Anda di halaman 1dari 10

JOURNAL READING

“ANTIBIOTIK UNTUK TONSILITIS “

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu THT
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Pembimbing:
dr. M. Setiadi, Sp.THT – KL, Msi, Med

Disusun Oleh:
Ghina Athirah
1710221034

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
JANUARI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING

“ ANTIBIOTIK UNTUK TONSILITIS “

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu THT
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: Januari 2019

Dokter Pembimbing

dr. M. Setiadi, Sp. THT – KL, Msi, Med


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan journal reading dengan judul “Antibiotik untuk tonsilitis: perlukah
UGD mengikuti peresapan praktik umum?”. Journal reading ini ditulis untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai pengetahuan terapi tonsilitis dan merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu THT Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing, dr.M. Setiadi, Sp. THT – KL, MSi, Med yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan journal reading ini dari
awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa journal reading ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga journal reading ini dapat
berguna bagi kita semua.

Ambarawa, Januari 2019

Penulis
Antibiotik untuk tonsilitis: perlukah UGD mengikuti peresapan praktik umum?
Kamil Kanji,1 Defne Saatci,1 Gopal G Rao,2 Priya Khanna,2 Paul Bassett,3 Bhanu Williams,1
Murtuza Khan1
Abstrak
Objektif
Untuk menentukan apakah antibiotik tepat untuk diresepkan kepada pasien tonsilitis akut di
unit gawat darurat (UGD).
Metode
Studi ini dengan menggunakan metode observasional cross-sectional di rumah sakit umum
distrik besar di London. Subjek studi merupakan pasien yang didiagnosis dan diberi kode
'tonsilitis akut' di UGD dalam periode 3 bulan pada tahun 2015. Catatan medis ditinjau untuk
membantu penilaian kriteria Centor, yang merupakan sistem penilaian klinis untuk memandu
pemberian resep antibiotik dalam praktik umum di Inggris. Grafik pemberian obat ditinjau
untuk antibiotik spesifik yang diresepkan, dan kultur usap tenggorokan (throat swab : TS) yang
dilakukan dicatat.
Hasil
Dari 273/389 pasien dengan tonsilitis yang dianalisis, 186 terdiri atas anak-anak dan 87 orang
dewasa. Terdapat beberapa pasien yang termasuk pengecualian yaitu pasien yang catatan
medisnya hilang (86), pasien memiliki riwayat / menunggu tonsilektomi (22), pasien yang telah
menerima antibiotik (6) dan pasien dengan immunocompromised (2). Skor centor (CS) tidak
dicatat untuk pasien mana pun. Berdasarkan CS yang diturunkan dari tanda / gejala yang
didokumentasikan, antibiotik diresepkan secara tidak tepat pada 196/273 pasien (80%; 95% CI
74% hingga 85%) termasuk antibiotik broadspectrum hingga 25%. Pemberian ini termasuk
coamoxiclav (18%), amoxicillin (6%), azithromycin (0,5%) dan ceftriaxone (0,5%). Usap
tenggorok diambil pada 66/273 (24%) pasien dengan hasil 10/66 positif untuk kelompok A
streptococcus (GAS). Namun, 48/56 pasien GAS negatif diberi resep antibiotik.
Kesimpulan
Skor Centor tidak tepat digunakan di UGD dalam memandu pemberian resep antibiotik untuk
tonsilitis akut. Peresepan antibiotik didasarkan pada penilaian klinis. Berdasarkan pada skor
centor yang didapatkan (<3), 80% dari pasien diresepkan antibiotik yang secara tidak tepat,
terutama antibiotik spektrum luas. Studi lebih lanjut diperlukan dalam menilai penggunaan
skor centor untuk memandu resep antibiotik di UGD. Usap tenggorok umumnya dilakukan di
UGD tetapi tidak meningkatkan diagnosis atau memandu resep antibiotik.
Pendahuluan
Tonsilitis akut adalah salah satu penyebab tersering pasien datang dan pemberian resep
antibiotik dalam perawatan primer. Sebagian besar kasus diakibatkan virus dengan gejala
radang amandel termasuk sakit tenggorokan, demam dan sakit kepala yang berlangsung 3-4
hari. Sebanyak 10% -15% dari total keseluruhan tonsilitis akut akibat bakteri paling umum
disebabkan oleh grup A streptococcus (GAS). GAS juga dapat menyebabkan otitis media akut
(OMA), abses peritonsillar (quinsy) dan lebih jarang seperti septikemia, empiema, serta
meningitis. Karena itu, perawatan yang tepat dan tepat waktu adalah penting. Antibiotik relatif
memberi manfaat dalam mencegah OMA dan quinsy tetapi jumlah yang diperlukan untuk
pengobatan sangat tinggi. Angka kejadian quinsy tahunan rata-rata dari rawat inap di rumah
sakit tergolong rendah yaitu 1,66 per 10 000. Komplikasi non-supuratif termasuk
glomerulonefritis akut dan demam rematik saat ini jarang terjadi.
