Anda di halaman 1dari 31

SALVATORE QUASIMODO

Nostalgia & Penyesalan


NOSTALGIA & PENYESALAN
© SALVATORE QUASIMODO

Penerjemah: Lutfi Mardiansyah


Tata Letak: Vildra Is Fajar
Desain Sampul: Rifki Syarani Fachry

Cetakan Pertama: September, 2016

Tidak dilarang dan sangat dianjurkan


untuk memperbanyak dan menyebarkan
sebagian atau seluruh isi buku ini.
Daftar Isi

 Tiba-Tiba Malam
 Nostalgia dan Penyesalan
 Angin di Tindari
 Cermin
 Musim Gugur Kali Ini
 Musuh Maut
 Sarang Burung Malam
 Laut Masih Bersuara
 Kegembiraan Imitasi
 Lorong
 Tanpa Mengingat Maut
 Kegelapan Mengembang dan Menjulang
 Lahirnya Sebuah Lagu
 Musim Gugur
 Kesenyapan Sungai yang Terlelap
 Epitaf Untuk Bice Donetti
 Tanah Makam Bersenandung Dalam Diriku
 Puisi Cinta
 Di Sebuah Pulau
 Auschwitz
 Tentang Penyair
Tiba-Tiba Malam

Setiap kita sendiri di dalam sanubari bumi,


ditembak-tembus sinar matahari lahir;
dan tiba-tiba malam bergulir.
Nostalgia dan Penyesalan

Kini hari istirah


malam usai sudah dan bulan
perlahan pecah dalam udara jernih
tenggelam dalam kanal.
Begitu semarak September di dataran-dataran
negeri ini, padang rumput hijau
seperti lembah-lembah di Selatan manakala musim semi.
Telah kutinggalkan kawan-kawan,
telah kusembunyikan hatiku di balik tembok-tembok tua,
demi bersendiri, demi mengenangmu kembali.
Sejak kau berada lebih jauh dibanding bulan itu,
kini hari istirah
dan ladam kuda di atas bebatuan berderu.
Angin di Tindari *)

Tindari, aku mengenalimu


ringan di antara bukit-bukit legah, terjulur di atas perairan
pulau-pulau cantik milik Tuhan.
Hari ini, kau menghadap
dan menembus hatiku.

Kudaki puncak-puncak terbuka, tebing-tebing,


kuikuti kesiur angin di pucuk-pucuk pinus,
dan berdesakan di antaranya, ringan mengiringiku,
terbang ke udara,
gelombang cinta dan suara,
dan kau bawa aku kepadamu,
dari mana aku telah keliru bersekutu
dengan kejahatan, dan bayang-bayang ketakutan, kesunyian
—tempat berlindung yang manis, di waktu tertentu—
dan kematian jiwa.

Inilah yang tak kau tahu, negeri itu


yang kian hari kian dalam kutuju
demi menjaga sebuah suku kata rahasia:
cahaya yang tak sama menerangimu, dari balik jendela
membungkusmu di kala malam,
dan keriangan lain yang kumiliki
rebah di atas payudaramu.

*) Tindari, atau Tyndaris kuno, berada di pesisir tanjung provinsi Messina, Italia.
Pengasingan nan kejam
dan pencarian keselarasan berakhir padamu,
kini telah berubah
menjadi rasa cemas, terhadap kematian, yang berkembang
terlalu lekas,
dan tiap-tiap cinta ialah perisai untuk melawan kesedihan,
anak tangga sunyi dalam temaram,
di mana kaulah pemberhentianku sejenak
untuk memecah-mecah rotiku yang apak.

