Pembimbing:
dr. H. Ucu Nurhadiat, Sp.An
dr. Ade Nurkacan, Sp.An
dr. Catur Pradono, Sp.An
Disusun Oleh :
Nmira Larasati 030.14.136
Syamsul Arifin 030.14.185
HALAMAN
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien ..................................................................................... 1
1.2 Anamnesis .............................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 2
1.4 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 3
1.5 Diagnosis .............................................................................................. 4
1.6 Kesimpulan ........................................................................................... 4
1.7 Operatif ................................................................................................. 4
1.7.1 Pre-Operatif ................................................................................ 4
1.7.2 Intra-Operatif .............................................................................. 5
1.7.3 Post-Operatif .............................................................................. 8
1.8 Follow Up ............................................................................................. 9
1.8.1 Pre-Operatif ................................................................................ 9
1.8.2 Post-Operatif .............................................................................. 9
ii
iii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka saya sebagai dokter muda Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti dapat menyelesaikan Laporan kasus dengan judul
"ICU e.c. Subarachnoid Bleeding e.c Kecelakaan Lalu Lintas" pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Laporan Kasus
Judul:
Nama:
Pembimbing,
v
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.2 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis pada 15 Oktober 2018 pukul 16.00 WIB
Keluhan Utama : tidak sadarkan diri dikarenakan kecelakaan lalu
lintas
Keluhan Tambahan : pasien mengeluarkan darah didalam mulut
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD pada tanggal 07 Oktober 2018 dalam keadaan sopor
dengan riwayat tmbahan perdarahan dimulut, pasien menginap di igd
selama 2 hari dikarenakan ruangan tidak terssedia, pada tanggal 09 Oktober
2018 pasien dipindahkan ke ruangan intermdiate
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat hipertensi, penyakit jantung dan paru, asma, alergi, operasi, dan
sakit serupa seperti sekarang disangkal.
1
Pernapasan : 32x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
Mulut : Bibir sianosis (-), pucat (-), tonsil T1-T1
Leher : KGB leher tidak membesar, tiroid tidak teraba
Thorax :
Paru: SNV (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-)
Jantung: BJ I/II reguler, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (-) Supel, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas Atas : Akral hangat (+/+) Oedem (-/-) CRT <2 detik
Ekstremitas Bawah : Akral hangat (+/+) Oedem (-/-) CRT <2 detik,
2
1.4 Pemeriksaan Penunjang
3
Hasil Laboratorium 14 Oktober 2018 (10.26 WIB)
NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN REMARKS
RUJUKAN
Kimia
Gula Darah 212 mg/dL * 70 - 100
Sewaktu
1.5 Diagnosis
1. Subarachnoid bleeding
2. Contosio cerebral
1.6 Kesimpulan
Status fisik pasien : ASA III
Perencanaan anastesi : Pada pasien ini akan dilakukan tindakan Anestesi
adalah anestesi umum dengan intubasi.
1.7 Operatif
1.7.1 Pre-Operatif
1. Diagnosa pre-op: Subarachnoid bleeding + Contusio cerebral
2. Tindakan operasi: Craniotomy
3. Cek Informed consent (+)
4. Pasien dipuasakan selama 6 jam pre-operatif
5. IV line terpasang pada tangan kiri pasien dengan infuse NaCl
6. Persiapan obat dan alat anestesi umum:
a. Menyiapkan meja operasi
b. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
c. Menyiapkan komponen STATICS:
1. Scope Stetoskop, Laringoskop
2. Tubes ETT cuffed
3. Airway Guedel
4. Tape Plester
5. Introducer
6. Connector
7. Suction
a. Menyiapkan obat anestesi umum yang diperlukan: ketamine,
fentanyl, dan propofol
b. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat, dan lain-lain.
c. Menyiapkan obat-obat lainnya : tramadol, ketorolac, ondansentron,
efedrin, dan lain-lain.
