Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN EVIDANCE BASED PRACTICE DAN PANEL EXPERT

PENGGUNAAN INSTRUMEN BERG BALANCE SCALE DALAM


PERHITUNGAN SKALA RESIKO JATUH PADA PASIEN LANSIA DI
RSUD TEMANGGUNG

DISUSUN OLEH :
1. DESI WALUYANINGTYAS
(P1337420918026)

2. HERNI PURBASARI
(P1337420918064)

3. RATNA ARISTA ATIKA S.


(P1337420918116)

4. YUNITA WIGATININGSIH
(P1337420918151)

5. ANDIKA INDAH PRATIWI


(P1337420918008)

6. DEVI HARMITA
(P1337420918028)

7. FEBRINA PITASARI
(P1337420918054)
8. MIRANDA AYU RISANG B.
(P1337420918084)

9. ULFA ZULFITTRI YETI


(P1337420918145)

10. ANIES SYIFA UMMATIN


(P1337420918012)

11. WENI NANDA LESTARI


(P1337420918150)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

TAHUN 2019
A. KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menempuh pembelajaran
Keperawatan Gerontik dengan judul “ Penggunaan Instrumen Berg Balance Scale
dalam Perhitungan Skala Resiko Jatuh pada Pasien Lansia di RSUD
Temanggung”.
Penyusunan makalah ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan bimbingan
dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dosen pembimbing Stase Keperawatan Gerontik
2. Para CI Ruangan di RSUD Temanggung
3. Tidak lupa kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pencarian literatur.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehubungan dengan hal tersebut kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca untuk penulisan makalah yang
lebih baik di masa mendatang.

Temanggung, 27 Januari 2019

Penulis

1
B. DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................3

C. Tujuan...........................................................................................................3

D. Manfaat.........................................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................5

A. Konsep Lansia...............................................................................................5

B. Risiko Jatuh.................................................................................................11

C. Berg Balance Scale.....................................................................................16

BAB III PEMBAHASAN......................................................................................18

A. Pembahasan.................................................................................................18

B. Analisa Jurnal..............................................................................................19

C. Kekurangan dan Kelebihan.........................................................................23

1. Kekurangan.............................................................................................23

2. Kelebihan.................................................................................................23

BAB IV INSTRUMEN..........................................................................................24

A. Instrumen Berg Balance Scale....................................................................24

B. Lembar Pencegahan Pasien Jatuh Dewasa (Morse)....................................30

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii

2
3
C. BAB I PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk akan
berpengaruh pada peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH). Seiring
meningkatnya angka harapan hidup populasi lansia juga akan meningkat.
Data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2017 penduduk lansia di
Indoneisa mencapai 23,66 juta atau 9,03%, dan diprediksi akan meningkat
setiap tahunnya, karena prosentase lansia yang melebih 7% maka Indonesia
termasuk sebagai negara berstruktur tua. Salah satu provinsi dengan jumlah
lansia terbanyak ke 2 setelah DIY adalah Provinsi Jawa Tengah, prosentase
lansia di daerah tersebut mencapai 12,59% atau sejumlah 2,979 juta jiwa.
Semakin banyaknya jumlah lansia apabila dari segi kesehatan dan
kesejahteraan tidak dikelola dengan baik, maka akan berdampak pada
peningkatkan penyakit degeneratif yang saat ini menjadi masalah terbesar
pada lansia. Diperkirakan pada tahun 2050 sekitar 75% lansia penderita
penyakit degeneratif tidak dapat beraktifitas seperti semula. Penyakit
degeneratif itu sendiri merupakan penyakit yang mengiringi proses penuaan
pada manusia (Kementrian Kesehatan RI, 2012).

1
2

Proses menua di dalam hidup pada manusia memang lazim terjadi, selain
penyakit degenaratif proses menua juga dapat menimbulkan berbagai
masalah baik secara fisik, biologik, mental maupun sosial. Namun yang
tampak menonjol dari penuaan tersebut, lansia akan mengalami kemunduran
terutama kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada
peran-peran sosialnya (Padila, 2013). Hal tersebut juga diungkapkan oleh
Stanley (2007) bahwa proses kemunduran secara fisik juga terjadi pada
sistem muskuloskeletal salah satunya karena kelemahan otot atau
berkurangnya massa otot. Kekuatan muskular mulai merosot sekitar usia 40
tahun, dengan satu kemunduran yang dipercepat setelah usia 60 tahun.
Perubahan gaya hidup dan penurunan penggunaan sistem neuromuscular
adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot. Berkurangnya
kemampuan fisik pada muskoloskletal tersebut akan dapat minigkatkan
risiko jatuh pada lansia. Gunarto (2015) menyatakan bahwa sekitar 31%-
48% lansia jatuh karena mengalami gangguan keseimbangan.

Menurut Agoes et.al (2010) risiko jatuh meningkat dengan


bertambahnya umur dan lebih banyak dialami perempuan. Rata-rata setiap
tahun sepertiga manula berusia 65 tahun ke atas pernah mengalami
kecelakaan ini. Kejadian jatuh pada lansia yang terjadi di bangsal
Flamboyan 1 RSUD Temanggung tercatat. Pada bulan Januari sebanyak 2
insiden, Februari 1 insiden, Maret tidak ada insiden, April 3 insiden, Mei
sampai Juli tidak ada insiden, Agustus hingga Oktober masing-masing 1
insiden, November hingga Desember tidak ada insiden jatuh, total ada
sebanyak 9 kejadian jatuh. Di RSUD Temanggung pengukuran resiko jatuh
masih menggunakan skala Morse dan belum menerapkan penggunaan Berg
Balance Scale untuk mengukur skala resiko jatuh pada lansia.

Lansia yang mempunyai riwayat jatuh sering mengalami rasa takut


bila jatuh akan terulang, termasuk ansietas, hilangnya percaya diri, menarik
diri dalam kegiatan sosial, pembatasan aktivitas sehari-hari, sindroma
setelah jatuh, “falaphobia” (fobia jatuh), hilangnya kemandirian dan
3

pengendalian, serta depresi (Miller dalam Stanley et.al., 2007). Dilihat dari
beberapa masalah yang ada perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan
mempunyai kewajiban untuk mengurangi masalah yang ada pada lansia
yang mempunyai risiko jatuh. Berg Balance Scale merupakan sebuah
predikator yang paling efektif untuk mengukur skala resiko jatuh dan
gangguan keseimbangan pada pansien lansia.

Berdasarkan fenomena tersebut, kami mendapati bahwa penggunaan


instrumen Berg Balance Scale belum di terapkan di bangsal Flamboyan 1
dan 2 sebagai bangsal penyakit dalam dengan pasien yang sebagian besar
merupakan pasien lansia.Geriatri RSUD Temanggung. Maka dari itu kami
tertarik untuk melakukan panel expert dengan tema penggunaan Berg
Balance Scale untuk mengukur skala resiko jatuh pada psien lansia.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengen lansia ?
2. Apakah yang dimaksud dengan Resiko Jatuh ?
3. Bagaimana penerapan Berg Balance Scale untuk menilai resiko
jatuh pada pasien lansia ?
4. Bagaimana perbedaan penilaian resiko jatuh pada lansia dengan
menggunakan skala Berg Balance Scale dibandingkan dengan skala
MORSE ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui penggunaan skala resiko jatuh Berg Balance scale


pada pasien lansia.

