Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

ICU E.C. SUBARACHNOID BLEEDING E.C


KECELAKAAN LALU LINTAS

Pembimbing:
dr. H. Ucu Nurhadiat, Sp.An
dr. Ade Nurkacan, Sp.An
dr. Catur Pradono, Sp.An

Disusun Oleh :
Nmira Larasati 030.14.136
Syamsul Arifin 030.14.185

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 1 OKTOBER- 3 NOVEMBER 2018
KARAWANG, OKTOBER 2018
DAFTAR ISI

HALAMAN
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien ..................................................................................... 1
1.2 Anamnesis .............................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 2
1.4 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 3
1.5 Diagnosis .............................................................................................. 4
1.6 Kesimpulan ........................................................................................... 4
1.7 Operatif ................................................................................................. 4
1.7.1 Pre-Operatif ................................................................................ 4
1.7.2 Intra-Operatif .............................................................................. 5
1.7.3 Post-Operatif .............................................................................. 8
1.8 Follow Up ............................................................................................. 9
1.8.1 Pre-Operatif ................................................................................ 9
1.8.2 Post-Operatif .............................................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi ICU ..................................................................................... 11
2.2 Tujuan pelayanan ICU ......................................................................11
2.3 Jenis ICU ...........................................................................................12
2.4 Kerjasama multidisipliner .................................................................12
2.5 Klasifikasi pelayanan ICU ................................................................14
2.6 Ketenagaan pelayanan ICU ...............................................................16
2.7 Komponen ruang ICU .......................................................................16
2.8 Sarana dan prasarana ICU ................................................................ 17
2.9 Peralatan ICU ................................................................................... 17
2.10 Indikasi pasien masuk ICU ............................................................ 19
2.11 Kriteria pasien masuk ICU ............................................................. 20
2.12 Kriteria pasien keluar ICU ............................................................. 22
2.13 Alur pelayanan ICU ....................................................................... 22
2.14 Skoring ICU ................................................................................... 22
BAB III ANALISA KASUS .............................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29

ii
iii
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka saya sebagai dokter muda Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti dapat menyelesaikan Laporan kasus dengan judul
"ICU e.c. Subarachnoid Bleeding e.c Kecelakaan Lalu Lintas" pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Catur Pradono, Sp.An dokter pembimbing yang telah memberikan


bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. dr. H. Ucu Nurhadiat, Sp.An dokter pembimbing yang telah memberikan
saran dan koreksi dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. dr. Ade Nurkacan, Sp.An dokter pembimbing yang telah memberikan
saran dan koreksi dalam penyusunan laporan kasus ini.
4. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan laporan kasus ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat
dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu anestesi.

Karawang, Oktober 2018

iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Laporan Kasus

Judul:

ICU E.C. SUBARACHNOID BLEEDING


E.C KECELAKAAN LALU LINTAS

Nama:

Namira Larasati 030.14.136


Syamsul Arifin 030.14.185

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari ................, Tanggal ............................ 2018

Pembimbing,

dr. Catur Pradono, Sp.An

v
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


No. RM : 00-54-57-66
Nama : Ny. IT
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan Terakhir : SD
Alamat : Gedang manggala RT 06 RW 02 kelurahan
cilemot kecamatan telagasari
Tanggal Masuk IGD : 07 Oktober 2018
Tanggal Masuk Intermediete : 09 Oktober 2018
Tanggal Masuk ICU : 09 Oktober 2018

1.2 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis pada 15 Oktober 2018 pukul 16.00 WIB
Keluhan Utama : tidak sadarkan diri dikarenakan kecelakaan lalu
lintas
Keluhan Tambahan : pasien mengeluarkan darah didalam mulut
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD pada tanggal 07 Oktober 2018 dalam keadaan sopor
dengan riwayat tmbahan perdarahan dimulut, pasien menginap di igd
selama 2 hari dikarenakan ruangan tidak terssedia, pada tanggal 09 Oktober
2018 pasien dipindahkan ke ruangan intermdiate
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat hipertensi, penyakit jantung dan paru, asma, alergi, operasi, dan
sakit serupa seperti sekarang disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Hipertensi, penyakit jantung, asma, alergi disangkal.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : sopor
Status Gizi : Cukup
Berat badan : kg
Tanda Vital
Tekanan Darah : 129/70 mmHg
Nadi : 107x/menit
Suhu : 36,8 °C

1
Pernapasan : 32x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
Mulut : Bibir sianosis (-), pucat (-), tonsil T1-T1
Leher : KGB leher tidak membesar, tiroid tidak teraba
Thorax :
Paru: SNV (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-)
Jantung: BJ I/II reguler, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (-) Supel, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas Atas : Akral hangat (+/+) Oedem (-/-) CRT <2 detik
Ekstremitas Bawah : Akral hangat (+/+) Oedem (-/-) CRT <2 detik,

2
1.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium 7 Oktober 2018 (14.06 WIB)


NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN REMARKS
RUJUKAN
Hematologi
Hemoglobin 11.7 g/dL 13.2 – 17.3
Eritrosit 4.08 x10^6/uL * 4.5 – 5.9
Leukosit 18.7 x10^3/uL * 4.4 – 11.3
Trombosit 298 x10^3/uL 150 – 400
Hematokrit 35.2 % 40 – 52
Basofil 0 % 0 – 0.75
Eosinofil 0 % 2.0 – 4.0
Neutrofil 0 % 50 – 70
Limposit 0 % 25 – 40
Monosit 0 % 2–8
MCV 86 fL 80 – 100
MCH 29 pg 26 – 34
MCHC 33 g/dL 32 – 36
RDW-CV 12.4 % 12.2 – 15.3
Kimia
Gula Darah 135 mg/dL * 70 - 100
Sewaktu
Ureum 23.6 mg/dL 15.0 – 50.0
Kreatinin 0.6 mg/dL 0,60 – 1.10

3
Hasil Laboratorium 14 Oktober 2018 (10.26 WIB)
NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN REMARKS
RUJUKAN
Kimia
Gula Darah 212 mg/dL * 70 - 100
Sewaktu

1.5 Diagnosis
1. Subarachnoid bleeding
2. Contosio cerebral

1.6 Kesimpulan
Status fisik pasien : ASA III
Perencanaan anastesi : Pada pasien ini akan dilakukan tindakan Anestesi
adalah anestesi umum dengan intubasi.

1.7 Operatif
1.7.1 Pre-Operatif
1. Diagnosa pre-op: Subarachnoid bleeding + Contusio cerebral
2. Tindakan operasi: Craniotomy
3. Cek Informed consent (+)
4. Pasien dipuasakan selama 6 jam pre-operatif
5. IV line terpasang pada tangan kiri pasien dengan infuse NaCl
6. Persiapan obat dan alat anestesi umum:
a. Menyiapkan meja operasi
b. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
c. Menyiapkan komponen STATICS:
1. Scope  Stetoskop, Laringoskop
2. Tubes  ETT cuffed
3. Airway  Guedel
4. Tape  Plester
5. Introducer
6. Connector
7. Suction
a. Menyiapkan obat anestesi umum yang diperlukan: ketamine,
fentanyl, dan propofol
b. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat, dan lain-lain.
c. Menyiapkan obat-obat lainnya : tramadol, ketorolac, ondansentron,
efedrin, dan lain-lain.

4
d. Menyiapkan monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi dan EKG
7. Keadaan umum:
o Kesadaran : somnolen
o Kesan sakit : Sakit berat
8. Tanda vital:
o Tekanan darah : 124/73 mmHg
o Saturasi O2 : 100 %
o Nadi : 100x/menit
o RR : 32x/menit
o Suhu : 36,5oC

1.7.2 Intra-Operatif
 Diagnosa Pre-Op : Subarachnoidal bleeding
 Jenis Anestesi : Anestesi umum
 Jenis Operasi : craniotomy
 Lama Anestesi : 09.15 – 10.45 (1 jam 30 menit)
 Lama Operasi : 09.15– 10.45 (1 jam 30 menit)
 Induksi dengan : Propofol I.V, N2O + Sevoflurane
 Relaksasi dengan : Atracurium besilate (Tramus)
 Teknik anestesi : General Anestesi Closed Circulation Sircuit
Intubasi : Laringoskop no. 4
ETT kinking no.7 + stillet , cuff (+), guedel (+)
Maintenance = O2 : N20 (2 L/menit : 2 L/menit)
 Teknik, alat khusus : NGT,EtCO2, SpO2, Stetoscope,Kateter urina,NIBP
 Ventilasi : Ventilator (TV 450, RR 12)
 Posisi : Terlentang
 Infus : NaCl di tangan kanan dan kaki kanan asering
 Premedikasi :-
 Medikasi : Ketamin
Fentanyl
Propofol
Atracurium besilate (Tramus) 70 mg i.v.
 Cairan infus : NaCL
Asering

5
Transfusi PRC 250 cc 1 kolf
 Perdarahan : ± 900 cc
 Urine : ± 200 cc
 Keadaan Akhir Bedah : TD : 90/55 mmhg
N : 90 x/menit
Tindakan anestesi
 Pasien masuk ruang operasi dengan hanya mengenakan baju operasi.
Kemudian di posisikan terlentang di atas meja operasi. Di pasang tensi
dan saturasi. Di nyalakan monitor dan mesin anestesi.
 Penilaian pra induksi pada pukul 09.00 WIB. Kesadaran somnolen,
Suhu 36,5 oC, Tekanan darah 124/73 mmHg, Sat O2 99%, Nadi
100x/menit, RR 32x/menit
 Disuntikkan IV ketamine, fentanyl, propofol, dan tramus pada pukul
09.10
 Tunggu sampai reflex bulu mata hilang
 Dilakukan preoksigenasi sebanyak 2 L/menit dengen menggunakan
sungkup muka dan di bagging selama 3 menit.
 Setelah itu segera dipasangkan laringoskop ukuran 4 dan dimasukkan
alat intubasi ETT kingking ukuran 7 dengan stilet. Kemudian ETT
dihubungkan dengan connector ke bag valve, dan diperiksa dengan
stetoskop.
 Setelah dipastikan dada mengembang dengan simetris, maka O2
dipastikan masuk melalui trakea ke paru-paru. ETT difiksasi dengan
plester.
 Kemudian, dipasang pula N2O sebayak 2 L/menit dan sevoflurane
sebanyak 1,5% sebagai induksi dan 1-2,5% dengan N2O sebagai
maintenance

