Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

DEEP VEIN THROMBOSIS

Oleh :
Muhammad Faisal Sarif, S.Ked
K1A1 13 091
Pembimbing :
dr. H. Syamsul Rijal, Sp.B

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTRAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
DEEP VEIN THROMBOSIS
Muhammad Faisal Sarif, Syamsul Rijal

A. PENDAHULUAN

Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal yang berasal dari

komponen darah (trombus) di dalam pembuluh darah.1

Deep Venous Thrombosis (DVT) atau biasa disebut dengan trombosis vena

dalam adalah penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh darah balik sebelah

dalam, hal ini dapat terjadi oleh karena adanya masalah dengan jantung, infeksi

atau terlalu lama duduk dengan posisi yang sama. DVT sering kali diawali dari

paha atau kaki dimana darah biasanya bergerak lamban. Gumpalan darah kecil

tersebut disebut emboli, yang bila terbawa ke paru dapat menyebabkan

komplikasi berupa emboli paru.2

Stasis vena dapat diakibatkan oleh imobilitas ( keadaan tidak bergerak dalam

waktu lama), misalnya naik pesawat berjam-jam serta tirah baring (bedrest).

Penyebab lain adalah obstruksi vena serta gagal jantung. Kasus kematian akibat

DVT yang menyebabkan emboli paru (sumbatan akibat bekuan darah)

belakangan ini ditemukan pada penumpang pesawat internasional yang duduk

berjam-jam selama perjalanan. 3

Trombosis vena dalam paling sering dijumpai di daerah vena cruris (vena

didaerah betis), setelah itu berturut-turut pada vena femoralis, vena iliaca

comunis dan vena cava inferior. 4


B. EPIDEMIOLOGI
Insiden DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per 100.000

populasi per tahun. Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per

10.000 – 20.000 populasi pada usia dibawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi

pada usia diatas 70 tahun. Insidens DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan

lebih rendah dibandingkan ras Kaukasia, Afrika-Amerika Latin dan Asia Pasifik,

tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. 5

C. ETIOLOGI

Berdasarkan Virchow’s Thriad, terdapat 3 faktor stimuli terbentuknya

tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah

dan perubahan daya beku darah. Selain faktor stimuli, terdapat faktor protektif

yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antitrombin yang

berikatan dengan heparin sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang

teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh

fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibronolisis. 5

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM VENA


Vena-vena dari ekstremitas dibagi kedalam tiga sistem. Ada

suatu sistem yang dalam, yang berjalan dibawah fasia dari otot.

Katup-katup pada sistem yang dalam mengalirkan darah

langsung ke jantung. Ada sistem superficial yang berada pada

jaringan subkutan dari ekstremitas. Katup pada sistem

superficial juga mempunyai fungsi yang sama yaitu mengalirkan


darah langsung ke jantung. Akhirnya ada sistem vena

komunikans yang menghubungkan sistem superficial dengan

sistem dalam. Vena-vena komunikans mempunyai katup yang

fungsinya mengalirkan darah dari sistem superficial ke sistem

dalam. Vena-vena komunikans paling menonjol disepanjang

aspek medial dari betis, dimana dikenal sebagai vena-vena

perforasi. 1
Sistem pembuluh vena sebagian besar mempunyai katup

yang terbentuk dari reduplikasi lapisan dinding sebelah dalam

dan ditunjang oleh jaringan ikat dan elastik Tidak semua vena

mempunyai katup, misalnya didaerah kepala dan leher darah

mengalir kembali ke jantung oleh karena adanya gravitasi.

Katup ini paling banyak dijumpai di ekstremitas bawah. 3


Gambar 1. Gambaran vaskularisasi vena 6

Gambar 2. Gambaran katup vena 6


Khusus di daerah ekstremitas atas dan bawah ditemukan

dua susunan vena, yaitu yang bagian perifer berjalan dibawah

kulit dan yang sebelah dalam berjalan mengikuti susunan arteri.

Kedua susunan vena dihubungkan oleh vena perforantes,

dengan susunan katup yang sedemikian rupa sehingga aliran

dari perifer kedalam tetap satu arah. Kerusakan pada katup

akan menyebabkan gangguan pada aliran yang semula laminar

dalam pembuluh vena menjadi turbulen, sehingga dapat terjadi

varises.3
Vena savena magna sebagai salah satu vena perifer pada

tungkai bawah, bermula dari maelolus medialis dan berakhir di

vena femoralis dibawah ligamentum inguinale, sedangkan vena

safena parva mulai dari maleolus lateralis dan berakhir di vena

politea dibawah persendian lutut. 3


E. PATOFISIOLOGI
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah,

dan beberapa komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga

faktor penting dalam pembentukan thrombosis vena yaitu aliran

pembuluh darah, koagulasi darah dan stasis (Virchow’s Triad).5


Aliran pembuluh darah, kerusakan dinding pembuluh darah

akan mempermudah adhesi trombosit pada subendotel.