Kembalilah, Tindari yang tenang,


tuntun aku, kawan yang manis,
demi melesatkan diri dari tanah ini ke langit,
hingga kudapatkan rasa takut, demi segala yang tak kutahu
mengapa angin dari jauh itu datang mencariku.
Cermin

Dan lihatlah, pucuk-pucuk


tanggal dari pepohonan:
kehijauan baru pada rerumputan
ketentraman dalam hati:
pohon-pohon itu tampak telah mati,
merunduk di lengkung lereng

Serta segala yang kutahu tentang keajaiban;


dan aku, pada pawana pucat
yang mencermin hari di lekuk parit,
lebih biru, sepenggal surga,
kehijauan yang merobek hati
sejak semalam telah tak ada lagi di sini
Musim Gugur Kali Ini

Musim gugur kini merampas kehijauan lembah-lembah,


Oh makhluk-makhluk manis. Kembali akan kita dengar,
sebelum malam, keluh-kesah terakhir
burung-burung, seruan dari dataran
kelabu yang mengalir menuju kedalaman
bisikan laut. Dan harum hutan
dalam hujan, semerbak pondok-pondok kayu,
betapa aku hidup di sini, di tengah rumah-rumah
di antara manusia, oh makhluk-makhluk manis...
Musuh Maut
Untuk Rossana Sironi

Kepada yang terkasih, kau yang takkan mampu


merobek bayang-bayangmu sendiri,
bawalah dari kami, dari dunia ini,
sebagian keindahan.
Apalah yang dapat kami perbuat
selaku musuh maut,
tunduk pada tungkai kakimu yang mawar,
pada buah dadamu yang lembayung?
Bukan sebuah kata, bukan sepenggal
hari terakhirmu yang akan tiba, sebuah kata ‘Tidak’
bagi benda-benda bumi, sebuah kata ‘Tidak’
bagi catatan-catatan kami, manusia yang kesepian.
Bulan sendu di musim panas,
menyeret jangkar, membawa
mimpi-mimpimu, lembah-lembah, pepohonan,
cahaya, perairan, kegelapan,
tidak pikiran suram namun benar adanya,
yang terputus dari ingatan
yang tiba-tiba tampak tegas,
waktu dan masa depan segala kejahatan.
Kini kau terdiam
di balik pintu-pintu tebal
musuh maut.
Siapa menangis?
Kau telah meniup-empas keindahan
bersama napas, tangisnya,
luka-kematian yang telah ia terima,
tanpa airmata
bagi bayang-bayangnya yang tak berjiwa
yang menyebar di sekeliling kami.
Membinasakan kesunyian,
dan keindahan, betapa sia-sia.
Kau telah mengirim isyarat
ke dalam gelap,
mengukir namamu di udara,
kata Tidak milikmu
bagi segala yang sesak di sini
dan di luar kesiur angin.
Aku tahu apa yang kau
cari pada gaun barumu itu.
Aku paham tanya tak terjawab itu.
Tak ada, bagimu pula bagi kami, sebuah jawaban.
Oh, bunga-bunga dan lumut,
Oh, musuh maut.
Sarang Burung Malam

Di atas puncak-puncak cemara yang berjalin;


khusyu, mendengarkan kehampaan
bersama lengkung reranting yang merunduk?
Sarang burung-burung malam,
menggema pada jam-jam penghabisan,
bersama hentakan sayap-sayap nan sigap.
Di hatiku pun sebuah sarang
menggantung di kegelapan, sebuah suara;
juga tengah mendengarkan malam.
Laut Masih Bersuara

Bahkan di saat malam pun laut masih bersuara,


Lembut, pasang-surut, sepanjang pasir halus.
Gema dari suara yang terlampir dalam jiwa,
yang kembali seiring waktu; dan juga
ratapan camar yang syahdu; burung-burung
yang barangkali berkerumun di bulan April itu
bergerak serempak ke arah dataran; telah
dekat kau kepadaku dalam suara itu;
dan kuharap masih ada daya sampai kepadamu
dariku, suatu gema dari memori,
seperti bisikan kelam laut ini.
Kegembiraan Imitasi

Di kala pepohonan mengubah


malam yang belum jauh terlepas,
betapa pelan-pelan
jejak kaki terakhirmu yang telah terhapus
terbit bersama bunga-bunga
limau, dan menuntut takdirnya.

