6 Patient Monitors
6 Patient Monitors
PENDAHULUAN
Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti daging busuk atau
pembusukan. Hiproccates (460-370 SM) pertama kali mendeskripsikan keadaan
klinis pasien yang mengalami syok septik sebagai “when continuing fever is
present, it is dangerous if the outer parts are cold, but the inner part are burning
hot”.1 Sepsis merupakan keadaan terganggunya respon penjamu secara sistemik
terhadap suatu infeksi yang mengarah pada keadaan sepsis berat (disfungsi organ
sekunder akut yang dicurigai ataupun terbukti akibat adanya infeksi sistemik).2
Sepsis juga diartikan sebagai respon sistemik penjamu terhadap infeksi dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi
proses inflamasi. Menurut American College of Chest Physician and Society of
Critical Care Medicine tahun 1992 terdapat beberapa istilah terkait keadaan
infeksi sitemik yakni SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik.3
Sepsis berat dan syok septik merupakan masalah kesehatan utama,
dialami banyak orang di dunia setiap tahunnya, membunuh satu orang setiap 4
jam (bahkan lebih sering), dan insidensinya meningkat 1-5. Sebanding dengan
trauma multipel, infark miokar akut, dan stroke, penatalaksanaan yang adekuat di
jam-jam pertama terdiagnosa mengalami sepsis berat adalah teramat penting guna
prognosis yang lebih baik.2
Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera oleh karena semakin cepat syok dapat teratasi, akan
meningkatkan keberhasilan pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ
dan kematian, oleh karena itu strategi penatalaksanaan syok septik yang tepat dan
optimal perlu diketahui untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi
Sepsis merupakan suatu keadaan suspek atau terbukti mengalami infeksi
disertai dengan adanya manifestasi dari infeksi sistemik. Sepsis berat merupakan
sepsis disertai sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan.
(Tabel 1 dan 2). Sepsis-induced hipotension didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik < 90 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) < 70 mmHg atau tekanan
darah sistolik > 40 mmHg atau kurang dari dua standar deviasi di bawah nilai
normal berdasarkan usia tanpa adanya penyebab hipotensi lainnya. Syok septik
didefinisikan sebagai sepsis yang menginduksi hipotensi yang tetap bertahan
meskipun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat atau memerlukan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Sepsis yang
menginduksi hipoperfusi jaringan didefinisikan sebagai infeksi yang menginduksi
hipotensi, peningkatan laktat, atau oligouria.1,3
Terminologi dan defenisi sepsis adalah sebagai berikut3,4 :
a. Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS)
Didefenisikan sebagai respon tubuh terhadap inflamasi sitemik
mencakup 2 atau lebih keadaan berikut: (1) suhu >38°C atau <36°C; (2)
frekuensi jantung >90 kali/menit; (3) frekuensi nafas >20 kali/menit atau
PaCO2 <32 mmHg; (4) leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau
batang >10%.
b. Sepsis
SIRS dengan bukti atau kecurigaan adanya infeksi bakterial
c. Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
termasuk asidosis laktat, oliguria, dan penurunan kesadaran.
d. Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sitolik <90 mmHg atau penurunan tekanan
darah sistolik >40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi
lainnya.
e. Syok sepsis
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan
secara adekuat minimal 1 jam atau memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan darah > 90 mmHg atau MAP > 70 mmHg.
2.2. Etiology
Dari hasil kultur darah, 20-40% positif pada kasus sepsis dan 40-70% positif
pada syok septik. Pada kasus dengan hasil kultur darah positif ditemukan 70%
merupakan bakteri gram positif atau gram negatif dan sisanya merupakan jamur
ataupun campuran mikroorganisme lainnya.4
2.3. Epidemiologi
Insidensi sepsis berat dan syok septik meningkat di USA, dengan >700.000
kasus setiap tahunnya. Dua pertiga kasus timbul pada pasien dengan penyakit lain
yang mendasari. Sepsis berkontribusi terhadap >200.000 kematian setiap
tahunnya di USA. Insidensi tertinggi sepsis berhubungan dengan usia tua,
penyakit kronik, AIDS, pengobatan glukokortikoid atau antibiotik, prosedur
infasif seperti kateterisasi dan ventilasi mekanik. Infeksi bakteri infasif
merupakan penyebab utama kematian di dunia, terutama pada anak. Daerah sub-
Shara Afrika memiliki insidensi seperempat anak meninggal usia >1 tahun akibat
bakterimia (community acquired bacterimia) seperti Salmonella sp, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Escherichia coli.4
Edema interstisial
compliance
jantung
Mediator
inflamasi
Penurunan cardiac Apoptosis/
output, hipoperfusi jejas pada sel
Hipoksia
Aktivasi sitem
imun
Disregulasi simpatis atau
aktivasi sistem neuro
endokrin, Aktivasi dan
fungsi endotel
Fibrinolisis/
reperfusi
Statis atau
Kerusakan sel trombosis
mikrovaskular
Koagulopati
konsumtif
2.5. Diagnosis
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2012, kriteria diagnosis sepsis
adalah adanya infeksi yang telah terbukti atau masih dicurigai dengan tambahan
beberapa hal di bawah ini yaitu2:
