Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Indonesia berada pada zona tektonik yang sangat aktif karena terletak di
daerah dengan tingkat aktifitas gempa bumi tinggi, hal tersebut akibat dari
bertemunya tiga lempeng besar dunia yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia dan
Lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bertemu dengan Lempeng Eurasia di
lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara. Sedangkan Lempeng Pasifik di
utara Irian dan Maluku Utara.
Pergerakan lempeng disebabkan oleh arus konveksi yang secara alami
mengalir di bawah permukaan bumi yang disebabkan oleh adanya pancaran
panas dari inti bumi dan perbedaan tekanan antara kerak bumi dan inti bumi.
Energi sirkulasi ini dihasilkan dari peluruhan unsur radioaktif pada batuan yang
mengakibatkan pergerakan kerak bumi.
Arus konveksi material mantel menyebabkan kerak dan beberapa bagian
mantel bergerak kedalam cairan panas yang ada pada inti luar bumi. Pergerakan
massa bumi yang terjadi dalam bentuk potongan disebut sebagai lempeng
tektonik. Pada permukaan bumi terdiri dari tujuh lempeng tektonik utama,
sedangkan yang lainnya berupa lempeng dengan ukuran yang lebih kecil.
Lempeng ini bergerak dalam arah yang berbeda dan dengan kecepatan berbeda
satu sama lain, pergerakan lempeng tersebut menyebabkan terjadinya deformasi
pada bagian kerak bumi.
Keberadaan interaksi antar lempeng-lempeng ini menempatkan wilayah
Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi. Yogyakarta
khususnya wilayah Gunung Kidul dan Bantul adalah salah satu kawasan di Pulau
Jawa yang memiliki kerentanan gempa bumi darat yang cukup tinggi akibat
keberadaan beberapa sesar aktif. Patahan di darat ini dipengaruhi langsung oleh
eksistensi zona subduksi (Pertemuan Lempeng) di laut selatan Pulau Jawa yang
terhubung dengan Sesar Opak di Jogja dan Sesar Grindulu di Pacitan.
Gempa yang diakibatkan pergerakan sesar aktif terjadi di Jogja pada
tanggal 27 Mei 2006 dan diikuti dengan gempa susulan yang terus terjadi hampir
setiap harinya, sesar opak melewati empat kecamatan yakni Pundong, Imogiri,
Plered, dan Piyungan. Gempa sesar opak tersebut memakan banyak kerugian,
kurang lebih 4000 orang meninggal Salah satu parameter gempa bumi yang dapat
dihitung yaitu hiposenter gempa bumi. Penentuan hiposenter gempa bumi
sangatlah penting didalam dunia seismologi. Hal ini sangat diperlukan dalam
analisis struktur tektonik secara detail, misalnya untuk identifikasi zona patahan
maupun pola Zona Subduksi. Namun, parameter hiposenter yang dihasilkan masih
kurang optimal karena hanya untuk memberikan informasi sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang bahaya gempabumi. Sehingga, perlu dilakukan studi
lebih lanjut untuk merelokasi parameter hiposenter gempabumi yang telah
dihasilkan sebelumnya.
Penentuan parameter hiposenter sebelumnya ditentukan dengan
menggunakan waktu tiba gelombang P dan S dari beberapa stasiun menggunakan
pendekatan Single Event Determination (SED) yang dapat menghasilkan origin
time dari setiap event gempabumi. Dari pendekatan SED ini hanya menghasilkan
hiposenter yang belum akurat karna hanya menggunakan kecepatan bumi 1D yang
belum termodelkan. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan ini
dilakukanlah relokasi hiposenter gempabumi dengan menggunakan metode
Modified Joint Hypocenter Determination (MJHD) yang dikembangkan oleh
Hurukawa dan Imoto, (1992).
Metode JHD ini memungkinkan kita merelokasi banyak gempa secara
simultan. Koreksi stasiun ditambahkan dalam proses untuk mendapatkan
hiposenter gempabumi yang baru. Koreksi stasiun ini yang memperhitungkan
heterogenitas lateral dalam bumi. Hurukawa dan Imoto (1990, 1992)
menggunakan MJHD untuk merelokasi gempa bumi lokal dimana koreksi stasiun
tidak bergantung pada jarak dan azimuth antara pusat daerah studi dengan stasiun
yang digunakan sehingga memperbaiki stabilitas metode JHD.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidentifikasi beberapa masalah
dalam penelitian ini:
1. Bagaimana merelokasi gempa bumi yang terjadi pada sesar opak dengan
kumpulan data gempa dari beberapa stasiun perekaman.
2. Bagaimana menemukan lokasi hiposenter gempabumi dengan lebih akurat.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian


