Anda di halaman 1dari 13

2.

1 Konsep Dasar Ikterus Neonatorum


2.1.1 Pengertian
Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera yang
disebabkan karena peningkatan bilirubin didalam darah (hyperbilirubiemia). Keadaan ini
menandakan adanya peningkatan produksi bilirubin atau eliminasi bilirubin dari tubuh yang tidak
efektif (Schwartz, 2004:461).
Kadar bilirubin normal adalah 0 – 1 mg/%. (Ilmu Kesahatan Anak II FK Unair Surabaya, 1989 :
257). Sedangkan menurut Wong Dounal and Whaley Lucille, 1990 : 1236 mengatakan
hyperbilirubiemia ( joundace) pada bayi baru lahir adalah timbunan dari serum bilirubin melebihi
batas normal ( 5 – 7 mg/100 dl).
Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada
neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau
dapat merupakan hal yang patologis.
Ikterus fisiologis ialah :
1. Ikterus yang timbul pada hari ke dua dan ketiga
2. Tidak mempunyai dasar patologis
3. Kadarnya tidak melampaui kadar yang membahayakan
4. Tidak mempunyai potensi menjadi kern ikterus
5. Tidak menyebabkan satu morbilitas pada bayi
Ikterus patologis/Hiperbilirubinemia ialah :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama
2. Ikterus dengan kadar bilirubin >12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau lebih dari 10 mg%
pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin >5mg% perhari
4. Ikterus yang mempunyai dasar patologis
5. Kadar bilirubinnya mencapai nilai hiperbilirubinemia.
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya
tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern-
icterus.
Kern-icterus (enselopati biliaris) ialah suatu kerusakan otak yang terjadi akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak (Saifuddin, 2001:381).

2.1.2 Metabolisme Bilirubin


Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam
lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah
konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan
Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya
sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Bilirubin adalah produk sisa pemecahan hem, yang sebagian besar ditemukan dalam sel darah
merah. Sel darah merah yang sudah tua, imatur, malformasi dibuang dari sirkulasi dan dipecah
dalam sistem retikuloendotelial (hati, limfa, makrofag), dan hemoglobin dipecah menjadi produk
sia hem, globin, dan zat besi. Hem dikonversi menjadi biliverdin dan kemudian menjadi bilirubin
tak terkonjugasi. Dua bentuk utama bilirubin di tubuh yaitu:
1. Bilirubin tak terkonjugasi, larut dalam lemak dan tidak dapat diekskresi secara mudah, baik
dalam empedu maupun urine.
2. Bilirubin terkonjugasi, larut dalam air, melalui hati dapat diekskresikan, melalui feses ataupun
urine (Fraser, 2009:840).
Metabolisme bilirubin mempunyai tahapan sebagai berikut (Fraser, 2009:840):
1. Transportasi
Bilirubin tak terkonjugasi ditransfor dalam plasma ke hati berikatan dengan albumin protein
plasma. Jika tidak melekat di albumin, bilirubin tak terkonjugasi dapat disimpan di lemak
ekstravaskuler dan jaringan saraf tubuh. Pencemaran kulit (ikterus) dan otak merupakan dua
tempat yang paling umum.
2. Konjugasi
Sesampainya di hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan ditransfor oleh protein pembawa Y dan
Z di intraseluler menuju retikulum endoplasmik halus hati. Bilirubin kemudian dikombinasi
dengan glukosa dan asam glukoronat, dan konjugasi terjadi bila ada oksigen. Uridin
difosfoglokuronil transferase (UDP-GT atau glukorinil transferase adalah enzim utama yang
terlibat dalam konjugasi bilirubin. Bilirubin terkonjugasi sekarang larut dalam air dan siap untuk
ekskresi.
3. Ekskresi
Bilirubin terkonjugasi diekskresi melalui sistem biliaris ke dalam usus halus, tempat bilirubin ini
dikatabolisasi oleh bakteria usus normal untuk membentuk urobilinogen, kemudian dioksidasi
menjadi urobilin berwarna jingga. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi diekskresi dalam feses,
tetapi sejumlah kecil dalam urine.