a. Gejala umum
1. Demam ( > 38,3˚C ).
2. Hipotermi ( < 36 ˚C).
3. Heart rate > 90 x / menit atau lebih dari dua standar deviasi diatas
nilai normal berdasarkan usia.
4. Takipnea.
5. Perubahan status mental.
6. Edema signifikan atau balance cairan positif (> 20 ml/kg selama 24
jam).
7. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl atau 7,7 mmol/L),
namun tidak menderita diabetes.
b. Variabel inflamasi
1. Leukositosis (Leukosit > 12.000 µL-1)
2. Leukopenia (Leukosit < 4000 µL-1)
3. Nilai leukosit normal, namun dengan > 10% bentuk sel yang imatur.
4. Protein C-reaktif plasma > 2 SD diatas nilai normal.
c. Variabel hemodinamik
Hipotensi arteri (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg atau turun > 40
mmHg pada orang dewasa atau < 2 SD di bawah nilai normal sesuai
usia.
d. Variabel disfungsi organ
1. Hipoksemia arteri (PaO2/FiO2 < 300)
2. Oliguria akut (urin output < 0,5ml/kg/jam selama 2 jam pemberian
resusitasi cairan yang adekuat).
3. Peningkatan kreatinin > 0,5mg/dl atau 44,2 μmol/L.
4. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik).
5. Ileus : Bising Usus (-).
6. Trombositopenia (trombosit < 100.000/μL ).
7. Hiperbilirubinemia (Bilirubin total > 4 mg/dl atau 70 μmol/L).
e. Variabel perfusi jaringan
1. Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L).
2. Capillary Refill Time menurun.
Sepsis berat didefenisikan sebagai sepsis yang menyebabkan hipoperfusi
atau gangguan organ (hal-hal di bawah ini yang timbul akibat adanya infeksi)
1. Sepsis-induced hipotension.
2. Kadar laktat meningkat jauh diatas batas normal.
3. Urine output < 0,5 ml/kg/jam selama resusitasi cairan adekuat > 2 jam.
4. Kerusakan paru akut dengan Pao2/Fio2 < 250 tanpa ada nya pneumonia
sebagai sumber infeksi.
5. Keruskan paru akut dengan Pao2/Fio2 < 200 dengan adanya pneumonia
sebagai sumber infeksi.
6. Kreatinin > 2 mg/dL.
7. Bilirubin > 2 mg/dL.
8. Jumlah platelet < 100.000/μL.
9. Koagulopati.
2.6. Penatalaksanaan
Berdasarkan SSC 2012, penatalaksanaan awal pasien dengan sepsis pada
jam-jam awal kedatangan ke pihak medis meliputi:
a. Hal-hal yang harus diselesaikan dala 3 jam pertama
1. Menilai kadar laktat
2. Melakukan kultur darah sebelum pemberian antibiotik
3. Memberikan antibiotik spektrum luas
4. Memberikan 30ml/kgBB kristaloid jika hipotensi atau laktat
>4mmol/L
b. Hal-hal yang harus diselesaikan dalam 6 jam kedua
5. Berikan vasopresor (jika hipotensi tidak berespon
terhadappemberian cairan awal) untuk mempertahankan tekanan
MAP >65 mmHg
6. Pada hipotensi arterial yang menetap setelah pemberian cairan
(syok septik) atau nilai laktat >4 mmol/L (36mg/dL) lakukan
penilaian CVP (target resusitasi CVP >8 mmHg) dan Scvo2 (target
>70%)
7. Nilai ulang kadar laktat
Untuk tatalaksana sepsis berat meliputi beberapa komponen yaitu2:
a. Resusitasi awal
Resusitasi pada pasien hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis
(sepsis-induced tissue hypoperfusion) yaitu pasien yang tetap mengalami
hipotensi setelah diberikan terapi cairan awal atau konsentrasi laktat ≥ 4
mmol/L.
