Periosteum robek pada sisi yang tidak terkena pukulan. Fraktur butterfly
tidak stabil sehingga butuh fiksasi dengan gaya distraksi tapi kalau frakturnya kecil, cukup dengan metode
three-point pressure.

Berdasarkan bentuk fraktur :


 fraktur komplit  garis fraktur membagi tulang menjadi 2 fragmen
 fraktur inkomplet  garis fraktur tidak membagi tulang menjadi 2 fragmen greenstick (fraktur pada
tulang panjang anak; karena masih elastis, fraktur masih terbungkus periosteum)
 fraktur segmental  terjadinya fraktur komplit di 2 atau lebih tempat terpisah pada tulang yang sama
sehingga ada segmen tulang yang melayang
 fraktur kominutif  fraktur menimbulkan banyak fragmen / remuk
 fraktur kompresi / crash fracture  fraktur menimbulkan tulang mengecil / kempes

Berdasarkan hubungan dengan jaringan disekitarnya :


 fraktur simple / tertutup  kulit di area fraktur masih intak / utuh tidah robek
 fraktur terbuka  kulit di area fraktur robek sehingga tulang terekspose keluar potensial infeksi tinggi
Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo
Derajat I  luka kecil karena tusuka fragmen, bersih, non kominutif, jaringan lunak rusak sedikit
Derajat II  luka > 1cm tanpa banyak kerusakan jaringan lunak, non kominutif
Derajat III  rusak hebat di kulit, jaringan lunak & neurovaskuler + kontaminasi
Tipe IIIA  fragmen terbungkus jaringan lunak
Tipe IIIB  fragmen terbuka, periosteum lepas, kominutif
Tipe IIIC  trauma arteri, kerusakan hebat jaringan lunak
 fraktur komplikasi  fraktur menyebabkan kerusakan struktur / jaringan lain seperti vasa darah, saraf,
sendi, organ viscera dll.

Pemeriksaan fraktur
- gali riwayat trauma
- look / inspeksi  DOTS
D  deformitas  kelainan bentuk (angulasi/bengkok, rotasi, pemanjangan, pemendekan dll)
O  open injury  luka terbuka berarti fraktur terbuka  cegah kontaminasi
T  tenderness  nyeri tekan
S  swelling  pembengkakan
- feel / palpasi
cari apakah ada tenderness, krepitasi, nyeri saat digerakkan dll
- move / gerakkan  adakah gerakan abnormal, limited movement, loss of function
- periksa trauma daerah lain head to toe (leher, kepala, dada, perut, pelvis, tungkai, lengan, punggung)
- periksa komplikasi fraktur (GSS)
G  gerakan/move  mengecek fungsi saraf motoris (minta korban menggerakkan jari dll)
S  sensasi  mengecek fungsi saraf sensoris (pasien ditanya bagian apa yg dipegang dokter dll)
S  sirkulasi  cek waktu pengisian kapiler/WPK, warna kulit, suhu kulit, pulsasi
- periksa radiologis dengan sisi antero-posterior dan lateral. Foto harus memuat 2 sendi (1 proksimal 1
distal, identitas, tanggal yang jelas)

pergeseran fragmen
 alignment  perubahan sumbu longitudinal tulang membentuk sudut tertentu / angulasi
 panjang  pemendekan/shortening karena fragmen tulang saling overlap atau pemanjangan/ lengthening
karena terjadi distraksi/peregangan
 aposisi  hubungan permukaan garis fragmen tulang (berapa % kontak permukaan antarfragmen tulang).
Pada aposisi komplit, fragmen tulang ada di lateral, anterior, posterior atau medial fragmen tulang yang lain
sehingga terjadi overlap. Pada aposisi parsial/inkomplet, terdapat sebagian permukaan fragmen tulang yang
menghadap fragmen tulang lainnya.
 rotasi  fragmen distal berputar terhadap fragmen proksimal (rotasi longitudinal)

penyembuhan fraktur
a. pembentukan hematoma  penimbunan darah
b. organisasi hematoma  fibroblast membentuk kapiler baru sampai terjadi jaringan granulasi
c. pembentukan kalus  fibroblast pada jaringan granulaso bermetaplasi dan berubah menjadi kolagenoblas
dan chondroblas lalu menjadi osteoblas. Kemudian terbentuk timbunan kolagen dan sel kartilago (woven
bone)
d. konsolidasi  woven bone berubah menjadi lamellar bone
e. remodeling  fragmen lain dan kalus berlebih menghilang serta kanalis medularis terbentuk