2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Ikterus fisiologis.
Ikterus fisiologis pada neonatus adalah akibat kesenjangan pemecahan sel darah merah dan
kemampuan bayi untuk menstransfor, mengonjugasi, dan mengekskresi bilirubin tak terkonjugasi.
1. Peningkatan pemecahan sel darah merah
Produksi bilirubin bayi baru lahir lebih dari dua kali produksi orang dewasa normal per kilogram
berat badan. Di lingkungan uterus yang hipoksik, janin bergantung pada hemoglobin F
(hemoglobin janin) yang memiliki afinitas oksigen lebih besar daripada hemoglobin A
(hemoglobin dewasa). Saat lahir, ketika sistem pulmonar menjadi fungsional, massa sel darah
merah banyak yang dibuang melalui hemolisis mengakibatkan timbunan bilirubin, yang
berpotensi membebani sistem secara berlebihan.
2. Penurunan kemampuan mengikat albumin
Transfor bilirubin ke hati untuk konjugasi menurun karena konsentrasi albumin yang rendah pada
bayi prematur, penurunan kemampuan mengikat albumin (yang dapat terjadi jika bayi mengalami
asidosis), dan kemungkinan persaingan untuk mendapatkan tempat mengikat albumin dengan
beberapa obat. Jika tempat ikatan albumin yang tersedia digunakan, kadar bilirubin yang tidak
berikatan, tidak terkonjugasi, dan larut-lemak dalam darah akan meningkat, serta mencari jaringan
dengan afinitas lemak seperti kulit dan otak.
3. Defisiensi enzim
Kadar aktivitas enzim UDP-GT yang rendah selama 24 jam pertama setelah kelahiran akan
mengurangi konjugasi bilirubin. Meskipun meningkat setelah 24 jam pertama, hal tersebut tidak
akan mencapai kadar dewasa selama 6-14 minggu.
4. Peningkatan reabsorbsi enterohepatik
Proses ini meningkat dalam usus bayi baru lahir karena kurangnya jumlah bakteri enterik normal
yang memecahkan bilirubin menjadi urobilinogen, bakteri ini juga meningkatkan aktivitas enzim
beta glukorinidase yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi kembali ke kondisi tak terkonjugasi
(jika bilirubin ini diabsorbsi kembali ke dalam sistem). Jika pemberian susu ditunda, motilitas
usus juga menurun, selanjutnya mengganggu ekskresi bilirubin tak terkonjugasi (Fraser,
2009:843).
2.1.3.2 Ikterus patologis
Etiologi yang melatarbelakangi ikterus patologis adalah beberapa gangguan pada produksi,
transfor, konjugasi dan ekskresi bilirubin yang tumpang tindih dengan ikterus fisiologis normal.
1. Produksi
Faktor yang meningkatkan penghancuran hemoglobin juga meningktkan kadar bilirubin, seperti
inkompatibilitas tipe/golongan darah, hemoglobinopati (penyakit sel sabit dan talasemia),
defisiensi enzim glukosa 6-fosfst dehidroginase (G6PD) yang berperan memelihara integritas
membran sel darah merah, sferositosis (sel darah merah rapuh), ekstravasai darah ( sefalhematoma
dan memar), sepsis (dapat menyebabkan peningkatan pemecahan hemoglobin), dan polositemia
(darah terlalu banyak mengandung sel darah merah).
2. Transfor
Faktor yang menurunkan kadar albumin darah atau menurunkan kemampuan mengikat albumin
meliputi hipotermia, asidosis, atau hipoksia dapat mengganggu kemampuan mengikat albumin,
serta obat yang bersaing dengan bilirubin memperebutkan tempat mengikat albumin (misalnya
aspirin, sulfonamida, dan ampisilin).
3. Konjugasi
Konjugasi bilirubin dapat terganggu oleh dehidrasi, kelaparan, hipoksia, dan sepsis (oksigen dan
glukosa diperlukan untuk konjugasi), infeksi TORCH, infeksi virus lain misalnya hepatitis virus,
infeksi bakteria terutama Escherichia coli, gangguan metabolik dan endokrin yang mengubah
aktivitas enzim UDP-GT (misalnya penyakit Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert), serta gangguan
metabolik lain seperti hipotiroidisme dan galaktosemia.
4. Ekskresi
Faktor yang dapat mengganggu ekskresi bilirubin meliputi obstruksi hepatik yang disebabkan oleh
anomali kongenital (seperti atresia bilier ekstrahepatik), obstruksi akibat sumbatan empedu karena
peningkatan viskositas empedu (misalnya fibrosis kistik, nutrisi parenteral total, gangguan
hemolitik, dan dehidrasi), saturasi pembawa protein yang diperlukan untuk mengekskresi bilirubin
terkonjugasi ke dalam sistem bilier, infeksi, kelainan kongenital lain, dan hepatitis neonatal
idiopatik yang juga dapat menyebabkan bilirubin terkonjugasi berlebihan (Fraser, 2009:844).