Secara garis besar tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Melakukan relokasi data hyposenter gempa bumi wilayah sesar opak untuk
mengetahui perbedaan hasil sebaran kegempaan sebelum dilakukan relokasi dan
sesudah dilakukan relokasi
2. Menghitung ulang (recalculate) posisi hyposenter gempabumi menjadi lebih
tepat. Posisi hyposenter yang lebih tepat akan banyak bermanfaat untuk
mempelajari atau menganalisis kondisi tektonik yang ada di sana.

1.4 Kegunaan Penelitian


Manfaat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Merelokasi hiposenter gempabumi untuk wilayah sesar opak, sehingga
diperoleh hasil hiposenter gempa yang lebih akurat.
2. Mengetahui pola Zona Subduksi wilayah sesar opak berdasarkan penyebaran
hyposenter hasil relokasi.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.6 Metodologi Penelitian


Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data gempa susulan sesar
opak selama 5 hari yang dimulai dari tanggal 10-14 Juni 2006 dengan
menggunakan metode Modified Joint Hyposenter Determination. Data gempa
tersebut merupakan after shock dari gempa utama yang terjadi pada tanggal 27
Mei 2006 dengan lokasi hiposenter berada dekat dengan sesar opak. Proses
pengolahan data dimulai dengan picking gelombang gempa dari tanggal 10 Juni
hingga tanggal 14 Juni dan diperoleh sebanyak 623 gempa dengan rincian:
1. Tanggal 10-06-2006 = 128 event
2. Tanggal 11-06-2006 = 131 event
3. Tanggal 12-06-2006 = 133 event
4. Tanggal 13-06-2006 = 106 event
5. Tanggal 14-06-2006 = 125 event
Pengolahan data gempa after shock tersebut dilanjutkan dengan menentukan
hiposenter awal menggunakan software GAD (Geiger’s Adaptive Damping), dari
hasil penentuan hiposenster tersebut akan digunakan sebagai lokasi hiposenter
awal yang akan dilakukan proses relokasi menggunakan software MJHD
(Modified Joint Hyposenter Determination).

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada September 2017 – Maret 2018 yang
dilakukan di Laboratorium Geofisika Universitas Padjajaran dan Istitut Teknologi
Bandung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Yogyakarta sebagai salah satu propinsi di pulau Jawa yang