1.7.3 Post-Operasi
Operasi berakhir pada pukul 10.45 WIB tanggal 9 Oktober 2018. Diagnosa
post operasi subarachnoid bleeding, contosio cerebral. Adapun instruksi
Craniotomy operasi sebagai berikut :
 Rawat inap ICU
 Ceftriaxone 2x1 gr

6
 Novalgin 3x1 amp
 Manitol 4x125
 Ceticolin 2x750 mg
 Asam Traneksamat 3x1 amp
Selesai operasi pasien dalam kondisi DPO dipindahkan ke ruang pemulihan,
melanjutkan pemberian cairan dan di observasi pernafasan, tekanan darah,
Saturasi oksigen, serta nadi setiap 15 menit. Lalu pasien dimasukkan ke ruang
ICU.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ICU


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1778/Menkes/SK/XII/2010, Ruang Perawatan Intensif atau yang biasa disebut
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri,
dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk
observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut,
cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam
nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversible.(3)
ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus
untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengen menggunakan keterampilan staf
medik.(3) Kebutuhan pelayanan pasien ICU adalah tindakan resusitasi jangka
panjang yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital, seperti Airway
(fungsi jalan napas), Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi),
Brain (fungsi otak) dan fungsi organ lain, disertai dengan diagnosis dan terapi
definitif.(2,3)
Intesive Care mempunyai dua fungsi utama: pertama, melakukan perawatan
pada pasien-pasien gawat darurat dengan potensi “reversible life threatening
organ dysfunction”. Kedua, mendukung organ vital pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi yang kompleks elektif atau prosedur intervensi dan risiko tinggi
untuk fungsi vital.

2.2 Tujuan pelayanan ICU(5)


Tujuan pelayanan intensive care yaitu memberikan pelayanan medik
berkelanjutan dan mencegah fragmentasi pengelolaan pada pasien sakit yang
meliputi:
1. Mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan spesifik terhadap penyakit
penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian
dalam beberapa menit sampai beberapa hari.
2. Memberikan bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus
melakukan pelaksanaan spesifik problema dasar.

8
3. Melakukan pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap
komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit.

2.3 Jenis ICU(2,5)


ICU sendiri terbagi dalam beberapa jenis, berdasarkan fungsinya ICU dibagi
menjadi, yaitu(1,6) :
1. Intensive Coronary Care Unit (ICCU), merupakan unit penanganan bagi
pasien gangguan jantung. Seperti penderita jantung koroner, pasien gagal
jantung atau gangguan berat pada fungsi jantung jenis lain.
2. Neonatal Intensive Care Unit (NICU), adalah ruangan untuk menangani
bayi baru lahir, yang mengalami kondisi tidak baik, prematur atau gejala-
gejala lain yang memerlukan perawatan dan perlakuan khusus.
3. Pediatric Intensive Care Unit (PICU), adalah ruangan perawatan khusus
pasien anak-anak yang butuh penanganan intensif.
4. Post Anesthesi Care Unit (PACU), adalah unit perawatan intensif pasca
operasi dan stabilisasi pasien setelah operasi bedah dan anestesi.

2.4 Kerjasama multidisipliner


Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin tenaga
kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang dapat memberikan
kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerjasama di dalam suatu
tim yang diketuai oleh dokter intensivis sebagai kepala ICU.(2,3)
Seorang intensivis atau dokter yang bertugas di ICU harus memenuhi
standar kompetensi berikut ini:(2,3,5)
1. Terdidik dan bersertifikat sebagai seorang spesialis intensive care medicine
(KIC, Konsultan Intensive Care) melalui program pelatihan dan pendidikan
yang diakui oleh perhimpunan profesi yang terkait
2. Menunjang kualitas pelayanan di ICU dan menggunakan sumber daya ICU
secara efisien.
3. Mendarma baktikan lebih dari 50% waktu profesinya dalam pelayanan ICU.
4. Bersedia berpartisipasi dalam suatu unit yang memberikan pelayanan 24
jam perhari dan 7 hari dalam seminggu.
5. Mampu melakukan prosedur critical care, antara lain:
a. Pengambilan sampel darah arteri.

9
b. Mempertahankan jalan napas termasuk memasang intubasi tracheal,
tracheostomy perkutan dan ventilasi mekanis.
c. Memasang kateter intravaskuler untuk monitoring dan peralatan
monitoring antara lain: kateter arteri, kateter arteri pulmonalis, kateter
vena perifer, kateter vena sentral, pemasangan kabel pacu jantung
transvenous temporer, melakukan echokardiografi, pipa tracheostomy.
d. Resusitasi jantung paru.
6. Melaksanakan 2 peran utama, yaitu pengelolaan pasien dan manajemen unit.
a) Pengelolaan pasien. Dalam mengelola pasien dokter intensivis dapat
berkolaborasi dengan dokter lain. Seorang dokter intensivis mampu
mengelola pasien kritis, seperti: hemodinamik tidak stabil, gangguan atau
gagal napas, gangguan neurologis akut, infeksi serius yang mengancam
nyawa, kelebihan dosis obat, reaksi obat atau keracunan obat.
b) Manajemen unit. Dokter intensivis berpartisipasi aktif dalam aktivita-
aktivitas manajemen unit, seperti: Triage, alokasi tempat tidur, hingga
rencana pengeluaran pasien.
7. Mempertahankan pendidikan yang berkelanjutan tentang critical care
medicine, yaitu: selalu mengikuti perkembangan kedokteran mutakhir, ikut
dalam program-program pendidikan kedokteran berkelanjutan, menguasai
standar-standar untuk unit critical care.
8. Bersedia mengikuti kegiatan-kegiatan perbaikan kualitas interdisipliner.
Tim intensive care minimal terdiri dari: intensivis atau spesialis
anestesiologi atau dokter spesialis yang berkompeten dalam ilmu kedokteran
intensive care sesuai dengan level ICU, perawat, dokter ahli mikrobiologi klinik,
ahli farmasi klinik, dietisien, fisioterapis dan tenaga lain sesuai klasifikasi
pelayanan ICU.(3)
Peran koordinasi dan integrasi dalam kerjasama tim multidisiplin diatur
sebagai berikut:(2,4)
1. Sebelum masuk ICU, dokter primer yang merawat pasien melakukan
evaluasi pasien dan memberi pandangan atau usulan terapi.