2. Tujuan Khusus
4

a. Mengetahui penggunakan skala resiko jatuh yang tepat


untuk pasien lansia.
b. Mengetahui cara pengunaan Berg Balance Scale pada
pasien lansia
c. Mengetahui keefektifan penggunaan Berg Balance Scale
untuk mengukur skala resiko jatuh pada pasien lansia.

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Dapat menambah pengetahuam tentang penggunaan Berg Balance
Scale sesuai dengan teori dan penggunaan secara tepat dan benar
untuk mencegah kejadian jatuh pada lansia.
2. Bagi Ruangan rawat inap
Dapat meningkatkan mutu pelayanan mengenai patient safety dan
peningkatan kemandirian pasien lansia diruangan serta dapat
menerapkan Berg Balance Scale untuk mengukur skala resiko jatuh
lansia.
3. Bagi Rumah sakit
Dapat meningkatkan mutu pelayanan di RSUD Temanggung
mengenai pencegahan kejadian jatuh pada pasien lansia.
5
BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Lansia

1. Pengertian Lansia

Menurut Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999 (dalam Sunaryo, 2016, p.


55), lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun ke
atas. pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.

2. Pembagian Lansia

Pendapat beberapa ahli dalam Effandi, yang dikutip dalam Sunaryo


dkk (2016, p. 56) batasan atau pembagian lansia meliputi :

a Menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam bab


1 pasal 1 ayat 2 yaitu lanjut usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun ke atas.

b Menurut World Health Organizasion (WHO), usia lanjut


dibagi menjadi empat kriteria sebagai berikut: usia pertengahan
(middle age) ialah 45- 59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua
(very old) ialah di atas 90 tahun.

c Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut


usia (geriatric age) : >65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia
(geriatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur yaitu

6
young old (70-75 tahun), old (75- 80 tahun), dan very old (>80
tahun).

3. Proses penuaan.

7
8

Menurut Sunaryo dkk (2016, p. 36) proses penuaan merupakan proses


yang berhubungan dengan umur seseorang. Manusia mengalami
perubahan seuai dengan bertambahnya umur tersebut. Semakin
bertambahnya umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ tubuh.
Adapun faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut dapat
dibagi menjadi dua yaitu :

a. Faktor genetik yang melibatkan perbaikan DNA, respon


terhadap stress, dan pertahanan terhadap antioksidan.

b. Faktor lingkungan yang meliputi pemasukan kalori,


berbagai macam penyakit, dan stress dari luar misalnya radiasi
atau bahan-bahan kimia.

4. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses penuaan.

Perubahan-perubahan pada lansia menurut Mubarak (2006, p.


182); Padila (2013, p. 6) yaitu :

a Perubahan Fisik

Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua system


organ tubuh, diantaranya system pernapasan, pendengaran,
penglihatan, kardiovaskuler, system pengaturan tubuh,
musculoskeletal, gastrointestinal, genitor urinaria, endokrin dan
integument. Masalah sehari-hari yang mungkin muncul pada
lansia seperti mudah jatuh, mudah lelah, kekacauan mental akut,
nyeri dada,berdebar-debar, sesak nafas, pembengkakan pada kaki
bawah, sulit tidur dan sering pusing, berat badan menurun, dan
gangguan pada fungsi penglihatan, pendengaran dan sukar
menahan air kencing

b Perubahan Kondisi Mental

Mental emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya


9

perasaan tidak nyaman dan cemas, adanya kekacauan mental


akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut
ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Munculnya perasaan
tidak mandiri serta cenderung bersifat introvert.

c Perubahan Psikologis

Perubahan psikologis meliputi banyak pekerja yang pensiun


berarti terputus dari lingkungan dan teman-teman yang akrab,
merasakan atau sadar akan kematian, perubahan cara hidup,
penghasilan menurun, biaya hidup meningkat dan tambahan
biaya pengobatan. Penyakit kronis dan ketidakmampuan,
kesepian akibat pengasingan dari lingkungan social. Kehilangan
hubungan dengan teman dan keluarga, kehilangan kekuatan dan
ketegangan fisik, perubahan konsep diri dan pasangan hidup.

d Perubahan Kognitif

Perubahan pada fungsi kognitif diantaranya adalah kemunduran


umumnya terjadi pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan
dan tugas yang memerlukan memori jangka pendek, kemampuan
intelektual tidak mengalami kemunduran, kemampuan verbal
dalam bidang kosa kata akan menetap bila tidak ada penyakit.

e Perubahan spiritual

Perubahan spiritual pada lanjut usia yaitu agama atau


kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya, dalam
berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara
mencintai dan bersikap adil.

5. Permasalahan Yang Terjadi Pada Lansia Permasalahan yang terjadi


pada lansia yaitu :

a. Permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian


10

kesejahteraan lansia menurut Mubarak dkk (2009, p. 155 ),


antara lain :

1) Ketidakberdayaan fisik, sehingga menyebabkan


ketergantungan pada orang lain.

2) Ketidakpastian ekonomi, sehingga membutuhkan


perubahan total dalam pola hidup.

3) Membuat teman baru untuk mendapat ganti mereka


yang telah meninggal/pindah.

4) Mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi waktu


luang yang bertambah banyak.

5) Belajar memperlakukan anak-anak yang telah


tumbuh dewasa.

b. Masalah kesehatan.

Menurut UU No.13, 1998 (dalam Sunaryo, 2016, p. 279),


penyakit gangguan umum pada lansia meliputi penyakit saluran
pernafasan, kardiovaskuler, penyakit pencernaan makanan,
urogenital, penyakit metabolik/endokrin, penyakit pada
persendian dan tulang, penyakit karena keganasan, serta faktor-
faktor luar yang mempercepat timbulnya penyakit (makanan,
kebiasaan hidup yang salah, infeksi, trauma).

c. Peningkatan Stressor

Menurut Mubarak dkk (2009, p. 156) peningkatan stressor dapat


diakibatkan adanya hemiplegi, defisit sensorik, hospitalisasi,
tinggal di rumah perawatan, kesulitan berbicara, kehilangan anak
dan teman, pemindahan benda yang memiliki arti, serta cara
kerja yang tidak bisa dilakukan sebagaimana pada waktu muda.
11

6. Perubahan Fisiologis Anggota Gerak Pada Lansia

Menutut teori Virginia Handerson bahwa kebutuhan dasar


manuasi terdiri dari 14 kebutuhan, termasuk di dalamnya ada
kebutuhan untuk bergerak dan dapat mempertahankan postur tubuh
dengan baik serta menghindari bahaya lingkungan dan menghindari
cidera orang lain. Kebutuhan dasar tersebut dapat terjadi perubahan
saat manuasi mulai mengalami proses menua, karena akan terjadi
perubahan pada anggota gerak yang akan mengakibatkan perubahan
postur rubuh, gaya berjalan, kelemahan saat berjalan, serta kehilangan
keseimbangan, teori tersebut telah dibahas dalam penelitian Ahtisham
et.al (2015).

