Anda di halaman 1dari 7

Patogenesis dan patomekanisme pada demam typhoid

Infeksi didapat dengan cara menelan makanan ataupun minuman yang terkontaminasi
dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urine, sekret
saluran nafas atau pus penderita yang terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis
diperlukan S typhi dalam dosis tertentu, dari percobaan didapatkan bahwa jumlah kuman yang
diperlukan untuk menimbulkan penyakit berkisar antara satu juta dan satu milyar.
Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas, ada
kemungkinan sebagian kuman ini masuk kedalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di
faring. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan yang disebabkan
karena kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai
kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-kadang tepi
lidah tampak hiperemis dan tremor.
Di lambung organisme menemui suasana asam dengan pH rendah dimana kuman
dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor pelindung
terhadap terjadinya infeksi. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganisme menemui
dua mekanisme pertahanan tubuh yaitu motilitas dan flora norma usus. Penurunan motilitas
usus karena faktor obat-obatan maupun anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan
timbulnya komplikasi, serta memperpanjang keadaan karier konvalesen. Flora norma usus
berada dilapisan mukus atau menempel pada epitel saluran cerna dan akan berkompetisi untuk
mendapatkan kebutuhan metabolik untuk keperluan pertumbuhan, memproduksi asam amino
rantai pendek sehingga menurunkan suasana sam serta memproduksi zat antibakteria seperti
colicin.
Di usus halus organisme ini dengan cepat menginvasi sel epitel dan tinggal di lamina
propria. Proses invasi dan penetrasi mikroorganisme ke dalam mukosa intestinal ini
merupakan proses yang sangat penting dalam patogenesis dema tifoid. Di lamina propria
mikroorganisme melepaskan endotoksin yaitu suatu molekul lipopolisakarida yang terdapat
pada permukaan luar dinding sel sebagai patogen usus.
Penulis lain mengatakan bahwa mikroorganisme ini bersinggungan dengan ujung vili
usus halus sebelum melakukan penetrasi langsung ke dalam mukosa usu halus dan
berkembangbiak terlebih dahulu selama beberapa hari. Penetrasi mukosa pada manusia
berlangsung didaerah jejunum. Pada saat ini biakan tinja positif beberapa hari setelah menelan
mikroorganisme dan menjadi negatif ketika timbul gejala klinis bakteriemia. Penelitian secara
in vitro yang dilakukan oleh leung dkk meyimpulkan bahwa keberhasilan Salmonella untuk
menimbulkan infeksi bergantung pada proses invasi, kemampuan untuk bertahan di dalam sel
dan kemampuan untuk mengadakan replikasi di dalamnya. Salmonella menghasilkan
beberapa macam protein sebelum menempel di permukaan sel pejamu. Induksi protein
tersebut diatur oleh lingkungan mikro (kadar oksigen yang rendah), fase pertumbuhan dan
molekul pada permukaan sel epitel. Bila molekul bakteri tidak diinduksi, maka bakteri tidak
dapat melakukan perlekatan atau invasi.
Di lamina propria organisme mengalami fagositosis dan berada di dalam sel
mononuklear. Mikroorganisme yang berada di dalam sel mononuklear ini masuk ke folikel
limfoid intestin atau nodus peyer dan mengadakan multiplikasi. Selanjutnya sel yang sudah
terinfeksi berjalan melalui nodus limfe intestinal regional dan duktus thorasikus menuju
sistem sirkulasi sistemik dan menyebar serta menginfeksi sistem retikuloendotelial di hati dan
limpa. Mikroorganisme mengalami penyaringan di hati dan limpa serta berkembang biak di
dalam kedua organ ini, di kelenjar getah bening mesenterika dan kelenjar limfoid intestinal.
Kelainan patologis paling penting pada demam tifoid disebabkan karena ploriferasi sel
endotel yang berasal dari RES. Akumulasi sel-sel tersebut menyumbat pembuluh darah di
daerah tersebut menyebabkan nekrosis lokal dan kerusakan jaringan. Secara patologis
didapatkan filtrasi sel mononuklear, hiperplasia dan nekrosis lokal di hepar, lien, sumsum
tulang, nodus Peyer ileum terminal dan jejunum, dan kelenjar limfe mesenterik. Penderita
mengalami hepatomegali; hepar menjadi hiperemis, lunak, kekuningan dan sedikit membesar.
Secara mikroskopis terdapat infiltrasi sel mononuklear di daerah portal dan terjadi nekrosis
sentral. Saluran empedu mungkin meradang memberikan gejala kolesistitis akut.
Splenomegali disebabkan karena pembesaran yang bersifat lunak, kemerahan dan kongesti
yang berisi nodul tifoid.
Perubahan pada jaringan limfoid di daerah ileocecal yang timbul selama demam tifoid
dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : hiperplasia, nekrosis jaringan, ulserasi dan
penyembuhan. Adanya perubahan pada nodus Peyer tersebut menyebabkan penderita
mengalami gejala intestinal yaitu nyeri perut, diare, perdarahan dan perforasi. Diare dengan
gambaran pea soup merupakan karakteristik yang khas, dijumpai pada kurang dari 50% kasus