Trombosit yang saling berdekatan akan dihubungkan satu sama

lain oleh fibrinogen dan terjadilah agregasi trombosit yang


membentuk plak trombosit. Selain itu, kerusakan jaringan akan

menyebabkan faktor jaringan mengaktifkan sistem koagulasi

jalur ekstrinsik yang akan menghasilkan fibrin dan trombus.7


Koagulasi darah, selain aktivasi sistem koagulasi ekstrinsik

maupun intrinsik oleh faktor jaringan akibat

trauma/pembedahan, juga terjadi migrasi leuokosit di tempat

kerusakan jaringan yang juga mengaktifkan sistem koagulasi.

Aktivasi koagulasi baik melalui jalur ekstrinsik maupun intrinsic

akan mengaktifkan F X menjadi F Xa, dan melalui jalur umum, F

Xa bersama F V dan faktor 3 trombosit akan mengubah

protombin menjadi thrombin. Trombin akan mengubah

fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin inilah yang menjadi dasar

bekuan atau thrombosis. Koagulasi darah juga dapat meningkat

karena faktor umur, trombofilia, dan kondisi tertentu. Trombofilia

artinya darah cenderung membentuk trombus, dapat bersifat

herediter atau didapat. Trombofilia herediter disebabkan AT III,

protein C, protein S, faktor V Leiden, dan mutasi gen protombin.

Trombofilia dapat juga disebabkan oleh sindrom antifosfolipid

(APS), resistensi protein C, serta kondisi tertentu seperti kanker,

polisitemia, infark miokard, tirah baring lama dan kehamilan.7


Stasis vena, alirah darah vena cenderung lambat, bahkan

dapat stasis terutama didaerah yang mengalami imobilisasi


cukup lama.4 Selain itu, stasis akan mempermudah interaksi

trombosit dengan faktor pembekuan didalam pembuluh darah.

Akibat terbentuknya thrombus, aliran darah di vena akan

menjadi terhambat sehingga cairan keluar dari pembuluh darah

ke jaringan interstisial dan menimbulkan udem. Udem dapat

menekan saraf perifer sehingga menimbulkan keluhan nyeri

terutama saat beraktivitas.5


Terdapat beberapa faktor resiko terhadap terjadinya Deep

Vein Thrombosis (DVT) yakni kehamilan, thrombosis vena pasca

pembedahan ortopedi, keganasan,penggunaan obat kontrasepsi

.7
Kehamilan, secara fisiologis kehamilan termasuk kelompok

kondisi hiperkoagubilitas, sehingga risiko thrombosis pada

wanita hamil semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena

meningkatnya faktor pengontrol koagulasi, statis vena, serta

potensi adanya cedera pada permukaan pembuluh darah

pinggul saat persalinan. Risiko DVT meningkat pada wanita

dengan kecenderungan darah mudah menggumpal karena

keturunan serta kurang gerak. Trombosis juga bisa dapat terjadi

oleh karena sindrom antifosfolipid (darah mudah menggumpal

akibat gangguan sistem kekebalan tubuh). Trombosis pada arteri

dapat menyebabkan keguguran, kematian janin, hambatan


pertumbuhan janin, serta preeklampsi sedangkan thrombosis

pada vena bermanifestasi sebagai DVT. 3


Pasca pembedahan ortopedi, pada operasi ortopedi yang

besar terutama yang melibatkan ektremitas bawah yang

melibatkan pergantian sendi panggul, lutut atau operasi fraktur

panggul memiliki risiko tromboemboli vena yang tinggi. Tanpa

adanya profilaksis pemberian antikoagulan operasi bedah

memiliki angka insidensi terjadinya DVT yang tinggi. Risiko ini

berkaitan dengan kerusakan endotel vascular yang terjadi ketika

proses preparasi reaming tulang dan impaksi implan pada

operasi ortopedi risiko tinggi disendi panggul atau lutut. Cedera

pada tulang ini menyebabkan pelepasan kolagen dan

tromboplastin kesistem sirkulasi, yang disertai dengan

penurunan antitrombin III dan gangguan mekanisme fibronolisis

sehingga meningkatkan risiko terbentunya trombus.8


Keganasan, mekanisme pembentukan thrombus yang

menyumbat vena pada kasus keganasan adalah bersifat

heterogen. Mungkin terdapat hubungan dengan lepasanya

substansi yang langsung atau tidak langsung yang menimbulkan

aktivitas proses koagulasi. Substansi tersebut adalah yang

terdiri dari tissue factor dan cancer procoagulant dan makrofag

yang menghasilkan prokoagulan dan sitokin. Pada penderita


kanker mempunyai parameter koagulasi yang abnormal, yakni

adanya peninggian kadar faktor-faktor koagulan, peninggian

kadar fibrinogen dan peninggian kadar trombosit . Namun

sebaliknya terjadi penurunan kadar inhibitor koagulasi

( penurunan kadar anti-trombin, protein C dan protein S).

