Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena rahmat-Nya


penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Anatomi dan Fisiologi Sistem
Sensoris Hidung dan Pengecapan”. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas
Ilmu Biomedik Dasar.
Makalah ini berisi tentang Anatomi dan Fisiologi Sistem Sensoris Hidung dan
Pengecapan. Makalah ini tersusun karena adanya dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu drg Yetti Wilda MMKes selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu
Biomedik Dasar.
2. Kedua orang tua dan rekan yang telah memberikan masukan kepada kami.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh Karena
itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca.

Sidoarjo, 31 Oktober 2017

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang ......................................................................................... 1


1.2. Rumusan masalah .................................................................................... 2
1.3. Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Indera Penglihat (Mata) ........................................................................... 3


2.2. Indera Pendengar (Telinga) ..................................................................... 8
2.3. Indera Peraba (Kulit) ............................................................................... 13
2.4. Indera Pengecap (Lidah) .......................................................................... 15
2.5. Indera Pembau (Hidung) ......................................................................... 17

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan .................................................................................................. 20


3.2. Saran ........................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Setiap makhluk hidup di bumi diciptakan berdampingan dengan alam, karena
alam sangat penting untuk kelangsungan makhluk hidup. Karena itu setiap makhluk
hidup, khususnya manusia harus dapat menjaga keseimbangan alam. Untuk dapat
menjaga keseimbangan alam dan untuk dapat mengenali perubahan lingkungan yang
terjadi, Tuhan memberikan indera kepada setiap makhluk hidup.
Indera ini berfungsi untuk mengenali setiap perubahan lingkungan, baik yang
terjadi di dalam maupun di luar tubuh. Indera yang ada pada makhluk hidup, memiliki
sel-sel reseptor khusus. Sel-sel reseptor inilah yang berfungsi untuk mengenali
perubahan lingkungan yang terjadi. Berdasarkan fungsinya, sel-sel reseptor ini dibagi
menjadi dua, yaitu interoreseptor dan eksoreseptor.
Interoreseptor ini berfungsi untuk mengenali perubahan-perubahan yang terjadi
di dalam tubuh. Sel-sel interoreseptor terdapat pada sel otot, tendon, ligamentum, sendi,
dinding pembuluh darah, dinding saluran pencernaan, dan lain sebagainya. Sel-sel ini
dapat mengenali berbagai perubahan yang ada di dalam tubuh seperti terjadi rasa nyeri
di dalam tubuh, kadar oksigen menurun, kadar glukosa, tekanan darah menurun/naik
dan lain sebagainya.
Eksoreseptor adalah kebalikan dari interoreseptor, eksoreseptor berfungsi untuk
mengenali perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi di luar tubuh. Yang termasuk
eksoreseptor yaitu: (1) Indera penglihat (mata), indera ini berfungsi untuk mengenali
perubahan lingkungan seperti sinar, warna dan lain sebagainya. (2) Indera pendengar
(telinga), indera ini berfungsi untuk mengenali perubahan lingkungan seperti suara. (3)
Indera peraba (kulit), indera ini berfungsi untuk mengenali perubahan lingkungan
seperti panas, dingin dan lain sebagainya. (4) Indera pengecap (lidah), indera ini
berfungsi untuk mengenal perubahan lingkungan seperti mengecap rasa manis, pahit
dan lain sebagainya. (5) Indera pembau (hidung), indera ini berfungsi untuk mengenali
perubahan lingkungan seperti mengenali/mencium bau. Kelima indera ini biasa kita
kenal dengan sebutan panca indera.

1.2. Rumusan masalah


1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi sistem indera pengecap (lidah) pada
manusia?
2. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi sistem indera pembau (hidung) pada
manusia?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem indera pengecap (lidah) pada
manusia.
2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem indera pembau (hidung) pada
manusia.

BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Definisi Indera Penciuman


Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya
dengan gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan merupakan kombinasi
penciuman dan pengecapan. Reseptor penciuman merupakan kemoreseptor yang
dirangsang oleh molekul larutan di dalam mukus. Reseptor penciuman juga
merupakan reseptor jauh (telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalm
talamus dan tidak di proyeksikan neokorteks bagi penciuman.
Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan. Pada
manusia, bau mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau
membangkitkan rasa penolakan dan keterlibatan memori, selain itu bau juga penting
untuk nafsu makan.
1.2 Anatomi Hidung
a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal
hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung
bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago
lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan
tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis
superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat
dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut


apertura piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan
prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila.
Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis
anterior.
b. Hidung Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring.
Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi
organ menjadi dua hidung. Pada dinding lateral hidung terdapat konka dengan
rongga udara yaitu meatus superior, media dan inferior.
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial
dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas
struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat
mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian
dapat mengganggu penciuman.
Gambar 2. Anatomi Hidung dan Cavum Nasi

 Membrane Mukosa Olfaktorius


Sel reseptor olfaktorius terletak dibagian mukosa hidung yang khusus,
yaitu membrane mukosa olfaktorius yang berpigmen kekuningan. Pada
anjing dan hewan lain dengan indra penghidu yang sangat berkembang
(hewan makrosmatik), cakupan daerah membrane ini luas; pada hewan
mikrosmatik membrane ini kecil. Pada manusia daeraj ini luasnya 5 cm 2
berada di atap rongga hidung dekat septum. Membrane ini mengandung sel-
sel penunjang dan sel-sel calon reseptor penghidu. Diantara sel ini terdapat
10-20 juta sel reseptor. Setia reseptor penghidu adalah neuron, dan di tubuh,
membrane mukosa olfaktorius merupakan system saraf yang terletak paling
dekat dengan dunia luar. Setiap neuron memiliki dendrite pendek tebal
dengan ujung melebar yang disebut batang olfaktorius. Dari batang ini,
timbul tonjolan silia yang merebak kepermukaan mucus. Silia adalah
prosesus tidak bermielin sengan panjang 2µm dan garis tengah 0,1µm. untuk
setiap neuron terdapat 10-20 silia. Akson neuron reseptor penghidu
menembus lamina kribiformis tulang etmiod dan masuk ke bulbus
olfaktorius.
Gambar 3. (a) lokasi (b) struktur mukosa olfaktorius

Neuron penghidu, seperti reseptor pengecapan, tidak seperti neuron


lainnya, selalu diperbarui dengan waktu paruh beberapa minggu. Perbaruan
sel olfaktorius ini merupakan proses yang diatur, dana ada bukti bahwa pada
proses ini, protein morfogenik tulang (bone morphogenic protein, BMP)
member pengaruh inhibisi. BMP merupakan golongan factor pertumbuhan
yang sebelumnya disebutkan sebagai zat perangsang (promotor)
pertumbuhan tulang, tetapi sekarng diketahui bekerja pada bermacam-
macam jaringan tubuh selama pertumbuhan, termasuk berbagai sel saraf.
Membrane mukosa olfaktorius selalu ditutupi oleh mucus, mucus ini
dihasilkan oleh kelenjar Bowman, yang terletak tepat di bawah lamina basal
membrane.
 Bulbus Olfaktorius
Pada bulbus olfaktorius, akson reseptor bersinap dengan dendrite primer
sel mitral dan tufted cells untuk membentuk sinap globular kompleks yang
disebut glomerolus olfaktorius. Tufted cell (sel berumbai) lebih kecil dari
pada sel mitral dan memilki akson yang tipis, tetapi kedua jenis sel mengirim
aksonnya menuju korteks penghidu serta bagian otak lain, dan tanpaknya
merit jika ditinjau dari segi fungsi. Rata-rata 26.000 akson sel reseptor
berkonvergensi pada setiap glomerolus. Selain sel mitral dan sel tufted,
bulbus olfaktorius mengandung sel periglomeruler, yaitu neuron inhibisi
yang menghubungkan satu glomerolus dengan glomerolus lainya, dan sel
granula, yang tidak memunyai akson dan membentuk sinaps timbale balik
(resiprokal) dengan dendrite lateral sel mitral dan sel tufted . di sinaps ini, sel
mitral dan sel tufted merangsang sel granula dengan pelepasan glutamate,
sedang di sisi sel granula sinaps akan menghambat sel mitral dan sel tufted
dengan mengeluarkan GABA.