10
2. Ketua tim (kepala ICU) melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil
kesimpulan, memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan
mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya.
3. Ketua tim berkonsultasi pada konsultan lain dengan mempertimbangkan
usulan-usulan anggota tim dan memberikan perintah baik tertulis dalam
status ICU maupun lisan.
4. Untuk menghindari kesimpangsiuran/tumpang tindih dalam pengelolaan
pasien, maka perintah yang dijalankan oleh petugas hanya yang berasal dari
ketua tim saja (single management).

2.5 Klasifikasi pelayanan ICU(6)


Berdasarkan pelayanannya ICU dibagi menjadi 3 strata yaitu, ICU primer,
sekunder dan tersier.
A. ICU primer
Ruang perawatan intensif primer memberikan pelayanan pada pasien
yang memerlukan perawatan ketat (high care). ICU primer mampu
melakukan resusitasi jantung paru dan memberikan ventilasi bantu 24-48
jam. Kekhususan yang dimiliki ICU primer adalah:
1. Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan
ruang rawat pasien lain.
2. Memiliki kebijakan/kriteria pasien yang masuk dan yang keluar.
3. Memiliki seseorang anestesiologi sebagai kepala.
4. Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi jantung paru.
5. Konsulen yang membantu harus siap dipanggil.
6. Memiliki 25% jumlah perawat yang cukup telah mempunyai sertifikat
pelatihan perawatan intensif, minimal satu orang per shift.
7. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu,
Rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi.
B. ICU sekunder
Pelayanan ICU sekunder adalah pelayanan yang khusus yang mampu
memberikan ventilasi bantuan lebih lama, mampu melakukan bantuan hidup

11
lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan yang dimiliki ICU sekunder
adalah:
1. Ruangan tersendiri, berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat, dan
ruang rawat lain.
2. Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan.
3. Tersedia dokter spesialis sebagai konsultan yang dapat menanggulangi
setiap saat bila diperlukan.
4. Memiliki seorang kepala ICU yaitu seorang dokter konsultan intensive
care atau bila tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang
bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal
mampu melakukan resusitasi jantung paru (bantuan hidup lanjut).
5. Memiliki tenaga keperawatan lebih dari 50% bersertifikat ICU dan
minimal berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3
tahun.
6. Kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa lama dan
dalam batas tertentu, melakukan pemantauan invasif dan usaha – usaha
penunjang hidup.
7. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu,
rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi.
C. ICU tersier
Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek intensif,
mampu memberikan pelayanan tinggi termasuk dukungan atau bantuan
hidup multi sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas
serta mampu melakukan bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan
kardiovaskuler invasif dalam jangka waktu terbatas. Kekhususan yang
dimiliki ICU tersier adalah:
1. Tempat khusus tersendiri dalam rumah sakit.
2. Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan.
3. Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap
saat bila diperlukan.
4. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care atau
dokter ahli konsultan intensive care yang lain, yang bertanggung jawab

12
secara keseluruhan. Dan dokter jaga yang minimal mampu resusitasi
jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).
5. Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat ICU dan minimal
berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun.
6. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan intensif
baik invasif maupun non invasif.
7. Mampu dengan cepat melayani pemerikaan laboratorium tertentu,
Rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi
Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medik dan
perawat agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien.
8. Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga
rekam medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.

2.6 Ketenagaan pelayanan ICU(3)


Tenaga yang terlibat dalam pelayanan ICU terdiri dari dokter intensivis,
dokter spesialis anestesi atau dokter yang telah mengikuti pelatihan ICU sebagai
kepala ICU, perawat terlatih ICU, tenaga medis seperti dokter jaga, dan tenaga
non medis seperti tenaga administrasi, tenaga prakarya, tenaga kebersihan. Tenaga
tersebut menyelenggarakan pelayanan ICU sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan yang diatur oleh masing-masing RS sesuai dengan jenis dan
klasifikasi RS.

2.7 Komponen ruang ICU(4)


Dalam pengapliaksian sehari-hari terdapat beberapa komponen yang
terdapat dalam ruang ICU. Komponen tersebut antara lain:
1. Pasien yang di rawat dalam keadaan kritis.
2. Desain ruangan dan sarana yang khusus.
3. Peralatan berteknologi tinggi dan mahal.
4. Pelayanan dilakukan oleh staf yang professional dan berpengalaman serta
dapat menggunakan peralatan ICU yang canggih dan mahal.

