Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEBAHASAN

A. PENGERTIAN BAHASA KEDUA

1. Menurut Chaer dan Agustina

Pemerolehan bahasa kedua adalah rentang bertahap yang dimulai dari menguasai bahasa pertama (B1)
ditambaha sedikit mengetahui bahasa kedua (B2), lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap,
sampai akhirnya penguasaan B2 sama baiknya dengan B1.

2. Kholid A. Harras

Bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh anak setelah mereka memperoleh bahasa pertama.

3. Henry Guntur Tarigan

Pemerolehan bahasa kedua diartikan dengan mengajar dan belajar bahasa asing dan atau bahasa kedua
lainnya.

4. Menurut Dardjowidjojo

Pemerolehan bahasa kedua diperoleh melalui proses orang dewasa yang belajar di kelas adalah
pembelajaran secara formal di perbandingkan dengan bahasa permata secara alamiah.

5. Wikipedia

Pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang belajar bahasa kedua disamping bahasa ibu,
mereka mengacu pada aspek sadar dan bawah sadar dari masing-masing proses. Bahasa kedua atau B2
biasanya mengacu pada semua bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu mereka, yang juga disebut
bahasa pertama, B1.

B. PROSES PEMEROLEHAN KEMAMPUAN BAHASA KEDUA

Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mepunyai dua cara yang
berbeda mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua seperti:

a. Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak.


Mengembangankan kemampuan dalam bahasa pertama mereka, Pemerolehan bahasa merupakan
proses bawah sadar (sadar/disengaja). Pemrolehan bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa
mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.

b. Untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa.
Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya mempelajarinya. Akan tetapi ada
hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa,
kemampuan memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat
memanfaatka sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Jadi,
pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa.

C. CIRI-CIRI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Bersifat Klasikal

Mengapa dikatakan klasikal? Hal tersebut disebabkan bahwa siswa BIPA dengan kesadaran mempelajari
bahasa kedua. Selain itu, situasi yang berlangsung pun formal. Siswa BIPA belajar bahasa keduanya
berdasarkan aturan-aturan. Dengan kata lain tidak belajar apa adanya, tidak asal-asalan, namun
mengikuti konsep-konsep yang telah dibuat pengajar. Akibatnya, para siswa BIPA kurang memiliki
keterampilan penggunaan bahasa Indonesia secara langsung/sehari-hari.

Namun, ada keuntungan utama yang didapatkan. Dengan sistem yang terkonsep, maka pengetahuan dan
wawasan tentang bahasa kedua akan didapatkan secara bertahap, tidak acak-acakan. Keuntungan
lainnya adalah dalam keterampilan menulis. Pada umumnya, mereka lebih memiliki keterampilan dan
kemampuan ketika menulis aneka karya tulis formal.

2. Adanya Keterlibatan Budaya

Terkadang seseorang belum menyadari, keberadaan adat dan budaya sebagai aspek yang amat berperan
dalam pembelajaran pemerolehan bahasa. Orang dari luar negeri yang hendak belajar bahasa Indonesia,
mereka berlatarbelakang budaya-budaya yang beragam, berbeda dengan budaya Indonesia. Saat mereka
belajar mengenai bahasa Indonesia, otomatis, mereka pun mempelajari budaya negeri kita. Hal ini akan
sangat berguna ketika berkomunikasi dengan warga Indonesia secara langsung.

Hal yang dianggap sopan di negeri mereka, belum tentu dimaklumi di negeri kita. Begitu pun sebaliknya.
Itu hanyalah sedikit gambaran mengenai mengapa budaya terlibat dalam pembelajaran bahasa. Dengan
mengenal perbedaan setiap bangsa, akan menghindari adanya salah paham antara siswa BIPA dan
gurunya.

Contoh sederhana adalah pengucapan "Good morning".

Kalimat di atas bermakna selamat pagi. Meski pun tengah jam sebelas siang, bule mengucapkan hal
tersebut, Sementara itu, di negeri kita, seharusnya pukul sebelas siang mengucapkan: "Selamat siang".

Sebuah penyesuaian tentu bukanlah hal yang gampang. Bagi siswa BIPA, terkadang mereka mengalami
sebuah gangguan psikologis, yanik rasa krisis dan panik. Gangguan semacam itu dikenal sebagai culture
shock. Contoh-contoh culture shock adalah di bawah ini.

terasing

kesedihan

ragu-ragu

stres

kemarahan

banyak pikiran hingga badan tidak fit

ingin pulang ke negeri asal

perasaan sendiri

Untuk meminimalisir hal di ats, sudah seharusnya, guru BIPA yang baik pun mempelajari adat dan
budaya siswanya. Dengan demikian, pembelajaran berlangsung dengan lebih baik dan lancar.

3. Peranan Usia Pembelajar

Dilihat berdasarkan sudut pandang usia, anak-anak usia dini lebih baik dalam melafalkan kata-kata
dibandingkan dengan orang dewasa. Mengapa begitu? Alat pengucapan orang dewasa bisa dibilang
sudah kaku.