Gambar 4. sirkuit saraf dasar di bulbus olfaktorius

 Korteks Olfaktorius
Akson sel mitral dan sel tufted berjalan ke posterior melalui stria
olfaktorius intermedia dan stria olfaktorius lateral ke korteks olfaktorius.
Akson sel mitral berakhir di dendrite apical sel pyramid di korteks
olfaktorius. Pada manusia, tindakan mengendus-endus akan menggiatkan
korteks piriformis, tetapi menghidu dengan atau tanpa mengendus-endus
menggiatkan girus orbitofrontal lateral dan anterior dari lobus frontalis.
Penggiatan orbitofrontalis pada umumnya lebih besar pada sisi kanan dari
pada sisi kiri. Dengan demikian , representasi penghidu pada korteks bersifat
asimetris. Serat lain menuju ke amigdala, yang mungkin berperan dalam
respon emosi terhadap rangsang penghidu, dan ke korteks entorinal, yang
berperan dalam ingatan penghidu.

Gambar 5. sirkuit penghidu

2.3 Fisiologi Hidung


Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses
bicara dan reflek nasal.
a. Sebagai jalan nafas
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk
lengkungan atau arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara
memecah sebagian melalui nares anterior dan sebagian lagi ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran udara nasofaring.
b. Pengatur kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur
suhu.
c. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut
lendir dan enzim yang dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut
lisozim.
d. Indera penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik nafas dengan kuat.
Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan
terdiri dari tiga macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel
olfaktorius. Lamina propia di daerah olfaktorius mengandung kelenjar
olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang
menghasilkan mukus cair.
Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan
di bagian puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan
melanjutkan diri ke permukaan epitel, kemudian membentuk bulatan disebut
vesikel olfaktorius. Menurut teori stereokimia untuk penghidu setiap bau dari
ketujuh bau-bauan kimia atau dasar, indera penciuman mempunyai molekul
yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik atau nukleofilik. Epitel
olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang bentuk dan dimensinya
tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan partikel reseptor
tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper, “musky”, wangi
bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel,
merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan
dua atau lebih reseptor primer.
Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau
adalah interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar,
permulaan perjalanan impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada
batang olfaktorius atau silia, mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam
lendir. Pada perangsangan sel reseptor, akan timbul perubahan potensial listrik
yang menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius untuk merangsang
sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas listrik yang menetap dan
terus-menerus.
Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen
setebal 1 mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul
membentuk gabungan 20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui
lubang pada lamina kribrosa dan memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini
tidak bermielin.
Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan
dengan sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk
traktus olfaktorius yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian
masuk ke korteks piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus
olfaktorius dan limbus anterior kapsula interna dengan hubungan sekunder.
e. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
f. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
g. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.4 Proses Penciuman
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel
pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial
(nervus alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut
saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius). Zat-
zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai
reseptor pembau.