2.8 Sarana dan prasarana ICU

13
Lokasi ICU harus dekat dengan kamar bedah dan kamar pulih, berdekatan
atau mempunyai akses yang mudah ke UGD, laboratorium dan radiologi. Hal ini
untuk memudahkan transport pasien post op yang membutuhkan pemantauan dan
terapi intens.(3,6) Berikut merupakan sarana dan prasarana ICU di rumah sakit(6) :
1. Terisolasi.
2. Mempunyai standar untuk bahaya api, bahaya radiologi, bahaya
bakteriologis.
3. Ruangan ber AC dengan suhu ruangan 20–25OC dan kelembapan 50–70%.
4. Mempunyai ruangan isolasi untuk pasien khusus.
5. Mempunyai rungan penyimpanan alat medis yang bersih dan steril.
6. Mempunyai ruangan pembuangan kotor.
7. Mempunyai ruang perawat.
8. Mempunyai ruang dokter jaga.
9. Mempunyai ruang laboratorium.
Pelayanan ICU yang memadai ditentukan berdasarkan desain yang baik dan
pengaturan ruang yang adekuat.

2.9 Peralatan ICU(2)


Peralatan yang memadai dalam hal kualitas maupun kuantitas sangat
menentukan kelayakan pelayanan ICU, jumlah dan peralatan bergantung dari tipe
klasifikasi, fungsi ICU dan harus sesuai dengan kelayakan standar yang beraku.
Peralatan tersebut harus di kalibrasi ulang atau dijaga secara berkala agar tetap
berfungsi dengan baik. Perlu adanya protokol atau pelatihan kerja untuk perawat
perawat ICU agar dapat mengoperasikan peralatan ICU dengan baik tanpa dan
mencegah ada malfungsi dari peralatan tersebut.(1)
Peralatan monitoring pasien di ICU harus memiliki sistem alarm, hal ini
untuk memberitahu perawat agar pasien yang mengalami kondisi kritis atau dalam
kondisi yang menurun dapat dipantau terus.(1)

14
Peralatan ICU primer ICU sekunder ICU tersier
Ventilasi mekani Sederhana Canggih Canggih
Alat hisap + + +
Alat ventilasi manual dan alat + + +
penunjang jalan nafas
Peralatan monitor + + +
Invasif
 Monitor tek darah invasif - + +
 Tekana vena sentral
 Swan Ganz
+ + +
- - +
Non invasif
+
 Tekanan darah + +
+
 Ekg dan pacu jantung + +
 Saturasi oksigen +
 Kapnografi + +
+
- +
Suhu + + +
EEG - + +
Defibrilator dan alat pacu + + +
jantung
Pengatur suhu pasien + + +
Peralatan drai torak + + +
Pompa infus dan syringe - + +
Bronkoscopy + + +
Echocardiography - + +
Hemodialisa - + +
CRRT - + +

Tabel 1. Peralatan berdasarkan klasifikasi ICU

2.10 Indikasi pasien masuk ICU(2)


Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang
masih diharapkan reversible (pulih kembali seperti semula) mengingat ICU adalah
tempat perawatan yang memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan
tenaga (yang khusus). Indikasi pasien yang layak dirawat di ICU adalah:

15
1. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care.
2. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi system organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan terus menerus dan metode terapi titrasi.
3. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
Selain berdasarkan indikasi, untuk memasukkan pasien ke dalam ruangan
ICU dapat ditentukan oleh 2 kriteria, yaitu kriteria berdasarkan diagnosis dan
kriteria bedasarkan parameter objektif.
A. Kriteria berdasarkan diagnosis.
a) Sistem kardiovaskuler: infark miokard akut dengan komplikasi, syok
kardiogenik, aritmia kompleks yang membutuhkan monitoring jetat dan
intervensi, gagal jantung kongestif dengan gagal napas dan/atau
membutuhkan support hemodinamik, hipertensi emergensi, diseksi
aneurisma aorta, blokade jantung komplit.
b) Sistem pernafasan: gagal napas akut yang membutuhkan bantuan
ventilator, emboli paru dengan hemodinamik tidak stabil, pasien dalam
perawatan Intermediate Care Unit yang mengalami perburukan fungsi
pernapasan, hemoptisis massif.
c) Penyakit nerurologis: stroke akut dengan penurunan kesadaran, koma
(metabolik, toksis, atau anoksia), perdarahan intrakranial dengan potensi
herniasi, perdarahan subarachnoid akut, meningitis dengan penurunan
kesadaran atau gangguan pernapasan.
d) Penyakit gastrointestinal: perdarahan gastrointestinal yang mengancam
nyawa termasuk hipotensi, angina, perdarahan yang masih berlangsung,
atau dengan penyakit komorbid, gagal hati fulminant, pankreatitis berat
e) Lain-lain: syok sepsis, trauma faktor lingkungan (petir, tenggelam, hipo /
hypernatremia), ketoasidosis diabetikum dengan komplikasi
hemodinamik tidak stabil, penurunan kesadaran, pernapasan tidak
adekuat atau asidosis berat.
B. Kriteria berdasarkan parameter objektif.