Sebaliknya untuk hal morfologi dan sintaksis. Manusia dewasa lebih mampu dan terampil dibandingkan
dengan anak-anak kecil. Mengapa demikian? Karena orang dewasa telah memahami ilmu-ilmu yang
lebih banyak sebelumnya. Seperti yang diketahui, memperoleh ilmu bahasa adalah pembelajaran yang
bertahap.

Berdasarkan penelitian di pembelajaran BIPA, orang-orang dewasa akan lebih cepat dalam pembelajar
bahasa kedua ketika mereka secara langsung hadir di lingkungan pembicara aslinya. Mengapa demikian?
Alasannya adalah otak. Otak orang dewasa lebih sempurna dibandingkan dengan otak mereka sewaktu
kecil.

D. STRATEGI KEMAMPUAN BAHASA KEDUA

1. Pengertian Strategi

Istilah strategi diambil dari bahasa inggris, strategy. Dalam bidang non militer, konsep strategi digunakan
untuk hal-hal yang bebar dari makna permusuhan. Kata itu mengandung makna rencana, tahapan, atau
kesadaran untuk bertindak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam bidang pendidikan
strategi diberi makna baru dan ditransformasikan kedalam strategi belajar. Dalam hal ini, strategi belajar
didefinisikan sebagai langkah-langkah yang dilakukan oleh pembelajar untuk menambah kemampuan,
penyimpanan, pemroduksian kembali, dan penggunaan informasi.

Berkaitan dengan definisi tersebut dimunculkan definisi baru strategi belajar bahasa, yaitu tindakan
khusus yang dilakukan oleh pembelajar untuk mempermudah, mempercepat, lebih menikmati, lebih
mudah memahami secara langsung, lebih efektif, dan lebih mudah ditransfer ke dalam situasi yang baru
(Oxfroad, 1992:8).

Dalam pengertian baru ini, strategi belajar bahasa memiliki kandungan makna sebagai berikut.

1) Strategi belajar bahasa memiliki kontribusi langsung pada tujuan utama kemampuan/pembelajaran
bahasa, yaitu kopetensi komunikatif.

2) Strategi belajar bahasa menghendaki pembelajar mudah memahami sendiri secara langsung B2.

3) Strategi belajar bahasa mengembangkan pedoman bagi pengajar.

4) Strategi belajar bahasa berorientasi pada pemecahan masalah terhadap tugas bahasa sasaran (B2).

5) Strategi belajar bahasa merupakan aktifitas khusus yang dilakukan oleh pembelajar B2, bukan
dilakuan oleh pengajar atau calon pengajar.

6) Strategi belajar bahasa melibatkan banyak aspek pembelajar, bukan hanya kognisi.

7) Strategi belajar bahasa mendorong pembelajaran bahasa, baik langsung maupun tidak langsung.

8) Strategi belajar bahasa tidak selalu mudah untuk diobservasi. Ada beberapa strategi belajar yang
hanya dapat diamati memlalui video tape atau simulasi tertutup.
9) Strategi belajar bahasa merupakan proses yang dilakukan dengan sadar dan terencana.

10) Strategi belajar bahasa merupakan aktivitas yang dapat dipelajari dan dilatihkan.

11) Strategi belajar bahasa mengandung sub-subaktivitas yang fleksibel.

12) Strategi belajar bahasa dipengarui oleh beragam factor internal dan eksternal dari pembelajar.

2. Macam-Macam Strategi Kemampuan Bahasa Kedua

Oxford(1992) membagi kemampuan B2 ke dalam dua keompok besar, yaitu strategi langsung dan
strategi tak langsung.

a. Strategi langsung adalah strategi yang melibatkan secara langsung sasaran bahasa terhadap
pembelajar. Semua strategi langsung memerlukan proses mental, tetapi proses dan tujuannya berbeda-
beda. Strategi langsung ini dugunakan oleh pembelajar untuk mengatasi masalah kebahasaannya melalui
sentuhan langsung dengan materi kebahasaan yang ada. Strategi ini terdiri atas tiga: (a) strategi memori,
(b) strategi kognitif, dan (c) strategi kompensasi.

Strategi memori ini dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mengingat informasi yang potensial untuk
diproduksi. Strategi memori merefleksikan hal-hal yang sederhana: mengatur hal-hal yang sedrhana,
membuat asosiasi, dan melakukan penelaahan. Dan strategi ini sangat relevan untuk pembelajaran
kosakata. Dalam mempelajarai kosakata, strategi memori memiliki kelebihan (1) memungkinkan
pemebalajar menyimpan informasi verbal dan kemudian mencarinya kembali saat dibutuhkan untuk
berkomunikasi dan (2) pada tingkat penelaahan membantu keterangan dari tingkat fakta sampai pada
tingkat keterampilan yang dalam hal ini berupa pengetahuan procedural dan otomatis.

Beberapa teknik dapat membantu pengembangan strategi ini, seperti teknik visual, teknik oral, dan
kinestetik atau indra peraba. Secara teoritis, strategi ini memiliki sumbangan yang kuat untuk
pembelajaran B2. Namun dari hasil penelitian didapatkan informasi bahwa jarang pembelajar yang
melaporkan bahwa dirinya menggunakan strategi memori ini.