Kau mencari-cari alasan untuk mencintai,


kau mengalami kesunyian dalam hidup ini.

Alasan-alasan lain tampak bagiku


bagai cerminan waktu. Kesedihan hati itu
seperti maut, kini keindahan
menyala serupa kilat di wajah-wajah yang lain.
Aku telah kehilangan setiap kemurnian,
juga dalam suara ini, yang bertahan
demi kegembiraan imitasi.
Lorong

Terkadang suaramu memanggilku, dan


aku tak tahu apakah angkasa itu atau
perairan ini yang menyadarkanku:

jaring-jaring cahaya matahari yang melapisi


tembok-tembokmu, yang di waktu malam
berayun oleh lentera tertambat
di ruang kerja yang dipenuhi
kesiur angin dan kesedihan.

Di waktu lain: gawai bergemerincing di pekarangan


dan manakala malam terdengar tangis
anak kecil dan anak anjing.

Sebuah lorong: membelah rumah-rumah,


yang memanggil dengan teramat lembut,
dan tahu suara itu bukanlah perasaan takut
seseorang yang sendirian dalam gelap.
Tanpa Mengingat Maut

Musim semi menjulangkan pepohonan, menderaskan sungai;


tak kudengar suara yang jauh
hilang dalam dirimu, kekasih.

Tanpa mengingat maut


yang lekat dalam daging,
deru hari penghabisan
membangunkan kita yang belum lagi dewasa.

Ranting yang tumbuh


tanganku
kembang-kembang di seputar pinggangmu....
Kegelapan Mengembang dan Menjulang

Kau menangkap suaraku


dan kulihat sekilas cahaya
turun dalam bias bayang-bayang
dan menjadikanmu angkasa berbintang di atasku.
Dan aku mengambang di sana, demi membuat diri sendiri
terpesona oleh para malaikat,
kematian, dan pancaran udara cemerlang.

Bukan milikku; tak lebih dari ruang


yang timbul kembali, bergetar dalam diriku,
kegelapan mengembang dan menjulang.
Lahirnya Sebuah Lagu

Terbit: cahaya kembali bangkit:


terang membakar daun-daun.

Berbaring aku di pinggir sungai


di mana di sana pulau-pulau
mencerminkan bayang-bayang dan bebintang.

Dan puncak surgawi meliputiku,


senantiasa memelihara
kehidupanku yang lain dengan keriangan.

Lama aku mendapatimu kembali,


meski mengecewakan,
keremajaan beserta kerapuhan
ranting-ranting.
Musim Gugur

Kesejukan musim gugur, milikku sendiri


dan berbelok aku ke lautmu untuk meminum langit,
fuga manis dari pohon-pohon dan kedalaman.

Sungguh kejam hukuman bagi yang terlahir,


kutemukan diriku seorang bersamamu;
dan dalam dirimu kuhancurkan diriku dan sembuhlah aku:

makhluk lemah dan jatuh


menghuni bumi.
Kesenyapan Sungai yang Terlelap

Kutemukan dirimu di bandar-bandar mujur,


maharani malam,
waktu yang tak dikebumikan,
hampir menyerupai hangatnya keriangan ranum,
anugerah getir hidup sonder suara.

Jalur-jalur perawan beriak


kesenyapan sungai yang terlelap:

Dan aku masih orang hilang, mendengar


namanya dalam kesunyian
ketika mereka memanggil kematian.