2.1.4 Pathofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan.
Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya
sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

2.1.5 Penilaian
Pengamatan ikterus kadang-kadang sulit apalagi dalam cahaya buatan. Paling baik pengamatan
dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk
menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk menentukan
derajat ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern-icterus, misalnya kadar bilirubin bebas, atau
secara klinis dilakukan di bawah sinar biasa (day-light). Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan
secara laboratoris, apabila fasilitas tidak memungkinkan dapat dilakukan secara klinis (Saifuddin,
2002:382).

Rumus Kramer (Saifuddin, 2005:383)


Pada kern-icterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara lain dapat disebutkan yaitu bayi
tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak menentu (involuntary movements),
kejang, tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus (Saifuddin, 2005:383).

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi ikterus pada bayi baru lahir adalah kern-icterus yang gambaran klinisnya tidak dapat
dibedakan dari sepsis, asfiksia, perdarahan intraventrikular, dan hipoglikemia. Gejala ensefalopati
bilirubin meliputi letargi, tidak mau minum, dan refleks morro yang lemah. Pada akhir pertama
minggu kehidupan, bayi menjadi demam dan hipertonik disertai tangisan bernada tinggi (high-
pitched cry). Reflek tendon dan respirasi menjadi terdepresi. Bayi akan mengalami opistotonus
disertai penonjolan dahi ke anterior. Dapat mulai terjadi kejang tonik-klonik umum. Jika bayi
bertahan hidup, gambaran-gambaran klinis ini akan menghilang dalam usia dua bulan, kecuali sisa
kekakuan otot, opistotonus, gerakan ireguler, dan kejang. Pada ahirnya anak tersebut akan
mengalami koreoatetosis, tuli sensorineular, stabismus, kelainan pandangan ke atas, dan disartria
(Schwartz, 2004:484).