reposisi
 tertutup  dengan manipulasi dan traksi
 manipulasi  agar fragmen kembali ke tempat semula, bisa difiksasi dan terjadi union.
Maneuver :
- fragmen distal ditarik searah sumbu longitudinal tulang
- fragmen tulang kembali ke posisi semula. Bila perlu dilakukan dorongan
- perbaiki alignment/kelurusan tulang
 traksi gravitasi  dilakukan pada fraktur ekstremitas atas misal fraktur corpus humeri terus dilakukan fiksasi
hanging cast/bandage dengan lengan bawah digendong
 traksi kulit/buck traction  organ bagian distal diikat pada kulit dan bisa ditalikan dengan bandul. Pengikatan
dilakukan dengan skin traction kit. Beban yang diberikan harus <4-5 kg. pada bagian yang menonjol (e.g.
maleolus) bisa diberikan padding/bantalan agar nyaman & tidak timbul lecet.
 Traksi skeletal  organ bagian distal diikat langsung di tulang dengan memakai pin Denham/steinmann,
screw, & K wire dan bisa disambungkan dengan bandul. Traksi skeletal ini harus ada counter-balance agar
tarikan sesuai yang diharapkan.
- Traksi terfiksir  pakai Thomas splint, counter-traction di inguinal
- Traksi balans  tempat tidur miring, counter-traction oleh berat badan pasien sendiri
- Traksi kombinasi  contohnya pakai metode Hamilton-Russel
Indikasi traksi (kulit/skeletal) :
- ada pemendekan/shortening tulang karena tarikan otot atau angulasi
- fraktur unstable (obik/spiral)
- kerusakan hebat jaringan disekitarnya

traksi balans

traksi Hamilton Russel

 terbuka  melalui operasi pembedahan terus difiksasi langsung di tulangnya


Dilakukan jika :
- reposisi tertutup gagal dilakukan
- fragmen justru bergeser karena manipulasi yang dilakukan
- fraktur dengan proses union yang lama e.g. fraktur collum femoris
- fraktur multiple
- fraktur pathologis

imobilisasi/fiksasi
 eksternal  dipakai pada fraktur terbuka derajat III atau fraktur komplikasi
- gip/plester cast
Harus dipasang diatas padding/bantalan. Pakai plaster slab kalau terjadi edema. Kalau edema sudah hilang,
pakai gip sirkuler. Pada kulit yang akan dilapisi gip ditaburi dulu dengan salep zink okside. Lalu dipasang
stockinette baru dipasang padding.
- traksi
 internal
- pengikatan dengan wire/kawat  fraktur patella
- screwing/pemasangan skrup  fraktur malleolus tibia
- plating & screwing (dipasang plat yang disekrupkan ke tulang)  fraktur corpus humeri
- intramedullary nailing (pemasangan nail/semacam paku ke dalam tulang bagian tengah)  fraktur corpus
femoris

 dislokasi dan fraktur-dislokasi


dislokasi = displacement atau pemisahan ujung tulang pada persendian akibat lemahnya atau robeknya
ligament sendi. Jika dislokasi ini terjadi parsial dengan sebagian ujung tulang masih saling kontak maka
disebut subluksasi. Lokasi tersering dislokasi adalah di persendian acromioklavikular di bahu. Dislokasi
dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan penyebabnya yaitu :
 dislokasi kongenital  biasanya terjadi di lutut dan panggul
 dislokasi traumatik  terjadi akibat jatuh, injuri rotasional, atau pada gerakan sama yang berulang (atlet),
biasanya pada lutut dan bahu
 dislokasi pathologis  pada panggul terjadi sebagai komplikasi lanjut dari infeksi, arthritis rematik,
paralisis dan penyakit neuromuscular.
Diagnosis dislokasi didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik dan temuan radiologis. Gejalanya adalah
nyeri, deformitas, dan keterbatasan gerak. Terapinya sesuai dengan tempat injuri, mekanisme injuri, dan
injuri penyerta lainnya. Jika tidak bisa dikembalikan secara spontan, maka harus dilakukan dengan
manipulasi atau bedah. Perlu dilakukan imobilisasi beberapa minggu untuk penyembuhan sendi.

Fraktur-dislokasi = suatu bentuk fraktur yang disertai terjadinya dislokasi persendian.


Contoh :
- fraktur Monteggia  fraktur ulna proksimal atau tengah dengan dislokasi kaput radii
- fraktur Galeazzi  fraktur radius distal atau tengah dengan dislokasi ulna distal

fraktur Monteggia fraktur Galeazzi

 fraktur komplikasi
fraktur komplikasi = suatu fraktur yang mengakibatkan terjadinya kerusakan organ penting disekitarnya
seperti vasa darah, saraf, organ viscera dll.
Trauma saraf
- neuropraksia  trauma kecil, blok fisiologis, sembuh dalam beberapa minggu
- axonotmesis  kerusakan akson, degenerasi perifer, regenerasi 1 mm per hari
- neurotmesis  saraf terputus, lalu ujungnya terfibrosis
Trauma vasa
Ketegangan, edema dan perdarahan menimbulkan iskemi distal ekstremitas. Gejala iskemi pascatrauma (5P):
- pain  nyeri hebat
- pulseless  nadi hilang
- paresthesia  kebas, tidak bisa merasakan
- pale  pucat
- paralyse  tidak bisa digerakkan