Strategi kedua pada strategi secara langsung adalah strategi kognitif. Strategi ini memiliki banyak variasi
dalam aplikasinya: mengulang materi, menganalisis ungkapan, dan meringkas. Fungsi utama strategi ini
adalah manipulasi atau trasformasi bahasa sasaran oleh pembelajar. Dan peranan yang paling penting
dalam strategi ini adalah untuk pelatihan, penerimaan, dan pengiriman pesan, serta penganalisaan dan
penalaran.

Strategi kompensasi merupakan strategi dalam paying strategi secara langsung yang ketiga. Strategi ini
dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan atau ketidakmampuan pembelajar dalam struktur B2 atau
khususnya dalam kosakata. Strategi ini dapat dikembangkan baik ketika pembelajar sedang aktif
berbahasa secara reseptif maupun secara produktif. Untuk pembelajar yang sedang berbahasa secara
reseptif, aktivitas yang termasuk strategi ini adalah penekanan secara masuk akal. Menerka sebenarnya
merupakan suatu cara khusus memperoleh keterangan yang baru atau mengiterprestasikan data dengan
menggunakana konteks berdasarkan pengalaman kehidupan pribadi. Menerka secara masuk akal ini
dapat dilakuakn dengan petunjuk linguistik (kosakata struktur) dan melalui petunjuk nonlinguistik
(koteks, konteks, situasi, pengetahuan tentang dunia).

Sebaliknya, untuk pembelajar yang sedang berbahasa secara produktif, aktivitas yang termasuk pada
strategi ini adalah penguasaan batasan dalam berbicara atau menulis. Aktivitas yang dapat ditempuh
untuk pengembangannya adalah (a) pengalihan ke bahasa ibu, (b) penggunaan mimic atau gerak badan
(gestur), (c) penghindaran komunikasi secara spesifik dan menyeluruh, (d) penyesuaian pesan menjadi
lebih sederhana, (e) penciptaan kata-kata baru untuk mewadahi ide yang dikomunikasikan, dan (f)
penggunaan kata yang berlimpah dan sinonim.

b. Strategi secara tidak langsung adalah strategi untuk pengaturan belajar bahasa secara umum. Jika
strategi secara langsung memiliki hubungan langsung dengan pemecahan problema kebahasaan, strategi
tak langsung tidak. Ibarat peran direktur permainan, strategi tak langsung memerankan berbagai fungsi
sebagai tuan rumah: menfokuskan, mengorganisasi, menimbang, mengecek, mengoreksi,
menumbuhkan percaya diri dan menghibur para pelaku, demikian pula menyakinkan agar para aktor
(strategi langsung) dapat bekerja sama dengan para aktor lain dalam dalam permainan (penyelesaian
tugas B2). Yang tergolong strategi tak langsung ini adalah (a) strategi metakognitif, untuk mengkoordinasi
proses belajar, (b) strategi afektif, untuk mengatur aspek emosi, (c) strategi social, untuk belajar dengan
orang lain.

3. Penerapan Strategi Tak Langsung Dalam Empat Keterampilan Berbahasa

Telah dikemukakan, strategi taklangsung memberi dukungan terhadap strategi langsung dalam
membantu pembelajar memecahkan tugas-tugas kebahasaannya. Dukungan itu dalam bentuk
pemfokusan, perencanaan, pencarian peluang, ngendalian kecemasan, peningkatan kerja sama dan rasa
simpati, dan sebagainya. Strategi ini dikelompokkan menjadi tiga substrategi: a) Metakognitif, b) Afektif,
dan c) sosial.

Aktivitas dalam substrategi metakognitif antara lain berbentuk memusatkan aktivitas belajar,
menyusun rencana belajar, dan mengevaluasi aktivitas belajar masing-masing. Substrategi ini bermanfaat
bagi semua keterampilan berbahasa. Sebagai contoh penerapan substrategi ini adalah penggunaan
teknik penelaahan dan penghubungan dengan materi sebelumnya. Pembelajar bahasa Jawa sebagai B2
mula-mula mempreview (membaca-baca terlebih dahulu untuk menyiapkan diri) kosakata dalam bahasa
Jawa yang dipakai untuk mengungkapkan rasa kesal, misalnya aduh, jangkrik, gombal amoh, maling
gering, jarke wae, karepmu, dan sebagainya, karena pembelajar mengetahui bahwa mereka akan diminta
untuk mengecek ungkapan-ungkapan tersebut dalam aspek yang lebih besar, yaitu penggunaannya
dalam kalimat. Saat mem-preview disamping membaca-baca, pembelajar mendemonstrasikan tiaptiap
ungkapan ke dalam kalimat, menambahkan ungkapan bahasa Jawa lain yang telah mereka kenal,
akhirnya mereka membandingkan ungkapan-ungkapan kekesalan dalam bahasa Jawa tersebut dengan
ungkapan dalam B1 mereka.substrategi retakognitif ini yang bermanfaat untuk pembelajaran berbahasa
lisan (menyimak dan berbicara) adalah menunda produksi ucapan untuk memfokuskan penyimakan.
substrategi afektif membantu pembelajar mengurangi rasa bosan dan menimbulkan rasa nyaman dalam
belajar bahasa. Substrategi ini dikembangkan dengan tiga teknik, yaitu:

a) Mengurangi kecemasan.

b) Memotivasi diri sendiri.

c) Mengontrol temperatur emosi diri..