16
a) Tanda vital: nadi <40 atau >140 kali/menit; tekanan darah sistolik arteri
<80 mmHg atau 20 mmHg di bawah tekanan darah pasien sehari-hari;
mean arterial pressure <60 mmHg; tekanan darah diastolic arteri >120
mmHg; frekuensi napas >35 kali/menit.
b) Nilai laboraturium: natrium serum <110 mEq/L atau >170 mEq/L;
Kalium serum <2,0 mEq/L atau >7,0 mEq/L; PaO2 <50 mmHg; pH <7,1
atau >7,7; Glukosa serum >800 mg/dl; Kalsium serum >15 mg/dl; Kadar
toksik obat atau bahan kimia lain dengan gangguan hemodinamik dan
neurologis.
c) Radiografi/Ultrasonografi/Tonografi: Perdarahan vascular otak, kontusio
atau perdarahan subarachnoid dengan penurunan kesadaran atau tanda
deficit neurologis fokal; Ruptur organ dalam, kandung kemih, hepar,
varises esophagus atau uterus dengan hemodinamik tidak stabil; Diseksi
aneurisma aorta.
d) Elektrokardiogram: Infark miokard dengan aritmia kompleks,
hemodinamik tidak stabil atau gagal jantung kongestif; Ventrikel
takikardi menetap atau fibrilasi; Blokade jantung komplit dengan
hemodinamik tidak stabil.

2.11 Kriteria pasien masuk ICU(2,3)


Dalam menentukan prioritas, kepala ICU bertanggung jawab yang
menentukannya berdsarkan kondisi medik dan indikasi perawatan pasien ICU.
Kriteria prioritas pasien masuk ICU dibagi menjadi 3, yaitu pasien yang
memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih didahulukan dibandingkan dengan
pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3), ketiga kriteria
prioritas tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Golongan pasien prioritas 1.


Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit kritis,
tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan
/ bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ / system yang lain, infus
obat-obat vasoaktif / inotropic, obat anti aritmia, serta pengobatan lain –

17
lainnya secara kontinyu dan tertitrasi. Pasien yang termasuk prioritas 1
adalah pasien pasca bedah kardiotorasik, sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa.
2. Golongan pasien prioritas 2
Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di
ICU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera,
misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter.
Pasien yang tergolong dalam prioritas 2 adalah pasien yang menderita
penyakit dasar jantung–paru, gagal ginjal akut dan berat, dan pasien yang
telah mengalami pembedahan mayor.
3. Golongan pasien prioritas 3
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak
stabil status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi.
Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada kriteria ini
sangat kecil, sebagai contoh adalah pasien dengan keganasan metastatic
disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, dan
pasien penyakit jantung dan penyakit paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien kriteria ini hanya untuk
mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai
melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.
Indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan
catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu waktu harus bisa
dikeluarkan dari ICU. Pasien yang tergolong demikian antara lain: (PEDOMAN)
1. Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup.
2. Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
3. Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak.
2.12 Kriteria pasien keluar ICU(2)
Pasien yang telah membaik keadaannya dapat dipindahkan atau dikeluarkan
dari ICU, namun untuk memindahkannya diperlukan pertimbangan medis dari
kepala ICU atau tim yang merawat pasien. Pertimbangan medis tersebut antara
lain:

18
1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga
tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intesif lebih lanjut.
2. Terapi dan pemantauan intensif tidak memberikan perbedaan hasil yang
berarti bagi pasien.

2.13 Alur pelayanan ICU(3)

2.14 Skoring ICU(5)


Intensivis memutuskan untuk membuat skoring beratnya penyakit terhadap
pasien-pasien yang dirawat di ICU dengan maksud membandingkan populasi dan
mengevaluasi hasil akhirnya. Hasil akhir dari suatu perawatan intensif bergantung
dari berbagai faktor antara lain keadaan hari pertama pasien masuk ICU dan juga
penyebab sakit yang membuat pasien dirawat di ICU.
Sistem skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
II Score) adalah sistem klasifikasi keparahan penyakit yang pertama kali
diperkenalkan oleh William Knaus dkk. Skor Apache ini digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas yang biasa
digunakan di beberapa unit perawatan intensif (ICU) dan merupakan merupakan
salah satu sistem skor paling banyak digunakan untuk analisis kualitas IPI.

19
BAB III
ANALISA KASUS

20
Pasien dating ke IGD RSUD Karawang setelah sebelumnya dirujuk dari klinik
pada tanggal 07 oktober 2018 dengan keluhan utama perdarahan otak yang
dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Pada tanggal 07 oktober 2018 sampai dengan
tanggal 08 oktober 2018 pasien berada di IGD dikarenakan kamar belum tersedia,
pada tanggal 9 oktober baru sang pasien dirujuk ke ruang intermediate dan pada
hari yang sama pasien melakukan operasi craniotomy. Riwayat penyakit keluarga ,
dan kencing manis disangkal.