Sedangkan menurut Miller dalam Stanley (2007,p.154) saat


lansia mulai menua akan mengalami perubahan sistem
muskoloskeletal atau gangguan pada anggota gerak berupa :
penurunan tinggi badan progresif yang disebabakan oleh penyempitan
diskus intervetebra, kekakuan rangka tulang dada pada saat
mengembang, penurunan produksi tulang kortikal dan trabekskular,
penurunan massa otot dengan kehilangan lemak subkutan, waktu
untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang, penurunan
kekakuan ligamen dan sendi.

Menurut Pudjiastuti & Utomo (2012,p.8) berkurangnya


kepadatan tulang, setelah diobservasi sebagai bagian penuaan yang
biologis. Terjadi akibat penurunan hormon esterogen sehingga
produksi okteoklas tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di
usus, peningkatan kanal haversi sehingga tulang keropos. Pada proses
menua juga akan mengalami penurunan fungsi dan produksi kolagen.
Kolagen merupakan protein pendukung utama pada kulit, tendon,
tulang, kartilago, penurunan tarikan linear kolagen akan
menggakibatkan penurunan fleksibilitas pada lansia sehingga
12

menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot,


kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan dan
hambatan dalam melakukan aktivitas.

Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan


mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata,
proteoglikan merupakan komponen utama kartilago berkurang dan
hilang secara bertahap. Kartilago tidak hanya sebagai peredam kejut
namun juga sebagai permukaan sendi berpelumas. Konsekuensinya
kartilago menjadi lebih sering mendapat gesekan, perubahan tersebut
sering terjadi pada sendi penumpu berat badan. Pada lansia jaringan
ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen, dan fasia mengalami
penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago, dan jaringan periartikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi,
erosi, dan klasifikasi pada kartilago dan kampsul sendi. Sendi
kehilanagn fleksibilitas sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi
(Pudjiastuti & Utomo, 2012,p.9).

Penurunan pada struktur otot juga akan terjadi namun perubahan


tersebut sangat bervariasi, seperti penurunan jumlah dan ukuran
serabut otot, peningkatan jaringan penghubung, dan jaringan lemak
pada otot mengakibatkan efek negatif. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Nugroho (2000) bahwa saat terjadi proses menua
lansia akan mengalami pengecilan tendon dan mengalami sklereosis,
atrofi serabut otot (otot-otot serabut mengecil) serabut-serabut otot
mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lambat, otot-otot kram
dan menjadi tremor.

Menurut Bonder & Wagner (1994) dalam Pudjiastuti & Utomo


(2012,p.10) perubahan morfologis otot pada penuaan berupa,
penurunan jumlah serabut otot, atrofi pada beberapa serabut otot dan
fibril menjadi tidak teratur dan hipertrofi pada beberapa serabut otot
13

yang lain, berkurangnya 30% massa otot terutama otot tipe II (fast
twitch), terjadi penumpukan lipofusin, peningkatan jaringan lemak
dan jaringan perhubungan, degenerasi miofibril, dan timbulnya bekas
garis z pada serabut otot. Dampak perubahan morfologis otot adalah
penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu
reaksi, dan penurunan kemampuan fungsional otot. Untuk mencegah
perubahan lebih lanjut, dapat diberikan latiah untuk mempertahankan
mobilitas. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herman et.al (2011)
dalam penelitian Sagala (2017), bahwa pada lansia terjadi perubahan
komposisi tubuh berupa penuruna fatfree mass atau peningkatan fat
mass. Pada proses penuaan presentase massa otot menurun, sehingga
terjadi penurunan kekuatan otot 30-40%.

Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas.


Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya
peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot
dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik
berupa beban eksternal (eksternal force) maupun beban internal
(internal force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem
neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf
mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi (Munawwarah &
Rahmani, 2015). Sehingga semakin banyak serabut otot yang
teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot
tersebut. Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat
untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya tekanan gaya
dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan
kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal
lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh.

Penurunan fungsi tubuh pada lansia akan mengakibatkan


permasalahan gangguan gerak dan fungsi lansia. Lansia mengalami
penurunan fungsi jalan, penurunan fungsi keseimbangan, penurunan
14

kemampuan fungsional, penurunan kemandirian dalam aktivitas


kehidupan sehari-hari (Brach dan Van, 2002: 753 dalam Utomo,
2010).

B. Risiko Jatuh

1. Definisi
Menurut Reuben (1996) dalam Darmojo (2011) Jatuh adalah “suatu
kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat
kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/
tertunduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilanagn kesadaran atau luka”. Suatu kelompok kerja internasional
telah mendefinisikan jatuh sebagai “suatu kejadian yang
menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di permukaan tanah
tanpa disengaja” dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan kekerasan,
kehilangan kesadaran, kejang atau awitan paralisis secara mendadak
(Miller dalam Stenly 2007,p.275).
2. Faktor Risiko

a. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik yang dapat mengakibatkan insiden jatuh
termasuk proses penuaan dan beberapa kondisi penyakit,
termasuk penyakit jantung, stroke dan gangguan ortopedik serta
neurologik. Faktor intrinsik dikaitkan dengan insiden jatuh pada
lansia adalah kebutuhan eliminasi individu. Beberapa kasus
jatuh terjadi saat lnsia sedang menuju, menggunakan atau
kembali dari kamar mandi. Perubahan status mental juga
berhubungan dengan peningkatan insiden jatuh. Faktor intrinsik
lain yang menimbulkan resiko jatuh adalah permukaan lantai
yang meninggi, ketinggian tmpat tidur baik yang rendah maupun
yang tinggi dan tidak ada susut tangan ditempat yang strategis
seperti kamar mandi dan lorong
15

b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik juga memengaruhi terjadinya jatuh. Jatuh
umumnya terjadi pada minggu pertama hospitalisasi, yang
menunjukkan bahaw megenali lingkungan sekitar dapat
mengurangi kecelakaan.
Obat merupakan agen eksternal yang diberika kepada
lansia dan dapat digolongkan sebagai faktor risiko eksternal.obat
yang memengaruhi sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat
meningkatkan risiko terjadinya jatuh, biasanya akibat
kemungkina hipotensi atau karena mengakibatkan perubahan
status ,emtal. Laksatif juga berpengaruh terhadap insiden jatuh.
Individu yang mengalami hambatan mobilitas fisik cenderung
menggunakan alat bantu gerak seperti kursi roda, tongkat
tunggal, tongkat kaki empat dan walker. Pasien yang
menggunakan alat bantu lebih mungkin jatuh dibandingkan
dengan pasien yang tidak menggunakan alat bantu. Penggunaan
restrain mengakibatkan kelemahan otot dan konfusi, yang
merupakan faktor ekstrinsik terjadinya jatuh.
3. Penyebab Jatuh Pada Lansia
Jatuh bukan merupakan bagian normal pada lansia, namun 30%
lansia di komunitas mengalami jatuh terjadi setiap tahunnya. Menurut
WHO, prevalensi jatuh pada usia 65 tahun keatas sekitar 28- 35% dan
pada usia 70 tahun ketas sekitar 32-42% (Suadyana et.al, 2014).
Lansia di institusi seperti pada panti jompo, memiliki risiko lebih
besar daripada lansia yang tinggal di komunitas, hal ini terjadi karena
lansia yang tinggal di institusi memiliki masalah rentan dan memiliki
disabilitas (Miller dalam Stanley 2007,p.275). Hal yang sama
diungkapkan oleh Guideline For The Prevention of Falls in Older
Person dari seluruh populasi lanjut usia ≥ 65 tahun yang tampak sehat
di masyarakat sekitar 35-40% mengalami jatuh setiap tahun.
16