Tingginya kadar dari fibrinopeptide-A ( berasal dari pemecahan

fibrinogen dengan bantuan trombin dalam aktivasi koagulan)

menunjukkan aktivitas tumor, menggambarkan eratnya

hubungan antara pertumbuhan sel tumor dengan aktivitas

thrombin. Hal ini dapat menjelaskan mengapa sering kali terjadi

kegagalan terapi antikoagulan (heparin dengan berat molekul

tinggi atau rendah) terhadap trombosis vena dalam.4


Pengaruh obat kontrasepsi oral, risiko tromboemboli

berhubungan dengan dosis estrogen dan tipe progestin yang

digunakan. Obat kontrasepsi dengan kandungan <30-50 mg

estrogen lebih rendah risiko terjadi trombosis. Obat kontrasepsi

oral generasi ke-3 yang mengandung progestin desogrestel,

atau gestodene mempunyai risiko tromboemboli sebesar 2x

lipat dibandingkan obat kontrasepsi golongan ke 2. Risiko

tromboemboli akan menurun dengan dihentikannya konsumsi

obat kontrasepsi. Penggunan estrogen sesuai dosis farmakologik

dapat menimbulkan penuruan PAI-1( Plasminogen Activator


Inhibitor), peningkatan viskositas darah, peningkatan fibrinogen,

peningkatan faktor VII dan X, peningkatan adhesi dan agregasi

trombosit.4
Sindroma antibody antifosfolipid, antibody terhadap

komponen fosfolipid pada membran sel dapat bereaksi dengan

komponen fosfolipid dari phospoholipid-dependent coagulation

test sehingga memperpanjang waktu pembekuan in vitro.

Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesa

prostacycline atau pelepasannya dari sel endotel, mencegah

aktivasi protein C oleh thrombin atau trombomodulin,

meningkatkan kadar PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor 1),

aktifasi langsung pada trombosit, terjadinya aktifasi

antiphospholipid antibodies dan gangguan fungsi sel endotel

pada keadaan protrombotik yang sering disebut juga

hypercoagulable state, sehingga terjadi gangguan dengan

endhotelial cell associated anticoagulant activity of Annexin V.

Trombosis yang terjadi pada vena dan atau artei terutama pada

pembuluh darah tepi. Diagnosis sindroma antiphospholipid

antibodies diduga dengan ditemukanna pemanjangan APTT saja,

sedang nilai koagulasi lainnya dalam batas normal, disertai

peninggian titer antiphospholipid antibodies atau anti-cardiolipin

antibody dan peninggian kadar 2 glycoprotein. 4


F. DIAGNOSIS
Diagnosis Deep Vein Thrombosit ditegakkan berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


a. Anamnesis
Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada

setiap orang. Keluhan dan gejala dari trombosis vena dalam

dapat berupa:
- Nyeri, intensitas nyeri tidak tergantung pada besar dan

luas trombosit. Trombosis vena didaerah betis

menimbulkan nyeri didaerah tersebut dan bisa menjalar

di bagian anterior dan medial paha. Keluhan nyeri sangat

bervariasi dan bersifat tidak spesifik, bisa terasa nyeri

atau kaku dengan intensitas mulai dari ringan hingga

berat. Nyeri akan berkurang jika penderita berbaring,

terutama jika posisi tungkai ditinggikan.5


- Pembengkakan, timbulkan edema dapat disebabkan oleh

sumbatan dari vena proksimal dan peradangan jaringan

perivaskular. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka

lokasi bengkak adalah dibawah sumbatan dan biasanya

disertai nyeri. Pembengkakan akan bertambah saat

berjalan dan biasanya berkurang jika istirahat dengan

posisi tungkai ditinggikan.5


- Perubahan warna kulit, perubahan wana kulit tidak

spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena


dalam dibandingkan trombosis pada arteri. Kulit bisa

berubah pucat dan kadang berwarna ungu. Perubahan

warna pucat dan dingin pada perabaan merupakan tanda

sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme arteri

yang disebut dengan phlegmasia alba dolens.5

Tabel 1. Well’s Rule sebagai tes awal untuk diagnosis

DVT5
Skor wells dapat digunakan untuk stratifikasi menjadi

kelompok risiko ringan, sedang atau tinggi. Kombinasi well’s

rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan dapat

meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat

mengurangi kebutuhan investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau

kurang menandakan DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan

DVT sedang, skor 3 atau lebih menandakan DVT tinggi. 5

Gejala trombofeblitis akut akan berkembang selama 1-3


minggu. Bila pembuluh darah vena utama yang terlibat,

maka dapat terjadi gejala sisa yang menetap, walaupun

reaksi radang pada dinding vena sudah menghilang.