Pada tanda vital yaitu tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan. Pada
pasien didapatkan tekanan darah yaitu Pada pasien didapatkan tekanan darah,
nadi, dan pernafasan, yaitu 124/73 mmHg, nadi 100x/menit, dan frekuensi napas
didapatkan sebanyak 23x/menit. Pada pengukuran suhu tubuh didapatkan suhu
sebesar 36,9°C. Selanjutnya pada pasien dilakukan pemeriksaan status generalis
dari kepala sampai dengan ekstremitas yang menunjukkan hasil pada mata berupa
sklera ikterik, teradapat keluarnya darah dari mulut pasien. Sedangkan pada
pemeriksaan penunjang didapatkan penurunan pada hemoglobin yaitu 11,7 g/dL,
eritrosit yaitu 4,08x10^6/uL, hematokrit yaitu 75,2%, MCV yaitu 86 fL, MCH
yaitu 29 pg. Didapatkan juga peningkatan leukosit yaitu 18,7x10^3/uL,
trombosit yaitu 298x10^3/uL, ureum yaitu 102.7 mg/dL, kreatinin 1.5 mg/dL dan
gula darah sewaktu yaitu 135 mg/dL, untuk pemeriksaan lainnya dalam batas
normal.
Cedera kepala bisa berarti cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak,
jaringan otak atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Cedera kepala
dititik beratkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak dan pembuluh
darahnya. Cedera yang disebabkan adanya benturan pada kepala atau akselerasi-
deselerasi yang tiba-tiba dari otak di dalam rongga tengkorak

21
Patogenesis cedera kepala
Dalam keadaan normal, aliran darah otak pada orang dewasa antara 50-55
mL/100 gr otak/menit. Bila aliran darah otak turun hingga kurang dari 18 ml/100
gr otak/menit merupakan ambang bawah gagalnya pompa ion.
Benturan pada kepala dibedakan menjadi 3 jenis keadaan yaitu: kepala diam
dibentur oleh benda yang bergerak, kepala yang bergerak membentur benda yang
diam, kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain
dibentur oleh benda yang bergerak (tergencet). Pada pasien ini termasuk cedera
kepala yang bergerak membentur benda yang diam. Karena saat kepala yang
sedang bergerak kemdian membentur suatu benda yang keras, maka akan terjadi
perlambatan yang tiba-tiba, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan di tempat
benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada tempat benturan terdapat tekanan
yang paling tinggi, sedang pada tempat yang berlawanan terdapat tekanan
negative paling rendah sehingga terjadi rongga dan akibatnya dapat terjadi
robekan.

Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga
subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid
ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga
antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang
merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges). Subarachnoid
hemoragik adalah ganggguan yang menngancam nyawa.

Subarachnoid hemorrhage (SAH) umumnya disebabkan oleh ruptur aneurisma.


Wanita memiliki resiko lebih tinggi terkena SAH dibandingkan pria, dengan usia
penderita, 50 – 60 tahun.1-5 Gejala klinis SAH adalah nyeri kepala hebat (worst
headache of my life) mual, muntah, photophobia, kejang, focal neurological
deficit, penurunan kesadaran. Diagnosis SAH ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti computed tomography (CT
scan)/magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography
(CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography. 3-10 Ada

22
beberapa skala dalam SAH yang digunakan untuk menilai morbiditas dan
mortalitas pasien, seperti Botterell, Hunt & Hess, WFNS dan Fisher.

Sedatif premedikasi (lorazepam 1-4 mg,po) dapat diberikan pada pasien dengan
tingkat kecemasan tinggi (skala Hunt & Hess I-II), namun harus dipertimbangkan
resiko terjadinya hipoventilasi, hiperkarbi yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Pengosongan lambung yang lebih lama yang beresiko terjadinya
regurgitasi dan aspirasi cairan lambung. Untuk mengantisipasi terjadi nya hal
tesebut, dapat diberikan, metoclopramide 10 mg,iv atau ranitidine 150 mg,iv.
Calcium channel blok (nimodipin), antikonvulsan, steroid dapat dilanjutkan bila
tidak ada kontraindikasi.7-15 Insidens terjadinya rupture aneurisma saat nduksi
0,5–2 %, dengan tingkat mortalitas 75%. Induksi anestesi pada pasien ini
diusahakan dengan metode “slow neuro-induction” dengan tiophental /propofol,
opioid dan pelumpuh otot non depol. Metode lain adalah ‘rapid-sequence
induction” tanpa tekanan positip saat bagging dengan masker ventilasi. Dosis obat
induksi yang dianjurkan adalah thiopental 3–5 mg/kg, propofol 1–2 mg/kg,
fentanil 3–5 ug/kg, sufentanil 0,5–1 ug/kg, rocuronium 0,9–1,2 mg/ kg,
vecuronium 0,1 mg/kg, dosis rendah isoflurane /sevoflurane, disertai penekanan
pada cricoid dengan aliran gas oksigen 100%. Target endtidal CO2 35–40 mmHg,
hindari terjadinya hiperkarbi, yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial. Hiperkarbi berat akan menyebabkan kurva disosiasi oksigen-
hemoglobin pasien bergeser ke kiri dan menyebabkan gangguan transport
oksigen. Sebelum laringoskop, berikan lidokain 1,5 mg/kg, thiopental 2–3 mg/kg
atau propofol 0,5 mg/kg. Usahakan “gentle and smooth laryngoscopy” dan
intubasi.