berdekatan dengan zona subduksi lempeng Australia terhadap lempeng Eurasia
dimana terdapat aktivitas lempeng aktif (Hamilton 1979). Selain rawan
gempabumi akibat aktivitas tumbukan lempeng, daerah Yogyakarta juga rawan
gempa bumi akibat aktivitas beberapa sesar lokal di daratan (Daryono, 2009).
Struktur sesar terbentuk sebagai dampak desakan lempeng Australia pada bagian
daratan Pulau Jawa. Beberapa sistem sesar yang diduga masih aktif adalah Sesar
Opak, Sesar Oya, Sesar Dengkeng dan Sesar Progo. Kondisi tatanan tektonik yang
kompleks menyebabkan wilayah Yogyakarta dan sekitarnya menjadi kawasan
seismik aktif dengan frekuensi kegempaan yang sangat tinggi.
Gempa bumi yang melanda daerah Yogyakarta dan sekitarnya yang terjadi
pada tanggal 27 Mei 2006 dengan kekuatan gempa bumi sebesar 5,9 Skala Richter
(United States Geological Suyvey) dengan pusat berlokasi dekat dengan sesar
Opak. Gempa yang terjadi disebabkan oleh pergerakan lempeng tektonik antara
satu lempeng dengan lempeng lainnya yang berdampingan membentuk suatu
interaksi, telah dilakukan penyelidikan menggunakan metode gaya berat oleh
Untung dkk, dan ditelaah lebih lanjut jenis dan keberadaannya oleh Sudarno dan
diketahui sesar opak berada di sepanjang aliran sungai Opak yang membentang
dari Prambanan hingga muaranya di sebelah barat Parangtritis. Pada peta geologi
lembar Yogyakarta, daerah yang dilalui jalur sesar Opak meliputi daerah Kretek,
Pundong, Imogiri, Jetis, Pleret, Piyungan, sampai Prambanan. Sesar Opak
merupakan sesar yang berada disekitar Sungai Opak, Sesar Opak ini berarah timur
laut-barat daya kurang lebih U235º T/80º, dimana blok timur relatif bergeser ke
utara dan blok barat ke selatan dengan lebar dari zona sesar ini diperkirakan
sekitar 2,5km (Subowo, dkk., 2007). Pengamatan lapangan zona patahan
menunjukkan bahwa pada patahan aktif Opak ini secara semi detail telah
memberikan gambaran bahwa zona patahan tersebut dicirikan oleh segmen-
segmen yang lebih kecil dengan ukuran bervariasi mulai beberapa cm hingga
beberapa puluh meter (Soebowo et al., 2007:56).
Metode Relokasi
Proses relokasi gempa bertujuan untuk melihat sebaran hiposenter gempa
pada wilayah sesar opak, sebaran hiposenter tersebut dapat digunakan untuk
mempelajari atau menganalisis kondisi tektonik yang ada, terdapat beberapa
metode relokasi yang dapat digunakan seperti : metode SED (Single Event
Determination), metode JHD, metode MJHD, dan metode DD (Double
difference).
Berdasarkan pendekatan SED yang dikembangkan oleh Geiger (1910)
yang merupakan iterasi numerik dengan optimasi Gauss-Newton. Metode SED
merupakan suatu pengolahan gempa mikro yang digunakan untuk menentukan
hiposenter dengan melakukan iterasi minimum dengan teori Geiger Adaptive
Damping (GAD), namun pada metode SED ini hanya menghasilkan hiposenter
yang belum akurat karna hanya menggunakan kecepatan bumi 1D yang belum
termodelkan (heterogenitas). Metode JHD merupakan awal dari metode MJHD,
pada metode ini digunakan untuk memperbaiki lokasi gempa bumi dengan
memperhitungkan adanya kesalahan dari model bumi yang digunakan
sebelumnya, sehingga motode ini mampu merelokasi suatu kumpulan gempa
bumi secara simultan dengan menggunakan koreksi stasiun. Koreksi ini dihitung
untuk setiap stasiun pengamat yang merekam kumpulan kejadian gempa sehingga
inversi JHD dapat menghasilkan lokasi hiposenter yang relatif lebih baik. Namun
apabila gelombang gempa bumi melewati medium yang sangat heterogen dan
sebaran stasiun perekamnya kurang baik, maka solusi JHD menjadi tidak stabil,
hal ini disebabkan adanya trade-off (loosing quality) antara nilai koreksi stasiun
dengan kedalaman fokus gempa bumi (Hurukawa, dkk., 2008) . Metode MJHD
menambahkan koreksi stasiun dalam proses untuk mendapatkan hiposenter
gempabumi yang baru. Koreksi stasiun ini yang memperhitungkan heterogenitas
lateral dalam bumi. Hurukawa dan Imoto (1990, 1992) menggunakan MJHD
untuk merelokasi gempa bumi lokal dimana koreksi stasiun tidak bergantung pada
jarak dan azimuth antara pusat daerah studi dengan stasiun yang digunakan
sehingga memperbaiki stabilitas metode JHD.
Relokasi awal pada peneliatian ini menggunakan metode SED (Single
Event Determination). Metode SED menggunakan model kecepatan 1-D yang
harus ditentukan terlebih dahulu. Pemilihan model kecepatan 1-D ini umumnya
didasari pada model kecepatan yang diperoleh dari hasil pemodelan yang telah
ada, beberapa contohnya seperti model kecepatan AK135, model kecepatan global
(IASP91) dan model kecepatan Hurakov. Metode ini dikembangkan oleh Geiger
(1910) yang merupakan iterasi numerik dengan optimasi Gauss-Newton.
Tabel . Model kecepatan AK135 (Montagner J.P. & Kennett B.L.N. 1995)