Terdapat perbedaan gejala berdasarkan lokasi vena yang

terkena:
- Trombosis vena tibialis, biasanya terjadi pada pasca

operasi dan dapat menyebar ke proksimal atau

menyebabkan emboli. Rasa sakit dan nyeri pada daerah

betis akan jelas apabila dilakukan dorsoleksi kaki secara

paksa (Homan’s sign). Kadang-kadang betis agak

membesar dan tegang, edema yang jelas bisanya tidak

ada. Bila penderita pada minggu pertama pasca operasi

mengeluh sakit didaerah betis, dapat dicurigai adanya

tromboflebitis.3
- Trombosis vena poplitea, tanda dan gejala yang dijumpai

sama dengan pada vena ileofemoral yang tersumbat, tapi

tidak begitu hebat. Edema dan pelebaran vena sebelah

distal sumbatan tetap ada dan bila vena suralis yang

mengalami trombosis maka rasa nyeri dan tegang pada

betis merupakan gejala tambahan. Bila tanda dari Homan

sign positif, tapi tidak disertai edema dan pelebaran vena,


maka kemungkinan ada kelaian lain seperti miositis akut

atau perdarahan dalam otot.3


- Trombosis vena ileofemoral, selalu lebih berat dan akut

yang dapat berasal dari distal atau dari sinus katup

sendiri. Daerah lipatan paha akan terasa sakit yang dapat

dirasakan pula pada seluruh ekstremitas. Vena perifer

dipaha akan terlihat melebar yang kadang juga terlihat

didaerah perut dan ekstremitas sebelah bawah. Suhu

pada perabaan tidak tinggi, tetapi sering terjadi spasme

arteri dan pada palpapasi pulsasi tidak teraba. Gejala

trombosis vena ileofemoral adalah edema yang pada hari

pertama teraba tegang dan kulit berwarna agak

kecoklatan. Setelah beberapa hari edema akan berkurang

dan bertahan sampai 1-2 minggu. Rasa nyeri menghilang

setelah 1 minggu.3
Gambar 3. Trombosis Ileofemoral 5
Trombosis vena ileofemoral ini biasanya terjadi akut dan

hamper selalu ada 3 hal yakni ekstremitas yang bengkak,

vena perifer yang jelas dan melebar serta adanya nyeri

didaerah segitiga femoral (m. Sartorius – lig. Inguinale – m.

Pectineus). Nyeri yang dirasakan bisa hebat atau sedikit saja

dan tampak vena safena daerah maleolus agak melebar bila

dibanding dengan ekstremitas yang satu lagi.


- Trombosis vena ileofemoral akut harus dibedakan dari

sumbatan arteri akut, limfangitis difus akut atau selulitis.

Edema tidak ada pada sumbatan arteri, sedangkan pada

sumbatan vena akut atau sumbatan saluran limfe jelsa

adanya pembengkakan esktremitas. Selain itu, hilangnya

pulsasi arteri pada sumbatan arteri, sedangkan pada yang

lain tetap teraba denyut nadi.3


- Trombosis vena kava, trombosis akut atau kronik pada

vena kava superior atau inferior selalu diikuti oleh

blockade berat dari drainase vena bagian tubuh yang

terlibat. Hal ini sering merupakan gejala sekunder dari

penyakit lain,misal pada sindrom vena kava superior yang

disebakan oleh karsinoma paru atau oleh aneurisma

aorta, perikarditis konstriktif dan mediastinitis. Bila vena

kava sudah terlibat metastase, maka semua trombosis


yang terjadi diatas vena azygos, karena vena ini dipakai

sebagai kolateral dari stasis, maka akan terlihat dibagian

atas tubuh edema disertai sianosis dan gambaran vena

yang berlebihan. Sindrom vena kava terjadi sebagai

komplikasi trombosis sistem vena dalam pada kedua

ekstremitas bawah. Gejala yang dapat timbul yakni nyeri

didaerah lumbal dan abdomen, edema bagian bawah

tubuh sampai kepusar, susah untuk buang air besar dan

kecil, kadang terjadi kontraktur otot polos. Sindrom Budd-

Chiari dimana terdapat kombinasi trombosis vena kava

superior dan vena portal harus diwaspadai, dapat terlihat

kolateral yang disertai rasa nyeri pada hepar.3


- Trombosis vena aksilaris, sumbatan akut pada lengan dan

vena aksilaris lebih jarang terjadi dari pada sistem vena

tungkai. Hal ini lebih sering terkena pada pemain tenis,

tukang gambar dan dikenal dengan nama trombosis

tenaga. Patogenesisnya belum dapat diterangkan. Lengan

yang terlibat akan tiba-tiba menjadi bengkak dan kaku

disertai sianosis, pada kolateral yang cukup sianosisnya

terlihat ringan. Kolateral yang awalnya terlihat samar

maka lama-kelamaan akan melebar jelas. Apabila disertai

dengan kelainan neurologis disebut Paget von Schroetter.