E. KARAKTERISTIK PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Karakteristik pembelajar bahasa kedua dapat dilihat dari berbagai ruang lingkup, seperti dari segi
intelegensi, kepribadian, dan sebagainya. Dalam pembahasan ini, karakteristik pembelajar bahasa kedua
tersebut meliputi

(1) usia, (2) intelegensi, (3) kepribadian, (4) emosi, (5) sikap pembelajar, (6) motivasi, (7) minat dan
bakat. Di bawah ini adalah penjelasan dari pembagian karakteristik tersebut.

1. Usia

Perbedaan usia pembelajar bahasa kedua akan membedakan pula proses pembelajaran bahasa
keduanya. Brown (2000) membagi usia pembelajar bahasa kedua atau bahasa asing ke dalam tiga
kelompok umur, yakni anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Ia menyebutkan bahwa perbedaan antara
anak-anak dan orang dewasa adalah masa pubertas, sedangkan kelompok remaja ia kategorikan sebagai
masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Senada dengan Brown, Apeltauer (1997) juga
mengelompokan usia pembelajar berdasarkan masa pubertas, yakni sebelum dan sesudah pubertas.

a. Anak-Anak

Pengajar perlu memperhatikan bahwa anak-anak (hingga usia 11 tahun) masih berada dalam fase
perkembangan yang disebut oleh Piaget (1972) dengan masa operasi konkret (concrete operation),
sehingga aturan-aturan, penjelasan, serta pembicaraan lainnya mengenai bahasa yang bersifat abstrak
haruslah diberikan dengan sangat hati-hati. Anak-anak sangat berpusat pada konteks di sini dan sekarang
(here and now), yakni memperhatikan tujuan bahasa secara fungsional. Mereka tidak seperti orang
dewasa yang sangat memperhatikan ketepatan (correctness), dan mereka juga belum mampu untuk
memahami metabahasa yang dipakai oleh orang dewasa dalam menggambarkan dan menjelaskan
konsep linguistik.

Anak-anak memang bersifat inovatif dalam pembelajaran bahasa, namun mereka juga masih
menemukan hambatan dalam proses tersebut. Dibanding orang dewasa, anak-anak biasanya lebih
sensitif terhadap rekan seusia mereka. Hal ini dikarenakan ego mereka masih dibentuk , sehingga cara
penyampaian tertentu dapat diartikan negatif. Tugas seorang pengajar untuk membantu siswa
menghalau rintangan-rintangan tersebut, misalnya dengan bersikjap sabar dan suportif dalam
membangun self-esteem siswa, dan sebisa mungkin menggali partisipasi oral dari para siswa, terutama
siswa yang pendiam.

b. Remaja

Remaja merupakan usia transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada usia 12 tahun, kapasitas
intelektual diperkaya juga dengan kemampuan berpikir operasional, sehingga persoalan yang kompleks
dapat diselesaikan dengan pemikiran logis, sehingga secara teoretis, materi linguistik yang bersifat
metabahasa sudah dapat diberikan. Rentang perhatian semakin bertambah sebagai akibat dari
kematangan intelektual, namun dengan banyaknya diversi dalam kehidupan remaja, maka rentang ini
dapat kembali berkurang dengan mudah. Varietas input sensorik masih penting, namun meningkatnya
kemampuan abstraksi akan mengurangi esensi alamiah dari kelima indera. Faktor-faktor seperti ego,
image diri, dan self-esteem, berada di puncak. Remaja menjadi sangat sensitif akan perspektif orang lain
mengenai perubahan dirinya baik secara fisik maupun emosional, sehingga seorang pengajar harus
mampu menjaga self-esteem mereka diantaranya dengan menghindari mempermalukan siswa,
menghargai bakat dan kekuatan setiap siswa, mentolerir kesalahan dan kekeliruan, mengurangi
kompetisi antara teman sekelas, dan mendorong terjalinnya kerja sama dalam kelompok kecil. Siswa
kelas menengah tentunya lebih menyerupai orang dewasa dalam kemampuan mereka mengubah diversi
keadaan dari konteks di sini dan sekarang menjadi konteks komunikatif dalam membahas aturan tata
bahasa atau menerapkan kosakata.

c. Dewasa

Orang dewasa lebih mampu menangani aturan-aturan dan konsep-konsep abstrak. Namun, terlalu
banyak generalisasi abstrak mengenai penggunaan, serta kurangnya bahasa yang nyata juga dapat
mematikan bagi orang dewasa. Orang dewasa memiliki rentang perhatian yang lebih tinggi meskipun
saat mereka menghadapi hal yang secara intrinsik tidak mereka sukai. Namun, usaha untuk tetap
menjaga aktivitas kelas agar menyenangkan perlu juga dilaksanakan pada saat mengajar orang dewasa.
Input sensori pada orang dewasa tidak harus selalu beragam, akan tetapi, salah satu rahasia dari kelas
orang dewasa yang hidup adalah seruan mereka akan beragam indera (multiple sense). Orang dewasa
sering kali membawa self-esteem global ke dalam ruang kelas, sehingga kerapuhan ego tidaklah sekritis
pada anak-anak. Orang dewasa dengan kemampuan berpikir abstrak yang lebih berkembang lebih
mampu memahami sebuah segmen bahasa yang tidak terikat konteks.

