Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/perawatan
selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan.
Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan
untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi
penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Asuhan keperawatan
gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan
kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan
yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara
bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan sering kali tidak terprediksi
baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan
sumber daya dan waktu, adanya saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi
kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan
sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan
dengan ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer
dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih
dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam
hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer
meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai
kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan
agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol
perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental control,
buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Pengkajian Gawat Darurat?
2. Bagaimana Metodologi Terhadap Pasien Gawat Darurat ?
1
3. Bagaimana Format Pengkajian Di IGD?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu Mengetahui Pengertian Pengkajian Gawat Darurat
2. Mahasiswa mampu Mengetahui Metodologi Terhadap Pasien Gawat Darurat
3. Mahasiswa mampu Mengetahui Format Pengkajian Di IGD

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pengkajian Kegawat Daruratan


Pengkajian kegawatdaruratan pada orang dewasa akan berbeda dengan pengkajian yang
dilakukan pada anak-anak dan lanjut usia yang membutuhkan kekhususan dalam pengkajian
maupun penanganannya. Menurut Pedoman The National Institue for Health and Clinical
Excellence (2007) menyatakan orang dewasa berusia sekitar 16 tahun atau lebih. Hasil
survey tahun 2007 dan 2010 menunjukkan bahwa 20% orang dewasa (18-64 tahun) di
Amerika Serikat menggunakan unit gawat darurat (UGD) dan 12 bulan terakhir sekitar
66,0% orang dewasa memiliki alasan mengunjungi UGD karena mengalami masalah medis
yang serius (Gindhi, Cohen, dan Kirzinger, 2012).
Unit gawat darurat harus selalu dalam keadaan siap siaga. Perawat gawat darurat harus
siap mengenali adanya abnormalitas pada sistem dan berpartisipasi dalam penatalaksanaan
pasien dengan tepat. Berbagai kondisi bisa saja terjadi, sehingga tidak ada alasan bagi
perawat yang tidak dapat mengkaji pasiennya dengan tepat. Mengikuti pendekatan
pengkajian terorganisasi merupakan hal yang sangat penting, tetapi yang paling penting
adalah gagasan bahwa setiap perawat harus membuat dan menggunakan secara konsisten
pendekatan yang bermakna bagi setiap individu.
Area pengkajian pertama harus selalu pengkajian sistem kardiovaskuler dan respirasi.
Pengkajian tersebut merupakan pengkajian utama yang dimandatkan pada semua perawat
gawat darurat untuk dilakukan pada semua pasien.Tanda vital merupakan indikator yang
signifikan dari kondisi saat ini dan kondisi berikutnya. Tubuh memiliki mekanisme luar
biasa, dan tanda vital berperan sebagai indikator yang menunjukkan fungsi mekanisme
kompensasi tersebut. Pengukuran tanda vital menjadi tren (diulang dari waktu ke waktu)
dan sering direkomendasikan di lingkungan gawat darurat sehingga dapat menggambarkan
status pasien secara akurat dan dapat memperkirakan hasil secara efektif (Lyer, P.W., Camp,
N.H.,2005). Pada pasien injury diperlukan penatalaksanaan yang agak berbeda dimana
pengkajian, diagnose, dan tindakan dilakukan secara bersamaan (Fulde, 2009). Pada
pengkajian awal pada pasien dengan trauma, apabila terdapat multiple injury maka
dilakukan pemeriksaan head to toe secara cepat, akan tetapi jika jika tidak multiple maka
segera lakukan focused assessment.