Adapun tujuan resusitasi awal 6 jam pertama pada pasien sepsis-
induced tissue hypoperfusion harus mencakup semua hal berikut sebagai
bagian dari protokol pengobatan :
1. CVP 8–12 mm Hg.
2. MAP ≥ 65 mm Hg.
3. Urine output ≥ 0.5 mL/kg/jam.
4. Superior vena cava oxygenation saturation (Scvo2) atau mixed
venous oxygen saturation (Svo2) 70% or 65%.
Pada pasien dengan peningkatan kadar serum laktat, target resusistasi
adalah apda nilai laktat normal
c. Diagnosis
Mendapatkan kultur yang sesuai sebelum terapi anti-mikroba dimulai
jika kultur tersebut tidak menyebabkan penundaan yang signifikan (> 45
menit) di awal pemberian antimikroba (grade 1C). Disarankan mendapatkan
setidaknya dua set kultur darah (aerob dan anaerob) sebelum terapi
antimikroba, dengan setidaknya satu dari perkutan dan satu melalui
vascular. Pencitraan juga harus dilakukan segera dalam upaya untuk
mengkonfirmasi potensi sumber infeksi.
d. Terapi antimikroba
1) Pemberian antimikroba intravena pada satu jam pertama terdeteksinya
sepsis berat ataupun syok septik merupakan tujuan terapi.
2) Pemberian terapi empiris satu atau lebih yang dapat melawan semua
pathogen (bakteri, fungi, virus) dan konsentrasi obat harus adekuat
agar mampu berpenetrasi ke jaringan yang dianggap sebagai sumber
infeksi.
3) Penggunaan prokalsitonin rendah/biomarker yang serupa untuk
membantu dokter dalam penghentian pemberian antibiotik empiris
pada pasien yang awalnya muncul septik, tetapi tidak memiliki bukti
terdapatnya infeksi.
4) a. Untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan pasien yang sulit
diobati seperti multidrug resistant bakteri patogen (Acinetobacter dan
Pseudomonas spp). Pasien dengan infeksi berat berhubungan dengan
kegagalan pernapasan dan syok septik dapat diberikan terapi beta
lactam dikombinasi dengan aminoglikosida atau fluorokuinolon untuk
P. aeruginosa bacteremia, sedangkan kombinasi beta-laktam dan
makrolida untuk pasien syok septik karena bacteremia Streptococcus
pneumoniae.
b. Terapi kombinasi empiris tidak boleh diberikan selama lebih dari
3-5 hari.
5) Durasi terapi antimikroba biasanya selama 7-10 hari.
6) Terapi antiviral dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis
berat atau syok septik penyebab virus.
7) Antimikroba tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan
inflamasi berat yang merupakan keadaan sepsis non infeksi.
e. Kontrol penyebab
Intervensi dilakukan untuk mengontrol sumber infeksi selama 12 jam
pertama setelah terdiagnosis.
Ketika infeksi dari nekrosis peripankreatik teridentifikasi sebagai
sumber infeksi potensial, intervensi defenitif lebih baik ditunda sampai
demarkasi antara jaringan yang hidup dan jaringan yang nekrosis menjadi
jelas.
Jika perangkat akses intravascular merupakan kemungkinan sumber
terjadinya sepsis berat atau syok septik, maka akses intravaskular dilepas
setelah akses intravena di tempat lain terpasang.
f. Pencegahan infeksi
Dekontaminasi oral selektif (DOS) dan dekontaminasi digestif selektif
(DDS) harus dilakukan untuk mengurangi insidensi Pneumonia
berhubungan ventilator salah satunya menggunakan klorheksidin glukonat
oral pada pasien ICU dengan sepsis berat.
g. Terapi cairan
1) Pada kasus sepsis berat dan syok septik digunakan cairan kristaloid
sebagai terapi awal untuk resusitasi. (grade 1 B)
2) Selain itu juga dapat digunakan hydroxyethyl starches (HES) sebagai
cairan resusitasi untuk sepsis berat dan syok septik. (grade 1 B)
3) Pemberian Albumin dalam resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok
septik diberikan ketika pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid.
(grade 2 C)
4) Pemberian cairan awal pada pasien dengan sepsis yang menyebabkan
hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia diberikan
minimal 30 mL/kg kristaloid (dosis ini mungkin setara albumin).
Kecepatan dan jumlah yang lebih dalam pemberian mungkin
dibutuhkan pada beberapa pasien. (grade 1 B)
5) Terapi cairan dilanjutkan selama ada perbaikan hemodinamik baik
berdasarkan dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi, variasi stroke
volume) atau statis (misalnya, tekanan arteri, denyut jantung).
h. Vasopresor
1) Terapi vasopressor diperlukan untuk mempertahankan perfusi pada
hipotensi yang mengancam jiwa.