Menurut Lord et.al (2001) sekitar sepertiga dari lansia


mengalami jatuh setiap tahunnya dengan berbagai macam penyebab.
Kejadian jatuh lebih tinggi pada wanita sekitar 40% dan pada laki-laki
28%, dan kejadian jatuh akan semakin meningkat bila lansia
memasuki usia ≥ 65 tahun. Kejadian jatuh lebih sering terjadi pada
lansia yang tinggal di asrama, panti jompo, lansia yang pernah jatuh
sebelumnya, dan lansia yang pernah mendapat pengobatan karena
gangguan pada postur tubuh, keseimbangan, dan gangguan berjalan.
Lokasi jatuh pada lansia sangat beragan namun sekitar 56% lansia
jatuh di luar rumah seperti (taman, jalan, toko dan tempat umum),
sedangkan 44% terjadi di lingkungan rumah (dilantai, tangga, dari
kursi, dari tempat tidur, dan di kamar mandi).

Penyebab jatuh biasa terjadi karena 2 faktor, yaitu faktor


intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, faktor dari dalam
lansia itu sendiri seperti usia, tingkat mobilitas, kesehatan fisik, dan
kemampuan kognitif. (Miller dalam Stenly 2007,p.276). Hal lain juga
disampaikan oleh Agoes et.al(2010,p.162) bahwa penyebab jatuh dari
faktor lansia itu sendiri antar lain karena peradangan sendi, aktivitas
fisik yang kurang, gangguan penglihatan. Faktor ekstrinsik merupakan
faktor dari luar atau lingkungan yang dapat menyebabkan jatuh seperti
lantai yang licin, jalan yang berlubang, alas kaki yang dipakai tidak
nyaman.

Menurut Lee et.al (2013,p.38) faktor terjadinya jatuh


diakibatkan oleh beberapa hal seperti : pernah jatuh sebelumnya,
penurunan kekuatan, gangguan keseimbangan, penggunaan obat
psikoaktif, gangguan penglihatan, polifarmasi, depresi, pusing,
keterbatasan fungsional, umur > 80 tahun, berjenis kelamin wanita
lebih berisiko, indeks massa tubuh rendah, inkontinensia urin,
gangguan kognitif, dan radang sendi.
17

Untuk lebih memahami mengenai berbagai faktor jatuh, kita


harus mengetahui bahwa kesetabilan tubuh ditentukan oleh berbagai
macam komponen. Yang pertama sistem sensorik, pada sistem ini
yang berperan didalamnya adalah penglihatan (visus) dan
pendengaran. Gangguan sistem saraf pusat juga berpengaruh pada
input sensori. Kognitif pada lansia akan menyebabkan dimensia yang
akan meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Yang paling berpengaruh
pada risiko jatuh lansia adalah sistem muskoloskletal hal ini
merupakan faktor murni milik lansia. Gangguan muskolskeletal
menyebabkan gangguan gaya berjalan dan ini berhubungan dengan
proses menua yang fisiologis, seperti : kekeakuan jaringan
penghubung, berkuranganya massa otot, perlambatan konduksi saraf
dan penurunan visus lapang pandang (Kusnanto, 2007,p.49).

4. Pencegahan Jatuh

Penatalaksanaan terapi terapeutik kepada lansia dengan risiko


jatuh menurut Miller dalam Stanley (2007,286) ada 5 jenis pendekatan
yaitu melalui medis, pendekatan lebih kepada pengelolaan pengobatan
bila terjadi cedera pada lansia, peyediaan rujukan yang tepat untuk
melakukan tindakan lanjut serta pengkajian lingkungan rumah.
Pendekatan pertama menggunakan terapi fisik dengan melakukan
pengkajian gaya berjalan, keseimbangan, kekuatan otot dan selama
aktivitas. Evaluasi apakah klien membutuhkan alat bantu, bila iya
intruksikan dan ajarkan cara pengguanaan alat bantu yang benar.
Pendekatan kedua menggunakan terapi fisik, seperti latihan berjalan
dan latihan memperkuat otot-otot dan menigkatkan keseimbangan.
Pendekatan ketiga menggunakan okupasi dengan mengevaluasi
penggunaan alat bantu serta kebutuhan penggunaan alat bantu sesuai
kebutuhan klien serta ajarkan penggunaannya dengan benar.
Pendekatan keempat menggunakan perawat kunjungan rumah dalam
kunjungan rumah tenagga medis dapat mengetahui bahaya apa saja
18

yang dapat meningkatkan risiko jatuh pada klien, bila memang ada
sumber –sumber yang dapat membahayakan dapat berikan edukasi
tentang kebutuhan untuk memperbaiki bahaya-bahaya serta perbaiki
bahaya-bahaya tersebut. Pendekatan kelima menggunakan peran ahli
gizi dalam mencegah risiko jatuh pada lansia adalah memberikan
edukasi dan membantu klien dalam memberikan nutrisi yang adekuat.

Pencegahan jatuh pada lansia menurut Lee et.al (2013,p.39) ada


beberapa macam seperti : latihan / program terapi fisik bertujuan
untuk meningkatkan keseimbangan, gaya berjalan,dan kekuatan ;
menarik atau meminimalkan psikoaktif obat-obatan ; pengelolaan
hipotensi ortostatik ; penanganan masalah ekstremitas ; mengganti
alas kaki ; modifikasi lingkungan rumah ; pendidikan pasien dan
pengasuh ; pemberian suplementasi vitamin D pada pasien dengan
kekurangan vitamin D atau risiko tinggi jatuh; bila terjadi katarak
segera lakukan pembedahan . Beberapa intervensi tersebut tidak
cukup bukti mendukung untuk pasien dengan dimensia. Namun pada
lansia yang tidak mengalami dimensia intervensi tersebut telah
menyebabkan penurunan tingkat jatuh sebesar 25% sampai 40% .

