Keratitis (Eriska)
Keratitis (Eriska)
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 78 tahun
Pekerjaan :-
MR : 11.72.47
II. ANAMNESIS
melitus
1
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
B. Status Oftalmologi
OD OS
6/60 Visus 1/300
Orthoforia Kedudukan bulbus Orthoforia
oculli
Trichiasis (-) Madarosis Silia Trichiasis (-) Madarosis (-)
(-)
Hiperemis (-) nyeri tekan Palprbra superior Hiperemis (-) nyeri tekan
(-) (-)
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) nyeri tekan Palpebra inferior Hiperemis (-) nyeri tekan
(-) (-)
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Papil (-) Konjungtiva palpebra Hiperemis (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Hiperemis (-) Papil (-) Konjungtiva fornices Hiperemis (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Injeksi konjungtiva (-) Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi (-) Sklera Injeksi (-)
infiltrate (-) Kornea infiltrate (+)
2
Sedang, pus (-) darah (-) Kamera okuli anterior Sedang, pus (-) darah (-)
Arcus sinilis Iris Arcus sinilis
reflek cahaya (+) Pupil reflek cahaya (+)
Keruh Lensa Keruh
Normal Reatina Normal
I. RESUME
Pasien datang ke poli klinik mata RSPBA dengan keluhan mata kabur
sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh mata merah, merasa
silau ketika melihat cahaya, serta air mata yang mengalir terus-
menerus. Dari hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan visus VOD
6/20 ( koreksi tidak maju) dan VOS 1/300.
II. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pewarnaan gram
Keratitis bakteri os
Distrofi kornea
Uveitis
3
IV. DIAGNOSIS KERJA
Keratitis bakteri os
V. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Citrol 3x1 tetes
- Cendo lyter 3x1 tetes
- Doksisiklin 2x1
VI. PROGNOSIS
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kornea
2.1.1. Anatomi
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi
melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari
sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas
ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan
dengan konjungtiva. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm, diameter
5
2.1.2. Histologi
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu
lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.
tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans
anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia).
Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella
membran basal epitel korne dan memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur
sekali.
aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan
oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh
6
lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat
yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari
lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air
mata tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular
adalah:
1. Dry eye
7
merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
2. Defisiensi vitamin A
Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali
vaskularisasi ke dalamnya.
kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan
8
dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun
4. Distrofi kornea
Proses dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau
5. Trauma kornea
jamur atau bakteri harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan
limbus.
bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke
9
dalam bola mata selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan
2.2. Keratitis
2.2.1. Definisi
penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi
2.2.2. Etiologi
1. Virus.
2. Bakteri.
3. Jamur.
10
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek
2.2.3 Klasifikasi
Pungtata Subepitel)
Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan
lainnya.
11
Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan
merasa kelilipan.
Pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini
adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada
media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka
bagian yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena jaringan
epitel yang rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi
epitel sering terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea
juga diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial.
Penatalaksanaan
12
diberikan idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif
kortikosteroid.
b. Keratitis Marginal
Etiologi
dan Esrichia.
Gejala klinis
fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata,
13
unilateral dapat tunggal ataupun multipel, sering disertai neovaskularisasi
Pemeriksaan laboratorium
Penatalaksanaan
penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat
c. Keratitis Interstisial
Etiologi
Gejala klinis
menurunny visus.
14
2. Berdasarkan penyebabnya
a. Keratitis Bakteri
Etiologi
Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri
pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan
penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal
ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi
kornea.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus
kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian
ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan
Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri
kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini
diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram.
15
Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:
Initial Therapy fpr
Bacterial Keratitis
Organis Antibiotik Topikal Dose Subconjungtival
Dose
Gram + cocci Cefazolin 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
Vancomycin 25-50 mg/ml 25 mg in 0,5 ml
Moxifloksasin 5 or 3 mg/ml Non available
Gatifloxasin Respectively
Gram –b rods Tobramycin 9-14 mg/ml 20 mg in 0,5 ml
Ceftazimidine 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
Fluoroquinolones 3 mg/ml Not available
No organism or Cefalozin with 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
multiple types of tobramycin or 9-14 mg/ml 20 mg in 0,5 ml
organism fluoroquinolones 3 or 5 mhg/ml
Gram – cocci Cefriaxone 50 mg/ml Not avalable
Ceftazimidine 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
Mycobacterium Clarytomycin 10mg/ml 0,03%
5 or 3 mg/ml
Moxifloxacin or Respectively
gatifloxacin
b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic
keratitis.
Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan :
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler
dengan cabang-cabang hifa.
2) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora
sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
3) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
4) Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan
tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
16
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies
sp, Histoplastoma sp, Sporothrix.
Gejala klinis
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman
berikut :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal
lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen
Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun
negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Hal yang
utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan
spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop.
Kemudian dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +
Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%,
60-75% dan 80%.
Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan
biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential
interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari
kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan.
Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak
maltosa.
17
Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan.
kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang
utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis
yang dihadapi, dapat dibagi:
1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml),
natamycin
> 10 mg/ml, golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen.
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal,
natamycin (obat terpilih), imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast).
Amphoterisin B, natamycin, imidazole
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
c. Keratitis Virus
Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus
tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai
host, merupakan parasit intraselular obligat yang dapat ditemukan pada
mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung,
mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata,
fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan
turun terutama jika bagian pusat yang terkena.
Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa
konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif,
18
serta pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga
disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada
dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada
keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi
parah dan menyerang stroma.
Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV dan cairan
dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat dibiakkan pada
membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada banyak jenis lapisan
sel jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak khas).
Terapi
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement
epithelial, karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga
mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat
melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam
sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus
diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam.
2) Terapi Obat :
IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1%
dan diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam).
Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya
pada orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit
agresif
19
3) Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun
hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif.
d. Keratitis Acanthamoeba
Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang
biasanya disertai dengan penggunaan lensa kontak.
Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen,
cincin stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal pada penyakit
ini, dengan perubahan-perubahan hanya terbatas pada epitel kornea
semakin banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah
diagnosiskan sebagai keratitis herpes.
Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di
atas media khusus. Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan
histopatologik menampakkan bentuk-bentuk amuba (kista atau
trofozoit). Larutan dan kontak lensa harus dibiak. Sering kali bentuk
amuba dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak.
Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat,
propamidin topikal (larutan 1%) secara intensif dan tetes mata
neomisin. Bikuanid.
20