Anda di halaman 1dari 30

PERBANDINGAN PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI CAPTOPRIL

DAN AMLODIPIN DITINJAU DARI KEBERHASILAN TERAPI PADA


PASIEN DI PUSKESMAS PASIR PANJANG

PROPOSAL PENELITIAN

DISUSUN OLEH :

GUSTI A.M.W.D. ANTARA


154111051

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

CITRA HUSADA MANDIRI

KUPANG

2017/2018
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi sendiri dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular.
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang berada diatas
batas normal atau optimal yaitu 120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk
diastolik. Hipertensi dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita atau
seseorang tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap hipertensi sebelum melakukan
proses pemeriksakan tekanan darah. Hipertensi yang terjadi dalam jangka waktu lama
dan terjadi secara terus menerus dapat memicu timbulnya stroke, seranganjantung,
gagal jantung dan merupakan salah satu faktor utama timbulnya gagal ginjal kronik
(Purnomo, 2009), sehingga untuk mencapai manfaat klinis, dilakukan penurunan
tekanan darah dengan terapi yang tepat (Tandililing Sefri et al., 2016).
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah
sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi
jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Banyak
faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam
terbentuknya hipertensi. Faktor-faktor tersebut adalah meningkatnya aktifitas sistem
saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi diurnal), mungkin berhubungan
dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial dll. Produksi berlebihan
hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor, asupan natrium (garam)
berlebihan, tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium, meningkatnya sekresi renin
sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron,
defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO) dan peptide natriuretik,
perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular
dan penanganan garam oleh ginjal, abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk
gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal, diabetes mellitus, resistensi insulin,
obesitas, meningkatnya aktivitas vascular growth factors, perubahan reseptor
adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung,
dan tonus vascular, dan Berubahnya transpor ion dalam sel. (Pharmaceutical care
Hipertensi, Depkes RI, 2006).

Penyakitt hipertensi sampai saat ini belum diketahui penyebabnya dengan


jelas, tetapi ditemukan beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan hipertensi
yaitu usia lanjut, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga, kelebihan berat badan
(obesitas) serta diikuti dengan kurang berolahraga, dan banyak mengkonsumsi
makanan yang terlalu berlemak dan mengandung kadar garam yang tinggi. Penyebab
hipertensi yang multifaktorial, mengakibatkan jumlah penderita yang cukup tinggi
(TandililingSefri et al,. 2016). Gejala yang timbul pada penyakit hipertensi dapat
dicegah dengan cara menurunkan berat badan berlebih (obesitas), pembatasan asupan
garam, melakukan olah raga teratur, berhenti merokok dan minum obat secara teratur
(Depkes, 2008) (Ramadhan Adam.R et al., 2018).
Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey
(NHNES III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka,
dan hanya 31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan
dibawah 140/90 mmHg. Di indonesia sendiri angka kejadian sangatlah tinggi di
tunjukan dari tingkat prevalensi pada tahun 2007 angka kejadian Hipertensi berada
pada 7,6persen dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan ankga kejadian hipertensi
yaitu 9,5 persen (Riskesdas, 2013). Hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi hipertensi
hasil wawancara di seluruh provinsi NTT adalah 7,2 persen dan berada di bawah
angka nasional yang mencapai 9,4 persen. Di kota kupang sendiri hipertensi termasuk
dalam 10 peringkat penyakit terbanyak, di kota kupang, hipertensi menduduki
peringkat ke-3 dengan total kejadian sebanyak 14.353 kejadian atau 8,8 % (Dinkes
kota kupang, 2016).
Peneliti memilh puskesmas Pasir Panjang sebagai tempat penelitian, karena
puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan masyarakat yang terdapat disetap
kecamatan. Hal ini menunjukan bahwa lokasi puskesmas yang mudahh djangkau oleh
masyarakat, sehingga masyarakat atau pasien dapat menjalani pengobatan dengan
baik. Obat – obatan yang sering diberikan dipuskesmas umumnya adalah obat generik
sehingga biaya yang dikeluarkan oleh pasien menjadi lebih murah dibandinggkan
pengobatan di Rumah Sakit.
Obat Antihipertensi yang sering diberkan kepada pasien hipertensi adalah
captopril, amlodipine, dan HCT, pemberian obat antihipertensi dipuskesmas pasir
panjang kepada pasien sesuai dengan ketersediaan obat dipuskesmas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini
antara lain :
1. Bagaimana tingkat perbandingan penggunaan obat antihipertensi Captopril
dan Amlodipine pada pasien Hipertensi di puskesmas Pasir Panjang ?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan terapi dari obat antihipertensi Captopril dan
Amlodipine pada pasien Hipertensi di puskesmas Pasir Panjang ?
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui tingkat perbandingan penggunaan obat antihipertensi
Captopril dan Amlodipine pada pasien hipertensi di Puskesmas Pasir
Panjang.
2) Untuk mengetahui tingkat keberhasilan terapi dari obat antihipertensi
Captopril dan Amlodipine pada pasien hipertensi di puskesmas Pasir
Panjang.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari tulisan ini, antara lain :
1) Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah mengetahui jenis golongan obat
Antihipertensi yang lebih sering digunakan dan yang lebih efektif dalam
penanganan hipertensi.
2) Manfaat Praktis
a) Bagi Peneliti
Meningkatkan keilmuan penulis dalam penelitian selanjutnya.
b) Bagi Peneliti Lain
Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi bahan kajian dan data untuk
penelitian selanjutnya, diberbagai segi dalam topik yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Hipertensi
A.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi
sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI,
2006). Atau Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar
dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat
(tenang).(Kemenkes RI, 2014). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National
Committee on Detection, Evaluation and Treatmentof High Blood Pressure
sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.

Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai


faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan
menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan
umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik,
perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak
jenuh. Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan
jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung
yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut
juga the silent killer yang merupakan salah satu factor paling beresiko
menyebabkan penyakit jantung.

A.2. Klasifikasi Hipertensi


a) Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi
essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa
mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini
telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan
patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun
dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor
genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer.
Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah
yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya
hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan
adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine,
pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006).
b) Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang
bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang
menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006).
Menurut Worlth Health Organization (WHO), tekanan darah normal
adalah kurang dari 135/85, dikatakan hipertensi bila lebih dari 140/90
mmgHg. Klasifikasi hipertensi menurut WHO berdasaran tekanan
diastolik adalah sebagai berikut :
 Hipertensi derajat I, yaitu jika tekanan diastoliknya 95-109 mmHg
 Hipertensi derajat II, yaitu jika tekanan diastoliknya 110-119 mmHg
 Hipertensi derajat III, yaitu jika tekanan diastoliknya lebih dari 120
mmHg.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah seseorang menderita
hipertensi atau tidak adalah dengan membuat suatu standar nilai ukur dari
tensi atau tekanan darah. salah satu contoh satndar yang digunakan yaitu
JNC (Joint National Committee).
JNC (Joint National Committee) telah mengeluarkan guideline
terbaru pada tahun 2013 yaitu JNC 8 mengenai tatalaksana hipertensi.
Mengingat bahwa hipertensi merupakan salah satu penyakit penyebab
kematian terbesar atau disebut juga sebagai “silent killer” dan masa
terapinya yang cukup lama sehingga perlu dieteksi secara dini dan
diterapi dengan terapi yang tepat (JNC VIII, 2013).
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 8 tahun 2013
Klasifikasi Tekanan darah Sistolik Tekanan darah Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 mmHg Dan <80 mmHg
Pre-Hipertensi 120-129 mmHg Dan <80 mmHg
Hipertensi Tahap 1 130-139 mmHg Atau 80-89 mmHg
Hipertensi Tahap 2 ≥140 mmHg Atau ≥ 90 mmHg
A.3. Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah
sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama
kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi.
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial
dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah:

 Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau


variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial dll.
 Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan
vasokonstriktor.
 Asupan natrium (garam) berlebihan.
 Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium.
 Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya
produksi angiotensin II dan aldosteron.
 Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan
peptide natriuretik.
 Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi
tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal.
 Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal
 Diabetes mellitus.
 Resistensi insulin.
 Obesitas.
 Meningkatnya aktivitas vascular growth factors.
 Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vascular.
 Berubahnya transpor ion dalam sel. (Pharmaceutical care Hipertensi,
Depkes RI, 2006).

Gambar 1: Mekanisme patofisiologi dari hipertensi. (Pharmaceutical


care Hipertensi, Depkes RI, 2006).