dan biasanya timbul pada minggu kedua. Karena respon imunologi yang terlibat dalam
patogenesis demam tifoid adalah sel mononuklear maka keterlibatan sel PMN hanya sedikit
dan umumnya tidak terjadi pelepasan prostaglandin sehingga tidak terjadi aktivasi adenil
siklase. Hal ini menerangkan mengapa pada serotipe invasif tidak didapatkan adanya diare.
Tetapi bila terjadi diare hal ini mendahului fase demam enterik.
Nyeri perut pada demam tifoid dapat bersifat menyebar atau terlokalisir di bawah
daerah ileum terminalis. Nyeri ini disebabkan karena mediator yang dilepaskan pada proses
inflamasi (histamin, bradikinin, dan serotonin) merangsang ujung saraf sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Selain itu rasa nyeri dapat disebabkan peregangan kapsul yang
membungkus hati dan limpa karena organ tersebut membesar.
Pendarahan dapat timbul apabila proses nekrosis sudah mengenai lapisan mukosa dan
submukosa sehingga terjadi erosi pada pembuluh darah. Konstipasi dapat terjadi pada ulserasi
tahap lanjut dan merupakan tanda prognosis yang buruk. Ulkus biasanya menyembuh sendiri
tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi juga dapat menembus lapisan serosa sehingga
terjadi perforasi. Pada keadaan ini tampaknya ada distensi abdomen yang ditandai dengan
meteorismus yang disebabkan konstipasi dan penumpukan tinja.
Pada kasus yang berat dapat terjadi degenerasi sel beberapa organ yaitu ginjal jantung
dan paru-paru. Ginjal tampak membengkak dan mengalami degenerasi pada epitel tubular
bagian proksimal. Tampak pula gambaran pyelonefritis dengan kerusakan struktur yang
menetap. Dapat pula terlihat gambaran glomerulonefritis dan sindrome nefrotik. Perubahan
yang terjadi pada miokard berupa nekrosis dengan perubahan degeneratif dan fatty
infiltration. Hal inilah yang menimbulkan bradikardi relatif. Pada paru tampak perubahan
granuolmatus yang memberi gambaran bronkitis dan pneumonia.
Hoffman mengemukakan bahwa gambaran klinis yang khas pada demam tifoid
merupakan hasil antara interaksi antara Salmonella typhi dan makrofag di hati, limpa, kelenjar
limfoid intestinal dan mesenterika. Sejumlah besar bakteri yang berada di jaringan limfoid
intestinal, hati limpa dan sumsum tulang menyebabkan inflamasi ditempat tersebut dan
melepaskan mediator inflamasi dari marofag. Makrofag memproduksi sitokin, diantaranya
tumor necrosing factor (cachectin), IL-1 dan interferon. Makrofag juga merupakan sumber
metabolit arakhidonat dan reactive oxygen intermediates. Produk makrofag tersebut diatas
dapat meyebabkanperangsangan sistem imun, ketidakstabilan vaskuler,permulaan mekanisme
pembekuan, penekanan sistem imun, demam dan kelainan lain yang berhubungan dengan
demam tifoid. Tampaknya endotoksin merangsang makrofag untuk melepaskan produknya
yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestin maupun sel hati dan secara sistemik
menyebabkan gejala klinis demam tifoid.
Endotoksin yang dilepaskan ke dalam sitem sirkulasi berperan sebagai zat pirogen ,
akan tetapi bila dilepaskan dan terkonsentrasi di suatu tempat akan bertindak sebagai mediator
pada proses infamasi lokal. Walaupun endotoksisn lipopolisakarida kuman Salmonella typhi
merupakan zat pirogenik bagi manusia, produk bakteri beredar dalam sirkulasi dalam jumlah
kecil dan tampaknya tidak berperan dalam patogenesis demam tifoid. Sebaliknya Davies dkk
(1994) melaporkan penelitian mengenai berbagai pirogen endogen yang menyebabkan demam
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan merangsang pelepasan sitokin dari sel
monosit.
Endotoksin juga berperan langsung pada aktivasi faktor XII (faktor Hageman) di jalur
pembekuan sehingga terjadi perubahan fibrinogen yang larut menjadi fibrinogen yang tidak
tidak larut dalam darah. Selajutnya terjadi penyebaran bekuan darah sehingga terjadi
penyumbatan pada pembuluh darah organ vital termasuk paru-paru, ginjal, otak dan hati
menimbulkan kegagalan fungsi organ dan gangguan mental. Selain melaui aktifitas faktor
XII, terjadinya DIC mungkin disebabkan hipoksia jaringan, kerusakan endotel dan trombosis
sehingga menjadi agregasi intravaskuler.
Perubahan metabolisme akibat pengaruh endotoksin adalah hiperglikemia sesaat yang
diikuti hipoglikemia. Dalam jumlah besar endotoksin dapat menyebabkan hipotensi dan syok.
Endotoksin juga menimbulkan respon inflamasi terutama sel mononuklear dan dapat
mengaktifasi komplemen C3 melalui jalur alternatif sehingga terjadi fagositosis. Komplemen
C3 yang sudah dalam bentuk aktif yaitu C3b dan C3bi berperan sebagai opsonin yang
memacu terjadinya proses fagositosis oleh sel pembawa reseptor C3b yaitu sel neutrofil dan
makrofag.
Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag berhubungan dengan terjadinya respon imen
seluler. Beberapa macam sitokin yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosing factor beta
(TNFa-b) mempunyai efek lokal pada endotel, lekosit dan fibroblas maupun efek sistemik