Beberapa penelitian relokasi menggunakan metode MJHD seperti relokasi


pada gempa bumi Mentawai yang terjadi pada 25 Oktober 2010 oleh Yanuarsih
tunggal putri, Universitas Indonesia, 2012. Relokasi dilakukan pada 121 gempa
dengan rincian 1 gempa bumi utama dan 120 gempa bumi susulan. Menunjukan
bahwa metode MJHD dapat digunakan untuk menentukan lokasi hiposenster
gempa Mentawai secara lebih akurat dintinjau dari sebaran lokasi dan sebaran
kedalamannya, hasil yang diperoleh pada penelitian tersebut menunjukan bahwa
bidang patahan dapat terlihat dari hasil sebaran relokasi hiposenter terhadap
kedalaman dapat diidentifikasi panjang patahan sebesar 160 km dan lebar 135 km
pada penelitian gempa Mentawai tersebut.
Penelitian lain yang menggunakan metode MJHD pernah dilakukan oleh
Deswati Sari,Universitas Lampung 2017). Metode MJHD digunakan untuk
analisis zona subduksi Sumatra bagian Selatan. Pada penelutian ini menggunakan
model kecepatan global IASP91 yang merupakan model kecepatan bumi satu
dimensi yang dihasilkan oleh International Association of Seismology and
Physics of the Earth’s Interior (IASPEI) yang merupakan hasil pemodelan dengan
menggunakan ribuan data gelombang P dan S yang direkam oleh ribuan
seismometer di seluruh dunia. Model IASP91 ini hanya berisikan parameter
kecepatan gelombang P dan S. Pada kecepatan IASP91 ini memerhitungkan dua
lapisan diskontinuitas pada lapisan kerak bumi dikedalaman 20 sampai 365 km.
Gambar. Model kerak bumi IASP91

Relokasi dilakukan dengan menggunakan metode MJHD (Modified Joint


Hyposenter Determination) yang dikembangkan oleh Hurukawa dan Imoto pada
tahun 1990,1992 untuk wilayah lokal dan pada tahun 1995 untuk wilayah global.
Metode MJHD yang digunakan memiliki keunggulan yaitu dapat menghitung
banyak gempa bumi secara simultan dan memiliki koreksi stasiun dengan
memperhitungkan heterogenitis lateral bumi. sehingga meskipun model kecepatan
yang digunakan sama seperti yang digunakan untuk mendapatkan hiposenter
awal, namun hasilnya akan berbeda dan menjadi lebih akurat. Demikian pula
dengan adanya penambahan faktor azimuth dan jarak relatif stasiun membuat
metode ini bisa mengadaptasi variasi kecepatan lateral yang cukup heterogen serta
distribusi stasiun yang umumnya tidak merata (Aswad, dkk., 2012). Parameter
gempa bumi yang akan berubah adalah lintang,bujur dan waktu terjadinya gempa
bumi, namun perubahan yang signifikan akan terjadi pada kedalaman hiposenter
gempa bumi.
BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai relokasi hiposenter gempa sesar Opak 2006