Ketiga kelompok usia ini tentunya memiliki tingkat perolehan yang berbeda khususnya dalam
pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Pada pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing,
anak-anak unggul dalam penguasaan pelafalan serta intonasi. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut
mereka jauh memiliki kespontanan dan tidak takut untuk melakukan kesalahan. Sebaliknya orang
dewasa cenderung untuk mengucapkan maupun memilih kata demi kata secara hati-hati untuk
menghindari kesalahan. Dalam konteks pembelajaran di ruang kelas, Brown (2000) mengemukakan
bahwa kelompok dewasa lebih unggul dibanding kelompok anak-anak dan remaja. Hal ini dikarenakan
orang dewasa memiliki rentang perhatian (attention span) yang lebih tinggi dibanding kedua kelompok
lainnya. Anak-anak memiliki rentang perhatian yang rendah, dan hal ini akan tampak pada saat mereka
harus berhadapan dengan hal-hal yang menurut mereka membosankan, tidak berguna, ataupun terlalu
sulit, misalnya dalam konteks belajar di ruang kelas yang menuntut mereka untuk “serius” dalam durasi
yang cukup lama.

Dibandingkan dengan anak-anak, remaja memiliki rentang perhatian yang lebih tinggi, hal ini sesuai
dengan bertambahnya usia mereka menuju usia dewasa, namun rentang perhatian ini bisa kembali
berkurang karena sangat dipengaruhi oleh pelbagai peristiwa yang dialami oleh remaja dalam
kehidupannya.

Jika anak-anak unggul dalam bidang fonologi, yakni dalam hal pelafalan dan intonasi, maka orang
dewasa jauh lebih unggul dalam bidang morfologi dan sintaksis, yakni dalam hal cakupan kosakata yang
dikuasainya serta penguasaan mereka akan aturan dan konsep yang abstrak, yakni konsep yang tidak
terikat dengan konteks di sini dan sekarang. Hal ini dikarenakan orang dewasa memiliki kemampuan
kognitif yang lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya.

2. Intelegensi (IQ)

Intelegensi atau tingkat kecerdasan merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia. Ada anggapan
bahwa anak dengan intelegensi tinggi pasti lebih cepat berhasil dalam pemerolehan bahasa keduanya.
Anggapan tersebut sepertinya kurang tepat, karena menurut Gardner (1983) dalam Harras (2009: 76)
intelegensi atau IQ seseorang dibedakan ke dalam beberapa pembagian. Pembagian tersebut meliputi:

· Kebahasaan;

· berpikir secara logis dan matematis;

· spasial (kemampuan untuk menemukan jalan pada suatu lingkungan, kemampuan untuk
membentuk image kental dari realita dan dengan cepat dapat ditransformasikan);

· musikal (kemampuan mengucapkan serta kemampuan menerima nada dan pola irama tertentu);

· kinestik-badani (ketangkasan dalam atletik, seni tari);

· interpersonal (kemampuan memahami orang lain, bagaimana bertenggang rasa);

· intrapersonal (kemampuan menginstropeksi, melihat dirinya sendiri, mengembangkan apa yang


disebut sense of identity);
Dalam kaitannya dengan kemampuan memperoleh bahasa kedua, klasifikasi Gardner sangat membantu.
Potensi kebahasaan seseorang setidaknya dapat diamati dari intelegensi kebahasaannya sebagai
masukan utamanya.

John B. Caroll mengembangkan teori tentang empat kemampuan yang mempengaruhi kecerdasan
pembelajaran bahasa kedua. Empat kemampuan itu adalah sebagai berikut:

1. Phonetic Coding Ability

Kemampuan ini berhubungan dengan kemampuan menganalisis perbedaan bunyi, menghubungkan


suatu simbol dengan bunyi tertentu, serta menguasai hubungan tersebut.

2. Gramatical Sensitivity

Adalah kemampuan memahami fungsi gramatical dari elemen bahasa (kata, frasa, dsb) dalam sebuah
kalimat tanpa pelatihan atau pembelajaran.

3. Rote Learning Ability

Adalah kemampuan mempelajari hubungan antara kata-kata di dalam suatu bahasa asing dan artinya.

4. Inductive Learning Ability

Adalah kemampuan untuk menginduksi atau membutikan aturan atau rumus tertentu dalam struktur
gramatika sebuah bahasa.

Paul Pimsleur yang terkenal dengan Pimsleur Language Learning System, dalam penelitiannya
menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan bahasa. Pimsleur menggolongkan level-
level tertentu dalam belajar bahasa sebagai indikasi prestasi akademik secara umum seperti halnya
motivasi. Dia juga menyatakan bahwa belajar bahasa dipengaruhi oleh faktor kemampuan verbal yang
mengindikasikan kemampuan siswa dalam menguasai mekanisme belajar bahasa asing dalam
mendengarkan dan memproduksi frasa dalam sebuah bahasa asing.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat dikatakan bahwa kecerdasan bahasa memuat kemampuan
seseorang dalam penggunaan bahasa dan kata-kata yang merupakan bawaan baik secara lisan dan
tertulis.

