2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Ikterus fisiologis.
Ikterus fisiologis pada neonatus adalah akibat kesenjangan pemecahan sel darah merah dan
kemampuan bayi untuk menstransfor, mengonjugasi, dan mengekskresi bilirubin tak terkonjugasi.
1. Peningkatan pemecahan sel darah merah
Produksi bilirubin bayi baru lahir lebih dari dua kali produksi orang dewasa normal per kilogram
berat badan. Di lingkungan uterus yang hipoksik, janin bergantung pada hemoglobin F
(hemoglobin janin) yang memiliki afinitas oksigen lebih besar daripada hemoglobin A
(hemoglobin dewasa). Saat lahir, ketika sistem pulmonar menjadi fungsional, massa sel darah
merah banyak yang dibuang melalui hemolisis mengakibatkan timbunan bilirubin, yang
berpotensi membebani sistem secara berlebihan.
2. Penurunan kemampuan mengikat albumin
Transfor bilirubin ke hati untuk konjugasi menurun karena konsentrasi albumin yang rendah pada
bayi prematur, penurunan kemampuan mengikat albumin (yang dapat terjadi jika bayi mengalami
asidosis), dan kemungkinan persaingan untuk mendapatkan tempat mengikat albumin dengan
beberapa obat. Jika tempat ikatan albumin yang tersedia digunakan, kadar bilirubin yang tidak
berikatan, tidak terkonjugasi, dan larut-lemak dalam darah akan meningkat, serta mencari jaringan
dengan afinitas lemak seperti kulit dan otak.
3. Defisiensi enzim
Kadar aktivitas enzim UDP-GT yang rendah selama 24 jam pertama setelah kelahiran akan
mengurangi konjugasi bilirubin. Meskipun meningkat setelah 24 jam pertama, hal tersebut tidak
akan mencapai kadar dewasa selama 6-14 minggu.
4. Peningkatan reabsorbsi enterohepatik
Proses ini meningkat dalam usus bayi baru lahir karena kurangnya jumlah bakteri enterik normal
yang memecahkan bilirubin menjadi urobilinogen, bakteri ini juga meningkatkan aktivitas enzim
beta glukorinidase yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi kembali ke kondisi tak terkonjugasi
(jika bilirubin ini diabsorbsi kembali ke dalam sistem). Jika pemberian susu ditunda, motilitas
usus juga menurun, selanjutnya mengganggu ekskresi bilirubin tak terkonjugasi (Fraser,
2009:843).
2.1.3.2 Ikterus patologis
Etiologi yang melatarbelakangi ikterus patologis adalah beberapa gangguan pada produksi,
transfor, konjugasi dan ekskresi bilirubin yang tumpang tindih dengan ikterus fisiologis normal.
1. Produksi
Faktor yang meningkatkan penghancuran hemoglobin juga meningktkan kadar bilirubin, seperti
inkompatibilitas tipe/golongan darah, hemoglobinopati (penyakit sel sabit dan talasemia),
defisiensi enzim glukosa 6-fosfst dehidroginase (G6PD) yang berperan memelihara integritas
membran sel darah merah, sferositosis (sel darah merah rapuh), ekstravasai darah ( sefalhematoma
dan memar), sepsis (dapat menyebabkan peningkatan pemecahan hemoglobin), dan polositemia
(darah terlalu banyak mengandung sel darah merah).
2. Transfor
Faktor yang menurunkan kadar albumin darah atau menurunkan kemampuan mengikat albumin
meliputi hipotermia, asidosis, atau hipoksia dapat mengganggu kemampuan mengikat albumin,
serta obat yang bersaing dengan bilirubin memperebutkan tempat mengikat albumin (misalnya
aspirin, sulfonamida, dan ampisilin).
3. Konjugasi
Konjugasi bilirubin dapat terganggu oleh dehidrasi, kelaparan, hipoksia, dan sepsis (oksigen dan
glukosa diperlukan untuk konjugasi), infeksi TORCH, infeksi virus lain misalnya hepatitis virus,
infeksi bakteria terutama Escherichia coli, gangguan metabolik dan endokrin yang mengubah
aktivitas enzim UDP-GT (misalnya penyakit Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert), serta gangguan
metabolik lain seperti hipotiroidisme dan galaktosemia.
4. Ekskresi
Faktor yang dapat mengganggu ekskresi bilirubin meliputi obstruksi hepatik yang disebabkan oleh
anomali kongenital (seperti atresia bilier ekstrahepatik), obstruksi akibat sumbatan empedu karena
peningkatan viskositas empedu (misalnya fibrosis kistik, nutrisi parenteral total, gangguan
hemolitik, dan dehidrasi), saturasi pembawa protein yang diperlukan untuk mengekskresi bilirubin
terkonjugasi ke dalam sistem bilier, infeksi, kelainan kongenital lain, dan hepatitis neonatal
idiopatik yang juga dapat menyebabkan bilirubin terkonjugasi berlebihan (Fraser, 2009:844).