dilakukan pada September 2017 – Maret 2018 yang dilakukan di Laboratorium
Geofisika Universitas Padjajaran dan Institut Teknologi Bandung. Penelitian ini di
lakukan dengan mengolah data sekunder gempa susulan sesar opak selama 5 hari
yaitu pada tanggal 10 Juni 2006 hingga tanggal 14 Juni 2006. Terdapat beberapa
proses pengolahan data dalam penelitian ini diantaranya:
Pengolahan Data
Dalam studi relokasi ini dilakukan beberapa langkah dalam
pengerjaannya, langkah-langkah tersebut dimulai dari proses picking data gempa,
data gempa yang di terima masih berupa data mentah dengan format mseed
sehingga diperlukan proses picking gelombang gempa. Proses picking tersebut
berguna untuk memperoleh waktu tiba gelombang gempa primer dan sekunder
sehingga dapat diperoleh origin time dari masing-masing event gempa, dengan
adanya nilai origin time maka dapat diketahui berapa waktu penjalaran gelombang
gempa tersebut dari sumber gempa hingga ke stasiun pencatat. Software yang
digunakan dalam proses picking gelombang adalah software Seisgram, terdapat 3
komponen yaitu x, y dan z. Waktu datang gelombang sekunder dipicking dari
waktu gelombang tercepat yang muncul antara komponen x dan komponen y
sedangkan waktu gelombang datang primer di tandai dari waktu gelombang
tercepat pada komponen z. Dalam melakukan proses picking dari total 16 stasiun
pencatat, minimal ada 3 stasiun yang merekam gelombang gempa dan signals
yang di picking berada pada rentang skala waktu 1-6 detik,(Gambar ).
Terdapat beberapa proses yang perlu diperhatikan pada saat picking
gelombang gempa,seperti :
1. P / S : Gelombang primer / Gelombang sekunder
2. E / I : Gelombang kurang jelas / gelombang jelas
3. C / D : Amplitude naik / amplitude turun

Gambar . Proses picking gelombang dari 4 stasiun yang merekam dalam


selisih waktu gempa kurang dari 6 detik.

Dari hasil picking gelombang gempa selama 5 hari diperoleh total 628
event gempa mikro dengan rincian:
a. Tanggal 10-06-2006 = 128 event gempa mikro
b. Tanggal 11-06-2006 = 131 event gempa mikro
c. Tanggal 12-06-2006 = 133 event gempa mikro
d. Tanggal 13-06-2006 = 106 event gempa mikro
e. Tanggal 14-06-2006 = 125 event gempa mikro
Data yang diperoleh merupakan data sekunder sehingga setelah proses
picking gelombang perlu di lihat perbandingan antara Vp dan Vs dari keseluruhan
gempa yang telah di picking, pada saat gempa bumi terjadi area sekitar pusat
gempa secara teoritis akan mengalami perubahan tegangan. Perubahan tegangan
ini dapat diamati dari perubahan sementara kecepatan gelombang seismik yang
dinyatakan dengan perubahan Vp/Vs. Secara teoritis pada keadaan ideal,
perbandingan kecepatan gelombang Vp/Vs berkisar atau 1,73, tetapi apabila
keadaan tersebut tidak terpenuhi maka besaran Vp/Vs akan mengalami penurunan
atau kenaikan relatif. Perbandingan Vp/Vs sacara dapat dihitung dengan metode
Wadati.
Rrumus Wadati :
Perbandingan kecepatan gelombang Vp/Vs pada penelitian kali ini dari
seluruh total 623 event gempa mikro diperoleh nilai sebesar 1,93
Gambar . Grafik perbandingan kecepatan gelombang Vp/Vs
7
6
y = 0.7053x + 0.2265
5
4
ts-tp

3
2
1
0
0 2 4 6 8 10
tp-t0

Penentuan lokasi hiposenster awal dengan metode SED dimulai dengan


menentukan model kecepatan bawah permukaan yang ingin digunakan, terdapat
banyak model kecepatan yang ada seperti model kecepatan global IASP91 yang
merupakan model kecepatan bumi satu dimensi yang dihasilkan oleh International
Association of Seismology and Physics of the Earth’s Interior (IASPEI) yang
merupakan hasil pemodelan dengan menggunakan ribuan data gelombang P dan S
yang direkam oleh ribuan seismometer di seluruh dunia, kekurangan dari IASP91
jika di gunakan pada gempa bersifat mikro akan banyak dipengaruhi oleh
seismisitas dari sumber lain.

Mulai

Identifikasi

Studi
Literatur

Data gempa
susulan sesar
opak pada
tanggal 10 Juni
2006-14 Juni

Picking Data
Katalog input GAD
(Geiger’s Adaptive
Damping)

Penentuan lokasi awal gempa


dengan metode GAD (Geiger’s
Adaptive Damping)

Hasil penentuan lokasi awal di plot


dengan menggunakan software GMT (
Generic Mapping Tool)

Relokasi dengan menggunakan


metode MJHD (Modified Joint
Hyposenter Determination)

Hasil relokasi di plot dengan


menggunakan software GMT
(Generic Mapping Tool)

Anda mungkin juga menyukai