Setiap individu mempunyai kapasitas kecerdasan bahasa yang berbeda dengan individu lainnya sehingga
akan mengakibatkan hasil pemerolehan bahasa kedua yang berbeda-beda pula. Hal ini juga berkaitan
dengan pendapat Gardner yang menggolongkan kecerdasan manusia menjadi 7 macam yaitu kecerdasan
musik, bodi kinestetik, logika matematika ruang, interpersonal, dan intrapersonal. Gardner
menambahkan bahwa komposisi ketujuh kecerdasan tersebut sangat berbeda dalam satu individu.
Kecerdasan yang paling menonjol akan mendominasi kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam
memecahkan suatu masalah.
Perbedan-perbedaan individu dalam hasil pemerolehan bahasa kedua juga dibuktikan oleh berbagai
institusi bahasa di dunia yang mewajibkan tes kecerdasan bahasa sebelum para pembelajar memasuki
institusi tersebut. Dengan menggunakan berbagai instrumen tes kecerdasan bahasa, ditemukan bahwa
pembelajar yang memperoleh skor tinggi dalam tes kecakapan bahasa akan lebih cepat dan mudah
dalam belajar bahasa dibanding dengan pembelajar yang memperoleh skor rendah.

3. Kepribadian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti cara bertingkah laku yang merupakan ciri khusus
seseorang serta hubungannya dengan orang lain di lingkungannya. Kepribadian merupakan faktor
penentu hasil belajar bahasa kedua, karena berbeda kepribadian maka berbeda pula hasil belajarnya.
Secara umum, orang menganggap bahwa orang yang memiliki kepribadian terbuka akan lebih cepat
dalam pememrolehan bahasa keduanya. Kepribadian seseorang terbagi atas dua jenis, yaitu orang
dengan kepribadian tertutup (introvert) dan orang dengan kepribadian terbuka (ekstrovert). Berikut ini
adalah penjelasan dari dua jenis kepribadian tersebut.

a. Introvert

Introvert berarti kepribadiannya lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif, orientasinya tertuju ke dalam.
Orang yang memiliki kepribadian introvert ini umumnya memiliki ciri-ciri sebgai berikut:

• Lebih mudah diatur dan dididik.

• Lebih mendisiplin diri untuk belajar dengan baik.

• Lebih suka melakukan tugas yang detail, mempunyai kesanggupan untuk berkonsentrasi, dan
bekerja dengan benda-benda daripada dengan orang.

• Introvert cenderung untuk menyendiri di kamar atau hanya mempunyai satu atau dua kawan saja.

b. Ekstrovert

Ekstrover berarti kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, orientasinya terutama tertuju
ke luar. Pikiran, perasaan, serta tindakannya lebih banyak ditentukan oleh lingkungan.

Ciri-ciri dari orang yang berkepribadian ekstrovert adalah sebagai berikut:

• Biasanya melakukan pekerjaan lebih baik jika ada hubungannya dengan orang lain.

• Kurang dapat mendisiplin diri sendiri.

• Ekstrovert lebih populer di sekolah dan biasanya mereka dipilih sebagai para pemimpin.

Dibandingkan dengan pembelajar yang introvert, pembelajar dengan kepribadian yang ekstrovert akan
lebih banyak memperoleh bahasa keduanya karena lebih banyak bergaul dan berinteraksi.
4 4. Emosi

Emosi secara umum dapat dikatakan sebagai perasaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia emosi
dapat diartikan sebagai persaan batin yang kuat atau keadaan dan reaksi psikologis dan psikologis seperti
kegembiraan, keharusan, kecintaan yang bersifat subjektif. Goleman (1999) mendefinisikan emosi
sebagai suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Secara
garis besar emosi manusia dibedakan dalam dua bagian yaitu:

· Emosi positif (emosi yang menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan positif pada
orang yang mengalaminya, diataranya adalah cinta, sayang, senang, gembira, kagum dan sebagainya.

· Emosi negatif (emosi yang tidak menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan negatif
pada orang yang mengalaminya, diantaranya adalah sedih, marah, benci, takut, dan sebagainya.

Setiap individu pembelajar tentunya memmiliki emosi yang berbeda-beda. Emosi seorang pembelajar
khususnya pembelajar bahasa kedua akan sangat mempengaruhi hasil belajar bahasa keduanya. Emosi
positif dapat membantu pembelajar dalam mempercepat belajar bahasa keduanya dan mendapatkan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajar yang memiliki emosi negatif. Pembelajar dengan
emosi degatif akan memperlambat dalam proses belajar bahasa keduanya atau bahkan dapat
menghentikannya sama sekali.