2.1.4 Pathofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan.
Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya
sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
2.1.5 Penilaian
Pengamatan ikterus kadang-kadang sulit apalagi dalam cahaya buatan. Paling baik pengamatan
dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk
menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk menentukan
derajat ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern-icterus, misalnya kadar bilirubin bebas, atau
secara klinis dilakukan di bawah sinar biasa (day-light). Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan
secara laboratoris, apabila fasilitas tidak memungkinkan dapat dilakukan secara klinis (Saifuddin,
2002:382).
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi ikterus pada bayi baru lahir adalah kern-icterus yang gambaran klinisnya tidak dapat
dibedakan dari sepsis, asfiksia, perdarahan intraventrikular, dan hipoglikemia. Gejala ensefalopati
bilirubin meliputi letargi, tidak mau minum, dan refleks morro yang lemah. Pada akhir pertama
minggu kehidupan, bayi menjadi demam dan hipertonik disertai tangisan bernada tinggi (high-
pitched cry). Reflek tendon dan respirasi menjadi terdepresi. Bayi akan mengalami opistotonus
disertai penonjolan dahi ke anterior. Dapat mulai terjadi kejang tonik-klonik umum. Jika bayi
bertahan hidup, gambaran-gambaran klinis ini akan menghilang dalam usia dua bulan, kecuali sisa
kekakuan otot, opistotonus, gerakan ireguler, dan kejang. Pada ahirnya anak tersebut akan
mengalami koreoatetosis, tuli sensorineular, stabismus, kelainan pandangan ke atas, dan disartria
(Schwartz, 2004:484).
2.1.7 Penatalaksanaan
2.1.7.1 Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab (Hassan, 2005:1106-1107)
Pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab ikterus adalah pendekatan
yang dikemukakan oleh Harper dan Yaon (1974), yaitu:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun
sebagai berikut:
1) Inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain
2) Infeksi intra uterin (oleh virus, toxoplasma, lues, dan kadang-kadang bakteri)
3) Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD
Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah:
1) Kadar bilirubin serum berkala
2) Darah tepi lengkap
3) Golongan darah ibu dan bayi
4) Uji Coombs
5) Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1) Biasanya ikterus fisiologis
2) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat
diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg %/24 jam
3) Defisiensi enzim G-6-PD
4) Polisitemia
5) Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler, dan
lain-lain)
6) Hipoksia
7) Sferositosis, eliptositosis, dan lain-lain
8) Dehidrasi asidosis
9) Defisiensi enzim eritrosit lainnya
10) Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaing enzim G-6-PD dan pemeriksaan
lainnya bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1) Biasanya karena infeksi
2) Dehidrasi asidosis
3) Defisiensi enzim G-6-PD
4) Pengaruh obat
5) Sindrom Griggler-Najjar
6) Sindrom Gilbert
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1) Biasanya karena obstruksi
2) Hipotiroidisme
3) Breast Milk Joundice
4) Infeksi
5) Neonatal hepatitis
6) Galaktosemia
7) Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
(1) Pemeriksaan biirubin (direk dan indirek)
(2) Pemeriksaan darah tepi
(3) Pemeriksaan penyaring G-6-PD
(4) Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi
(5) Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.
2.1.7.3 Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan (Hassan, 2005:1107-1108):
1. Pengawasan antenatal yang baik
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan
kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
6. Pemberian makanan yang dini
Menyusui yang efektif memasok glukosa ke hati, mendorong kolonisasi usus dengan flora normal,
dan meningkatkan motilitas usus yang akhirnya akan membantu produksi enzim yang diperlukan
untuk konjugasi dan juga menurunkan reabsorbsi enterohepatik (Fraser, 2009:844).
Penata Laksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan
untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin
dan Therapi Obat.
1. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun
of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam
kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak
terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan
ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke
dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan
Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat
dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat
mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus
yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi
Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis
pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
TERAPI SINAR
§ Teori Terbaru à Terapi sinar
Isomerisasi Billirubin :
- mengubah senyawa 4Z, 15Z-billirubin à senyawa bentuk 4Z, 15E Billirubin (merupakan bentuk
isomer) à mudah larut dalam plasma, mudah diekskresi oleh hati à empedu. Cairan empedi à usus
à peristaltik usus meningkat à billirubin keluar.
§ Terapi sinar tidak efektif bila terjadi gangguan peristaltik, seperti : obstruklsi usus/bayi dengan
enteritis.
§ Terapi sinar dilakukan pada bayi dengan kadar billirubin indirek > 10 mg/dl dan bayi denga
proses hemolisis à ditandai dengan ikterus pada hari I.
§ Terapi sinar dilakukan sebelum dan sesudah transfusi tukar.
§ Terapi sinar terdiri dari 10 buah lampu neon, paralel. Dipasang dalam kotak yang berventilasi,
energi cahaya yang optimal (350-470 nanometer), dengan jarak ± 50 cm. Dibagian bawah kotak
lampu dipasang fleksiglas biru (untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk
penyinaran).
§ Saat penyinaran à usahakan bagian tubuh terpapar seluas-luasnya, posisi bayi diubah setiap 1 – 2
jam (menyeluruh).