A.4. Faktor Resiko

1) Faktor yang tidak dapat diubah

a) Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Sejalan dengan bertambahnya
umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar,
sehingah lumen bisa menjadi sempit dan pembuluh darah menjadi lebih
kaku, sebagai akibatnya meningkatnya tekanan darah sistolik (Sartik et al.,
2017) Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih
besar. Pada usia lanjut, yaitu sekitar 40%, engan kematian sekitar diatas
65 tahun (Depkes RI 2013).
b) Jenis Kelamin
Factor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih
banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio
sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darrah sistolik. Pria diduga
memiliki gaya hidup yang cenderung meningkatkan tekanan darah
dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause,
prevalensi hipertensi pada wanita meningkat (Depkes RI 2013).
c) Keturunan (Genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
meningkatkan risiko hipertensi, jika seseorang mempunyai orang ta yang
salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut akan memiliki
resiko dua kali lipat untuk terkena hipertensi dari pada orangtuanya tidak
hipertensi. Faktor genetic juga mempertinggi resiko terkena hipertensi
terutama pada hipertensi primer (Sartik et al., 2017).
1) Faktor resiko yang dapat diubah
a) Kegemukan (Obesitas)
Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkolerasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik dimana risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi untuk
menderita hipertensi dibandingkan dengan seorang yang badanya normal.
Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memilki
berat badan lebih (overweight) (Depkes RI 2013).
b) Merokok
Perilaku merokok merupakan perbuatan yang tidak memiliki nilai positif
dalam semua hal terutama pada kesehatan. Merokok merupakan awal
yang mendatangkan penyakit degeneratife yang mematikan, seperti
kanker, dan penyakit jantung. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan
karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang measuk melalui aliran
darah dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi. Merokok akan
meningkatkan denyut jantung, sehingga kebutuhan oksigen otot-otot
jantung bertambah (Sartik et al., 2017).
c) Olahraga
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Dengan melakukan olahraga
aerobik yang teratur tekanan darah dapat turun, meskipun berat badan
belum turun (Depkes RI 2013). Olahraga banyak dihubungkan pengelolan
penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat
menurunkan tahanan perifer yang kan menurunkan tekanan darah, dan
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus
melakukan pekerjaan yang lebih berat karena kondisi tertentu (Sartik et
al., 2017).
d) Konsumsi garam berlebih
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik
cairan diluar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan
volume tekanan darah (Depkes RI 2013).
e) Dislipidemia
Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis,
yang kemudian mengakibatkan peningkatan tahanan perifer pembuluh
darah sehingga tekanan darah meningkat (Depkes RI 2013).
f) Konsumsi alkohol berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Diduga peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah
dan peningkatankekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan
darah (Depkes RI 2013).
g) Psikososial dan stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, marah, dendam, rasa
takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan
hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta kuat,
sehingga tekanan darah meningkat (Depkes RI 2013). Stres dapat
meningkatkan tekanan darah sewaktu. Hormone adrenalin akan
meningkatkan sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung
memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat
(Nuraini bianti, 2015).
A.5. Komplikasi
 Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan
kematian pada pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan
hasil dari perubahan struktur dan fungsi yang menyebabkan pembesaran
jantung kiri disfungsi diastolik, dan gagal jantung (Dipiroet.all., 2008).
 Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan
hemoragik otak. Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya
karena hemoragik. Insiden dari stroke meningkat secara progresif seiring
dengan peningkatan tekanan darah, khususnya pada usia > 65 tahun.
Pengobatan pada hipertensi menurunkan insiden baik stroke iskemik
ataupun stroke hemoragik. Storke merupakan kerusakan target organ
yang disebabkan hipertensi. Stroke timbul karena pendarahan, tekanan
intra kranial yang meninggi, atau akibat embolus yang terlepas dari
pembukuh non otak yang terpajan tekanan tinggi (Nuraini bianti, 2015).
 Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering
terjadi pada renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati,
tekanan darah harus 130/80 mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika
ada proteinuria (Dipiroet.all., 2008).
A.6. Pentalaksanaan Hipertensi
 Terapi nonfarmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting
dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan
hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang
sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4
sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan
tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya
hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi
pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.

Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan


darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau
gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendahnatrium;
aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah
pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi
satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat
membebaskan pasien dari menggunakan obat.10 Program diet yang
mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat badan
secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai
pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan
pendidikan ke pasien, dan dorongan moril. (JNC VII, 2003)

Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien


mengerti rasionalitas intervensi diet :
 Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang
dengan berat badan ideal.
 Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk
(overweight).
 Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat
menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk.
 Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga
prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat
berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit
kardiovaskular.
 Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat
menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.
 Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,
kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik
dengan pembatasan natrium. (JNC VII, 2003)
 Terapi Farmakologi
1. Diuretik
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk
kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi
diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat
yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk
mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan
antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat
antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan
efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop.
Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium
yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron
(spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang
lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton).
Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen
karena bukti mendukung indikasi khusus.Pada pasien dengan fungsi
ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk
menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik
yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi
sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal minum
diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang
2x/hari untuk meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan
penggunaan secara kronis, diuretik tiazide, diuretik penahan kalium,
dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang
nyata.Perbedaan farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid
adalah waktu paruh dan lama efek diuretiknya.
Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena
waktu paruh dari kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan
dengan lama kerja hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat
menurunkan tekanan darah terutama dengan mekanisme
extrarenal.Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila
dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain.
Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan
air; masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan. Efek
samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia,
hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan
disfungsi seksual. (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI,
2006).
2. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI)
ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada
kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan
kejadian gagal jantung dan stroke lebih sedikit dengan klortalidon
dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten
dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP).
Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan
penyekat beta, dan pada studi yang lain ACEI malah lebih efektif.
Lagi pula, ACEI mempunyai peranan lain pada pasien dengan
hipertensi plus kondisi lainnya. Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI
bukan merupakan terapi lini pertama pada kebanyakan pasien
hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik.
ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, dimana angiotensin adalah vasokonstriktor poten
yang juga merangsang sekresi aldosteron ACEI juga memblok
degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang
menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan
prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan
tekanan darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung jawab terhadap
efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan
ACEI. ACEI secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi
ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh
angiotensin II pada sel miokardial. (Pharmaceutical care Hipertensi,
Depkes RI, 2006).
3. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB)
Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur
enzim: RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang
melibatkan ACE, dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain
seperti chymase (lihat gambar 5).36 ACEI hanya menghambat efek
angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB
menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena
perbedaam ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek
angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung reseptor
angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek
angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia:
vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan
hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus.
ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi
efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi,
perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh
dengan penggunaan ARB. (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes
RI, 2006).
4. Beta blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi reseptorbeta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1
terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak
ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat
ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan
perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang
meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor
beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart
rate dan kekuatan kontraksi.
Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system rennin‐
angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac
output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang
diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan
beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga
terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal
juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol,
bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor
beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan
riwayat asma dan bronkhospasma harus hati‐ hati. Beta‐blocker yang
non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan
beta‐ 2.
Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal
sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol,
bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal
(misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat
aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini
menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari.
Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga
memblok efek adrenoseptor‐ alfa perifer. Obat lain, misalnya
celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator.
Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat
kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan
melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari
sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai
waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekalidalam
sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan
harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena
dapat terjadi fenomena rebound. (Pharmaceutical care Hipertensi,
Depkes RI, 2006).
5. Antagonis kalsium (CCB)
CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang
membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high
voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang
ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan
vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCB,
dihidropiridin dan nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu
sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada
perbedaan pada efek farmakodinami yang lain. Nondihidropiridin
(verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut jantung dan
memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil
menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang
bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah
atau menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi.
Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.
(Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006).
6. Alpha‐blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok
adrenoseptor alfa‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena
merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk
hipertensi yang resisten. (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes
RI, 2006).
Hipertensi dewasa 18thn

Terapkan gaya hidup sehat (disertai regimen obat


antihipertensi)

Mengatur target tekanan darah dan memulai terapi antihipertensi berdasarkan umur,
diabetes dan penyakit ginjal kronis (PGK)

Populasi umum tanpa diabetes dan PGK Disertai diabetes dan PGK

Umur ≥ 60 thn Umur ≥ 60 thn Semua umur di sertai Semua umur disertai
diabetes dan PGK diabetes tanpa PGK

Target tekanan darah Target tekanan darah


TDS < 150mmHg TDS < 140mmHg Target tekanan darah Target tekanan darah
TDD < 90mmHg TDD < 90mmHg TDS < 140mmHg TDS < 150mmHg
TDD < 90mmHg TDD < 90mmHg
Ras kulit putih Ras kulit hitam
Semuaras
Lini pertama diuretik Lini pertama diuretik Lini pertama ACEI atau
tiazid, ACEI atau ARB tiazid atau CCB ARB tunggal atau
atau CCB tunggal atau tunggal atau kombinasi kombinasi dengan kelas
kombinasi dengan kelas obat lain obat lain
B