2) Target awal terapi vasopressor adalah MAP 65 mmHg. (grade 1 C)
3) Norepinefrin merupakan vasopressor pilihan pertama. (grade 1 B)
4) Epinefrin (ditambahkan ke dan berpotensi menggantikan norepinefrin)
ketika agen tambahan dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat. (grade 2 B)
5) Vasopresin (hingga 0,03 U/min) dapat ditambahkan ke norepinefrin
dengan maksud meningkatkan MAP atau menurunkan dosis
norepinefrin.
6) Vasopressin dosis rendah tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal
dengan single dose untuk pengobatan sepsis-induced hypotension dan
dosis vasopressin dosis lebih tinggi dari 0,03-0,04 unit / menit harus
disediakan untuk terapi penyelamatan (jika dengan vasopresor lain
terjadi kegagalan mencapai MAP yang adekuat). (grade 2 C)
7) Penggunaan dopamin sebagai agen vasopressor alternatif norepinefrin
hanya pada pasien tertentu (misalnya , pasien dengan risiko rendah
takiaritmia dan bradikardi absolut atau relatif).
i. Inotropik
Berdasarkan penelitian dapat diberikan infus dobutamin hingga 20 mg
/kg/menit atau ditambahkan bersamaan vasopressor (jika digunakan) pada
keadaan: (grade 1 C)
1) Disfungsi miokard, dengan peningkatan tekanan pengisian jantung
dan cardiac output rendah.
2) Tanda-tanda hipoperfusi berkelanjutan, meskipun telah mencapai
volume intravaskular dan MAP yang memadai
j. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena sebagai
pengobatan pasien syok septik dewasa jika resusitasi cairan yang adekuat
dan terapi vasopressor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik. Jika
hal ini tidak tercapai, disarankan hidrokortison intravena tunggal dengan
dosis 200 mg per hari. (grade 2 C) Kortikosteroid tidak diberikan pada
pasien sepsis tanpa adanya syok. (grade 1 D). Ketika hidrokortison dosis
rendah yang diberikan, disarankan menggunakan infus kontinu daripada
suntikan bolus berulang. (grade 2 D)
k. Transfusi darah
1) Setelah hipoperfusi jaringan terselesaikan dan tidak ada keadaan
khusus, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau
penyakit jantung iskemik, dapat diberikan transfusi sel darah merah jika
konsentrasi hemoglobin menurun sampai < 7.0 g / dL dan ditargetkan
konsentrasi hemoglobin 7,0 -9,0 g / dL pada orang dewasa. (grade 1 B)
2) Jangan gunakan erythropoietin sebagai pengobatan khusus pada
pasien anemia dengan sepsis berat (grade 1 B).
3) Fresh frozen plasma tidak digunakan untuk memperbaiki kelainan
pembekuan tanpa adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif.
(grade 2 D).
4) Jangan gunakan antitrombin untuk pengobatan sepsis berat dan syok
septik (grade 1 B).
5) Pada pasien dengan sepsis berat, dapat diberikan platelet profilaksis
jika trombosit < 10.000/mm3 pada pasien tanpa perdarahan yang jelas.
Selain itu, dianjurkan pada pasien dengan trombosit < 20.000/ mm3 jika
memiliki risiko perdarahan yang signifikan. Pada pasien dengan jumlah
trombosit lebih tinggi (≥50,000 / mm3 [50 x 109 / L]), pemberian
profilaksis disarankan jika perdarahan aktif, operasi, atau prosedur invasif
(grade 2D).
l. Immunoglobulin
Jangan gunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan
sepsis berat atau syok septik. (Grade 2B)
m. Selenium
Jangan gunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.
(Grade 2C).
q. Kontrol glukosa
v. Nutrisi
Hindari makanan tinggi kalori di minggu pertama, disarankan
makanan rendah kalori (hingga 500 kalori per hari). (grade 2B). Sebaiknya
menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral daripada nutrisi
parenteral total ( TPN ) sendiri atau nutrisi parenteral dalam 7 hari pertama
setelah diagnosis sepsis berat / syok septik. (grade 2B).
2.7. Prognosis
Pada sekitar 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40-60% pasien dengan
syok septik meninggal dalam 30 hari dan lebih lanjut dapat meninggal dalam 60
hari. Beratnya penyakit yang mendasari merupakan faktor terbesar yang
mempengaruhi tingkat mortaliitas pasien sepsis.
BAB III
KESIMPULAN