Karena kemungkinan kompensasi yang menguntungkan,

maka manifestasi klinis dari trombosis vena aksilaris

biasanya cepat menghilang secara spontan. Kemungkinan

terjadinya emboli kecil sekali.3


- Pelvic stenotic syndrome, dalam hal oklusi vena iliaka

interna dengan gangguan alir balik yang hebat, maka

edema yang terbentuk akan menjadi permanen pada

kedua tungkai. Diselangkang dan suprapubik, varises

kolateral akan berkembang menjadi kaput medusa dan

didaerah tumit, stress yang berlarut-larut akan

mengakibatkan titik-titik pendarahan papiler yang tidak

diabsorbsi lagi tapi berubah menjadi hemosididerin, dan

mengendap didalam jaringan granlasi. Penyebaran

menyebabkan hemosiderosis dan skeloderma merata

dikulit. Gambaran ini disebut Pelvic stenotic syndrome 3


- Phlegmasia Coerula Dolens (PCD), suatu trombosis berat

sistem vena dalam pada ekstemitas bawah yang sangat

jarang ditemui, ditandai oleh adanya pembengkakan

tungkai, sianosis dan nyeri hebat. Berlanjutnya proses

trombosis ini dapat mengakibatkan gangren tungkai,

amputasi dan kematian. Terapi trombolitik

bermanfaat,bila diberikan selektif pada pasien yang tidak


menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan segera,

sedangkan terapi trombektomi hanya dilakukan pada

pasien dengan kontra indikasi trombolitik terapi.3

Gambar 4. Phelegmasia Coerulea Dolens (PCD) 3


Patofisiologi dari CPD menurut Brockman dan Visco , yakni

terjadinya oklusi total/subtotal pada aliran keluar sistem

vena di ekstremitas dengan cepat akan terjadi peninggian

tekanan hidrostatik dalam vena dan kapiler. Terjebaknya

cairan secara berlebihan dalam ekstremitas akan

mengakibatkan hipovolumia, hipotensi sistemik serta

kenaikan tekanan dalam jaringan interstisiel yang hebat.

Bila tidak ditangani secara adekuat, maka meningginya

tekanan arteri transmural dan hipovulumia akan

mengakibatkan hipoksemia jaringan distal. Dan pada

akhirnya akan terjadi nerkrosis jaringan dan gangren.3


b. Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis yang pertama kali muncul adalah

pembengkakan yang nyeri dan gejala tersebut muncul

dengan cepat. Pembengkakan cepat terjadi dibagian distal

dari letak anatomis oklusi total vena dalam, pembengkakan

biasanya timbul dalam beberapa jam setelah oklusi total.4


Pada phlegmasia alba dolens, pemeriksaan palpasi denyut

arteri kaki dan fungsi saraf sensorik serta motorik masih

normal, ekstremitas bengkak dan berwarna pucat. Palpasi

denyut arteri Dorsalis pedis pada kaki yang bengkak

tersebut menjadi sulit diraba, karena adanya pembengkakan

disubkutis, walaupun aliran darah arteri dapat dengan

mudah ditemukan dengan bantuan alat dopler. Selain itu

pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah dengan Tes

Perthes yakni untuk memeriksa trombosis vena dalam.

Caraya adalah pada penderita trombosis vena dalam

ditungkai (daerah betis) dilakukan pembalutan tungkai mulai

dari kaki ke paha menggunakan pembalut elastic, kemudian

penderita diminta berjalan. Bila terdapat thrombus yang

menyumbat total pada vena dalam, penderita akan

merasakan nyeri. Keluhan nyeri disebakan oleh karena vena

dalam akan mengalami dilatasi akut dibagian distal lokasi


sumbatan thrombus, karena pembalut elastic menutup aliran

darah ke arah vena safena magna(sebagai kolateral untuk

mengalirkan darah pada saat terjadi hipertensi vena dalam.4

Gambar 5. Tes Perthes untuk memeriksa trombosis

vena dalam4
c. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium, pemeriksaan laboratorium didapatkan

peningkatan kadar D-dimer dan penurunan antitrombin

(AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Pemeriksaan

D-dimer dapat dilakukan dengan Elisa atau latex

agglutination assay. D-dimer <0,5 mg/ml dapat

menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan ini sensitive

tapi tidak spesifik, sehingga hasil negative sangat

berguna untuk eksklusi diagnosis DVT, sedangkan nilai

positif tidak spesifik untuk DVT, sehingga tidak dapat

dipakai untuk tes tunggal untuk diagnosis DVT. 5


- Radiologi
 Venografi, disebut juga sebagai plebografi. Prinsip

pemeriksaanya adalah dengan dengan

menyuntikkan zat kontras kedalam vena,


sehingga akan terlihat gambaran vena dibetis,

paha, inguinal sampai keproksimal vena iliaca.

Venografi dapat mengidentifikasi lokasi,

penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan

pembuluh darah serta menilai kondisi vena dalam.

Venografi digunakan pada kecurigaan kasus DVT

yang gagal diidentifikasi menggunakan

pemeriksaan non-infasiv. Venografi adalah

pemeriksaan paling akurat untuk mendiagnosis

DVT, sensitivitas dan spesifisitasnya mendekati

100% sehinggan venografi merupakan Gold

Standar pemeriksaan untuk mendiagnosis DVT.

Akan tetapi, venografi jarang dilakukan karena

infasif, menyakitkan, mahal, terkena papara

radiasi, dan berbagai komplikasi.5


 Flestimografi impedans, prinsip pemeriksaannya

adalah dengan memantau perubahan volume

darah tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitive

untuk trombosis vena femoralis dan iliaca

dibandingkan vena didaerah betis5


 Ultrasonografi (USG) Dopler, pemeriksaan ini lebih

sering digunakan untuk mendiagnosis DVT karena


pemeriksaanya yang non-infasif. USG memiliki

tingkat sensitifitas 97% dan spesifisitas 96% pada

pasien yang dicurigai menderita DVT simptomatis

dan terletak didaerah proksimal. 5

A B
Gambar 6. (A) Gambaran longitudinal paha bagian
kanan menunjukkan oklusi thrombus sebagian
dengan aliran yang menyempit(panah) vena
femoralis tengah. (B) Trombus mural pada vena
poplitea, thrombus dominan didinding posterior
vena poplitea. Collor dopler tidak membedakan
thrombus akut, oklusi parsial dan rekanalisasi.5