Gambar.2. Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi


(JNC VIII, 2013)
B. LANDASAN TEORI
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara
potensial (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006). Atau Hipertensi adalah
meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau diastolik
lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit
dalam keadaan cukup istirahat (tenang).(Kemenkes RI, 2014). Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and
Treatmentof High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90
mmHg.
Untuk mengetahui tingkat perbandingan penggunaan obat antihipertensi Captopril
dan Amlodipine pada pasien hipertensi. Harus mengetahui cara kerja dan pemiihan
obat yang diberikan kepada pada pasien ketika mengalami hipertensi.
 Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI)

Captopril merupakan contoh obat dari ACEI. ACEI dianggap sebagai


terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi
ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih sedikit dengan
klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten dengan
hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan
lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi
yang lain ACEI malah lebih efektif. Lagi pula, ACEI mempunyai peranan lain
pada pasien dengan hipertensi plus kondisi lainnya. Kebanyakan klinisi setuju
bila ACEI bukan merupakan terapi lini pertama pada kebanyakan pasien
hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik.

ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,


dimana angiotensin adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi
aldosteron ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-
zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.
Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI,
tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk kering yang sering
dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif mencegah dan meregresi
hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh
angiotensin II pada sel miokardial. (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI,
2006).

 Antagonis kalsium (CCB)

Amlodipine merupakan contoh obat golongan CCB. CCB bekerja dengan


menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe voltage gated
calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T).
CCB yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan
vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan
nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas
antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinami
yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut
jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil
menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab
terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung
pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar
verapamil. (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006).

C. HIPOTESIS

Berdasarkan teori yang telah dipelajari menujukan bahwa captopril sering


diberikan kepada pasien karena Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi)
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari precursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat
padadarah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II
merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Sehinnga penggunaan captopril lebih banyak dari pada
amlodpin, bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain dan Rancangan penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional
dengan rancangan deskriptif. Pengambilan data dilakukan pada bulan
Januari-Maret 2018. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif
dengan menggunakan data yang tercantum pada rekam medis (RM) pasien
Puskesmas Pasir Panjang-Kota Kupang.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medik Puskesmas Pasir Panjang
Kota Kupang pada bulan Januari- Maret 2018.
C. Populasi dan Sampel penelitian
1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek


atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2003). Populasi penelitian ini
adalah semua pasien baru hipertensi grade 1 & 2 rawat jalan di
Puskesmas Pasir Panjang Kupang periode Januari- Maret 2018.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Pengambilan sampel dilakukan dalam
penelitian ini dengan metode purposive sampling, yaitu teknik
penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu dan criteria yang
telah ditentukan. Sampel pada penelitian ini adalah pasien dengan
diagnosis Hipertensi Grade 1 & 2 dengan kriteria yang dibatasi pada
rentan waktu bulan Januari- Maret 2018.
D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
1. Kriteria eksklusi
Merupakan keadaan yang menyebabkan subyek tidak memenuhi
kriteria inklusi sehingga tidak dapat diikut sertakan dalam penelitian.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
 Semua pasien baru hipertensi tingkat 1 &2 dengan kriteria
yang dibatasi pada rentan waktu bulan Januari sampai Maret
2018.
 Semua pasien baru yang rawat jalan selama 7 hari di
Puskesmas Pasir Panjang Kota Kupang
 Semua jenis kelamin dan usia antara ≥18 tahun sampai ≥ 60
tahun.
2. Kriteria inklusi
merupakan persyaratan umum yang dapat diikut sertakan ke dalam
penelitian. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
 Pasien baru periode Januari- Maret 2018 yang tidak
mengkonsumsi obat Amlodipin atau Kaptopril selama 7
hari di Puskesmas Pasir Panjang Kota Kupang.
B. Variabel Penelitian
Variabel adalah atribut seseorang, atau obyek, yang mempunyai variasi
antara satu orang dengan orang lain atau satu obyek dengan obyek lain
(Sugiyono, 2003). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Variable Independent (bebas)
Variable yang dapat mempengaruhi atau menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variable dependen (Sugiyono, 2003).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah adalah penggunaan obat
Kaptopril (X1) dan penggunaan obat Amlodipine (X2).
b. Variabel Dependent (terikat)
Adalah variabel yang dipengaruhi oleh variable bebas (Sugiyono,
2003). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah rasionalitas
penggunaan antibiotik keberhasilan terapi pada pasien Hipertensi (Y)
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah
menggunakan lembar checklist, rekam medis dan alat tulis.
rekam medik medik adalah berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis,
pengobatan tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang
penderita selama dirawat dirumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat
tinggal.