4
d. Menyiapkan monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi dan EKG
7. Keadaan umum:
o Kesadaran : somnolen
o Kesan sakit : Sakit berat
8. Tanda vital:
o Tekanan darah : 124/73 mmHg
o Saturasi O2 : 100 %
o Nadi : 100x/menit
o RR : 32x/menit
o Suhu : 36,5oC
1.7.2 Intra-Operatif
Diagnosa Pre-Op : Subarachnoidal bleeding
Jenis Anestesi : Anestesi umum
Jenis Operasi : craniotomy
Lama Anestesi : 09.15 – 10.45 (1 jam 30 menit)
Lama Operasi : 09.15– 10.45 (1 jam 30 menit)
Induksi dengan : Propofol I.V, N2O + Sevoflurane
Relaksasi dengan : Atracurium besilate (Tramus)
Teknik anestesi : General Anestesi Closed Circulation Sircuit
Intubasi : Laringoskop no. 4
ETT kinking no.7 + stillet , cuff (+), guedel (+)
Maintenance = O2 : N20 (2 L/menit : 2 L/menit)
Teknik, alat khusus : NGT,EtCO2, SpO2, Stetoscope,Kateter urina,NIBP
Ventilasi : Ventilator (TV 450, RR 12)
Posisi : Terlentang
Infus : NaCl di tangan kanan dan kaki kanan asering
Premedikasi :-
Medikasi : Ketamin
Fentanyl
Propofol
Atracurium besilate (Tramus) 70 mg i.v.
Cairan infus : NaCL
Asering
5
Transfusi PRC 250 cc 1 kolf
Perdarahan : ± 900 cc
Urine : ± 200 cc
Keadaan Akhir Bedah : TD : 90/55 mmhg
N : 90 x/menit
Tindakan anestesi
Pasien masuk ruang operasi dengan hanya mengenakan baju operasi.
Kemudian di posisikan terlentang di atas meja operasi. Di pasang tensi
dan saturasi. Di nyalakan monitor dan mesin anestesi.
Penilaian pra induksi pada pukul 09.00 WIB. Kesadaran somnolen,
Suhu 36,5 oC, Tekanan darah 124/73 mmHg, Sat O2 99%, Nadi
100x/menit, RR 32x/menit
Disuntikkan IV ketamine, fentanyl, propofol, dan tramus pada pukul
09.10
Tunggu sampai reflex bulu mata hilang
Dilakukan preoksigenasi sebanyak 2 L/menit dengen menggunakan
sungkup muka dan di bagging selama 3 menit.
Setelah itu segera dipasangkan laringoskop ukuran 4 dan dimasukkan
alat intubasi ETT kingking ukuran 7 dengan stilet. Kemudian ETT
dihubungkan dengan connector ke bag valve, dan diperiksa dengan
stetoskop.
Setelah dipastikan dada mengembang dengan simetris, maka O2
dipastikan masuk melalui trakea ke paru-paru. ETT difiksasi dengan
plester.
Kemudian, dipasang pula N2O sebayak 2 L/menit dan sevoflurane
sebanyak 1,5% sebagai induksi dan 1-2,5% dengan N2O sebagai
maintenance
1.7.3 Post-Operasi
Operasi berakhir pada pukul 10.45 WIB tanggal 9 Oktober 2018. Diagnosa
post operasi subarachnoid bleeding, contosio cerebral. Adapun instruksi
Craniotomy operasi sebagai berikut :
Rawat inap ICU
Ceftriaxone 2x1 gr
6
Novalgin 3x1 amp
Manitol 4x125
Ceticolin 2x750 mg
Asam Traneksamat 3x1 amp
Selesai operasi pasien dalam kondisi DPO dipindahkan ke ruang pemulihan,
melanjutkan pemberian cairan dan di observasi pernafasan, tekanan darah,
Saturasi oksigen, serta nadi setiap 15 menit. Lalu pasien dimasukkan ke ruang
ICU.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
3. Melakukan pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap
komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit.