Menurut Agoes et.al (2010,p.164)salah satu pencegahan jatuh


pada lansia melakukkan aktivitas fisik paling tidak 15 menit setiap
hari untuk meningkatkan kekuatan otot dan melatih keseimbangan dan
kelenturan. Bisa juga dengan berolahraga dengan berjalan kaki,
berenang atau peregangan dengan bantuan kursi dan meja atau hanya
mengandalkan gerakan aktivitas rutin dengan membungkuk atau
melengkungkan badan ke belakang. Tobing dalam Nurkuncoro (2015)
berpendapat latihan fisik yang baik, benar, terukur, dan teratur
(BBTT) serta latihan yang sesuai dengan tingkat kesehatan, tingkat
aktivitas fisik, dan tingkat kebugaran masing-masing individu dapat
mengurangi risiko kelainan tulang yang menyebabkan risiko jatuh
pada lansia.
19

C. Berg Balance Scale

1. Definisi

BBS (Berg Balance Scale) adalah alat pengkajian yang banyak


digunakan untuk kemampuan keseimbangan seseorang. Tujuan
pengkajian BBS ini yaitu utuk menguji kemampuan keseimbangan
statis dan dinamis seseorang. Pengkajian BBS ini membutuhkan
waktu selama 15-20 menit dan terdiri dari 14 tugas sederhana yang
berhubungan dengan keseimbangan, mulai dari berdiri dari posisi
duduk , hingga berdiri dengan satu kaki. Tingkat keberhasilan dalam
mencapai setiap tugas diberi skor nol (tidak mampu) hingga empat
(independen), dan ukuran terakhir adalah jumlah dari semua skor.

BBS telah terbukti memiliki inter-rater yang sangat baik (ICC


= 0,98) dan reliabilitas relatif intra-rater (ICC = 0,97), dengan
reliabilitas absolut bervariasi antara 2,8 / 56 dan 6,6 / 56, dengan
reliabilitas yang lebih buruk di dekat bagian tengah skala, dan
konsisten secara internal (0,96). BBS berkorelasi memuaskan
dengan tindakan laboratorium, termasuk goyangan postural, dan
memiliki kriteria bersamaan yang baik, kriteria prediktif, dan
validitas konstruk. Bukti yang cukup menunjukkan bahwa BBS juga
merupakan ukuran yang valid dari keseimbangan berdiri pada pasien
pasca- stroke , tetapi hanya untuk mereka yang berunding secara
independen, karena tugas-tugas yang diperlukan pasien.]BBS baru-
baru ini diidentifikasi sebagai alat penilaian yang paling umum
digunakan di seluruh rangkaian rehabilitasi stroke dan dianggap
sebagai ukuran yang baik untuk gangguan keseimbangan.

Penafsiran hasilnya adalah :


20

1. 21-28 = risiko jatuh rendah

2. 11-20 = risiko jatuh menengah

3. 0-10 = risiko tinggi jatuh

Atau, BBS dapat digunakan sebagai alat bertingkat, dengan


risiko beberapa jatuh meningkat di bawah skor 45 dan peningkatan
yang signifikan di bawah 40. Dalam studi asli, nilai 45 poin digunakan
untuk menghitung risiko relatif perkiraan untuk menunjukkan
validitas prediktif, dan skor 45 telah terbukti merupakan cut-off yang
tepat untuk ambulasi independen yang aman dan kebutuhan akan alat
bantu atau pengawasan. Versi instrumen BBS baru-baru ini diusulkan
untuk menghindari bias pengamat dan untuk memfasilitasi penilaian
Keseimbangan obyektif di lingkungan rumah untuk pemantauan
berkala atau jangka panjang.
2. Ukuran hasil

Skala Berg Balance digunakan oleh ahli fisioterapi dan terapis okupasi
untuk menentukan mobilitas fungsional seorang individu. Tes ini
dapat dilakukan sebelum perawatan untuk orang tua dan pasien
dengan riwayat tetapi tidak terbatas pada stroke, Multiple sclerosis ,
penyakit Parkinson , Ataxia , vertigo , penyakit kardiovaskular dan
penyakit pernapasan . Tes Skala Berg Balance dapat diberikan setiap
beberapa bulan pengobatan untuk menentukan apakah pengobatan
efektif untuk meningkatkan mobilitas fungsional pasien (perbedaan 8
poin dianggap sebagai perubahan yang signifikan).
21
22
D. BAB III PEMBAHASAN
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pembahasan
Berg Balance Scale merupakan sebuah metode yang digunakan
sebagai pengukuran yang berorientasi pada keseimbangan lansia. BBS
menilai keseimbangan dari dua dimensi, yaitu kemampuan mempertahankan
postur tegak dan penyesuaian yang tepat pada gerakan yang dikehendaki
/gerakan volunter (Setiati & Laksmi, 2009). Uji ini merupakan uji aktivitas
dan keseimbangan fungsional yang menilai penampilan mengerjakan 7
tugas, diberikan angka 0 (tidak mampu melakukan) sampai 4 (mampu
mengerjakan dengan normal sesuai dengan waktu dan jarak yang
ditentukan) dengan skor maksimum 28 (Setiati & Laksmi, 2009). Morse
Fall Scale merupakan skala yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
resiko jatuh pada orang anak dan dewasa dengan klasifikasi 0-24 (resiko
jatuh ringan), 25-44 (resiko jatuh sedang), > 45 (resiko jatuh berat).
Penggunaan BBS yang telah dicoba pada 2 pasien di ruang Flamboyan
1 dan 2 RSUD Kab. Temanggung. Pada pasien di ruang Flamboyan 1
didapatkan nilai skor 27 (risiko jatuh rendah) dengan pengkajian
menggunakan BBS, sedangkan nilai skor pada skala Morse diperoleh nilai
skor 24 (risiko jatuh ringan). Pada pasien di ruang Flamboyan 1, didapatkan
nilai skor 2 (risiko jatuh tinggi) dengan pengkajian menggunakan BBS,
sedangkan nilai skor pada skala Morse diperoleh 45 (risiko jatuh tinggi).
Meskipun kesimpulan hasil pengkajian resiko jatuh menggunakan Morse
dan BBS sama, namun hasil dari pengkajian BBS tetap dapat digunakan
bahkan sampai pasien kembali ke rumah. Sedangkan dalam pengkajian
resiko jatuh menggunakan morse, skor menjadi lebih tinggi salah satunya
adalah ada tidaknya pemasangan infus pada pasien (skor=20). Sedangkan
dalam pengkajian BBS, lebih detail mengenai keseimbangan pasien.

23
24

Penelitian yang telah dilakukan oleh Neuls, Patrick D (2011) tentang


“Usefullness of Berg Balance Scale to Predic Falls in Oldery” diperoleh
bahwa hasil dari beberapa review artikel dan jurnal yang telah ditelaah,
BBS dapat digunakan untuk lansia dengan berbagai masalah kesehatan.
Kemudian skala morse merupakan alat ukur resiko jatuh untuk pasien
dewasa, sedangkan BBS lebih pada pasien lansia. Menurut Neuls et al
(2011), BBS (Berg Balance Scale) dinilai sebagai predicator yang paling
efektif untuk mengukur resiko jatuh dan gangguan keseimbangan pada
lansia dan sudah beberapa kali divalidasi.
Menurut Nugroho (2015), dari lima penelitian menginvestigasi
hubungan BBS dengan populasi pada lansia. Empat penelitian
menggunakannya pada komunitas lansia, sedamgkan 1 penelitian pada
Nursing Homecare, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa range
sensitivitas antara 53 % sampai 88,2%, spesivitas antara 53 % sampai 96%,
dan cutoff score antara 46 sampai 54. Peneliti juga menyimpulkan bahwa
lansia yang memiliki score BBS dibawah 46 kemungkinan memiliki resiko
yang besar untuk mengalami jatuh.
BBS mengukur aspek keseimbangan statis dan dinamis. Kemudahan
yang BBS dapat diberikan membuat ukuran yang menarik untuk tenaga
medis melibatkan peralatan minimal, dan tidak memerlukan pelatihan
khusus. Perlu dicatat, bagaimanapun bahwa BBS hanya harus dikelola oleh
profesional perawatan kesehatan, dengan pengetahuan tentang cara aman
memobilisasi pasien (Blum & Korner-Bitensky, 2008). BBS memiliki
tingkat kepercayaan 95% dalam mendeteksi perubahan signifikan secara
klinis pada keseimbangan (Downs et al., 2013)