5 5. Sikap Pembelajar

Setiap pembelajar bahasa kedua memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa kedua yang dipelajarinya.
Ada pembelajar yang bersikap positif terhadap suatu bahasa ada pula yang bersikap negatif. Sikap dapat
diartikan sebagai perbuatan yang didasarkan pada pendirian atau keyakinan (KBBI). Sikap pembelajar
tehadap bahasa kedua tentunya sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Secara garis besar sikap
pembelajar terhadap bahasa keduanya dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu sikap positif dan sikap
negatif.

a. Sikap Positif

Pembelajar dengan sikap positif menganggap bahwa bahasa kedua yang dipelajarinya ini bermanfaat
bagi dirinya. Hal ini akan membantu dalam proses pembelajaran bahasa keduanya.

b. Sikap Negatif

Pembelajar dengan sikap negatif beranggapan bahwa bahasa keduanya itu merupakan bahasa yang tidak
memiliki manfaat apapun di dalam kehidupannya, serta tidak memiliki prestise. Pembelajar dengan sikap
negatif tidak akan berhasil dalam memperoleh bahasa keduanya. Proses pembelajarannya pun
cenderung tidak akan berjalan.

6 6. Motivasi

Motivasi adalah unsur yang sangat penting untuk belajar. Jika tidak ada motivasi, proses pembelajaran
sepertinya akan kurang berhasil. Motivasi merupakan faktor internal yang mempengaruhi perbedaan
individu dalam pemerolehan bahasa kedua. Motivasi erat hubungannya dengan prestasi atau
pemerolehan belajar. Para pembelajar akan memperoleh prestasi belajar sesuai dengan motif yang
dimilikinya.

Motivasi berasal dari kata "motif" yang dapat didefinisikan sebagai daya internal dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu dalam mencapai suatu tujuan. James O. Whittaker mendefinisikan
motivasi sebagai kondisi-kondisi atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi dorongan kepada
makhluk untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang ditimbulkan motivasi tersebut. Definisi motivasi
menurut kaum behavioristik dalam Broun (2001: 73) adalah suatu kekuatan antisipasi. Di mana kekuatan
ini diperlukan bagi pembalajar dalam proses belajar yang akan mengarahkan pembelajar atas tujuan dan
usaha yang dilakukannya.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi
adalah hubungan antara daya internal dan aspek tujuan. Di mana daya internal tersebut akan memberi
corak atau arah suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Suatu contoh dalam mempelajari
bahasa kedua para pembelajar mempunyai dorongan atau motivasi tertentu misalnya ingin memperoleh
prestise tersendiri dalam lingkungannya. Motivasi ini akan mengarahkan pembelajaran hanya sebatas
penguasaan bahasa asing bukan mengarah pada pembelajaran yang berorientasi pada penutur dan
budaya aslinya. Berbeda jika pembelajar mempunyai motivasi yang berupa kebutuhan komunikatif
karena ia akan hidup dilingkungan asli bahasa kedua tersebut maka akan mengarahkan pembelajar yang
berorientasi pada penutur dan budaya aslinya.

Dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa kedua, Finegan (2004:560) membagi motivasi
pembelajaran bahasa kedua yaitu integratif dan motivasi instrumental.

a. Motivasi Integratif

Adalah motivasi yang timbul karena adanya tujuan menguasai bahasa kedua untuk kepentingan bahasa
itu sendiri, yang mengakibatkan hasil belajar yang benar-benar terintegrasi berupa penguasaan bahasa
kedua tersebut secara menyeruluh sesuai dengan penutur dan budaya aslinya.

Motivasi ini timbul karena adanya desakan komunikatif karena individu yang bersangkutan
(pembelajarannya) tinggal/berinteraksi langsung di masyarakat yang berkomunikasi dengan bahasa
kedua tersebut. Misalnya, seorang warga negara Amerika Serikat menikah dengan wanita asli Indonesia,
kemudian warga negara Amerika Serikat tersebut harus tinggal di Indonesia, sehingga mau tidak mau ia
harus belajar bahasa Indonesia. Maka warga amerika tersebut dalam belajar bahasa Indonesia dikatakan
mempunyai motivasi integral.

b. Motivasi Instrumental

Motivasi instrumental adalah motivasi belajar bahasa kedua untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya
mencari pekerjaan, agar lulus ujian, dll. Motivasi ini hanya memerlukan sedikit rangsangan dari hari
untuk belajar bahasa kedua tanpa berhubungan dengan masyarakat / komunitas bahasa secara langsung.
Misalnya seorang suswa SLTP yang belajar bahasa Inggris karena ingin memperoleh nilai ujian yang
bagus. Siswa tersebut dapat mempelajari bahasa Inggris dari buku-buku, pelajaran, dan dari film atau
lagu-lagu yang menggunakan bahasa Inggris.

Motivasi belajar peserta didik dapat diamati dari beberapa indikator:

• Ketekunan dalam belajar

• Keseringan belajar

• Komitmennya dalam memenuhi tugas-tugas

• Frekuennsi kehadiran

Cara Untuk Memotivasi Pembelajar B2:

• Jangan segan-segan memberikan pujian kepada pembelajar yang melakukan sesuatu dengan baik
meskipun hal itu tidak begitu berarti.

• Kurangilah kecaman atau kritik yang dapat mematikan motivasi pembelajar.

• Menciptakan persaingan yang sehat di antara pembelajar.

• Menciptakan kerjasama antara pembelajar.

• Berikan umpan balik kepada pembelajar atas hasil pekerjaannya.