Kegunaan dari rekam medik :

a. Digunakan sebagai pemeliharaan kesehatan dan pengobatan


pasien.
b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap
professional yang berkontribusi pada perawatan penderita.
c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan
atau penderita dan penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal
di rumah sakit.
d. Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi
perawatan yang diberikan kepada pasien.
e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah
sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.
f. Menyediakan atau untuk digunakan dalam penelitian dan
pendidikan.
g. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data rekam
medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya
pengobatan seorang penderita (Permenkes, 2008)
F. Jalannya penelitian.
Studi pustaka

Perizinan Penelitian

Pengajuan izin ke Ketua Stikes Pengajuan izin ke Puskesmas


Citra Husadah Mandiri Kupang Pasir panjang – Kota Kupang

Pengambilan data

Kepala Puskesmas Pasir Panjang Bagian pelayanan penyakit


tidak Menular

pencatatan data penggunaan


Pencatatan pasien Hipertensi
Antihipertensi pada pasien Hipertensi

Menganalisis penelitian yaitu penelusuran data dan pencatatan data rekam medik yang
memenuhi kriteria inklusi

Menganalisis data perbandingan penggunaan menggunakan metode study


perbandingan

Pembahasan dan kesimpulan

Gambar 3. Alur jalannya penelitian


Gambar 3. Alur jalannya penelitian

G. Analisis Hasil
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode studi
perbandingan dengan cara melihat dari rekam medic pasien yang menggunakan
kaptopril dan amlodipin, yang menunjukan hasil penurunan tekanan darah pada
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tandililing Sefri dkk.(2016). PROFIL PENGGUNAAN OBAT PASIEN


HIPERTENSI ESENSIALDI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH I LAGALIGO KABUPATEN LUWU TIMUR
PERIODE JANUARI-DESEMBER TAHUN 2014. Journal of Pharmacy Vol.
3 (1) : 49 – 56.
2. Ramadhan Adam.R. dkk (2018). EVALUASI PENGGUNAAN OBAT
ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN DI
PUSKESMAS SEMPAJA SAMARINDA.Jurnal Sains dan Kesehatan. 2015.
Vol 1. No 2.
3. Depkes RI. 2008.Laporan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional
tahun 2007.CV Metronusaprima: Jakarta.
4. Depkes RI. 2013 .Laporan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional
tahun 2007 & 2013 .CV Metronusaprima: Jakarta.
5. Dinkes kota kupang.2016. Profil Kesehatan Kota Kupan 2016.Kota Kupang
6. Purnomo, H., 2009, “Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Yang Paling
Mematikan”, Buana Pustaka,Yogyakarta
7. Syahdrajat T. 2017. Panduan penelitian untuk skripsi kedokteran dan
kesehatan.Jakarta: Dian Rakyat Jakarta.
8. Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Samuel MD, et al. 2014. Clinical
practice guidlines for the management of hypertension in the community.
The Journal of Clinical Hypertension. 16(1):14-26.
9. Notoatmodjo, soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
10. Departemen Kesehatan RI.2006. Pharmaceutical care untuk penyakit
Hipetensi. Jakarta.
11. JNC VIII. 2003. The seventh report of the joint National committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure
Hypertension. JAMA.
12. JNC VIII. 2014. The Eight Report of the joint National Committee.
Hypertension Guidelines. An in-depth Guide. Am J Manag Care.
13. Sugiyono.2003.Metode Penelitian Administras. Bandung : Alfabeta.
14. Bianti Nuraini. 2015. Journal of Pharmacy. Risk Factors Of Hypertension.
Volume 4: hal 10-19.
15. Sartik et al.2017. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor Resiko dan
Angka Kejadian Hipertensi pada penduduk Palembang. Volume 8(3) : Hal
180-191.

Anda mungkin juga menyukai