dengan merangsang terjadinya fase akut. Efek IL-1 dan TNF pada agregasi endotel yaitu
meningkatkan adhesi molekul, sekresi sitokin dan growth factor, produksi metabolit asam
arakidonat dan nitric oxide. TNF juga menyebabkan terjadinya agregasi dan aktivasi neutrofil,
pelepasan enzim proteolitik dari sel mesenkim sehingga terjadi nekrosis jaringan. Selain efek
lokal, IL-1 dan TNF juga merangsang reaksi fase akut yang bersifat sistemik sebagai respon
terhadap infeksi yaitu demam, letargi, penurunan nafsu makan, peningkatan sintesa protein di
hati, kaheksia, pelepasan neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi dan pelepasan hormon
adrenokortikotropik.
Makrofag selain merupakan tempat utama untuk replikasi bakteri, juga merupakan
sumber utama metabolit asam arakidonat dan reactive oxygen mediator. Sekitar 25%
fosfolipid asam lemak pada sel makrofag merupakan asam arakidonat, sedangkan pada sel
lain hanya sekitar 3-10% Asam arakidonat mengalami metabolisme melalui jalur
siklooksigenase dan lipoksigenase. Jalur lipooksigenase menghasilkan leukotrien, sedangkan
jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin, prostasilin dan tromboksan. Metabolit
tersebut menyebabkan terjadinya instabilitas kapiler, demam,nekrosis selular dan kelainan
pembekuan darah; semuanya terdapat pada demam tifoid.
Interleukin-1 juga menempel pada reseptor khusus di hipotalamus anterior dan
merangsang terjadinya sintesa prostaglandin secara lokal. Prostaglandin E bekerja dengan
meningkatkan thermal set point, mengurangi kehilangan panas, menghambat proses
berkeringat, menstimulasi terjadinya vasokonstriksi dan menggigil sehingga penderita
mengalami demam. Dari hasil penelitian yang dilakuakn Bhutta (1997), pada anak yang
menderita demam tifoid didapatkan peningkatan sitokin palsama dan adanya hubungan
anatara konsentrasi IL-6 dengan beratnya penyakit.
Selain gambaran diatas TNF juga mempunyai efek merangsang pembentukan nitric
oxide (NO), NO adalah suatu gas radikal bebas yang mudah larut dengan masa hidup yang
pendek, dibuat oleh sel endotel dan makrofag. Di susunan saraf pusat NO berfungsi sebagai
pengatur pelepasan neurotransmiter maupun pengatur aliran darah. Selain itu NO mempunyai
efek relaksasi otot polos dan vasodilatasi yang berperan pada efek hipotensi pada syok septik.
Vasodilatasi yang terjadi pada pembuluh darah meningen menyebabkan penderita mengeluh
sakit kepala. Sedangkan NO radikal bebas bersifat sitotoksik terhadap sel mikroba dan
manusia.
Patogenesis terjadinya kelainan neuropsikiatri hingga kini masih belum diketahui
pasti. Dulu hal ini diduga karena endotoksin yang beredar berikatan dengan struktur basis
cranii terutama bagian yang berhubungan dengan fungsi retikulotalamus vegetatif.
Sebenarnya perubahan yang terjadi di SSP jarang terjadi, tetapi bisa didapatkan enselopati
dengan cincin perdarahan, trombus kapiler, demielinisasi perivaskuler, mielitis transversa dan
sindroma Guillian Barre. Davies menyatakan bahwa gangguan mental yang terjadi oleh
karena pengaruh endotoksin disebabkan karena terjadi sumbatan fibrin pada pembuluh darah
(DIC).
Radikal bebas derivat oksigen dilepaskan oleh neutrofil dan makrofag setelah terjadi
perangsangn oleh agen kemotaktik, komplek imun atau aktifitas fagositik. Superoksida (O2-)
dirubah ke dalam betuk H2O2, OH- dan derivat NO yang bersifat toksik. Mediator tersebut
berperan pada proses kerusakan jaringan termasuk kerusakan endotel dengan trombosis dan
peningkatan pemeabilitas kapiler, aktivasi protease dan inaktifasi antiprotease sehingga terjadi
pemecahan matriks ekstraseluler serta kerusakan langsung pada berbagai tipe sel termasuk
eritrosit.
Anemia dapat terjadi pada penderita demam tfoid dan disebabkan antara lain karena
pengaruh berbagai sitokin dan mediator sehingga terjadi depresi sumsum tulang dan
penghentian tahap pematangan eritrosit maupun kerusaka langsung pada eritrosit yang tampak
sebagai hemolisis ringan. Selain itu anemia bisa disebabkan karena perdarahan pada usus
halus.
Pengaruh depresi sumsum tulang yang lain dalah leukopeni dan trombositopeni.
Sedangkan gambaran lekositosis di sebabkan karena efek IL-1 dan TNF pada peninkatan
pelepasan neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi. Hasil akhir julah lekosit yang beredar
dalam sirkulasi darah bergantung pada faktor mana yang lebih dominan. Berkurangnya
jumlah eosinofil biasanya bersamaan dengan terjadinya infeksi akut, hal ini disebabkan oleh
chemotactive factor yang bekerja sebagai mediator, menyebabkan migrasi dari eosinofil
sehingga eosinofil menghilang dari peredaran darah. Pada penyakit infeksi terjadi pergeseran
ke kiri, yaitu terjadi peningkatan jumlah leukosit monolobulus dan bilobus (neutrofil batang)
dalam darah perifer yang disebabkan karena kebutuhan netrofil meningkat. Schilling
mengemukakan tahapan yang terjadi pada proses infeksi adalah :