2.1.7 Penatalaksanaan
2.1.7.1 Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab (Hassan, 2005:1106-1107)
Pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab ikterus adalah pendekatan
yang dikemukakan oleh Harper dan Yaon (1974), yaitu:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun
sebagai berikut:
1) Inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain
2) Infeksi intra uterin (oleh virus, toxoplasma, lues, dan kadang-kadang bakteri)
3) Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD
Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah:
1) Kadar bilirubin serum berkala
2) Darah tepi lengkap
3) Golongan darah ibu dan bayi
4) Uji Coombs
5) Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1) Biasanya ikterus fisiologis
2) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat
diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg %/24 jam
3) Defisiensi enzim G-6-PD
4) Polisitemia
5) Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler, dan
lain-lain)
6) Hipoksia
7) Sferositosis, eliptositosis, dan lain-lain
8) Dehidrasi asidosis
9) Defisiensi enzim eritrosit lainnya
10) Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaing enzim G-6-PD dan pemeriksaan
lainnya bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1) Biasanya karena infeksi
2) Dehidrasi asidosis
3) Defisiensi enzim G-6-PD
4) Pengaruh obat
5) Sindrom Griggler-Najjar
6) Sindrom Gilbert
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1) Biasanya karena obstruksi
2) Hipotiroidisme
3) Breast Milk Joundice
4) Infeksi
5) Neonatal hepatitis
6) Galaktosemia
7) Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
(1) Pemeriksaan biirubin (direk dan indirek)
(2) Pemeriksaan darah tepi
(3) Pemeriksaan penyaring G-6-PD
(4) Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi
(5) Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.
2.1.7.3 Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan (Hassan, 2005:1107-1108):
1. Pengawasan antenatal yang baik
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan
kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
6. Pemberian makanan yang dini
Menyusui yang efektif memasok glukosa ke hati, mendorong kolonisasi usus dengan flora normal,
dan meningkatkan motilitas usus yang akhirnya akan membantu produksi enzim yang diperlukan
untuk konjugasi dan juga menurunkan reabsorbsi enterohepatik (Fraser, 2009:844).
Penata Laksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan
untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin
dan Therapi Obat.
1. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun
of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam
kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak
terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan
ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke
dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan
Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat
dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat
mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus
yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi
Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis
pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
TERAPI SINAR
§ Teori Terbaru à Terapi sinar
Isomerisasi Billirubin :
- mengubah senyawa 4Z, 15Z-billirubin à senyawa bentuk 4Z, 15E Billirubin (merupakan bentuk
isomer) à mudah larut dalam plasma, mudah diekskresi oleh hati à empedu. Cairan empedi à usus
à peristaltik usus meningkat à billirubin keluar.
§ Terapi sinar tidak efektif bila terjadi gangguan peristaltik, seperti : obstruklsi usus/bayi dengan
enteritis.
§ Terapi sinar dilakukan pada bayi dengan kadar billirubin indirek > 10 mg/dl dan bayi denga
proses hemolisis à ditandai dengan ikterus pada hari I.
§ Terapi sinar dilakukan sebelum dan sesudah transfusi tukar.
§ Terapi sinar terdiri dari 10 buah lampu neon, paralel. Dipasang dalam kotak yang berventilasi,
energi cahaya yang optimal (350-470 nanometer), dengan jarak ± 50 cm. Dibagian bawah kotak
lampu dipasang fleksiglas biru (untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk
penyinaran).
§ Saat penyinaran à usahakan bagian tubuh terpapar seluas-luasnya, posisi bayi diubah setiap 1 – 2
jam (menyeluruh).
§ Kedua mata dan gonad bayi ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya.
§ Kadar billirubin dan Hb bayi dipantau secara berkala.
§ Dihentikan bila kadar billirubin < 10 mg/dl.
§ Lamanya penyinaran biasa/tidak > 100 jam.
§ Penghentian/peninjauan kembali dilakukan bila ditemukan efek samping :
Ø Enteritis.
Ø Hypertermi.
Ø Dehidrasi.
Ø Kelainan kulit (ruam).
Ø Gangguan minum.
Ø Letargi.
Ø Iritabilitas.
2. Transfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah
terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh
negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek.
setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
TRANSFUSI TUKAR
TUJUAN
§ Menghindari terjadinya ensefalopati biliaris à billirubin indirek à sawar darah otak.
§ Mengganti eritrosit yang telah terhemolisis.
§ Membuang antibodi yang menimbulkan hemolisis.
DILAKUKAN BILA:
§ Kadar billirubin indirek > 20 mg/dl.
§ Kadar billirubin tali pusat > 4 mg/dl.
§ Kadar Hb < 10 g/dl.
§ Bila terjadi peningkatan billirubin yang cepat 1 mg/dl tiap jam.
§ Transfusi darah dipertimbangkan bila pada bayi menderita :
Ø Asfiksia.
Ø Sindrom gawat nafas.
Ø Asidosis metabolik.
Ø Kelainan SSP.
Ø BB < 1500 gram.
Billirubin mudah melalui sawar darah otak
§ Bila billirubin disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah Rh à menggunakan golongan
darah O Rh (-).
§ Pada inkompatabilitas golongan darah ABO darah yang dipakai golongan darah “O” Rh (+).
§ Jika tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi à golongan darah sama dengan bayi.
§ Jika tidak memungkinkan golongan darah “O” yang kompatibel dengan serum ibu.
§ Jika tidak ada, golongan darah ‘O’ dengan titer A atau anti B < 1/256.
§ Jumlah darah yang dipakai antara 140 – 180 ml/kg BB.
§ Transfusi sebaknya melalui pembuluh darah umbilikus.
§ Alat-alat yang dipersiapkan:
o Kateter tali pusat.
o Larutan NaCl – Heparin (4000 U Heparin dalam 500 ml cairan NaCl) à untuk mencegah
terjadinya infeksi dan timbulnya bekuan darah.
o Kran 3 cabang dan jarum.
PENATALAKSANAANNYA
§ Terlebih dahulu mengambil 10 – 20 ml darah bayi à dikirim ke Lab untuk pemeriksaan
serologik, biakan, G6PD dan Billirubin.
§ Transfusi dilakukan dengan menyuntikkan darah secara perlahan sejumlah darah yang
dikeluarkan.
§ Dilakukan bergantian à pengeluaran dan penyuntikkan sebanyak 10 – 20 ml setiap kali à untuk
menghindari bekuan darah dan hypoxemia.
§ Setiap 100 ml transfusi dilakukan pembilasan dengan larutan Na.Cl heparin & pemberian 1 ml
kalsium glukomat.
§ Transfusi tukar dapat dilakukan berulang jika bilirubin indirek pasca tranfusi > 20 mg / dl.
Perhatikan kemungkinan komplikasi transfusi tukar seperti :
§ Asidosis.
§ Bradikardi.
§ Aritmia.
§ Henti jantung.
Komplikasi pasca transfusi :
§ Hiperkalemia.
§ Hipernatremia.
§ Hipoglikemia.
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari
sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih
menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga
menurunkan siklus Enterohepatika.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Ikterus Neonatorum