Gambar 6. Arus Proses Penciuman

Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan
protein membran pada dendrit. Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-
akson. Beribu-ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak
(olfaktori). Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke
rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan
impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk
diinterpretasikan.
2.5 Kelainan pada Indera Penghidung
Kelainan penghidu disebut dengan “osmia”, diantaranya adalah:
a. Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau
b. Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
c. Disosmia : distorsi identifikasi bau
d. Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau,
biasanya bau tidak enak
e. Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
f. Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita
dapat mendeteksi bau.
Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah
bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). Pada manusia telah telah
ditemukan beberapa lusin jenis anosmia yang berbeda; kelainan-kelaina ini
diperkirakan desebabkan oleh tidak adanya atau gangguan fungsi salah satu dari
banyak kelompok reseptor bau. Ambang penghidu meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, dan lebih dari 75% orang berusia di atas 80 tahun mengalami
gangguan mengidentifikasi bau.
2.2 Indera Pengecap (Lidah)
Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat
membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lidah dikenal
sebagai indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap. Menggunakan
lidah, kita dapat membedakan bermacam-macam rasa. Lidah juga turut membantu
dalam tindakan bicara
Permukaan atas lidah penuh dengan tonjolan (papila). Tonjolan itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam bentuk, yaitu bentuk benang, bentuk dataran yang
dikelilingi parit-parit, dan bentuk jamur. Tunas pengecap terdapat pada parit-parit papila
bentuk dataran, di bagian samping dari papila berbentuk jamur, dan di permukaan papila
berbentuk benang.
a. Bagian-bagian lidah
Sebagian besar lidah tersusun atas otot rangka yang terlekat pada tulang
hyoideus, tulang rahang bawah dan processus styloideus di tulang pelipis. Terdapat dua
jenis otot pada lidah yaitu otot ekstrinsik dan intrinsik. Lidah memiliki permukaan yang
kasar karena adanya tonjolan yang disebut papila. Terdapat tiga jenis papila yaitu:
1. Papila filiformis berbentuk seperti benang halus.
2. Papila sirkumvalata berbentuk bulat, tersusun seperti huruf V di belakang lidah.
3. Papila fungiformis berbentuk seperti jamur.
Gambar Struktur lidah dan pembagian daerah perasanya

Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papila, terdiri dari
dua sel yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor,
sedangkan sel penyokong berfungsi untuk menopang. Bagian-bagian lidah:
1. Bagian depan lidah, fungsinya untuk mengecap rasa manis.
2. Bagian pinggir lidah, fungsinya untuk mengecap rasa asin dan asam.
3. Bagian belakang/pangkal, fungsinya untuk mengecap rasa pahit.
Lidah memiliki kelenjar ludah, yang menghasilkan air ludah dan enzim amilase
(ptialin). Enzim ini berfungsi mengubah zat tepung (amilum) menjadi zat gula. Letak
kelenjar ludah yaitu: kelenjar ludah atas terdapat di belakang telinga, dan kelenjar ludah
bawah terdapat di bagian bawah lidah.
b. Cara Kerja Lidah
Makanan atau minuman yang telah berupa larutan di dalam mulut akan
merangsang ujung-ujung saraf pengecap. Oleh saraf pengecap, rangsangan rasa ini
diteruskan ke pusat saraf pengecap di otak. Selanjutnya, otak menanggapi rangsang
tersebut sehingga kita dapat merasakan rasa suatu jenis makanan atau minuman.
c. Kelaianan pada lidah
1. Oral candidosis. Penyebabnya adalah jamur yang disebut candida albicans..
gejalanya yaitu lidah akan tampak tertutup lapisan putih yang dapat dikerok.
2. Atropic glossitis. Lidah akan terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian
lidah maupun hanya sebagian kecil. Penyebab yang paling sering biasanya
adalah kekurangan zat besi. Jadi banyak ditemukan pada penderita anemia.
3. Geografic tongue. Gejalanya yaitu lidah seperti peta, berpulau-pulau. Bagian
pulau itu berwarna merah dan lebih licin dan bila parah akan dikelilingi pita
putih tebal.
4. Fissured tongue. Gejalanya yaitu lidah akan terlihat pecah-pecah.
5. Glossopyrosis. Kelainan ini berupa keluhan pada lidah dimana lidah terasa sakit
dan panas dan terbakar tetapi tidak ditemukan gejala apapun dalam pemeriksaan.
Hal ini lebih banyak disebabkan karena psikosomatis dibandingkan dengan
kelainan pada syaraf.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Mata mempunyai reseptor khusus untuk mengenali perubahan sinar dan warna.
Sesungguhnya yang disebut mata bukanlah hanya bola mata, tetapi termasuk otot-otot
penggerak bola mata, kotak mata, kelopak, dan bulu mata. Cara kerja mata manusia
pada dasarnya sama dengan cara kerja kamera, kecuali cara mengubah fokus lensa. Ada
berbagai macam kelainan pada mata, seperti: presbiopi, hipermetropi, miopi,
astigmatisma, katarak, imeralopi, xeroftalxni, keratomealasi, dan lain sebagainya.
Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran bunyi dan untuk
keseimbangan tubuh. Ada tiga bagian utama dari telinga manusia, yaitu bagian telinga
luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Ada berbagai kelainan pada telinga, seperti: tuli,
congek, otitis eksterna, perikondritis, eksim, cidera, tumor, kanker, dan lain sebagainya.
Kulit merupakan indra peraba yang mempunyai reseptor khusus untuk sentuhan,
panas, dingin, sakit, dan tekanan. Kulit terdiri dari lapisan luar yang disebut epidermis
dan lapisan dalam yang disebut lapisan dermis. Kelainan-kelainan yang ada pada kulit
yaitu: jerawat, panu, kadas, skabies, eksim, biang keringat, dan lain sebagainya.
Lidah mempunyai reseptor khusus yang berkaitan dengan rangsangan kimia.
Permukaan lidah dilapisi dengan lapisan epitelium yang banyak mengandung kelenjar
lendir, dan reseptor pengecap berupa tunas pengecap. Lidah berfungsi sebagai pengecap
rasa dan sebagai pembantu dalam tindakan berbicara. Kelainan yang ada pada lidah
yaitu: oral candidosis, atropic glossitis, geografic tongue, fissured tongue, glossopyrosis,
dan lain sebagainya.
Indra pembau berupa kemoreseptor yang terdapat di permukaan dalam hidung,
yaitu pada lapisan lendir bagian atas. Kelainan-kelainan yang ada pada hidung yaitu:
angiofibroma juvenil, papiloma juvenil, rhinitis allergica, sinusitis, salesma dan
influensa, anosmia, dan lain sebagainya.

