Makyun Subuki
22 Maret 2006
Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional
tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97).
Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik fungsional yang menawarkan prinsip
yang sangat berbeda dari linguistik formal dalam memandang bahasa. Secara eksternal,
linguis fungsional berpendapat bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam
prinsip kognitif yang sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa
penjelasan linguistik harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis
(Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya
dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang
dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).
1. Metafora
Secara sederhana, metafora dapat didefinisikan sebagai penggunaan kata atau frasa
untuk makna yang berbeda dari makna literalnya (Cruse 2004: 198). Metafora
berhubungan dengan dua struktur fundamental lainnya, yaitu: pertama, skema
pencitraan (image schemas), dasar kerangka kerja konseptual yang terbentuk dari
persepsi dan seluruh pengalaman; dan kedua, dengan apa yang di sebut Fauconnier
(1985 dan 1994), sebagaimana dikutip oleh Saeed (1997: 302), sebagai ruang mental
(mental spaces), yaitu struktur mental tempat pembicara menata cara untuk
memanipulasi referensi bagi berbagai entitas.
Secara tradisional, terdapat dua pandangan tentang peran metafora dalam bahasa,
pertama, classical view atau referential view (Jaszczolt 2002: 346). Berpijak pada sikap
Aristoteles dalam memandang metafora sebagai bentuk bahasa dekoratif yang bukan
bahasa biasa, metafora didefinisikan sebagai alat retoris yang digunakan pada saat
tertentu dan untuk menghasilkan efek tertentu. Dengan demikian, pandangan ini
1
menganggap metafora sebagai bentuk bahasa tidak normal yang menuntut sebentuk
interpretasi dari pendengar atau pembacanya (Saeed 1997: 303); kedua, romantic view,
berpendapat bahwa metafora menyatu dalam bahasa dan pikiran secara integral sebagai
cara mempersepsi dunia.
Dengan dimensi yang agak berbeda, Searle (1979), seperti dikutip oleh Jaszczolt
(2002: 346), memilah pandangan tradisional tentang metafora dalam dua pandangan
lainnya, yaitu: pertama, comparison view, berpendapat bahwa ungkapan metaforis
membandingkan persamaan atau kemiripan antarobjek yang ada di dalamnya; dan
kedua, interaction view, beranggapan bahwa terdapat oposisi verbal (interaction)
antara makna ungkapan yang digunakan secara metaforis dengan maknanya secara
literal.
Menurut Searle, seperti dikutip Jaszczolt (2002: 347), kedua pandangan tersebut
keliru berdasarkan dua alasan. Pertama, ungkapan metaforis memiliki kebenarannya
sendiri secara aktual, terlepas dari makna literalnya. Dengan kata lain, unsur
persamaan antarobjek tersebut tidak dibutuhkan. Kedua, dengan mengandaikan adanya
oposisi verbal dalam ungkapan metaforis, maka metafora lebih dekat pada makna
literalnya daripada makna yang dikehendaki pembicaranya. Fenomena metafora,
menurutnya, mirip dengan fenomena ironi dan indirect speech-act. Atas dasar ini, ia
berpendapat bahwa makna yang metaforis adalah yang bukan makna kalimat, karena
makna kalimat adalah makna literal. Lebih mudahnya, makna kalimat adalah makna
literal, dan makna pembicara adalah makna metaforis. Ia lebih jauh menganggap
metafora sebagai gejala pragmatik, yaitu pemberian maksud yang berbeda makna dari
apa yang diungkapkan.
Senada dengan Searle, Max Black, seorang filosof Amerika, menolak pandangan
tentang pembandingan dalam comparison view yang diturunkan dari pemahaman
terhadap makna literal. Black menggambarkan metafora sebagai proyeksi seperangkat
implikasi asosiatif (analogi) yang dapat berupa kesamaan, kemiripan, dan atau analogi
dari satu entitas (secondary subject) ke entitas lain (primary subject) (Cruse 2004: 199-
200).
Berlawanan dengan Searle, Cohen (1979), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002:
351), berpendapat bahwa makna pada metafora terletak pada kalimat dan bukan
pembicara. Ia percaya bahwa terdapat pembatalan ciri tertentu objek lain yang
tergambar melalui komponen semantik makna kata, misalnya kata GOLD 'emas' memiliki
makna metaforisnya sendiri karena pasti menolak ciri yang dimiliki METAL 'baja'. Senada
dengan Cohen, Haas, seperti dikutip Cruse (2004: 199), berpendapat bahwa setiap kata
2
memiliki medan semantik yang mencakup seluruh kemungkinan pemanfaatannya
secara kontekstual dalam batas normal. Konteks yang paling normal ini, akibat
tingginya tingkat pemakaian, membentuk wilayah inti medan semantik (core).