Baik antibiotik digunakan atau tidak, 85% pasien dengan tonsilitis akut umumnya bebas
dari gejala setelah 1 minggu. Pemberian resep antibiotik oleh petugas kesehatan mungkin
memberikan pemahaman kepada pasien dan keluarga bahwa antibiotik sangat membantu bagi
sebagian besar infeksi dan mungkin terkait pada resolusi gejala yang ada sebelumnya.
(pedoman National Institute for Health and Care Excellence (NICE), 2008). Penggunaan
antibiotik secara berlebihan berkontribusi terhadap ancaman global resistensi antibiotik.
Usap tenggorokan dan tes deteksi antigen cepat (RADT) tidak secara rutin digunakan
dalam praktik umum di Inggris, umumnya dokter perawatan primer bergantung pada gejala
dan tanda untuk memutuskan pengobatan awal dengan antibiotik. Panduan NICE menyatakan
bahwa pengobatan segera dengan antibiotik harus ditawarkan kepada pasien yang memiliki
total skor centor tiga atau lebih yang terdiri atas riwayat demam, eksudat tonsil, kelenjar getah
bening leher yang membesar dan tidak adanya batuk. Hal ini juga menyatakan bahwa, jika
tidak ada antibiotik yang diresepkan, pasien harus ditawarkan (a) jaminan bahwa antibiotik
tidak diperlukan segera dan mungkin memiliki efek samping, dan (b) review klinis, harus
diberikan bila kondisi memburuk atau menjadi berkepanjangan. Pasien mungkin disarankan
untuk mengumpulkan resep yang tertunda jika gejalanya tidak sesuai dengan perjalanan
penyakit yang diharapkan atau jika gejalanya memburuk. Skor centor sendiri belum divalidasi
untuk digunakan di unit gawat darurat serta tidak ada panduan yang jelas mengenai resep
antibiotik.
Skor centor yang umum digunakan sebagai alat untuk menilai tidak adanya GAS, pada
awalnya dikembangkan untuk orang dewasa. McIsaac et al mengembangkan skor Centor yang
dimodifikasi (+1 untuk usia <14, 0 untuk usia 15-44 dan −1 untuk usia ≥45), yang
memperhitungkan tingkat streptokokus yang lebih tinggi pada usia 15-15 tahun. Roggen et al
melakukan penilaian dalam penggunaan skor centor yang dimodifikasi pada pasien usia 2-16
pada unit gawat darurat anak di Belgia dengan keluhan sakit tenggorokan. Hasil yang
didapatkan dalam penilaian ini adalah skor ini kurang sensitif dalam menilai mengevaluasi ada
tidaknya GAS. Fine et al menganalisis data yang dikumpulkan dari 206.870 pasien di Amerika
Serikat yang berusia 3 tahun atau lebih yang mengalami sakit tenggorokan berdasarkan data
kesehatan nasional, lalu memvalidasi skor Centor dan skor McIsaac dalam mengidentifikasi
pasien dengan faringitis GAS. Orda et al dalam sebuah penelitian terhadap pasien anak-anak
yang mengalami sakit tenggorokan di departemen gawat darurat Australia menemukan bahwa
penilaian klinis dan skor Centor tidak memadai untuk pengambilan keputusan klinis.
Pemeriksaan penunjang lainnya seperti tes deteksi antigen cepat untuk GAS memiliki akurasi
yang cukup dalam memandu pemberian resep antibiotik. Studi Manajemen Perawatan
Streptokokus Primer (The Primary Care Streptococcal Management, PRISM) pada 2013
menyarankan bahwa sistem penilaian klinis konvensional seperti skor Centor mungkin tidak
dapat diandalkan dalam mengidentifikasi infeksi tenggorokan streptokokus. Studi ini juga
menyarankan bahwa penilaian gejala, keparahan peradangan tonsil dan demam yang cepat
mungkin merupakan fitur yang paling penting dalam mengidentifikasi infeksi streptokokus.
Skor ini kemudian dimasukkan ke dalam sistem skor klinis lima poin dimodifikasi yang disebut
FeverPAIN. Hal ini terdiri atas demam selama 24 jam terakhir, nanah pada amandel, onset
kejadian cepat (<3 hari durasi), amandel yang meradang dan tidak ada batuk atau pilek.
Studi PRISM 2014 membandingkan manajemen sakit tenggorokan di perawatan primer
menggunakan skor FeverPAIN, RADTs dan penundaan pemberian resep antibiotik (sebagai
kelompok kontrol). Mereka menemukan bahwa RADT dan FeverPAIN mengurangi resep
antibiotik dibandingkan dengan strategi resep antibiotik yang tertunda. Namun, menggunakan
RADT selain skor klinis tidak memberikan manfaat yang jelas dibandingkan menggunakan
skor klinis saja. FeverPAIN sendiri belum divalidasi untuk digunakan dalam perawatan primer.
NICE masih merekomendasikan penggunaan skor Centor dalam perawatan primer untuk
menentukan kemungkinan sakit tenggorokan karena infeksi bakteri.
Beberapa penelitian telah menilai manajemen sakit tenggorokan di departemen darurat
United Kingdom, yang merupakan titik akses penting bagi pasien.
Objektif
Tujuannya adalah untuk menentukan apakah antibiotik diresepkan dengan tepat untuk
tonsilitis akut di unit gawat darurat, menurut skor Centor yang dikembangkan untuk digunakan
dalam perawatan primer dan hasil kultur usap tenggorokan.