§ Kedua mata dan gonad bayi ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya.
§ Kadar billirubin dan Hb bayi dipantau secara berkala.
§ Dihentikan bila kadar billirubin < 10 mg/dl.
§ Lamanya penyinaran biasa/tidak > 100 jam.
§ Penghentian/peninjauan kembali dilakukan bila ditemukan efek samping :
Ø Enteritis.
Ø Hypertermi.
Ø Dehidrasi.
Ø Kelainan kulit (ruam).
Ø Gangguan minum.
Ø Letargi.
Ø Iritabilitas.
2. Transfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah
terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh
negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek.
setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
TRANSFUSI TUKAR
TUJUAN
§ Menghindari terjadinya ensefalopati biliaris à billirubin indirek à sawar darah otak.
§ Mengganti eritrosit yang telah terhemolisis.
§ Membuang antibodi yang menimbulkan hemolisis.
DILAKUKAN BILA:
§ Kadar billirubin indirek > 20 mg/dl.
§ Kadar billirubin tali pusat > 4 mg/dl.
§ Kadar Hb < 10 g/dl.
§ Bila terjadi peningkatan billirubin yang cepat 1 mg/dl tiap jam.
§ Transfusi darah dipertimbangkan bila pada bayi menderita :
Ø Asfiksia.
Ø Sindrom gawat nafas.
Ø Asidosis metabolik.
Ø Kelainan SSP.
Ø BB < 1500 gram.
Billirubin mudah melalui sawar darah otak
§ Bila billirubin disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah Rh à menggunakan golongan
darah O Rh (-).
§ Pada inkompatabilitas golongan darah ABO darah yang dipakai golongan darah “O” Rh (+).
§ Jika tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi à golongan darah sama dengan bayi.
§ Jika tidak memungkinkan golongan darah “O” yang kompatibel dengan serum ibu.
§ Jika tidak ada, golongan darah ‘O’ dengan titer A atau anti B < 1/256.
§ Jumlah darah yang dipakai antara 140 – 180 ml/kg BB.
§ Transfusi sebaknya melalui pembuluh darah umbilikus.
§ Alat-alat yang dipersiapkan:
o Kateter tali pusat.
o Larutan NaCl – Heparin (4000 U Heparin dalam 500 ml cairan NaCl) à untuk mencegah
terjadinya infeksi dan timbulnya bekuan darah.
o Kran 3 cabang dan jarum.
PENATALAKSANAANNYA
§ Terlebih dahulu mengambil 10 – 20 ml darah bayi à dikirim ke Lab untuk pemeriksaan
serologik, biakan, G6PD dan Billirubin.
§ Transfusi dilakukan dengan menyuntikkan darah secara perlahan sejumlah darah yang
dikeluarkan.
§ Dilakukan bergantian à pengeluaran dan penyuntikkan sebanyak 10 – 20 ml setiap kali à untuk
menghindari bekuan darah dan hypoxemia.
§ Setiap 100 ml transfusi dilakukan pembilasan dengan larutan Na.Cl heparin & pemberian 1 ml
kalsium glukomat.
§ Transfusi tukar dapat dilakukan berulang jika bilirubin indirek pasca tranfusi > 20 mg / dl.
Perhatikan kemungkinan komplikasi transfusi tukar seperti :
§ Asidosis.
§ Bradikardi.
§ Aritmia.
§ Henti jantung.
Komplikasi pasca transfusi :
§ Hiperkalemia.
§ Hipernatremia.
§ Hipoglikemia.
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari
sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih
menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga
menurunkan siklus Enterohepatika.
d. Resiko kekurangan nutrisi berhubungan intake tidak adekuat, kemapuan menghisap turun
Tujuan: tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi
Kriteria hasil:
1. Porsi minum habis
2. BB naik
3. Menghisap kuat
Intervensi:
1) Berikan nutrisi secara adekuat
R/ memperbaiki keadaan umum
2) Berikan minum tepat waktu dan sesuai ukuran dan kebutuhan
R/ mengganti cairan dan nutrisi yang hilang akibat terapi sinar
3) observasi kemampuan menghisap
R/ pemasukan nutrisi adekuat bila kemampuan mengisap baik
4) Pasang Sonde bila kemampuan mengisap turun
R/ meningkatkan intake melalui sonde karena gagal melalui mulut
5) Timbang BB setiap hari
R/ memantau perkembangan kebutuhan nutrisi
6) Kolaborasi ahli gizi
R/ pemberian nutrisi yang sesuai dan adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Rusepno. 2005. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI
Fraser, Diane M. dan Cooper, Margaret A. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Edisi 14. Alih bahasa
Sri Rahaya et al. Jakarta: EGC
Schwartz, M.William.2004. Pedoman Klinis Pediatri. Alih bahasa Brham U.Pendit et al. Jakarta:
EGC
Saifudin, Abdulbari. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Matenal dan Neonatal.
Jakarta : YBP-SP
Damanik,S. 2008. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya : FKUA