 Magnetic Resonance Venography, prinsip

pemeriksaan ini dengan membandingkan

resonansi magnetic antara daerah dan aliran dara

vena lancar dengan yang tersumbat bekuan

darah. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas


dan spesifisitas tinggi, namun belum luas

digunakan. Saat ini sedang dikembangkan

pemeriksaan resonasi magnetik untuk deteksi

langsung bekuan darah dalam vena. Pemeriksaan

ini tidak menggunakan kontras, hanya

memanfaatkan kandungan methemoglobin

bekuan darah.5
G. PENATALAKSANAAN
Terapi yang dapat diberikan pada pasien dengan Deep Vein

Thrombosis yaki dapat dengan terapi farmakologis dan terapi

operatif.
- Farmakologis

 Heparin berat molekul tinggi (unfractionated

heparin,UFH) Heparin adalah terdiri dari molekul

heterogen dalam bentuk rantai glikosaminoglikan.

Mekanisme kerjanya adalah sebagai anti-trombin III,

yaitu sebagai anti-Faktor Xa dan anti-Faktor IIa. Indikasi

pemberian terapi heparin adalah pada pencegahan

dan pengobatan trombosis vena dalam dan emboli paru.

Diberika 5.000-20.000 U(bolus 100-200 U/kgBB) bolus

intravena, diikuti dengan infus intravena secara

kontinyu 600 – 2.000 U heparin per jam selama 4-6 hari.


Dosis heparin dipertahankan sesuai dengan hasil

pemeriksaan aPTT (activated thromboplastin time)

minimal 1,5 kali nilai kontrol untuk mencegah

tromboembolisme rekuren. Heparin dapat dihentikan

setelah protrombin time minimal 1,5 kali nilai kontrol.

Induksi warfarin peroral 10-15 mg selama 2-3 hari

sesuai hasil pemeriksaan protrombin time, kemudian

warfarin dilanjutkan sampai 3-6 bulan atau dapat

sebagai alternative adalah penyuntikan diri sendiri

dengan heparin 5.000 U (1ml) subkutan sekali sehari

selama 3-6 bulan. Bila pengobatan dilakukan dengan

cara tersebut maka kemungkinan trombosis rekuren

hanya kurang dari 5%. Terdapat penelitian yang

menunjukkan pasien dengan trombosis vena dalam

yang diobati dengan heparin menderita ulkus statis

dalam waktu 4-7 tahun kemudian. Heparin dapat

mengurangi trombosis rekuren tapi tidak dapat

mencegah kerusakan dinding dan katup vena yang akan

menimbulkan morbiditas dalam jangka panjang.4

Komplikasi pemberian heparin adalah perdarahan dan

trombositopenia. Maka sebelum pemberian heparin


perlu dilakukan pemeriksaan jumlah sel trombosit.

Perdarahan bisa terjadi bila APT lebih dari 2-3 kali nilai

control untuk beberapa jam lamanya, tetapi pendarahan

lebih sering terjadi bila terdapat penyakit yang

mendasari seperti uremia, trombositopenia. Pada usia

lanjut terutama pada perempuan risiko lebih besar

terjadi perdarahan. 4

Sindroma trombositopenia yang terjadi akibat

pemberian heparin, yaitu disebut Heparin-induced

thrombocytopenia syndrome yakni bila ditemukan

jumlah trombosit <100.000/mm3, sehingga dapat

terjadi perdarahan. Keadaan tersebut disebabkan oleh

suatu reaksi kepekaan berlebih terhadap heparin yang

menimbulkan lebih sering reaksi trombosis dari pada

perdarahan. 4

Kontra indikasi absolute pemberian heparin adalah pada

kasus ditemukan adanya perdarahan aktif, operasi

bedah saraf yang baru dialami, hipertensi maligna,

perdarahan serebral/subarachnoid. Kontraindikasi

relative adalah operasi yang baru dialami, perdarahan


gastrointestinal, diathesis hemoragik dan stroke yang

baru terjadi. 4

Tabel 2. Dosis Pemberian Heparin5

 Heparin berat molekul rendah (low molecular

weight heparin)

Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH lebih

menguntungkan karena waktu paruh biologis lebih panjang, dapat

diberikan subkutan satu atau dua kali sehari, dosisnya pasti dan

tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Pada pasien DVT,

heparin subkutan tidak kurang efektif dibandingkan unfractionated


heparin infus kontinyu. Seperti halnya unfractionated heparin,

LMWH dikombinasi dengan warfarin selama empat sampai lima

hari, dihentikan jika kadar INR mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin

disetujui oleh FDA (U.S. Food and Drug Administration) untuk

pengobatan DVT dengan dosis 1 mg/kg dua kali sehari atau 1,5

mg/kg sekali sehari. Dalteparin disetujui hanya untuk pencegahan

DVT. Pada penelitian klinis, dalteparin diberikan dengan dosis

200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi dua kali

sehari). FDA telah menyetujui penggunaan tinzaparin dengan

dosis 175 IU/kg/hari untuk terapi DVT. Pilihan lain adalah

fondaparinux. Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang

bekerja menghambat faktor Xa dan trombin. Diberikan subkutan,

bioavailabilitasnya 100%, dengan konsentrasi plasma puncak 1,7

jam setelah pemberian. Dapat digunakan sebagai profilaksis dan

terapi kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB

50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) subkutan, sekalisehari. 5