3
Pemeriksaan umum dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan utama,
seperti tingkat kesadaran, kualitas bicara, organisasi pikiran, dan tampilan umum. Satu
aspek yang penting dari pengkajian adalah pembentukan hubungan terapeutik. Perawat
harus memberikan privasi ketika berbicara dengan pasien, dan ia harus menggunakan
sentuhan dan penjelasan verbal untuk meyakinkan pasien sebelum melakukan pemeriksaan
dan prosedur.
Perawat Triase atau staf EMS mengirim pasien ke area pengobatan perawat utama yang
bertanggung jawab untuk perawatan individu selama berada di UGD. Yang harus
dimasukkan dalam perawatan dan harus dilakukan oleh perawat utama adalah pengkajian
pasien yang tepat waktu dan penetapan bukti tertulis pengkajian fisik lengkap pada setiap
pasien. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa perawat harus melakukan pengkajian fisik
lengkap pada pasien. Eksplorasi patofisiologi terkait dan riwayat sebelumnya, selanjutnya
dokumentasikan juga keluhan utama dan pengkajian tanda vital.
Prioritas pengkajian lainnya berkenaan dengan pasien trauma. Pemeriksaan utama
ABCD (airway, breathing, circulation, disability) harus dikaji dan didokumentasikan pada
saat kedatangan sebagai data dasar dan harus mencerminkan konsistensi di semua
pengkajian medis dan keperawatan. Pengkajian mekanisme cedera juga merupakan hal yang
sangat penting. Dalam hal ini petugas EMS juga sangat membantu. Informasi ini akan
sangat menghemat waktu dan menyelamatkan kehidupan dengan mengarahkan fokus klinis
ke struktur internal dan sistem tubuh yang paling rentan terhadap jenis cedera tertentu (Lyer,
P.W., Camp, N.H.,2005). Pengkajian di UGD dirancang untuk mengenali kegawatdaruratan
yang mengancam kehidupan dan mengumpulkan cukup data untuk menentukan prioritas
perawatan dalam waktu yang sangat sempit. Setiap saat, dan untuk setiap pasien, perawat
gawat darurat diharapkan untuk memperoleh dan mengkomunikasikan temuan yang tepat,
termasuk abnormalitas, pemburukan gejala, atau perubahan tingkat keakutan agar dapat
dilakukan penatalaksanaan pasien lebih lanjut
Perawat gawat darurat memberikan perawatan pada seluruh populasi termasuk orang
dewasa yang memiliki beragam pengalaman episodic, tiba-tiba, potensial, mengancam
kesehatan jiwa atau kondisi psikososial (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009). Untuk itu
diperlukan pengetahuan yang dalam dan pengalaman klinik dalam memberikan perawatan
dalam seluruh rentang kehidupan dan mengelola situasi kegawatdaruratan walaupun dalam
situasi yang ramai dan memerlukan penggunaan teknologi yang kompleks (Curtis, Murphy,

4
Hoy, dan Lewis, 2009). Menurut Fulde (2009) memberikan gambaran mengenai
penatalaksanaan yang harus dilakukan pada pasien yang mengalami injuri, antara lain;
primary survey, resusitasi, history dan secondary survey. Pada secondary survey yang
membedakan antara trauma dan non trauma adalah isi atau content dari prtanyaan yang
ditanyakan atau dikaji, contohnya pada pemeriksaan thoraks jika non trauma maka kita
mengkaji adakah jejas, adakah krepitasi sedangkan pada non trauma yang kita kaji adalah
adakah suara nafas tambahan, suara bising jantung, adakah penggunaan pace maker.
Sedangkan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis (2009) yang menyampaikan bahwa diperlukan
pendekatan yang sistematis dalam melakukan pengkajian pada pasien di unit gawat darurat,
antara lain; pengkajian riwayat kesehatan (history), potensial “bendera merah” (potensi
kritis), pemeriksaan fisik, investigasi dan intervensi keperawatan. Pada gambar 1 dapat
dilihat model pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD.
Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan bersamaan dan evaluasi disertai pengkajian ulang
sangat penting dilakukan sebagai kunci dalam proses keperawatan (Curtis, Murphy, Hoy,
dan Lewis, 2009)

Gambar 1. Pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD


(Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009)

Pendekatan sistematis yang digunakan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis (2009) dalam
pengkajian pasien dewasa di UGD akan memberikan data yang tepat dan cepat. Langkah
pertama kali adalah pengkajian riwayat kesehatan akan meliputi; riwayat nyeri, gejala yang
berhubungan, riwayat medis terdahulu/riwayat pembedahan sebelumnya, pengobatan, alergi,
periode menstruasi terakhir, kejadian yang signifikan selama 24 jam sebelum sakit/
mekanisme dari cedera, tindakan saat ini untuk mengatasi masalah, dan riwayat sosial.