 sindroma kompartemen
Adanya trauma arteri, fraktur atau kompresi pada ekstremitas bisa menimbulkan terjadinya edema dan
bleeding. Jika trauma tersebut tertutup, maka cairan edema dan perdarahan akan tertampung dalam rongga
kompartemen. Penumpukan ini akan meningkatkan tekanan intrakompartemen (>30mmHg) yang nantinya
akan menekan struktur-struktur di dalam kompartemen tersebut karena rongga kompartemen dilapisi oleh
fascia yang inelastik. Dimulai dari pembuluh limfe, vena, kapiler sampai arteri. Akibatnya, terjadi iskemi saraf
dan otot yang berakhir ke nekrosis / infrak otot.
Sindroma kompartemen bisa akut atau kronis. Sindroma kompartemen akut terjadi segera setelah trauma
terjadi. Sindroma kompartemen yang tersering terjadi di tungkai bawah (kompartemen posterior profunda,
posterior superficial, lateral, anterior) dan lengan bawah (kompartemen dorsal dan volar). Kompartemen
sindrom kronis biasa terjadi pada dewasa muda akibat aktivitas dan sprain berulang pada ekstremitas bawah
seperti pada pelari jarak jauh.
Tipe ketiga sindrom kompartemen adalah crush syndrome yang disertai manifestasi ke iskemia
multikompartemen akibat kompresi jangka panjang. Perusakan sel otot menimbulkan perombakan protein
sehingga terjadi myoglobinuria dan pelepasan potassium. Akibatnya bisa terjadi kehilangan cairan
kompartemen ketiga, asidosis, gagal ginjal, dan syok sirkulasi.
Terapi yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi tekanan intrakompartemen secara langsing melalui
prosedur fasciotomi.

FRAKTUR/PATAH TULANG
ARTIKEL
Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah hilangnya kontinuitas tulang yang terjadi akibat cedera langsung
ataupun tidak langsung.
Berdasarkan sifatnya, ada fraktur tertutup dan terbuka :
 Fraktur tertutup adalah suatu patah tulang yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
 Fraktur terbuka adalah suatu Patah tulang yang terjadi dimana terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma :
1. Fraktur transversal
2. Fraktur oblik
3. Fraktur spiral
4. Fraktur kompresi
Serta masih banyak lagi jenis-jenis patah tulang.
Cara Mengetahui Patah Tulang
a. Adanya riwayat trauma (terjatuh, kecelakaan, dll).
b. Nyeri bertambah dengan adanya gerakan.
c. Sulit digerakkan.
d. Deformitas (perubahan bentuk anatomis, sepeti menonjol atau bahkan yang sangat ekstrim).
e. Bengkak.
f. Laserasi atau abrasi sekitar kulit atau adanya luka terbuka (menganga), perdarahan (patah tulang
terbuka).
g. Bisa disertai gangguan fungsi saraf seperti menjadi baal atau ada kelemahan alat gerak tertentu.
h. Bisa disertai gangguan pembuluh darah seperti kesemutan atau perubahan warna.
Tes Diagnosa
Rontgen mampu mengidentifikasi adanya patah tulang. Kadang diperlukan pemeriksaan yang
lebih tinggi seperti CT-scan dan MRI.

Penanganan
Perawatan pertolongan pertama yang baik untuk penderita patah tulang selalu penting.
Menggerakkan patah tulang dapat meningkatkan rasa sakit sehingga kita lakukan immobilising
(membatasi gerakan) daerah luka. Penyangga dapat digunakan untuk ini. Jika ada perdarahan,
dapat dihentikan dengan menekan kuat pada daerah tersebut dengan pembalut bersih (prinsip
balut tekan). Jangan dipijit/diurut ke dukun. Segera bawa ke rumah sakit dan ditangani oleh
tenaga medis kami.
Lama Penyembuhan
Secara umum, penyembuhan patah tulang membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Namun ini bisa
sangat bervariasi antar individu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain :
 Usia pasien.
 Jenis fraktur.
 Banyaknya displacement.
 Lokasi fraktur.
 Pasokan darah pada fraktur.
 Kondisi medis yang menyertai (Garrison, 1996).
Dan yang paling penting adalah stabilitas fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan.
Apabila stabilitas antar fragmen baik maka penyembuhan akan sesuai dengan target waktu yang
dibutuhkan atau diperlukan.

Terapi
1. Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya pertumbuhan
tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi
infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips dan traksi.
a. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
1. Immobilisasi dan penyangga fraktur.
2. Istirahatkan dan stabilisasi.
3. Koreksi deformitas.
4. Mengurangi aktifitas.
5. Membuat cetakan tubuh orthotic.
b. Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
 Mengurangi nyeri akibat spasme otot.
 Memperbaiki & mencegah deformitas.
 Immobilisasi.
 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
Metode pemasangan traksi antara lain :
1. Traksi manual, yang bertujuan memperbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergency.
2. Traksi mekanik, dengan traksi kulit (skin traction) dan traksi skeletal.

2. Cara operatif / pembedahan


Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah
pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka / ORIF. Sesudah
direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
sekrup, pelat, atau paku.

Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :


 Ketelitian reposisi fragmen tulang yang pata
 Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai.
 Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain.
Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa
komplikasi dan dengan kemampuan
 VERTIGO
 TERAPI HEMORRHOID
 TBC
STROKE
 SINUSITIS
 SELESMA ATAU COMMON COLD
 RUPTUR ACL
 PENGOBATAN AKUPUNTUR
previousnext

Anda mungkin juga menyukai