2.2.1 Pengkajian Data
1. Anamnese Orang Tua/Keluarga
Ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal ikterus yang dini,
kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah). Ada
saudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspec
spherochytosis herediter kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu, ikterus kemungkinan
karena pengaruh pregnanediol.
2. Riwayat Prenatal, Natal dan Post Natal
Riwayat Prenatal:
1) Komplikasi kehamilan (Infeksi seperti toxoplasmosis, sipilis, hepatitis, rubela, sitomegalovirus
dan herpes yang mana ditransmisikan secara silang ke plasenta selama kehamilan)
2) Konsumsi obat-obatan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria
Riwayat Natal:
1) Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan merupakan predisposisi
terjadinya infeksi
2) Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas
(hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
3) Bayi dengan apgar score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia) , acidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubn.
4) Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh (hepar).
Riwayat Post Natal:
1) Kelainan kongenital
2) Virus (Hepatitis)
3) Trauma dengan hematoma atau injuri
4) Oral feeding yang buruk
3. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Nutrisi : frekuensi bayi diberikan ASI agak jarang karena bayi tidak mau menghisap.
2) Eliminasi alvi (buang air besar): BAB kurang lebih 3-4 kali sehari, konsistensi lembek, dan
berwarna kuning agak pucat, bau khas (seperti dempul).
3) Eliminasi urin (buang air kecil): BAK kurang lebih 4-5 kali perhari, berwarna gelap, bau khas
4) Tidur dan istirahat: bayi lebih sering tertidur, dan sulit dibangunkan.
4. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun
2) Kepala leher
1. Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput/mukosa pada mulut. Dapat juga
diidentifikasi ikterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi
dengan kulit bersih (kuning)
2. Dapat juga dijumpai sianosis pada bayi yang hypoksia
3) Dada
1. Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda peningkatan frekuensi nafas.
2. Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang disebabkan oleh
adanya infeksi
4) Perut
1. Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati. Hal ni berhubungan dengan
indikasi penatalaksanaan photo terapi. Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi.
2. Perut membuncit, muntah, mencret merupakan akibat gangguan metabolisme bilirubun
enterohepatik
3. Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan sepsis bacterial, tixoplasmosis,
rubella
5) Urogenital
1. Urine kuning dan pekat.
2. Adanya faeces yang pucat/acholis/seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari
gangguan/atresia saluran empedu
6) Ekstremitas
Menunjukkan tonus otot yang lemah
7) Kulit
1. Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas menurun.
2. Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.
8) Pemeriksaan Neurologis
Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain-lain menunjukkan adanya tanda-tanda kern ikterus
5. Pemer i ksaan Penunjang
1) Darah: DL, Bilirubin > 10 mg %
2) Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi
3) Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya penurunan
4) Screnning Ikterus melalui metode Kramer
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan jaundace
3) Perubahan temperatur tubuh berhubungan dengan phototerapi
4) Resiko kekurangan nutrisi berhubungan dengan kemampuan menghisap menurun
5) Kecemasan meningkat berhubungan dengan terapi yang diberikan pada bayi
2.2.3 Perencanaan
a. Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati
Tujuan: Tidak mengalami komplikasi dari phototerapi
Kriteria hasil:
1. Tidak memperlihatkan iritasi mata, dehidrasi, ketidakstabilan temperatur, dan kerusakan kulit
2. Bayi terlindung dari sumber cahaya
Intervensi:
1) Lindungi mata bayi dengan penutup mata khusus
R/ menghindari kontak langsung mata dengan sinar
2) Cek mata bayi setiap shift (drainase dan iritasi)
R/ mencegah keterlambatan penanganan
3) Letakkan bayi telanjang dibawah lampu dengan perlindungan mata dan kemaluan
R/ Pencahayaan maksimum dan merata serta organ vital terlindungi dari kerusakan
4) Monitor temperatur aksila
R/ pemaparan panas dengan sinar memungkinkan terjadinya ketidakstabilan suhu badan
5) Pastikan intake cairan adekuat
R/ Pemaparan panas meningkatkan penguapan yang harus segera diganti dengan intake cairan
6) Jaga bersihan perianal
R/ Menekan resiko iritasi kulit
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek dari phototerapi.
Tujuan: Klien tidak menunjukan gangguan integritas kulit
Kriteria Hasil:
1. Monitor adanya kerusakan integritas kulit
R/ Deteksi dini kerusakjan integritas kulit
2. Bersihkan kulit bayi dari kotoran setelah BAB dan BAK
R/ Faeces dan urine yang bersifat asam dapat mengiritasi kulit.
3. Pertahankan suhu lingkungan netral dan suhu axial normal
R/ Suhu yang tinggi menyebabkan kulit kering sehingga kulit mudah pecah
4. Lakukan perubahan posisi setiap 6 jam
R/ Perubahab posisi mempertahankan sirkulasi yang adekuat dan mencegah penekanan yang
berlebihan pada satu sisi.
c. Resiko perubahan suhu tubuh (peningkatan suhu badan) berhubungan dengan pemajanan panas
yang lama sekunder foto terapi
Tujuan: Perubahan suhu dalam batas normal
Kriteria hasil:
Suhu badan dalam batas 36.5 0 C – 37.5 0 C
Intervensi:
1) Kontrol / obsevasi suhu badan setiap jam selama foto terapi berlangsung
R/ Perubahan suhu dapat terjadi dengan cepat akibat pemaparan sinar yang juga sebagi sumber
panas.
2) Ubah posisi bayi setiap 2 jam
R/ Pemajanan yang merata dan bergantian mengurangi resiko tidak efektifnya pusat suhu badan
3) Hentikan/istirahatkan foto terapi bila suhu diatas 380 C.
R/ Semakin lama pemajanan semakin tinggi kemungkinan perubahan suhu banan
4) Kompres basah bila suhu meningkat
R/ Pemberian kompres mengurangi/sebagai media konduksi pembuangan panas
5) Kolaborasi dokter bila panas tidak/sulit turun/terlalu tinggi untuk mendapatkan antipiretik