3.2. Saran
Pada sistem indra ditemukan berbagai macam gangguan dan kelainan, baik
karena bawaan maupun karena faktor luar, seperti virus atau kesalahan mengkonsumsi
makanan. Untuk itu jagalah kesehatan anda agar selalu dapat beraktivitas dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013. Alat indera pada manusia 9.1.


http://www.crayonpedia.org/mw/Alat_Indra_Pada_Manusia_9.1, (online),
diakses tanggal 04 Juni 2010.
Anonim, 2013. Bagian-bagian mata. http://articles.myhardisk.com/2009/08/bagian-
bagian-mata.html, (online), diakses tanggal 23 Agustus 2013.
Anonim, 2013. Biologi kelas 2 indera pengelihat.
http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/Sponsor-
Pendamping/Praweda/Biologi/0087%20Bio%202-10a.htm, (online), diakses
tanggal 23 Agustus 2013.
Anonim, 2013. Kelainan dan penyakit pada kulit.
http://mengerjakantugas.blogspot.com/2009/08/kelainan-dan-penyakit-pada-
kulit.html, (online) diakses tanggal 23 Agustus 2013.
Anonim, 2013. Kelainan pada telinga luar.
http://medicastore.com/penyakit/360/Kelainan_Pada_Telinga_Luar.html,
(online), diakses tanggal 23 Agustus 2013..
Nurcahyo, 2013. Kelainan telinga, hidung, tenggorokan.
http://www.indonesiaindonesia.com/f/12853-kelainan-telinga-hidung-
tenggorokan/, (online), diakses tanggal 23 Agustus 2013..
Anonim, 2013. Penyakit-penyakit pada lidah. http://www.untukku.com/artikel-
untukku/penyakit-penyakit-pada-lidah-untukku.html, (online), diakses tanggal
23 Agustus 2013.
Anonim, 2006. Knowledge Antomi. Progam animasi anatomi

Tenzer, Amy. 2003. Petunjuk Praktikum Struktur Hewan II. Malang.Jurusan Biologi
UM.

Anda mungkin juga menyukai