B. Analisa Jurnal

1. Jurnal : Peningkatan Keseimbangan Postural Menggunakan


Pengukuran Berg Balance Scale (BBS) pada Lansia di Sasana Panti
Mulyo Sragen
25

a. P:
Efektifitas Berg Balance Scale untuk mendeteksi resiko
jatuh pada lansia.
b. I :

Memuat 14 item statistik dan dinamis aktivitas yang


berhubungan dengan kegiatan sehari-hari. Penilaian
keseimbangan BBS dan resiko jatuh melalui observasi secara
langsung pada kemampuan pasien yang dinilai oleh tenaga
profesional di berbagai arahan. Peningkatan tugas BBS : dari
duduk ke berdiri, berdiri tanpa support dengan mata tertutup,
berdiri tanpa support kedua kaki rapat, penilaian berdasarkan 5
point. skala urut dengan 0 (ketidakmampuan untuk melakukan),
4 point mampu melakukan secara mandiri dan menyelesaikan
semua tugas. Total skor maksimal 56 yang menunjukkan
kemampuan masih baik. Skala tersebut mampu diselesaikan
dalam durasi 10-20 menit dengan minimal peralatan (kursi,
stopwatch, penggaris) dan ruang yang minimal.

c. C:

Dalam hasil intervensi yang telah diperoleh peneliti, maka


sebanding dengan intervensi atau penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa penggunaan BBS merupakan pengukuran
yang valid untuk mendeteksi resiko jatuh pada lansia.

d. O:

Untuk menentukan resiko jatuh, terutma pada individu


dengan gangguan-gangguan penyakit, modifikasi item BBS
berdasarkan analisa dapat membantu membedakan individu
dengan riwayat jatuh dengan individu lainnya tanpa mempunyai
riwayat jatuh, seperti modifikasi yang memungkinkan untuk
meningkatkan ketepatan penentuan seseorang yang benar benar
26

memiliki fungsi kemampuan yang berhubungan antara skala dan


pengkajian, seperti analisis item dari BBS mungkin membantu
membedakan item yang berhubungan dengan resiko jatuh, dan
lebih mengklasifikasikan individu yang mempunyai riwayat
jatuh, sehingga lebih mengklasifikasikan seseorang yang
mempunyai riwayat jatuh pertama, kedua, maupun yang
berulang.

2. Jurnal : Usefulness of The Berg Balance Scale to Predict Falls in


The Elderly
a. P :
Penggunaan Berg Balance Scale untuk mengukur resiko
jatuh pada lansia.
b. I :

Latihan keseimbangan dalam penelitian ini berupa:


Pemanasan, Neutral (berdiri berpegangan dengan kursi beban
tubuh berada di kedua kaki), Left-side neutral (berdiri
berpegangan dengan kursi beban tubuh berada di kaki
kanan), Right-side neutral (berdiri berpegangan dengan kursi
beban tubuh berada di kaki kiri), Press-backs (berdiri satu
kaki dan berpegangan dengan kursi), Achilles stretch (berdiri
menggunakan kedua kaki membentuk kuda-kuda dengan
berpegangan dengan kursi), Power steps (berdiri
menggunakan kedua kaki tangan bersandar dengan tembok,
dengan kaki sedikit difleksikan), Squash the bugs (berdiri
menggunakan kedua kaki tangan berpegangan dengan
tembok, dengan tumit menyentuh lantai), Knee lift (berdiri
menggunakan satu kaki dengan tangan berpegangan dengan
tembok), Knee lift with cross (berdiri menggunakan kedua
kaki posisi cross dengan tangan berpegangan dengan
27

tembok), Quad stretch (berdiri menggunakan satu kaki,


kemudian kaki yang satu dipegang menggunakan tangan
dengan keadaan berpegangan denagn tembok), Wall sits
(duduk dengan bersandar tembok), Heel lift back (berdiri
menggunakan satu kaki dengan lengan diletakkan disamping
perut), Knee lift with wall (berdiri menggunakan satu kaki
dengan berpegangan dengan tembok), Small kick (berdiri
dengan gerakan tendangan kecil), Toe touches (berdiri
menggunakan kedua kaki dengan kaki sedikit terbuka), Heel
presses (berdiri menggunakan kedua kaki dengan kaki depan
bertumpu dengan tumit), (Sumber: Kay A. & Van Norman:
2010). Program latihan dilakukan selama 5 kali dalam satu
minggu dan dilakukan selama 4 minggu. Instrument dalam
penelitian ini berupa berg balance scale (BBS), stop watch,
bangku pijakan, penggaris, dan kursi. Berg Balance Scale
berupa: site to stand (duduk ke berdiri), standing
unsupported (berdiri tak tersangga), sitting with back
unsupported with feet on floor or on a stool (duduk tak
tersangga), stand to sit (berdiri ke duduk), transfers
(transfers), standing unsupported with eyes closed (berdiri
dengan mata tertutup), stand unsupported with feet together
(berdiri dengan kedua kaki rapat), reaching forward with
outstretched arm (meraih ke depan dengan lengan terulur
maksimal), pick up object from the floor from a standing
position (mengambil obyek dari lantai), turn to look behind
over left nd right shoulders while standing (berbalik untuk
melihat ke belakang), turn 3600 (berbalik 3600), place
alternate foot on bench or stool while standing unsupported
(menempatkan kaki bergantian ke blok / step stool), stand
unsupported with one foot in front (berdiri dengan satu kaki
didepan kaki yang lain), standing on one leg (berdiri satu
28

kaki). Dengan nilai skor 0- 4 pada setiap item, dan nilai


total maksimal 56.

c. C:

Dalam hasil intervensi yang telah diperoleh peneliti, maka


sebanding dengan intervensi atau penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa seseorang yang aktif melakukan latihan yang
kemudian dinilai dengan skala BBS menunjukkan hasil yang
efektif.

d. O:

Untuk menentukan skala nilai keseimbangan pada lansia

C. Kekurangan dan Kelebihan

1. Kekurangan
Pengkajian resiko jatuh menggunakan Berg Balance Scale (BBS)
memerlukan waktu yang relative lebih lama dibandingkan pengkajian
resiko jatuh menggunakan More Scale Fall. Dalam pengkajian BBS,
pasien harus mengikuti instruksi yang diberikan perawat, terkadang
perawat juga harus mendomenstrasikan terlebih dahulu mengingat
tidak semua pasien mampu mendengarkan dan memahami instruksi.
2. Kelebihan
Berg Balance Sclae sangat tepat dilakukan pada pasien lansia karena
mengukur keseimbangan, karena rata-rata pada lansia mengalami
penurunan fungsi keseimbangan tubuh yang merupakan salah satu
indicator resiko jatuh.
BAB IV INSTRUMEN