d. Resiko kekurangan nutrisi berhubungan intake tidak adekuat, kemapuan menghisap turun
Tujuan: tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi
Kriteria hasil:
1. Porsi minum habis
2. BB naik
3. Menghisap kuat
Intervensi:
1) Berikan nutrisi secara adekuat
R/ memperbaiki keadaan umum
2) Berikan minum tepat waktu dan sesuai ukuran dan kebutuhan
R/ mengganti cairan dan nutrisi yang hilang akibat terapi sinar
3) observasi kemampuan menghisap
R/ pemasukan nutrisi adekuat bila kemampuan mengisap baik
4) Pasang Sonde bila kemampuan mengisap turun
R/ meningkatkan intake melalui sonde karena gagal melalui mulut
5) Timbang BB setiap hari
R/ memantau perkembangan kebutuhan nutrisi
6) Kolaborasi ahli gizi
R/ pemberian nutrisi yang sesuai dan adekuat

e. Kecemasan meningkat berhubungan dengan terapi yang diberikan pada bayi


Tujuan: Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk
menyampaikan pada tim kesehatan.
Kriteria hasil :
Orang tua tidak cemas dengan terapi yang akan diberikan
Intervensi:
1) Kaji pengetahuan keluarga klien
R/ memudahkan dalam pemberian KIE
2) Beri pendidikan kesehatan penyebab, proses terapi, dan perawatan ikterus.
R/ menambah pengetahuan orang tua tentang tindakan yang akan dilakukan
3) Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi
R/ meningkatkan pengetahuan ibu dan keluarga

DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Rusepno. 2005. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI
Fraser, Diane M. dan Cooper, Margaret A. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Edisi 14. Alih bahasa
Sri Rahaya et al. Jakarta: EGC
Schwartz, M.William.2004. Pedoman Klinis Pediatri. Alih bahasa Brham U.Pendit et al. Jakarta:
EGC
Saifudin, Abdulbari. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Matenal dan Neonatal.
Jakarta : YBP-SP
Damanik,S. 2008. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya : FKUA

Anda mungkin juga menyukai