Sebaliknya, interaksi antara dua kata sebagai bentuk pemanfaatan kontekstual akan
membentuk medan semantik baru yang menunjuk pada makna baru pula, salah satunya
metafora. Dengan ini mereka menolak adanya gagasan pure idea, private thought, dan
hidden intentions dalam metafora dan mendekati metafora dengan analisis yang mirip
dengan analisis komponensial.
container body
3
explosion loss of control
b. korespondensi epistemik
explodes. control.
explosion. level.
Korespondensi yang disebutkan Lakoff ini bersifat parsial, karena tidak semua unsur,
misalnya aspek memasak dalam HEAT OF FLUID dan ANGER, dapat berkorespondensi secara baik.
Lebih jauh lagi, Lakoff, seperti dikutip Jaszczolt (2002: 355), menyebutkan
bahwa terdapat ungkapan metaforis yang didasarkan atas konseptualisasi metaforis,
contoh.
4
I'm feeling up.
(5) HAVING CONTROL OR FORCE IS UP, BEING SUBJECT TO CONTROL OR FORCE IS DOWN.
He is under my control.
Contoh di atas menunjukkan bahwa metafora bukanlah bahasa figuratif yang berbeda
dari bahasa normal, tetapi berada inheren dalam persepsi dan konseptualisasi kita
terhadap dunia (Jaszczolt 2002: 355).
Terdapat empat ciri metafora: pertama, conventionality (Saeed 1997: 305), berkaitan
dengan kebaruan ide di dalamnya. Ciri ini digunakan oleh penganut semantik kognitif
untuk menyanggah pendapat konsep dead metaphor, metafora yang, akibat sering
digunakan, maknanya bergerak dari makna metaforis menuju makna literal. Menurut
mereka, metafora tersebut tidaklah mati, hanya terkonvensionalisasi, menjadi lebih
umum, dan tanpa disadari menguasai konseptualisasi kita (Jaszczolt 2002: 355).
Kedua, sistematicity (Saeed 1997: 305-306), berkaitan tidak hanya dengan cara
metafora mengambil sebuah titik perbandingan antara berbagai macam objek, tetapi
juga menyangkut bagaimana metafora membangun kerangka logis bagi dirinya sendiri.
Misalnya, berkaitan dengan ungkapan metaforis LIFE IS A JOURNEY, kelahiran sering
diidentikkan dengan kedatangan, misalnya She has a baby on the way; sedangkan
kematian identik dengan keberangkatan, misalnya He's gone.
Ketiga, asymmetry (Saeed 1997: 306), metafora tidak membandingkan dua objek
dari dua arah, melainkan satu arah, dan perbandingannya tidak bersifat sebanding.
Metafora hanya mendorong pendengar untuk melekatkan ciri milik source untuk
target.
2. Image Schemas
Image Schemas berkaitan dengan cara kita membangun dasar struktur konseptual yang
kita gunakan dalam mengorganisir pikiran kita melintasi bidang tingkatan yang lebih
5
abstrak (Saeed 1997: 308). Image schemas ini berkait dengan empat macam satuan
semantik dasar, yaitu category, quantity, time, dan force.
Kategori berkaitan dengan istilah container atau wilayah tertentu daru ruang
(Cruse 2004: 204). Segala sesuatu dapat masuk berada dalam kategori tertentu, atau
dapat dimasukkan dan dikeluarkan dari kategori tertentu (containment). Kategorisasi
ini bersifat transitif, misalnya jika A berada dalam B dan B berada dalam C, maka A
berada dalam C.
Time dapat dipahami dalam kaitannya dengan benda (things), lokasi (location),
jarak (distances), dan gerak (motion) (Cruse 2004: 204). Waktu adalah benda,
melampau benda berarti gerak, interval waktu berarti jarak, masa depan berada di
depan dan masa lalu berada di belakang (lokasi). Waktu dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu bergerak (moving), misalnya The holyday passed peacefully enough; dan
statis (stationary), misalnya We're coming up to exam time.
Daftar Acuan
Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics. New York: Cambridge University Press.
6
Teori Blending
also called conceptual integration or view application, is a theory of cognition developed by Gilles
Fauconnier and Mark Turner. According to this theory, elements and vital relations from diverse
scenarios are "blended" in a subconscious process, which is assumed to be ubiquitous to everyday
thought and language.
juga disebut integrasi konseptual atau tampilan aplikasi, adalah teori kognisi yang dikembangkan
oleh Gilles Fauconnier dan Mark Turner. Menurut teori ini, unsur-unsur dan hubungan penting
dari skenario yang beragam ini adalah "blended" dalam proses alam bawah sadar, yang
diasumsikan di mana-mana pemikiran sehari-hari dan berbahasa.