9
b. Mempertahankan jalan napas termasuk memasang intubasi tracheal,
tracheostomy perkutan dan ventilasi mekanis.
c. Memasang kateter intravaskuler untuk monitoring dan peralatan
monitoring antara lain: kateter arteri, kateter arteri pulmonalis, kateter
vena perifer, kateter vena sentral, pemasangan kabel pacu jantung
transvenous temporer, melakukan echokardiografi, pipa tracheostomy.
d. Resusitasi jantung paru.
6. Melaksanakan 2 peran utama, yaitu pengelolaan pasien dan manajemen unit.
a) Pengelolaan pasien. Dalam mengelola pasien dokter intensivis dapat
berkolaborasi dengan dokter lain. Seorang dokter intensivis mampu
mengelola pasien kritis, seperti: hemodinamik tidak stabil, gangguan atau
gagal napas, gangguan neurologis akut, infeksi serius yang mengancam
nyawa, kelebihan dosis obat, reaksi obat atau keracunan obat.
b) Manajemen unit. Dokter intensivis berpartisipasi aktif dalam aktivita-
aktivitas manajemen unit, seperti: Triage, alokasi tempat tidur, hingga
rencana pengeluaran pasien.
7. Mempertahankan pendidikan yang berkelanjutan tentang critical care
medicine, yaitu: selalu mengikuti perkembangan kedokteran mutakhir, ikut
dalam program-program pendidikan kedokteran berkelanjutan, menguasai
standar-standar untuk unit critical care.
8. Bersedia mengikuti kegiatan-kegiatan perbaikan kualitas interdisipliner.
Tim intensive care minimal terdiri dari: intensivis atau spesialis
anestesiologi atau dokter spesialis yang berkompeten dalam ilmu kedokteran
intensive care sesuai dengan level ICU, perawat, dokter ahli mikrobiologi klinik,
ahli farmasi klinik, dietisien, fisioterapis dan tenaga lain sesuai klasifikasi
pelayanan ICU.(3)
Peran koordinasi dan integrasi dalam kerjasama tim multidisiplin diatur
sebagai berikut:(2,4)
1. Sebelum masuk ICU, dokter primer yang merawat pasien melakukan
evaluasi pasien dan memberi pandangan atau usulan terapi.
10
2. Ketua tim (kepala ICU) melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil
kesimpulan, memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan
mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya.
3. Ketua tim berkonsultasi pada konsultan lain dengan mempertimbangkan
usulan-usulan anggota tim dan memberikan perintah baik tertulis dalam
status ICU maupun lisan.
4. Untuk menghindari kesimpangsiuran/tumpang tindih dalam pengelolaan
pasien, maka perintah yang dijalankan oleh petugas hanya yang berasal dari
ketua tim saja (single management).
11
lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan yang dimiliki ICU sekunder
adalah:
1. Ruangan tersendiri, berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat, dan
ruang rawat lain.
2. Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan.
3. Tersedia dokter spesialis sebagai konsultan yang dapat menanggulangi
setiap saat bila diperlukan.
4. Memiliki seorang kepala ICU yaitu seorang dokter konsultan intensive
care atau bila tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang
bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal
mampu melakukan resusitasi jantung paru (bantuan hidup lanjut).
5. Memiliki tenaga keperawatan lebih dari 50% bersertifikat ICU dan
minimal berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3
tahun.
6. Kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa lama dan
dalam batas tertentu, melakukan pemantauan invasif dan usaha – usaha
penunjang hidup.
7. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu,
rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi.
C. ICU tersier
Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek intensif,
mampu memberikan pelayanan tinggi termasuk dukungan atau bantuan
hidup multi sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas
serta mampu melakukan bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan
kardiovaskuler invasif dalam jangka waktu terbatas. Kekhususan yang
dimiliki ICU tersier adalah:
1. Tempat khusus tersendiri dalam rumah sakit.
2. Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan.
3. Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap
saat bila diperlukan.
4. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care atau
dokter ahli konsultan intensive care yang lain, yang bertanggung jawab
12
secara keseluruhan. Dan dokter jaga yang minimal mampu resusitasi
jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).
5. Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat ICU dan minimal
berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun.
6. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan intensif
baik invasif maupun non invasif.
7. Mampu dengan cepat melayani pemerikaan laboratorium tertentu,
Rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi
Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medik dan
perawat agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien.
8. Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga
rekam medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.
13
Lokasi ICU harus dekat dengan kamar bedah dan kamar pulih, berdekatan
atau mempunyai akses yang mudah ke UGD, laboratorium dan radiologi. Hal ini
untuk memudahkan transport pasien post op yang membutuhkan pemantauan dan
terapi intens.(3,6) Berikut merupakan sarana dan prasarana ICU di rumah sakit(6) :
1. Terisolasi.
2. Mempunyai standar untuk bahaya api, bahaya radiologi, bahaya
bakteriologis.
3. Ruangan ber AC dengan suhu ruangan 20–25OC dan kelembapan 50–70%.
4. Mempunyai ruangan isolasi untuk pasien khusus.
5. Mempunyai rungan penyimpanan alat medis yang bersih dan steril.
6. Mempunyai ruangan pembuangan kotor.
7. Mempunyai ruang perawat.
8. Mempunyai ruang dokter jaga.
9. Mempunyai ruang laboratorium.
Pelayanan ICU yang memadai ditentukan berdasarkan desain yang baik dan
pengaturan ruang yang adekuat.
14
Peralatan ICU primer ICU sekunder ICU tersier
Ventilasi mekani Sederhana Canggih Canggih
Alat hisap + + +
Alat ventilasi manual dan alat + + +
penunjang jalan nafas
Peralatan monitor + + +
Invasif
Monitor tek darah invasif - + +
Tekana vena sentral
Swan Ganz
+ + +
- - +
Non invasif
+
Tekanan darah + +
+
Ekg dan pacu jantung + +
Saturasi oksigen +
Kapnografi + +
+
- +
Suhu + + +
EEG - + +
Defibrilator dan alat pacu + + +
jantung
Pengatur suhu pasien + + +
Peralatan drai torak + + +
Pompa infus dan syringe - + +
Bronkoscopy + + +
Echocardiography - + +
Hemodialisa - + +
CRRT - + +
15
1. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care.
2. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi system organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan terus menerus dan metode terapi titrasi.
3. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
Selain berdasarkan indikasi, untuk memasukkan pasien ke dalam ruangan
ICU dapat ditentukan oleh 2 kriteria, yaitu kriteria berdasarkan diagnosis dan
kriteria bedasarkan parameter objektif.
A. Kriteria berdasarkan diagnosis.
a) Sistem kardiovaskuler: infark miokard akut dengan komplikasi, syok
kardiogenik, aritmia kompleks yang membutuhkan monitoring jetat dan
intervensi, gagal jantung kongestif dengan gagal napas dan/atau
membutuhkan support hemodinamik, hipertensi emergensi, diseksi
aneurisma aorta, blokade jantung komplit.
b) Sistem pernafasan: gagal napas akut yang membutuhkan bantuan
ventilator, emboli paru dengan hemodinamik tidak stabil, pasien dalam
perawatan Intermediate Care Unit yang mengalami perburukan fungsi
pernapasan, hemoptisis massif.
c) Penyakit nerurologis: stroke akut dengan penurunan kesadaran, koma
(metabolik, toksis, atau anoksia), perdarahan intrakranial dengan potensi
herniasi, perdarahan subarachnoid akut, meningitis dengan penurunan
kesadaran atau gangguan pernapasan.
d) Penyakit gastrointestinal: perdarahan gastrointestinal yang mengancam
nyawa termasuk hipotensi, angina, perdarahan yang masih berlangsung,
atau dengan penyakit komorbid, gagal hati fulminant, pankreatitis berat
e) Lain-lain: syok sepsis, trauma faktor lingkungan (petir, tenggelam, hipo /
hypernatremia), ketoasidosis diabetikum dengan komplikasi
hemodinamik tidak stabil, penurunan kesadaran, pernapasan tidak
adekuat atau asidosis berat.