Dan kematian adalah


sebuah ruang dalam jantung.
Epitaf Untuk Bice Donetti *)

Dengan matanya di tengah hujan dan hantu-hantu


malam, di sanalah ia, pada tanah nomor limabelas di Musocco,**)
wanita dari Emilia yang kucintai
di hari-hari sendu masa mudaku.
Baru-baru ini ia bermain dengan maut
sementara diam-diam menyaksikan angin musim gugur
menggoyang cecabang dan daun-daun pohonan
di rumah kelabu pinggir kotanya.
Wajahnya masih penuh daya hidup dan rasa ingin tahu,
sebagaimana ketika ia masih seorang kanak; terjebak
dengan nafsu makan yang melimpah di dalam kereta dorong.
O kau yang berlalu, bersama kematian yang lain,
di sanalah di hadapan nisan bertahun sebelas enampuluh
diam sesaat demi mengucap salam kepadanya
ia yang tak pernah mengeluh kepada laki-laki yang
tertinggal di belakang, merunduk-rendahkan pandang, dengan
sajak-sajaknya,
seseorang yang sama seperti kebanyakan yang lain, buruh pekerja
dengan angan-angannya.

*) Bice Donetti adalah istri pertama Salvatore Quasimodo.


**) Musocco adalah distrik di Milan yang merupakan daerah pemakaman paling
besar.
Tanah Makam Bersenandung Dalam Diriku

Kuasingkan diriku; maka penuhlah


bayang-bayang bunga myrtle,
dan ruang yang menguncup lembut membaringkanku.

Juga cinta mencapai


keselarasan dengan kebahagiaan yang penuh
bersama jiwaku pada jam-jam sunyi:
surga dan tanah rawa
tidur dalam jantung kematian.

Dan tanah makam bersenandung dalam diriku,


menyebar ke hamparan tanah berbatu
seperti jalaran akar, dan mencoba memarkah
jalan kecil yang bertentangan.
Puisi Cinta

Angin melenggang riang, memikul


daun-daun dari pepohonan di Taman,*)
di sana rerumputan telah melingkari
tembok-tembok Kastil, perahu tongkang
bermuat pasir mengaliri Naviglio Grande.
Betapa menjengkelkan, betapa menggusarkan, hari ini
suhu berubah dingin sebagaimana di hari yang lain,
terus seperti ini, akan seperti ini. Tapi kau di sini dan tak ada batas:
seperti kekejaman yang terlalu bagi maut yang tak bergeming;
dan benahilah ranjang kehidupan bagi kita berdua.

*) ‘Taman’ yang dimaksud adalah Parco Sempione, sebuah taman yang


berbatasan dengan taman Kastil Sforza.
Di Sebuah Pulau

Sebuah bukit, sebuah simbol


waktu, cerminan jiwa
yang terus-menerus, tak bergeming,
mendengarkan dirinya, menanti
jawaban masa depan. Saat ini terbit
kepada kita tanpa peringatan, sinar tipis
dalam labirin yang selaras.

Barisan bebukit dengan kebiruan yang padu berlimpah,


seorang laki-laki meninggalkan tempat tidur gantungnya
di cabang-cabang pohon
seraya pergi mencari batu dan lumpang.
Di atas kepalanya sebuah bintang fajar
menyinari perairan, di dalam sakunya
penggaris kayu kuning, bertelanjang kaki,
ia susuri tikungan, mendaki lereng curam,
memutari alun-alun, sudut-sudut bengkel besi, tiang-tiang
penopang.
Ia seorang diri, arsitek pembangun dan buruh pekerja,
seekor keledai mengangkut batu-batu, seorang bocah
memecahkannya dan menyebarkan bunga api. Ia bekerja
selama tiga, empat bulan, sebelum tanaman mistletoe
menerima cahaya dan curah hujan, fajar dan petang.
Seluruh buruh yang membangun tembok-tembok tinggi
di pulau ini, orang Yunani atau Swabia
orang Saracen atau Spanyol,
dinding-dinding musim panas atau musim gugur,
orang-orang upahan tak bernama atau buruh berhias
cincin segel, kulihat kini
mereka membangun rumah-rumah
di tepi pantai Tarbia. Garis-garis vertikal,
melimbur udara yang bersandar
pada daun-daun akasia dan almond.