Metode
Studi observasional cross-sectional di Rumah Sakit Northwick Park, London, North
West Healthcare NHS Trust. Inklusi: Semua pasien didiagnosis dan diberi kode 'tonsilitis akut'
di unit gawat darurat, Northwick Park Hospital selama periode 3 bulan pada tahun 2015.
Eksklusi: Lebih dari lima episode tonsilitis pada tahun lalu, imunosupresi, penyakit katup
jantung, demam rematik, episode tonsilitis yang diobati dengan antibiotik dalam 15 hari
sebelumnya, tonsilektomi, diagnosis mislabelled, hilang atau duplikasi catatan. Pengumpulan
data: Catatan medis ditinjau untuk kriteria Centor, yang merupakan sistem penilaian klinis
untuk digunakan dalam praktik umum di Inggris untuk memberikan indikasi kemungkinan
sakit tenggorokan akibat infeksi bakteri. Hasil kultur usap tenggorokan dicatat dan grafik obat
ditinjau untuk antibiotik spesifik yang diresepkan. Ukuran hasil utama: Persentase pasien yang
diberi resep antibiotik secara tidak tepat, menurut skor Centor (<3) dan kultur usap tenggorokan
negatif pada 48 jam. Analisis statistik: Hasil utama bersifat kategoris, dan dirangkum dengan
jumlah dan persentase tanggapan di setiap kategori. Selain itu, ketidakpastian dalam nilai
persentase estimasi ditunjukkan dengan menghitung CI yang sesuai menggunakan metode
binomial yang tepat.