B. Kriteria berdasarkan parameter objektif.
16
a) Tanda vital: nadi <40 atau >140 kali/menit; tekanan darah sistolik arteri
<80 mmHg atau 20 mmHg di bawah tekanan darah pasien sehari-hari;
mean arterial pressure <60 mmHg; tekanan darah diastolic arteri >120
mmHg; frekuensi napas >35 kali/menit.
b) Nilai laboraturium: natrium serum <110 mEq/L atau >170 mEq/L;
Kalium serum <2,0 mEq/L atau >7,0 mEq/L; PaO2 <50 mmHg; pH <7,1
atau >7,7; Glukosa serum >800 mg/dl; Kalsium serum >15 mg/dl; Kadar
toksik obat atau bahan kimia lain dengan gangguan hemodinamik dan
neurologis.
c) Radiografi/Ultrasonografi/Tonografi: Perdarahan vascular otak, kontusio
atau perdarahan subarachnoid dengan penurunan kesadaran atau tanda
deficit neurologis fokal; Ruptur organ dalam, kandung kemih, hepar,
varises esophagus atau uterus dengan hemodinamik tidak stabil; Diseksi
aneurisma aorta.
d) Elektrokardiogram: Infark miokard dengan aritmia kompleks,
hemodinamik tidak stabil atau gagal jantung kongestif; Ventrikel
takikardi menetap atau fibrilasi; Blokade jantung komplit dengan
hemodinamik tidak stabil.
17
lainnya secara kontinyu dan tertitrasi. Pasien yang termasuk prioritas 1
adalah pasien pasca bedah kardiotorasik, sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa.
2. Golongan pasien prioritas 2
Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di
ICU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera,
misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter.
Pasien yang tergolong dalam prioritas 2 adalah pasien yang menderita
penyakit dasar jantung–paru, gagal ginjal akut dan berat, dan pasien yang
telah mengalami pembedahan mayor.
3. Golongan pasien prioritas 3
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak
stabil status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi.
Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada kriteria ini
sangat kecil, sebagai contoh adalah pasien dengan keganasan metastatic
disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, dan
pasien penyakit jantung dan penyakit paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien kriteria ini hanya untuk
mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai
melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.
Indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan
catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu waktu harus bisa
dikeluarkan dari ICU. Pasien yang tergolong demikian antara lain: (PEDOMAN)
1. Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup.
2. Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
3. Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak.
2.12 Kriteria pasien keluar ICU(2)
Pasien yang telah membaik keadaannya dapat dipindahkan atau dikeluarkan
dari ICU, namun untuk memindahkannya diperlukan pertimbangan medis dari
kepala ICU atau tim yang merawat pasien. Pertimbangan medis tersebut antara
lain:
18
1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga
tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intesif lebih lanjut.
2. Terapi dan pemantauan intensif tidak memberikan perbedaan hasil yang
berarti bagi pasien.
19
BAB III
ANALISA KASUS
20
Pasien dating ke IGD RSUD Karawang setelah sebelumnya dirujuk dari klinik
pada tanggal 07 oktober 2018 dengan keluhan utama perdarahan otak yang
dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Pada tanggal 07 oktober 2018 sampai dengan
tanggal 08 oktober 2018 pasien berada di IGD dikarenakan kamar belum tersedia,
pada tanggal 9 oktober baru sang pasien dirujuk ke ruang intermediate dan pada
hari yang sama pasien melakukan operasi craniotomy. Riwayat penyakit keluarga ,
dan kencing manis disangkal.