7 7. Minat dan Bakat

Menurut KBBI, minat memiliki arti kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Sedangkan bakat
adalah dasar kepandaian, sifat yang dibawa dari lahir. Seseorang yang

memiliki bakat pada bidang kebahasaan tentunya akan memiliki minat pada bidang kebahasaan. Bakat
seseorang akan sangat membantu dalam keberhasilan pada bidang yang disukainya. Namun, tanpa bakat
pun seseorang mampu berhasil mencapai apa yang
diharapkannya pada bidang tertentu, asalkan seseorang itu memiliki ketertarikan atau minat yang tinggi
pada bidang tersebut. Orang yang memiliki minat belajar bahasa kedua tetapi tidak memiliki bakat,
kemampuan pemerolehan bahasa keduanya tentu bisa sama dengan orang yang memiliki bakat, hanya
saja mereka harus belajar lebih keras untuk belajar bahasa.

Bakat bahasa secara tradisional didefinisikan sebagai kemampuan untuk berhasil dalam belajat bahasa
asing berdasarkan pengajaran atau pengalaman. Penelitian yang berkaitan dengan bakat berlanjut terus
untuk mendukung empat hipotesis berikut.

1. Bakat bahasa adalah stabil secara tipikal, dan tidak renta pada pelatihan jangka pendek.

2. Bakat terdiri dari beberapa kemampuan kognitif yang berbeda (seperti kemampuan penanda
fonemik, kepekaan gramatika, alur kemampuan mengingat dan kemampuan belajar induktif bahasa).

3. Bakat adalah independen secara parsial dari kemampuan kognitif lain sebagaimana intelegensi
umum.

4. Bakat secara umum memiliki korelasi tinggi dan konsisten dengan profisiensi bahasa kedua,
diperoleh secara formal dan informal, daripada perbedaan variabel kepemilikan individual lain
semacam gaya kognitif dan personalitas.

Pimsleur membedakan tiga komponen bakat bahasa yaitu (1) inteligensi verbal, (2) motivasi, dan (3)
kemampuan mendengar (auditori). Inteligensi verbal mencakup dua hal yaitu pengetahuan tentang kosa
kata dan kemampuan bernalar secara analitik tentang materi verbal. Motivasi berkaitan dengan
kekuatan, keinginan yang merupakan faktor independen dalam belajar bahasa kedua. Kemampuan
auditori adalah kemampuan mengidentifikasi faktor tunggal yang tersembunyi pada inti kemampuan
belajar bahasa kedua yang secara independen berhubungan dengan inteligensi dan motivasi.

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pembelajaran Bahasa Kedua

Keberhasilan pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu:

1. Faktor Motivasi

Belajar bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan memperoleh hasil yang lebih baik. Motivasi,
dalam perspektif ini meliputi dorongan, hasrat, kemauan,alasan, atau tujuan yang menggerakkan
seseorang untuk belajar bahasa. Motivasi berasaldalam diri individu, yang dapat digolongkan sebagai
motivasi integratif dan motivasiinstrumen. Motivasi integratif berkaitan dengan keinginan untuk menjalin
komunikasidengan penutur, sedangkan motivasi instrumen mengacu pada keinginan untuk memperoleh
prestasi atau pekerjaan tertentu.

2. Faktor Lingkungan

Meliputi lingkungan formal dan informal. Lingkungan formal adalah lingkungan sekolah yang dirancang
sedemikian rupa, artifisial, bagian dari pengajaran, dan diarahkan untuk melakukan aktivitas yang
berorientasikaidah (Krashen, 2002). Lingkungan informal adalah lingkungan alami dan natural yang
memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut. Menurut Dulay (1982), lingkungan informal,
terutama teman sebaya, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses pemerolehan bahasa. Selain
itu, lingkungan yang diperkaya pun sangat membantuanak menguasai bahasa. Tersedianya materi-materi
cetak, buku-buku bergambar, dan media-media yang setiap saat dapat dilihat anak merupakan bagian
dari lingkungan yang diperkaya.

3. Usia

Anak-anak, menurut Lambert (1972) memiliki peluang untuk mahir belajar bahasa. Mereka masih berada
pada masa umur kritis berbahasa (Allan &Paivio, 1981). Dalam hal pelafalan, anak-anak memiliki peluang
untuk berbicara secara fasih, meskipun aturan berbahasa harus mereka bangun secara natural (Brewer,
1995).

4. Kualitas Pajanan

Materi pembelajaran yang dipajankan secaranatural memberikan makna bagi anak dalam kehidupan
sehari-hari. Di lain pihak, pajanan yang disajikan secara formal membuat anak menguasai kaidah secara
relatif cepat, meskipun mungkin mereka tidak dapat mengeskpresikan penguasaannya dalamkomunikasi
yang natural (Ellis, 1986).

5. Bahasa Pertama

Jika bahasa pertama memiliki kedekatan kekerabatan dengan bahasa kedua, pembelajar mempunyai
kemudahan mengembangkan kompetensinya. Meskipun demikian, kemungkinan percampuran kode
lebih mudah terjadi, sebagaimana banyak ditemukan percampuran kode dalam tuturan anak-anak
Taman Kanak-kanak di DIY (Musfiroh, 2003).

Anda mungkin juga menyukai