Hasil
Dari 389 pasien yang didiagnosis dengan tonsilitis akut di unit gawat darurat dalam
periode 3 bulan, 86 catatan pasien hilang, terduplikasi atau salah label; 22 pasien memiliki atau
sedang menunggu tonsilektomi; enam sedang minum antibiotik; dan dua
immunocompromised. Oleh karena itu, 273 pasien dianalisis — 186 anak-anak dan 87 orang
dewasa.
Pasien yang didiagnosis dengan tonsilitis akut mengalami demam (88%), eksudat tonsil
(40%), pembesaran kelenjar getah bening leher (8%) dan tidak adanya batuk (18%). Secara
total, 245/273 (90%) pasien yang didiagnosis dengan tonsilitis akut disajikan dengan jumlah
skor Centor <3 dan 28/273 (10%) dengan skor Centor ≥3.
Tabel 1 menunjukkan resep antibiotik berdasarkan kelompok, sesuai dengan skor Centor.
Antibiotik diresepkan untuk 196/246 pasien (80%; 95% CI 74% hingga 85%) yang didiagnosis
dengan tonsilitis akut di unit gawat darurat dengan skor <3 Centor.

Gambar 1 menunjukkan distribusi antibiotik yang diresepkan untuk mengobati radang


amandel akut. Secara keseluruhan, 216/273 (79%) pasien yang didiagnosis dengan tonsilitis
akut diberikan antibiotik. Penicillin V diresepkan dalam 66% kasus (73% untuk anak-anak dan
54% untuk orang dewasa). Clarithromycin diresepkan dalam kasus-kasus yang memiliki
riwayat alergi penisilin, sejalan dengan kejibakan pemberian yang diberlakukan. Antibiotik
spektrum luas diresepkan dalam 25% kasus. Ini termasuk co-amoxiclav (18%), amoxicillin
(6%), azithromycin (0,5%) dan ceftriaxone (0,5%).