Pada tanda vital yaitu tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan. Pada
pasien didapatkan tekanan darah yaitu Pada pasien didapatkan tekanan darah,
nadi, dan pernafasan, yaitu 124/73 mmHg, nadi 100x/menit, dan frekuensi napas
didapatkan sebanyak 23x/menit. Pada pengukuran suhu tubuh didapatkan suhu
sebesar 36,9°C. Selanjutnya pada pasien dilakukan pemeriksaan status generalis
dari kepala sampai dengan ekstremitas yang menunjukkan hasil pada mata berupa
sklera ikterik, teradapat keluarnya darah dari mulut pasien. Sedangkan pada
pemeriksaan penunjang didapatkan penurunan pada hemoglobin yaitu 11,7 g/dL,
eritrosit yaitu 4,08x10^6/uL, hematokrit yaitu 75,2%, MCV yaitu 86 fL, MCH
yaitu 29 pg. Didapatkan juga peningkatan leukosit yaitu 18,7x10^3/uL,
trombosit yaitu 298x10^3/uL, ureum yaitu 102.7 mg/dL, kreatinin 1.5 mg/dL dan
gula darah sewaktu yaitu 135 mg/dL, untuk pemeriksaan lainnya dalam batas
normal.
Cedera kepala bisa berarti cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak,
jaringan otak atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Cedera kepala
dititik beratkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak dan pembuluh
darahnya. Cedera yang disebabkan adanya benturan pada kepala atau akselerasi-
deselerasi yang tiba-tiba dari otak di dalam rongga tengkorak
21
Patogenesis cedera kepala
Dalam keadaan normal, aliran darah otak pada orang dewasa antara 50-55
mL/100 gr otak/menit. Bila aliran darah otak turun hingga kurang dari 18 ml/100
gr otak/menit merupakan ambang bawah gagalnya pompa ion.
Benturan pada kepala dibedakan menjadi 3 jenis keadaan yaitu: kepala diam
dibentur oleh benda yang bergerak, kepala yang bergerak membentur benda yang
diam, kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain
dibentur oleh benda yang bergerak (tergencet). Pada pasien ini termasuk cedera
kepala yang bergerak membentur benda yang diam. Karena saat kepala yang
sedang bergerak kemdian membentur suatu benda yang keras, maka akan terjadi
perlambatan yang tiba-tiba, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan di tempat
benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada tempat benturan terdapat tekanan
yang paling tinggi, sedang pada tempat yang berlawanan terdapat tekanan
negative paling rendah sehingga terjadi rongga dan akibatnya dapat terjadi
robekan.
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga
subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid
ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga
antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang
merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges). Subarachnoid
hemoragik adalah ganggguan yang menngancam nyawa.
22
beberapa skala dalam SAH yang digunakan untuk menilai morbiditas dan
mortalitas pasien, seperti Botterell, Hunt & Hess, WFNS dan Fisher.
Sedatif premedikasi (lorazepam 1-4 mg,po) dapat diberikan pada pasien dengan
tingkat kecemasan tinggi (skala Hunt & Hess I-II), namun harus dipertimbangkan
resiko terjadinya hipoventilasi, hiperkarbi yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Pengosongan lambung yang lebih lama yang beresiko terjadinya
regurgitasi dan aspirasi cairan lambung. Untuk mengantisipasi terjadi nya hal
tesebut, dapat diberikan, metoclopramide 10 mg,iv atau ranitidine 150 mg,iv.
Calcium channel blok (nimodipin), antikonvulsan, steroid dapat dilanjutkan bila
tidak ada kontraindikasi.7-15 Insidens terjadinya rupture aneurisma saat nduksi
0,5–2 %, dengan tingkat mortalitas 75%. Induksi anestesi pada pasien ini
diusahakan dengan metode “slow neuro-induction” dengan tiophental /propofol,
opioid dan pelumpuh otot non depol. Metode lain adalah ‘rapid-sequence
induction” tanpa tekanan positip saat bagging dengan masker ventilasi. Dosis obat
induksi yang dianjurkan adalah thiopental 3–5 mg/kg, propofol 1–2 mg/kg,
fentanil 3–5 ug/kg, sufentanil 0,5–1 ug/kg, rocuronium 0,9–1,2 mg/ kg,
vecuronium 0,1 mg/kg, dosis rendah isoflurane /sevoflurane, disertai penekanan
pada cricoid dengan aliran gas oksigen 100%. Target endtidal CO2 35–40 mmHg,
hindari terjadinya hiperkarbi, yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial. Hiperkarbi berat akan menyebabkan kurva disosiasi oksigen-
hemoglobin pasien bergeser ke kiri dan menyebabkan gangguan transport
oksigen. Sebelum laringoskop, berikan lidokain 1,5 mg/kg, thiopental 2–3 mg/kg
atau propofol 0,5 mg/kg. Usahakan “gentle and smooth laryngoscopy” dan
intubasi.