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih


5
jarang dibanding pada penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi

antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke

perdarahan, metastasiske central nervous system (CNS),

kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam

tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. LMWH diekskresikan


melalui ginjal, pada penderita gangguan fungsi ginjal, dosisnya

harus disesuaikan atau digantikan oleh UFH. 5

Tabel 3. Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT 5

 Terapi Trombolitik

Kontraindikasi absolute terapi trombolitik adalah

perdarahan aktif, lesi akibat trauma serebrovaskular

yang baru dialami 2 bulan yang lalu, penyakit

intakranial (neoplasma) yang mudah berdarah,

stroke yang terjadi 2 bulan yang lalu, pembedahan

mata atau saraf pusat yang baru dialami 2 minggu

yang lalu, hipertensi berat. Kontraindikasi relatif,

trauma atau pembedahan besar yang baru dialami,

penyakit ulkus peptikum, hipertensi tidak terkontrol,


kehamilan, perdarahan pada retinopati

diabetika.Urokinase maupun streptokinase dapat

menimbulkan lisis thrombus secara lengkap pada

penelitian yang dilakukan eksperimental maupun

klinis. Kedua jenis obat tersebut dapat secara efektif

bekerja pada pasien yang menderita tromboemboli

kurang dari 5-7 hari , tetapi hasil terbaik pada

pasien (tromboemboli paru) bergejala kurang dari 48

jam.4

Pemberian trombolitik untuk menghancurkan

penyumbatan thrombus pada daerah iliaka-femoral

adalah dengan menyuntikkan cairan trombolitik,

setelah ujung kateter yang dimasukkan ke dalam

lumen A.femoralis superfisialis berada di dalam

masa thrombus. Untuk terapi trombolitik mengenai

keberhasilannya masih menunggu penelitian lebih

lanjut. Komplikasi utama pemberian trombolitik

adalah perdarahan yang frekuensinya 2-5 kali lebih

sering dibandingkan dengan pemberian heparin.

Oleh karena itu, heparin adalah the agent of choice

untuk manajeman tromboemboli. 4


- Operatif
 Trombektomi
Operasi trombektomi vena iliaka-femoral dilakukan bila

dengan pemberian obat-obatan untuk menghancurkan

thrombus tapi tidak berhasil, baik dengan cara

pemberian antikoagulan atau anti trombolitik (dengan

atau tanpa kateter intravena menuju letak posisi

thrombus/catheter directed thrombolysis), atau jika

dijumpai adanya kontraindikasi pemberian antikoagulan

atau anti trombolitik. Operasi trombektomi terbuka

dilakukan dengan maksud untuk mencegah meluasnya

thrombus ileo-femoral yang dapat menimbulkan PCD

yang dapat menjadi gangrene vena dan berakhir di

amputasi kaki, mencegah terjadinya emboli paru dan

hipertensi A.pulmonalis, mengurangi kemungkinan gejala

berulangnya trombosis vena dalam, mencegah sindroma

post-trombotic dan kerusakan katup dibagian distal dari

letak trombosis. 4
Sebelum dilakukan trombektomi harus dilakukan

pemasangan filter Greenfield, agar manipulasi pada vena

iliaka dan vena Femoralis yang telah penuh terisi

thrombus tidak menimbulkan emboli paru. Tromboemboli

yang tertahan oleh filter tersebut, dapat diketahui


dengan bantuan pemeriksaan Doppler berwarna.