5
Langkah kedua adalah pengkajian kritis (potential red flag) yang bertujuan menentukan
keakutan dari penyakit pasien dan kebutuhan tindakan yang segera berdasarkan kombinasi
tanda klinis dan faktor riwayat. Langkah ketiga adalah pengkajian klinis yang mengikuti
mnemonic ABCD (Airway, Breathing, Circulation dan Disability/Neurological function).
Pada langkah ketika ini, intervensi dapat segera dilakukan jika ditemukan ancaman kematian
pada salah satu elemen pengkajian ini, misalnya; jika ditemukan ketidakadekuatan
pernafasan yang diperlukan ventilator maka akan difokuskan pada pengkajian pernafasan
sebelum dilanjutkan ke pengkajian sirkulasi. Selanjutnya tahap keempat adalah investigasi
yang merupakan suatu tindakan dalam pemeriksaan diagnostik dan tes laboratorium untuk
mengidentifikasi perawatan definitive yang tepat. Langkah kelima sebagi langkah terakhir
adalah intervensi keperawatan yang dilakukan bersamaan dengan pengkajian keperawatan.
Hal tersebut didasarkan pada proses keperawatan yang interaktif dan non linear dimana
banyak tindakan yang akan terjadi secara simultan, misalnya ketika mengkaji pasien yang
baru tiba di UGD, sambil menggunakan pakaian pelindung dan alat pelindung diri lainnya
maka akan dilakukan juga pengkajian riwayat penyakit yang dialami (Curtis, Murphy, Hoy,
dan Lewis, 2009). Pengkajian ulang dilakukan sebagai respon pasien terhadap intervensi
keperawatan yang diberikan dan potensial kerusakan yang akan terjadi melalui komunikasi
secara tertulis dan verbal dari langkah pertama.

2.2 Metodologi Pengkajian Terhadap Pasien Gawat Darurat


Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen
penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari
satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan
mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde,
2009) :
1. Primary survey
2. Secondary survey
3. Resuscitation

6
4. History
5. Definitive care
1. Primary Surve
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah
yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain
(Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan

Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya
dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota
tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah
dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian
yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta
pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).

Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza.,
& Pletz, 2009) General Impressions :

1. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.


2. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
3. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
1.1 Langkah- Langkah Pengkajian Primary Survey
a. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan

7
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien
terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan
airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan
nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a. Adanya snoring atau gurgling
b. Stridor atau suara napas tidak normal
c. Agitasi (hipoksia)
d. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
e. Sianosis
3. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
a. Muntahan
b. Perdarahan
c. Gigi lepas atau hilang
d. Gigi palsu
e. Trauma wajah
4. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
6. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
a. Chin lift/jaw thrust
b. Lakukan suction (jika tersedia)
c. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
d. Lakukan intubasi.

8
b. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan
(Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
1. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
a. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds,
dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
c. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
3. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
4. Penilaian kembali status mental pasien.
5. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
a. Pemberian terapi oksigen
b. Bag-Valve Masker
c. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar),
jika diindikasikan
d. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
7. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.
c. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock
didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,

9
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena
itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman
untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin
membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade,
cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus
diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
1. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
3. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
4. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
a. Menentukan ada atau tidaknya
b. Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
c. Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
d. Regularity
5. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
6. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi.

d. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
Diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri

10
maupun stimulus verbal.
e. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien
hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai
dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika
diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
2. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau
kritis.(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

2. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head
to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi
pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai
membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial,
dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara
optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,
usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis

11
yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,
maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen
ini)
E :Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan rectal.
Untuk mengukur suhu inti menggunakan
kateter arteri pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau monitor tekanan
intracranial dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi penyakit, infeksi dan
injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais
irama jantung, frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari peningkatan usah

12
abernafas adalah adanya pernafasan cuping
hidung, retraksi interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor melalui oksimetri
nadi, dan hal ini penting bagi pasien dengan
gangguan respirasi, penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda vital yang
abnormal. Pengukurna dapat dilakukan di jari
tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari gambaran
kontraktilitas jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan vaskuler
perifer. Tekanan sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan seberapa kuat
darah itu dipompakan. Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui di UGD karena
berhubungan dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam pemberian
antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala
penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan,
nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis

13
atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),
apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2. Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3. Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau
adanya hemotimpanum
4. Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5. Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
6. Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna,kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban,
lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap
jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks

14
bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut
jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan
cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan
(penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri
tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen,
asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis,
bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk
mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah
kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri
lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra
abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,
ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus
halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi
bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita
untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau
kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen

15
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus
musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan
adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat,
karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh
memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada
semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan
uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung
janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10
sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat.
Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan
buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus
diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa
untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat
pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya
kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing
finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada
pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat
pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat
dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin

16
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat
didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila
belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul
adalah :
1. Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi
syok yang dpat berakibat fatal
2. Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan
ini dikenali.
3. Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita
mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet,
luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.

i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status
neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat
disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi
penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering
dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja,
sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah
bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala,
diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita,
karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan

17
ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori

3. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,
anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to
toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam
pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan
beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan
istilah Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan
sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling
banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik
atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan
tindakan definitif.

4. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment)
yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal Airway,
Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu
dari peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran
jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan
manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :


 Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto
thoraks, untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti

18
Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan oksigenasi tidak
adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan
khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor
serta menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan
resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung


dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex
patologis, deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori
dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


 Rontgen foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma
atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis

5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita
dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary
survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1. Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan
dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan
yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95%
pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi
perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus : Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises gastropati
kongestif

19
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur
varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding
dan non variceal bleeding) (Djumhana, 2011).
2. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini
dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi
infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat
menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial,
tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar
getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran
kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3. CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan
tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan
memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini
bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir,
CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku
emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat
mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan
tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan
pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti
penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4. USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan
gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk
menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat

20
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali
gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul
tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup
tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan
suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa
dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5. Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment,
sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic dan
metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam membantu diagnosis
meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi adalah pemeriksaan
foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena
pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan berbanding
pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan
pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya
emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah
prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah
sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki
pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran
(Widjaya,2002).

21
2.3 Format Pengkajian
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA ORANG
DEWASA

No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis ... ... ...
IDENTITAS

Nama : Jenis Kelamin : L/P Umur:


Agama : Status Perkawinan : Pendidikan :
Pekerjaan : Sumber informasi : Alamat :

TRIAGE P1 P2 P3 P4
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :

Mekanisme Cedera :

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) :  Baik  Tidak Baik, ... ... ...

22
PRIMER SURVEY
Diagnosa Keperawatan:
AIRWAY Inefektif airway b/d … … …
Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten Kriteria Hasil : … … …
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing 
Intervensi :
N/A 1. Manajemen airway;headtilt-chin
lift/jaw thrust
Suara Nafas : Snoring Gurgling
2. Pengambilan benda asing dengan
Stridor  N/A forcep
3. … …
Keluhan Lain: ... ...
4. … …

Diagnosa Keperawatan:
1. Inefektif pola nafas b/d … … …
BREATHING 2. Kerusakan pertukaran gas b/d … …

Gerakan dada:  Simetris  Asimetris Kriteria Hasil : … … …


Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Intervensi :
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur 1. Pemberian terapi oksigen … …
ltr/mnt, via… …
Retraksi otot dada :  Ada  N/A
2. Bantuan dengan Bag Valve Mask
Sesak Nafas :  Ada  N/A  RR : ... ... 3. Persiapan ventilator mekanik
4. … …
x/mnt
5. … …
Keluhan Lain: … …

Diagnosa Keperawatan:
1. Penurunan curah jantung b/d … … …
CIRCULATION 2. Inefektif perfusi jaringan b/d … … …

Nadi :  Teraba  Tidak Kriteria Hasil : … … …


teraba
Intervensi :
Sianosis :  Ya  Tidak 1. Lakukan CPR dan Defibrilasi
2. Kontrol perdarahan
CRT :  < 2 detik  > 2 detik
3. … …
Pendarahan :  Ya  Tidak ada 4. … …
Keluhan Lain: ... ...

Diagnosa Keperawatan:
1. Inefektif perfusi serebral b/d … … …
DISABILITY 2. Intoleransi aktivias b/d … … …
3. … … …

Respon : Alert  Verbal  Pain  Unrespon Kriteria Hasil : … … …


R SURVEY

Kesadaran :  CM  Delirium  Somnolen 

23
... ... ... Intervensi :
1. Berikan posisi head up 30 derajat
GCS :  Eye ...  Verbal ...  Motorik ...
2. Periksa kesadaran dann GCS tiap 5
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint  menit
3. … … …
Medriasis
4. … … …
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada 5. … … …
Keluhan Lain : … …

Diagnosa Keperawatan:
1. Kerusakan integritas jaringan b/d …
……
EXPOSURE 2. Kerusakan mobilitas fisik b/d … … …
3. … … …