1. Lekosit dengan pergeseran ke kiri, Besarnya pergeseran bergantung pada beratnya


infeksidimana efek regenerasi lebih besar daripada efek degenerasi pada sumsum
tulang. Eosinofil dan basofil menghilang kemudian diikuti dengan terjadinya
penurunan limfosit dan monosit.
2. lekosit berkurang, diikuti dengan berkurangnya pergeseran kekiri eosinofil dan basofil
muncul kembali dan kemudian terjadi peningkatan limfosit dan eosinofil.
3. Terjadi limfositosis relatif dengan eosinofilia dan pergeseran mulai ke arah normal

Penderita yang telah sembuhdari demam tifoid biasanya mendapatkan kekebalan


sepanjang hidup, jarang didapatkan serangan tifoid yang kedua. Adanya aglutinin O, H
dan Vi dalam serum menunjukkan kekebalan dalam demam tifoid tetapi lebih bersifat
diagnostik. Hormick dalam penelitiannya menyebautkan bahwa ada korelasi antara
antibodi tersebut sebelum terpapar Salmonella dengan ketahanan terhadap reinfeksi atau
kekambuhan. Kekambuhan terjadi pada 5% penderita walaupun saat itu sudah terbentuk
antibodi. Tampaknya untuk eradikasi infeksi Salmonella yang bersifat intraselular
diperlukan fungsi imunitas selular yang lengkap.

Anda mungkin juga menyukai