Thrombus tersebut kemudian dapat dilakukan

pengangkatan dengan bantuan kateter khusus yang

dimasukkan melalui vena Femoralis untuk mencapai

tempat filter berbeda. Selama dilakukan trombektomi

(dalam anestesi umum) diberikan positive end-expiratory

pressure sebesar 10cm H20 (daerah paru menjadi

bertekanan positif), dengan maksud agar ketika

melakukan tindakan manipulasi pada vena dalam,

thrombus tidak lepas menimbulkan emboli paru. Tetapi

yang terbaik adalah dipasang filter Greenfield lebih

dahulu sebelum tindakan trombektomi.4


Pemasangan filter dalam keadaan terdapat thrombus

pada vena dalam harus dilakukan dengan hati-hati, dan

sebelumnya sudah diberikan terapi heparinisasi selama

minimal 5 hari. Luka insisi pada vena femoralis ditutup

kembali dengan jahitan jelujur (kontinyu) benang

polipropilen atau nilon 6-0, kemudian harus dilakukan

pembuatan fistula (hubungan anastomosis) antara

V.Femoralis dan V.Saphena magna (side to end

anastomosis), sehingga aliran darah di V.Femoralis lebih

lancar untuk mencegah terjadinya trombis ditempat


trombektomi. Fistula dipertahankan selama minimal 6

minggu.4

Gambar 7. Anastomosis Saphenofemoralis 4


 Filter Greenfield
Indikasi pemasangan filter Greenfield adalah

kontraindikasi pemberian antikoagulan dan trombolitik,

atau tidak memberikan respon seperti pada keadaan di

mana thrombus sulit diatasi (terjadi tromboemboli yang

terus-menerus atau rekuren) sehingga mengacam

terjadinya sumbatan thrombus diparu-paru(emboli

paru). Maka untuk mengatasi keadaan tersebut dapat

dilakukan pemasangan saringan (filter) dari Greenfield

(dapat mencegah thrombus sebesar >3mm) pada vena

cava inferior yang berguna untuk menahan emboli.4


Filter dimasukan dari vena jugularis interna atau dari

vena femoralis yang tidak tersumbat oleh thrombus,

tetapi ukuran diameter vena cava harus <24mm untuk

mencegah migrasi filter pasca pemasangan. 4


Gambar 8. Cross-over saphenous veing graft 4

H. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

- Trombofeblitis superficial

Peradangan pada pembuluh darah vena bagian subkutan

(superficial) yang dapat terjadi secara spontan atau oleh

karena adanya intervensi bedah. Trombofeblitis superficial

memiliki pataofisiologi dan pathogenesis yang sama

dengan Deep Vein Thrombosis. Meskipun tidak umum,

tromboflebitis superfisial kadang-kadang dapat berkembang melalui

vena perforantes ke vena dalam yang berdekatan. Oleh karena itu,

kejadian terkait DVT dan emboli pada orang dengan thrombophlebitis

superfisial relatif tinggi. Namun, secara klinis sulit dibedakan antara

DVT degan trombofeblitis superficial diperlukan pengujian lebih lanjut

untuk mengevaluasi DVT. 9

- Gyant Baker’ Cyst


Adalah pembengkakan yang disebabkan oleh cairan dari sendi lutut yang

menonjol di bagian belakang lutut.Bagian belakang lutut juga

disebut sebagai daerah poplitea lutut. Kista Baker kadang-kadang

disebut kista poplitea. Ketika cairan berlebihan akan membentuk kantung

berisi cairan dari kista Baker. Perkembangan yang cepat dalam hal

banyaknya cairan akan menekan cairan didalam kista menjadi pecah.

Cairan yang dilepaskan dari kista dapat membuat jaringan sekitarnya

menjadi meradang dan timbul gejala sepeti thrombophlebitis. Selain itu

kista baker yang menonjol atau pecah bisa menyebabkan tromboflebitis

di Vena Poplitea(yang terletak dibelakang lutut)dengan menekan vena. 10


I. KOMPLIKASI

1. Pulmonary Embolism (PE)

Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau

percabangannya akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda

dan gejalanya tidak khas, seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri

dada saat menarik napas, batuk sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan

saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami penurunan kesadaran,

hipotensi bahkan kematian. Standar baku penegakan diagnosis adalah

dengan angiografi, namun invasif dan membutuhkan tenaga ahli. Dengan

demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis, pemeriksaan D-Dimer

dan CT angiografi. 5

2. Post-thrombotic syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang

terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau

karena sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak

dan nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun

setelah kejadian trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada beberapa

pasien dapat terjadi ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar

tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus

sembuh pasien harus menggunakan compressible stocking untuk mencegah

berulangnya post thrombotic syndrome. Penggunaan compressible stocking

dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan manfaat tetapi harus

diperiksa berkala. 5

J. PENCEGAHAN

Faktor risiko trombosis vena dalam tidak sepenuhnya dapat dieliminasi,

namun dapat diturunkan. Misalnya, menekuk dan meluruskan lutut 10 kali

setiap 30 menit, terutama pasien yang baru menjalani pembedahan mayor

atau melakukan perjalanan jauh. Pada penerbangan lama, setiap orang harus

melakukan peregangan dan berjalan-jalan setiap 2 jam. 7


DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz, S.I et al. 2000. Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi Keenam.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. P : 339-342.

2. Vascular Desease Voundation. 2012. Deep Vein Thrombosis.

3. Jusi, H.D. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskular. Edisi Kelima. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. P: 239-255.

4. Yuwono, H.S. 2010. Penyakit Pembuluh Darah Tepi dalam Ilmu Bedah Vaskular

Sains dan Pengalaman Praktis. Bandung: PT Refika Aditama. P: 67-93

5. Jayanegara, A.P. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis.

Continuing Medical Education. Vol.43(9). P : 652-657.

6. Paulsen, F., Waschke, J. 2010. Pembuluh Darah dan Saraf Tepi dalam Sobotta

Atlas Anatomi Manusia. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. P : 23


7. Sjamsuhidajat, R et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. P : 580-588.

8. Hartono, F., Ismail, H.D. 2011. Insiden Trombosis Vena Dalam Pasca Operasi

Orthopedi Risiko Tinggi Tanpa Tromboprofilaksis. Artikel Penelitian. Vol.61(6). P

: 258-261.

9. Aly, N. 2010. Supeficial Thrombophlebitis or Deep Vein Thrombosis. Gerimeld.

10. Gomez, N.A et al. 2014. Giant Baker’ Cyst. Differential Diagnosis of Deep Vein

Thrombosis. Article in Press.

Anda mungkin juga menyukai