Pasca intubasi, kepala di elevasi 30 derajat. Target tekanan transmural (TMP) =


CPP = MAP – ICP. Peningkatan TMP dapat mengakibatkan pecahnya aneurysma.
Sedangkan penurunan TMP akan menimbulkan iskemia. Penurunan tekanan darah
yang direkomendasikan 20–25% dari tekanan darah pasien. Penurunan tekanan
darah lebih dari 30% dapat mengakibatkan terjadinya iskemia serebral. Hindari
hiperventilasi karena akan mengurangi aliran darah otak (cerebral blood

23
flow/CBF), menurunkan ICP, meningkatkan TMP dan beresiko terjadinya ruptur
aneurisma Hiperventilasi akan menyebabkan peningkatan tekanan intrathorakal,
sehingga terjadi penurunan cardiac output pasien. Intraoperatif, target
hemodinamik stabil dan isovolemik dengan memperhitungkan pemberian cairan
untuk mencegah terjadinya peningkatan cerebral blood volume (CBV). Rumatan
anestesi yang dianjurkan adalah fentanil 1–2 ug/kg/jam, sevoflurane 0,5–1%,
compress air, vecuronium 0,08 mg/kg/jam, propofol 6–8 mg/kg/jam atau
thiopental 5–6 mg/kg/jam. Dapat pula digunakan metode total intravenous
anesthesia (TIVA) tanpa gas anestesi.7-15 Lama kliping temporer 20 menit atau
kurang. Bila menggunakan teknik hipotensi dapat diberikan sodium nitroprussid
atau anesthesia inhalasi.

Penggunaan manitol sebagai diuretic osmotik, untuk menurunkan tekanan


intrakranial dan mengempiskan otak. Dosis manitol yang dianjurkan 0,25-0,5
g/kg. Pemberian manitol dilakukan setelah duramater dibuka, untuk mencegah
terjadinya ruptur.7-15 Tanda klinis bila terjadi rupture aneurisma intraoperative,
adalah hipertensi dan bradikardi. Dapat dilakukan drainase cairan serebrospinal
melalui kateter lumbal dengan kecepatan 5 ml/ menit dan total pengambilan cairan
50–150 ml, apabila otak belum kempes (slack brain).

Saat ekstubasi, pasien harus sadar betul (fully awake) dengan reflek menelan
yang baik, untuk menghindari terjadinya aspirasi pasca ekstubasi. Tetapi dengan
klinis buruk (skala Hunt dan Hess 3–5) atau bila didapatkan pembengkakan otak
intra operasi, rupture aneurisma, ligase feeding vessel, pasien tidak diekstubasi
dan rawat di ICU dengan sedasi dan ventilator mekanis. Apabila pasien tetap tidak
respon atau ada perburukan neurologis baru dalam 2 jam pasca operasi, perlu
segera dilakukan pemeriksaan CT scan.7-15 Pasca kliping, dilakukan terapi triple-
H, yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Hipertensi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan atau obat vasopressor (sebelum kliping, tekanan darah
sistolik 120–150 mmHg, setelah kliping tekanan darah sistolik 160-200 mmHg),
hipervolemi dapat dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid, koloid atau

24
produk darah (PRC / FFP) dengan target CVP 10 mmHg dan PCWP 12–16
mmHg, hemodilusi dengan target hematokrit 30–35%.7-15

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Jevon, P& Ewens, B. Pemantuan Pasien Kritis. Edisi Kedua. Alih Bahasa:
Vidhia Umami. Jakarta: Erlangga Medical series. 2009.
2. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
Pelayanan Intensive Care Unit di Rumah Sakit. Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI; 2011.
3. Indonesian Society of Intensive Care Unit. Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan ICU (online), www.perdici.org/pedoman-ICU/ .
4. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta.
2015.
5. Petunjuk Teknis Penyelengaraan Pelayanan Intensif Care Unit (ICU) Di Rumah
Sakit. Direktorat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. 2012.
6. Pola Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial Pada Ruang Perawatan Intensif
Anak RSUP PROF. DR. R. D. Kandau Manado. Manado. 2015.
7. Smeltzer, S.C, Bare, B.G. Medical Surgical Nursing Brunner & Suddarth.
Philadelphia: Lippincott. 2008.
8. Kartika, R.W. Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik. Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta; CDK-248; 44(1); 18-22, 2017.
9. Bone RC, Sprung CL, Sibbald WJ. Definitions for sepsis and organ failure.
Crit Care Med 20: 724-6, 1992.
10. Vincent JL. Clinical Sepsis and Septic Shock: Definition, diagnosis, and
management principles. Langenbecks Arch Surg 393: 817-24, 2008.

26

Anda mungkin juga menyukai

  • Anemia Gravis Lapkas
    Anemia Gravis Lapkas
    Dokumen18 halaman
    Anemia Gravis Lapkas
    Kholida Nabila
    Belum ada peringkat
  • AKI2
    AKI2
    Dokumen19 halaman
    AKI2
    Kholida Nabila
    Belum ada peringkat
  • AKI1
    AKI1
    Dokumen5 halaman
    AKI1
    Kholida Nabila
    Belum ada peringkat
  • Referat Aki
    Referat Aki
    Dokumen24 halaman
    Referat Aki
    Kholida Nabila
    Belum ada peringkat
  • Bahan 1 MCMJG
    Bahan 1 MCMJG
    Dokumen59 halaman
    Bahan 1 MCMJG
    Kholida Nabila
    Belum ada peringkat