Deformitas :  Ya  Kriteria Hasil : … … …


Tidak
Contusio :  Ya  Intervensi :
Tidak 1. Perawatan luka
Abrasi :  Ya  2. Heacting
Tidak 3. … … …
Penetrasi : Ya  4. … … …
Tidak
Laserasi : Ya 
Tidak
Edema : Ya 
Tidak
Keluhan Lain:
……
SECONDARY SURVEY

Diagnosa Keperawatan:
1. Regimen terapiutik inefektif b/d … …

ANAMNESA 2. Nyeri Akut b/d … … …
3. … … …

Riwayat Penyakit Saat Ini : … … … Kriteria Hasil : … … …

Alergi :
Intervensi :
1. … … …
Medikasi : 2. … … …

Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Makan Minum Terakhir:

Even/Peristiwa Penyebab:

Tanda Vital :

24
BP : N: S: RR :

PEMERIKSAAN FISIK Diagnosa Keperawatan:


1. … … …
2. … … …
3.
Kepala dan Leher: Kriteria Hasil : … … …
Inspeksi ... ...
Intervensi :
Palpasi ... ... 3. … … …
4. … … …
Dada:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Perkusi ... ...
Auskultasi ... ...
Abdomen:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Perkusi ... ...
Auskultasi ... ...
Pelvis:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...

Ektremitas Atas/Bawah:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Punggung :
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Neurologis :

Diagnosa Keperawatan:
1. … … …
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 2. … … …
3.

 RONTGEN  CT-SCAN  USG  EKG Kriteria Hasil : … … …


 ENDOSKOPI  Lain-lain, ... ...
Intervensi :
Hasil : 1. … … …
2. … … …

25
Tanggal Pengkajian : TANDA TANGAN PENGKAJI:
Jam :
Keterangan :
NAMA TERANG :

26
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa terdiri dari primary assessment,
secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic procedure.
Konsep primary assessment merupakan proses evaluasi awal yang sistematis dan
penanganan segera pada pasien dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat, yang
meliputi Airway maintenance, Breathing dan oxygenation, Circulation dan kontrol
perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis singkat dan Exposure dengan
kontrol lingkungan.
Konsep secondary assessment yang membahas mengenai proses anamnesis dan
pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan cedera yang dialami
pasien dewasa.
Konsep Focused assessment yang membahas mengenai beberapa komponen apengkajian
terfokus yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien dewasa di gawat
darurat.
Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses pengkajian gawat
darurat pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG, dll.
Perbedaan proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa dengan kondisi trauma
dan non trauma adalah pada isi pertanyaan yang ditanyakan (content) pada saat melakukan
anamnesis dan pemeriksaan head to toe yang dilakukan
3.2 Saran
Pada proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa bisa menggunakan format
pengkajian yang telah disusun oleh kelompok sehingga bisa membantu pengumpulan data
terkait keluhan dan kondisi pasien serta mempercepat pemberian penanganan pada pasien
secara tepat dan Perawat Lebih trampil dalam menangani masalah yang diderita pasien.

27
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor
course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment
process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency
Nursing Journal, 12; 130-136

Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.


Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and Basic
Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat darurat
(PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses dari
http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.

Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St.
Louis Missouri : Elsevier Mosby.

Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.

Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical
care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.

Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults aged
18-64: early release of estimates from the national health interview survey, January-June
2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-
june_2011.pdf

Holder, AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA.

Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical
emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuidelines.asp
x.

Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari
http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013

Lombardo, D. (2005). Patient asessment. In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s manual
of emergency care, ed 6. Philadelphia: Mosby.

Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal Respiratori
Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013.

28
Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005). Dokumentasi Keperawatan, Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC

Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.

Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info Media
Medis.

O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998). Emergency Care,
eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon & Schuster Co.

Parhusip. (2004). Bronkoskopi. Diakses dari http://repository.usu.ac.id tanggal 28 april 2013.

Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for pre-hospital
emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN 978-0-
9571028-2-8.

The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage,
assessment, investigation and early management of head injury in infant, children and
adults. London: The National Institue for Health and Clinical Excellence

Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed. Rina
Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

Vanderbilt Medical Center. (2011). Viewing and printing adult ED nursing assessment
documentation. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.mc.vanderbilt.edu/documents/sss2/files/View_Print_Adult_ED_Nurs_Assess_D
oc_2_10_11.doc

Widjaya, Cristina. (2002). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma pada diagnosis
stroke iskemik. FK. UNPAD. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id tanggal 28 april 2013.

Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.

29

Anda mungkin juga menyukai