Usap tenggorokan diambil pada 66/273 (24%) pasien. Dari jumlah tersebut, 10/66 positif
untuk GAS dan diresepkan antibiotik. Antibiotik juga diresepkan untuk 48/56 pasien GAS
negatif, 38/44 anak-anak (86%; 95% CI 73% hingga 95%) dan 10/12 orang dewasa (83%; 95%
CI 52% hingga 98%).
Diskusi
Skor Centor tidak digunakan di departemen gawat darurat sebagai panduan pemberian
resep antibiotik untuk tonsilitis akut. Peresepan antibiotik didasarkan pada penilaian klinis.
Dalam menilai apakah skor Centor telah digunakan, jumlah adanya riwayat tanda / gejala pada
pasien harus dihitung. Hanya 27 (10%) pasien yang mengalami skor Centor ≥3, sedangkan
studi PRISM pada tahun 2013 menemukan bahwa 43% pasien dengan sakit tenggorokan dalam
perawatan primer menunjukkan Skor Centor ≥3. Berdasarkan skor Centor yang diperoleh,
196/246 pasien (80%; 95% CI 74% hingga 85%) secara tidak tepat diberi antibiotik (skor <3
Centor). Ditemukan banyak pemerian resep antibiotik dalam kasus ini terutama antibiotik
spektrum luas. Antibiotik spektrum luas diresepkan dalam 25% kasus meskipun seluruh kasus
GAS rentan terhadap penisilin V. Hal ini termasuk ko-amoksiklav (18%), amoksisilin (6%),
azitromisin (0,5%) dan ceftriaxone (0,5%).
Usap tenggorokan diambil secara tidak tepat pada 66/273 (24%) pasien. Dari jumlah
tersebut, hanya 10/66 yang positif untuk GAS. Dari jumlah pasien tersebut, antibiotik
diresepkan untuk 48 dari 56 pasien negatif GAS. Angka kejadian GAS (15%) di gawat darurat
sebanding dengan angka pasien karier sehat yang dilaporkan dalam perawatan primer, 20% -
30% pada anak-anak dan 5% -15% pada orang dewasa. Selain itu, biaya pengambilan kultur
usap tenggorokan adalah £ 458,03 termasuk bahan dan hasil laboratorium. Kultur usap
tenggorokan tidak memandu resep antibiotik untuk tonsilitis akut karena mereka memiliki
waktu penyelesaian 3 hari dan, oleh karena itu, seharusnya tidak dilakukan pada pasien dengan
sakit tenggorokan.
Sebagai kesimpulan, studi retrospektif ini menunjukkan adanya penggunaan antibiotik
yang berlebihan dan penyalahgunaan antibiotik spektrum luas dalam pengelolaan sakit
tenggorokan di departemen darurat peneliti, yang berkontribusi terhadap resistensi antibiotik.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai penerapan sistem penilaian klinis seperti
Centor di departemen gawat darurat untuk memandu resep antibiotik. Selain itu, penelitian ini
menunjukkan bahwa meskipun panduan NICE untuk usap tenggorokan tidak dilakukan secara
rutin dalam manajemen sakit tenggorokan, hal ini tetap dilakukan meskipun tidak dapat
membantu mengkonfirmasi diagnosis ataupun memandu resep antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1 SIGN. 117 Management of sore throat and indications for tonsillectomy. Edinburgh: Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, Apr 2010. http://www.sign.ac.uk/pdf/ sign117.pdf
2 PHE. UK Standards for Microbiology Investigations. Investigation of throat related specimens.
Bacteriology 2015;9:1–29.
3 Llor C, Madurell J, Balagué-Corbella M, et al. Impact on antibiotic prescription of rapid antigen
detection testing in acute pharyngitis in adults: a randomised clinical trial. Br J Gen Pract
2011;61:e244–51.
4 National Institute for Health and Clinical Excellence. Prescribing of antibiotics for self limiting
respiratory tract infections in adults and children in primary care. 2008. (Clinical guideline
69.) www.nice.org.uk/CG69
5 Neuner JM, Hamel MB, Phillips RS, et al. Diagnosis and management of adults with
pharyngitis. A cost-effectiveness analysis. Ann Intern Med 2003;139:113–22.
6 Health Do. Annual report of the chief medical officer 2011. 2011;2.
7 Centor RM, Witherspoon JM, Dalton HP, et al. The diagnosis of strep throat in adults in the
emergency room. Med Decis Making 1981;1:239–46.
8 McIsaac WJ, Kellner JD, Aufricht P, et al. Empirical validation of guidelines for the
management of pharyngitis in children and adults. JAMA 2004;291:1587–95.
9 Roggen I, van Berlaer G, Gordts F, et al. Centor criteria in children in a paediatric emergency
department: for what it is worth. BMJ Open 2013;3.
10 Fine AM, Nizet V, Mandi KD. Large-scale validation of the Centor and McIsaac scores to
predict group A streptococcal pharyngitis. JAMA 2012;172:847–52.
11 Orda U, Mitra B, Orda S, et al. Point of Care Testing for group A streptococci in patients
presenting with pharyngitis will improve appropriate antibiotic prescription. Emerg Med
Australas 2016;28:199–204.
12 Little P, Moore M, Hobbs FDR, et al. PRImary care Streptococcal Management (PRISM)
study: identifying clinical variables associated with Lancefield group A β-haemolytic
streptococci and Lancefield non-Group A streptococcal throat infections from two cohorts of
patients presenting with an acute sore throat. BMJ Open 2013;3:e003943.
13 Little P, Hobbs FD, Moore M, et al. PRImary care Streptococcal Management (PRISM) study:
in vitro study, diagnostic cohorts and a pragmatic adaptive randomised controlled trial with
nested qualitative study and cost-effectiveness study. Health Technol Assess 2014;18:vii–
xxv, 1–101.
14 Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, et al. Executive Summary: Clinical practice guideline for
the diagnosis and management of group A streptococcal pharyngitis: 2012 update by the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2012;55:1279–82.

Anda mungkin juga menyukai