23
flow/CBF), menurunkan ICP, meningkatkan TMP dan beresiko terjadinya ruptur
aneurisma Hiperventilasi akan menyebabkan peningkatan tekanan intrathorakal,
sehingga terjadi penurunan cardiac output pasien. Intraoperatif, target
hemodinamik stabil dan isovolemik dengan memperhitungkan pemberian cairan
untuk mencegah terjadinya peningkatan cerebral blood volume (CBV). Rumatan
anestesi yang dianjurkan adalah fentanil 1–2 ug/kg/jam, sevoflurane 0,5–1%,
compress air, vecuronium 0,08 mg/kg/jam, propofol 6–8 mg/kg/jam atau
thiopental 5–6 mg/kg/jam. Dapat pula digunakan metode total intravenous
anesthesia (TIVA) tanpa gas anestesi.7-15 Lama kliping temporer 20 menit atau
kurang. Bila menggunakan teknik hipotensi dapat diberikan sodium nitroprussid
atau anesthesia inhalasi.
Saat ekstubasi, pasien harus sadar betul (fully awake) dengan reflek menelan
yang baik, untuk menghindari terjadinya aspirasi pasca ekstubasi. Tetapi dengan
klinis buruk (skala Hunt dan Hess 3–5) atau bila didapatkan pembengkakan otak
intra operasi, rupture aneurisma, ligase feeding vessel, pasien tidak diekstubasi
dan rawat di ICU dengan sedasi dan ventilator mekanis. Apabila pasien tetap tidak
respon atau ada perburukan neurologis baru dalam 2 jam pasca operasi, perlu
segera dilakukan pemeriksaan CT scan.7-15 Pasca kliping, dilakukan terapi triple-
H, yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Hipertensi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan atau obat vasopressor (sebelum kliping, tekanan darah
sistolik 120–150 mmHg, setelah kliping tekanan darah sistolik 160-200 mmHg),
hipervolemi dapat dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid, koloid atau
24
produk darah (PRC / FFP) dengan target CVP 10 mmHg dan PCWP 12–16
mmHg, hemodilusi dengan target hematokrit 30–35%.7-15
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Jevon, P& Ewens, B. Pemantuan Pasien Kritis. Edisi Kedua. Alih Bahasa:
Vidhia Umami. Jakarta: Erlangga Medical series. 2009.
2. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
Pelayanan Intensive Care Unit di Rumah Sakit. Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI; 2011.
3. Indonesian Society of Intensive Care Unit. Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan ICU (online), www.perdici.org/pedoman-ICU/ .
4. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta.
2015.
5. Petunjuk Teknis Penyelengaraan Pelayanan Intensif Care Unit (ICU) Di Rumah
Sakit. Direktorat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. 2012.
6. Pola Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial Pada Ruang Perawatan Intensif
Anak RSUP PROF. DR. R. D. Kandau Manado. Manado. 2015.
7. Smeltzer, S.C, Bare, B.G. Medical Surgical Nursing Brunner & Suddarth.
Philadelphia: Lippincott. 2008.
8. Kartika, R.W. Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik. Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta; CDK-248; 44(1); 18-22, 2017.
9. Bone RC, Sprung CL, Sibbald WJ. Definitions for sepsis and organ failure.
Crit Care Med 20: 724-6, 1992.
10. Vincent JL. Clinical Sepsis and Septic Shock: Definition, diagnosis, and
management principles. Langenbecks Arch Surg 393: 817-24, 2008.
26