Di balik rumah-rumah itu, kelinci-kelinci di antara


pohon damar, di sana terhampar Sòlunto*) yang mati.
Kudaki bukit itu suatu pagi
bersama para pemuda lain, melewati
inti kesunyian. Masih
kutemukan kehidupan di sana.

*) Sòlunto adalah pemukiman Fenisia Soluntum, atau Solus di Sisilia Utara.


Tarbia berada di dekatnya.
Auschwitz

Di sana, di Auschwitz, jauh dari Vistula,


cintaku, di dataran Utara sana
pada sebuah ladang kematian: perkabungan, rasa gigil,
hujan pada tiang-tiang galah berkarat,
serta kesemrawutan pagar-pagar baja:
dan tak ada pepohonan atau burung-burung di kelabu udara,
pun di atas lamunan kita, kecuali kelembapan
serta rasa sakit dari ingatan yang meninggalkan
kesunyian tanpa ironi maupun amarah.

Kau tak meminta elegi atau idyll: hanya


alasan atas nasib kita, di sini,
kau, yang rawan terhadap perbedaan-perbedaan pikiran,
tak percaya pada tampakan terang
kehidupan. Dan di sinilah kehidupan itu,
dengan setiap kata “tidak” yang tampak tegas:
di sini kita dapat mendengar malaikat menangis, sesosok monster,
saat-saat masa depan kita,
yang berdetak di alam baka, di sini, dalam keabadian
dan isyarat, bukan dalam visi
mimpi-mimpi, dari belas kasih yang mungkin.
Dan di sinilah metamorfosis, di sinilah dongeng itu.
Tanpa simbol maupun dewa-dewa bernama,
mereka adalah kronik, tempat-tempat di bumi,
mereka adalah Auschwitz, cintaku. Betapa tiba-tiba
segalanya berubah menjadi selubung asap,
daging Alfeus terkasih, dan Arethusa!
Dari neraka itu tampak putih
sebuah prasasti: ‘Arbeit macht frei’ *)
asap itu merebak tanpa henti
bagi ribuan wanita yang berdesakan
di dalam kandang anjing, di waktu subuh, di tembok-tembok
yang menjadi sasaran-bidik, atau lolongan lemah
kerangka-kerangka berair yang diberkati
mulut-mulut menganga di bawah pancuran gas.
Kau akan menemukan mereka, para tentara, di dalam
catatanmu, di dalam lekuk-lekuk sungai, makhluk-makhluk,
atau apakah dirimu tak lain adalah juga debu Auschwitz,
sebuah medali sunyi?

Rambut panjang para perempuan, berjela-jela menyelubungi


jambangan
kaca yang padat dijejali azimat,
dan bayang tak berujung dari sepasang sepatu kecil,
serta syal orang Yahudi: mereka adalah relik
dari kebijaksanaan waktu, kebijaksanaan
manusia yang menjadikan senjata sebagai tindakan,
mereka adalah dongeng itu, metamorfosis kita.

*) ‘Arbeit macht frei’ adalah sebuah frasa bahasa Jerman yang berarti “bekerja
membuatmu merdeka”. Frasa ini terkenal ditampilkan di pintu masuk
Auschwitz dan kamp kerja lainnya.
Pada sehampar pulau di mana cinta dan airmata
serta kasih sayang membusuk, dalam hujan,
di sana kata ‘tidak’ berdenyut dalam diri kita,
‘tidak’ bagi kematian, maut di Auschwitz,
takkan pernah lagi, dari dalam lubang
debu itu, kematian.
Tentang Penyair
Salvatore Quasimodo adalah novelis dan penyair kelahiran Modi-
ca, Sicily, Italia, 20 Agustus 1901. Pada tahun 1959, ia dianugerahi
penghargaan Nobel Sastra. Quasimodo wafat di Naples, Italia, pada
14 Juni 1968 di usia 66.

Anda mungkin juga menyukai