BAB IV

INSTRUMEN

A. Instrumen Berg Balance Scale


Nama responden :
Usia :
Jenis kelamin :
Riwayat jatuh dalam 1 tahun :
Tanggal :
Lokasi :

Score
No. Item Berg Balance Scale
0 1 2 3 4
1. Duduk ke berdiri
2. Bediri tanpa dukungan
3. Duduk tanpa dukungan
4. Berdiri ke duduk
5. Berpindah
6. Berdiri dengan menutup mata
Berdiri dengan kaki rapat secara
7.
bersamaan
Menjangkau ke depan dengan tangan
8.
terentang
9. Mengambil benda di lantai
Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk
10.
melihat ke belakang
11. Berputar 360º
Letakkan kaki secra bergantian pada
12. pijakan dan berpegangan pada kursi saat
berdiri mandiri
13. Berdiri dengan satu kaki di depan
14. Berdiri dengan satu kaki
Jumlah score

Scoring :
Resiko jatuh ringan : 41-56
Resiko jatuh sedang : 21-40

29
30

Resiko jatuh berat : 0 –20


1. Tahapan Berg Balance Scale :

a. Duduk ke berdiri

Petunjuk :

Silakan berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan untuk


mendapatkan dukungan.

Score :

() 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan dan


menstabilkan secara mandiri

() 3 mampu berdiri mandiri menggunakan tangan

() 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali


mencoba

() 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri atau stabil

() 0 kebutuhan moderat atau maksimal membantu berdiri

b. Bediri tanpa dukungan

Petunjuk :

Berdiri selama dua menit tanpa berpegangan.

Score :

() 4 mampu bertahan dengan aman selama 2 menit

() 3 mampu bertahan 2 menit dengan pengawasan

() 2 mampu bertahan 30 detik tidak didukung

() 1 perlu beberapa mencoba untuk berdiri 30 detik tidak


didukung
31

() 0 tidak dapat bertahan 30 detik tidak didukung

c. Duduk tanpa dukungan

Petunjuk :

Silakan duduk dengan tangan dilipat selama 2 menit.

() 4 bisa duduk dengan aman dan aman selama 2 menit

() 3 mampu duduk 2 menit di bawah pengawasan

() 2 mampu duduk 30 detik

() 1 mampu duduk 10 detik

() 0 tidak dapat duduk tanpa dukungan 10 detik

d. Berdiri ke duduk

Petunjuk :

Silakan duduk

() 4 duduk dengan aman dengan sedikit penggunaan tangan

() 3 mengendalikan posisi duduk dengan menggunakan tangan

() 2 menggunakan punggung kaki melawan kursi untuk


mengendalikan posis duduk

() 1 duduk secara mandiri namun memiliki posisi duduk yang


tidak terkendali

() 0 perlu dibantu untuk duduk

e. Berpindah

Petunjuk :

Mintalah subjek untuk mentransfer satu arah ke kursi dengan


32

sandaran tangan dan satu arah ke arah kursi tanpa sandaran


tangan anda bisa menggunakan dua kursi (satu dengan dan satu
tanpa sandaran tangan) atau tempat tidur dan kursi.

() 4 dapat berpindah dengan aman dengan sedikit penggunaan


tangan

() 3 mampu berpindah dengan aman kebutuhan pasti tangan

() 2 dapat berpindah dengan pengawasan

() 1 membutuhkan satu orang untuk membantu

() 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi


agar aman

f. Berdiri dengan menutup


mata

Petunjuk :

Minta untuk tutup mata selama 10 detik.

() 4 mampu bertahan 10 detik dengan aman

() 3 mampu bertahan 10 detik dengan pengawasan

() 2 mampu bertahan 3 detik

() 1 tidak dapat menahan mata 3 detik tapi tetap aman

() 0 butuh pertolongan agar tidak terjatuh

g. Berdiri dengan kaki


rapat secara bersamaan

Petunjuk :

Letakkan kaki anda bersama dan berdiri tanpa berpegangan.


33

() 4 mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri 1


menit dengan aman
() 3 mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri 1
menit dengan pengawasan
() 2 mampu menempatkan kaki secara mandiri namun tidak
mampu menahannya selama 30 detik
() 1 butuh bantuan untuk mencapai posisi namun mampu
bertahan 15 detik kaki bersama
() 0 perlu bantuan untuk mencapai posisi dan tidak tahan selama
15 detik
h. Menjangkau ke depan
dengan tangan terentang

Petunjuk :

Angkat lengan sampai 90 derajat, peregangan jari-jari anda dan


meraih ke depan sejauh yang anda bisa.

() 4 dapat mencapai ke depan dengan yakin 25 cm (10 inci)

() 3 bisa maju 12 cm (5 inci)

() 2 bisa mencapai depan 5 cm (2 inci)

() 1 maju tapi butuh pengawasan

() 0 kehilangan keseimbangan saat mencoba / membutuhkan


dukungan dari luar

i. Mengambil benda di
lantai

Petunjuk:

Ambil benda yang ada di depan kaki anda.

() 4 mampu mengambil benda dengan aman dan mudah


34

() 3 mampu mengambil benda tapi butuh pengawasan

() 2 tidak dapat mengambil tapi mencapai 2-5 cm (1-2 inci) dari


kaki dan menjaga keseimbangan secara mandiri

() 1 tidak dapat mengambil dan membutuhkan pengawasan saat


mencoba

() 0 tidak dapat mencoba / membutuhkan agar tidak kehilangan


keseimbangan atau terjatuh

j. Menoleh ke pundak
kanan dan ke kiri untuk melihat ke belakang

Petunjuk:

Belok untuk melihat langsung di belakang anda ke arah bahu


kiri. Ulangi ke kanan. Pemeriksa berada tepat di belakang subjek
untuk mendorong putaran yang lebih baik.

() 4 mamapu menegok dengan maksimal dan berat badan


bergeser dengan baik

() 3 mamapu menegok dengan maksimaldan menunjukkan


sedikit pergeseran berat badan

() 2 hanya menengok ke samping tapi mempertahankan


keseimbangansaya membutuhkan pengawasan saat berpaling

() 0 perlu dibantu agar tidak kehilangan keseimbangan atau


terjatuh

k. Berputar 360º

Petunjuk:
35

Melingkar dalam lingkaran penuh, berhenti sebentar, kemudian


putar lingkaran penuh ke arah lain.

() 4 mampu memutar 360 derajat dengan aman dalam 4 detik


atau kurang

() 3 mampu mengubah 360 derajat dengan aman satu sisi hanya


4 detik atau kurang

() 2 mampu mengubah 360 derajat dengan aman namun


perlahansaya membutuhkan pengawasan ketat atau mengatakan
secara verbal membutuhkan bantuan

() 0 membutuhkan bantuan saat berputar

l. Letakkan kaki secra


bergantian pada pijakan dan berpegangan pada kursi saat berdiri
mandiri

Petunjuk:

Tempatkan masing-masing kaki secara bergantian, lanjutkan


sampai setiap kaki menyentuh kursi kembali sebanyak 4 langkah

() 4 mampu berdiri mandiri dan aman dan menyelesaikan 8


langkah dalam 20 detik

() 3 mampu berdiri mandiri dan menyelesaikan 8 langkah


dalam> 20 detik

() 2 mampu menyelesaikan 4 langkah tanpa bantuan dengan


pengawasan

() 1 mampu menyelesaikan> 2 langkah membutuhkan bantuan


minimal

() 0 membutuhkan bantuan agar tidak terjatuh / tidak bisa dicoba


36

m. Berdiri dengan satu kaki


di depan

Petunjuk :

Tempatkan satu kaki langsung di depan yang lain, jika anda


merasa tidak bisa menempatkan kaki anda langsung di depan,
coba melangkah cukup jauh ke depan bahwa tumit kaki depan
anda berada di depan jari kaki kaki lainnya. (untuk skor 3
poin,panjang langkah harus melebihi panjang kaki lainnya dan
lebar posisi harus mendekati langkah normal subjek lebar)

Score :

() 4 mampu menempatkan kaki tandem secara mandiri dan tahan


30 detik

() 3 mampu menempatkan kaki di depan secara mandiri dan


tahan 30 detik

() 2 mampu mengambil langkah kecil secara mandiri dan tahan


30 detik

() 1 butuh bantuan untuk melangkah tapi bisa tahan 15 detik

() 0 kehilangan keseimbangan saat melangkah atau berdiri

n. Berdiri dengan satu kaki

Petunjuk :

Berdirilah satu kaki selama anda bisa tanpa memegangnya.

Score :

() 4 mampu mengangkat kaki secara mandiri dan tahan> 10


detik
37

() 3 mampu mengangkat kaki secara mandiri dan menahan 5-10


detik

() 2 mampu mengangkat kaki secara mandiri dan tahan ≥ 3 detik

() 1 mencoba mengangkat kaki tidak bisa menahan 3 detik


namun tetap berdiri mandiri.

() 0 tidak dapat mencoba kebutuhan untuk mencegah jatuh

B. Lembar Pencegahan Pasien Jatuh Dewasa (Morse)

Skor Resiko Jatuh Pasien pada saat pasien masuk rawat inap, ketika terjadi
perubahan kondisi / terapi, saat pasien ditransfer dari unit lain atau setelah
pasien jatuh :

Resiko Tinggi : >45

Resiiko Sedang : 25-44

Resiko Rendah : 0-24

Resiko Skala SKOR Tgl Tgl Tgl


Scoring Scoring Scoring 3
Riwayat Ya 25
Jatuh Tidak 0
Diagnosa Ya 15
sekunder >1 Tidak 0
Alat Bantu Bedrest dibantu perawat 0
Jalan Penopang, tongkat, 15
walker, Furniture 30
Terpasang Ya 20
infus Tidak 0
Cara Normal/bedrest/mobil 0
berjalan/ Lemah 10
pindah Terganggu 20
Status Orientasi sesuai 0
Mental kemampuan diri 15
38

Lupa keterbatasan diri


TOTAL NILAI
Lingkari golongan skor resiko jatuh setelah RT/RS/RR RT/RS/RR RT/RS/RR
setelah penilaian
Perawat penilai
Paraf
39
E. DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A., Achidat, A., Arizal, A. (2010). Penyakit Di Usia Tua . Jakarta : EGC.
hlm 248.

Ahtisham, Y., Jacoline, S., (2015). Integrating Nursing Theory and Process into
Practice: Virginia’s Henderson Need Theory. International Journal of Caring
Sciences. Vol. 8. Issue.2. May-August 2015.

Darmojo, B. (2011). Buku ajar geriatri; ilmu kesehatan usia lanjut edisi ke-4,
cetakan ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Herman, S, Kiely, D.K, Leveille, S, O’Neill, E, Cyberey, S, Bean, J.F. 2005.


Upper and Lower Limb Muscle Power Relationship in Mobility-limited
Older Adults. The Journals of Gerontology Series A: Biological Sciences
and Medical Sciences. Volume 60.

Gunarto S. 2005. Pengaruh Latihan Four Square Step Terhadap Keseimbangan


Pada Lansia. (Tesis). Jakarta : Program pendidikan ilmu kedokteran
fisika dan rehabilitas medic FKUI.

Kusnanto., Retno I, K., Nisfil M. (2007). Peningkatan Stabilitas Postural Pada


Lansia Melalui Balance Exercise . Media Ners, Vol. 1 No. 2, hlm 49,
Oktober 2007.

Lee, A., Lee, W., Khang, P., (2013). Preventing Falls in the Geriatric Population.
The Permanente Journal. Vol. 17 No. 4. Page 37-39.

Lord, S, R., Sherrington, C., Menz, H. (2001). Falls In Older People : Risk
Factors And Strategies For Prevention. Cambridge University.
http://www.cambridge.org.

Mubarak, Wahid Iqbal., Cahyatin, Santoso. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas


Konsep dan Aplikasi: Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.

Mubarak, Wahid Iqbal., Bambang Adi Santoso., Khoirul Rozikin., Siti Patonah.

1
(2006). Ilmu Keperawatan Komunitas 2: Teori dan Aplikasi dalam Praktik.
Jakarta: CV.Sagung Seto.

Munawwarah, M., & Rahmani, N. (2015). Perbedaan Four Square Step Exercises
Dan Single Leg Stand Balance Exercises Dalam Meningkatkan
Keseimbangan Berdiri Pada Lansia 60-74 Tahun. Jurnal Fisioterapi, Vol.
15 No. 2, Oktober 2015.

Nugroho, Wahjudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC

Nurkuncoro, I. (2015). Pengaruh Latihan Keseimbangan Terhadap Risiko Jatuh


Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budhi
Luhur Kasongan Bantul.Skripsi dipublikasikan. Yogyakarta : Program Studi
Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah.

Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika.

Pudjiastuti, S & Utomo, Budi. (2012). Fisioterapi pada lansia. EGC: Jakarta.

Stanley, M., Beare, P. G. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Egc:
Jakarta.

Sunaryo, R. W., Maisje Marylin Kuhu, T. S., Esti Dwi Widayanti, U. A., & Sugeng
Riyadi, A. K. (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik. Ygyakarta: Penerbiit
Andi.

Sagala, R. (2017). Pengaruh Balance Exercise Terhadap Keseimbangan Dan


Kekuatan Otot Lansia Dengan Resiko Jatuh Di Puskesmas Kecamatan
Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah.Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Nauli Husada Sibolga (Stikes Nauli Husada). Vol. 1 No. 2, Juli 2017.

Utomo, B. (2010). Hubungan Antara Kekuatan Otot Dan Daya Tahan Otot
Anggota Gerak Bawah Dengan Kemampuan Fungsional Lanjut Usia. Tesis
dipublikasikan. Surakarta : Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret.

2
3

Anda mungkin juga menyukai