Perdarahan Kehamilan I
Perdarahan Kehamilan I
PENDAHULUAN
Usaha-usaha menurunkan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal masih
menjadi prioritas utama program Departemen Kesehatan RI.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian
maternal di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Rata-rata
kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu . Angka
tersebut masih cukup jauh dari tekad pemerintah yang menginginkan penurunan angka
kematian maternal menjadi 108 per 100.000 kelahiran hidup untuk tahun 2015 sesuai dengan
target MDGs. Angka kematian maternal ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara
ASEAN. Angka kematian maternal di Singapura dan Malaysia masing-masing 5 dan 70 orang
per 100.000 kelahiran hidup.
Langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu adalah
mengetahui penyebab utama kematian. Di Indonesia sampai saat ini ada tiga penyebab utama
kematian ibu yaitu perdarahan dalam kehamilan 40-60%, infeksi 20-30% dan keracunan
kehamilan 20-30%, sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lain yang memburuk saat
kehamilan atau persalinan.8
Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya dan
mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang
berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan pada
kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda dan
kehamilan tua ialah kehamilan 28 minggu (dengan berat janin 1000 gram), mengingat
kemungkinan hidup janin diluar uterus.4
Pada Referat ini akan dibahas secara spesifik mengenai perdarahan pada kehamilan
muda atau abortus.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Abortus
A. Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar
kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram.2
Sedang menurut WHO/FIGO adalah jika kehamilan kurang dari 22 minggu,
bila berat janin tidak diketahui.
2
B. Etiologi
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:2
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi.
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi biasanya menyebabkan abortus pada
kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah:
- Kelainan kromosom
Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan ialah trisomi, poliploidi,
dan kelainan kromosom seks.
- Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna
Bila lingkungan di endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna
sehingga menyebabkan pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi
terganggu.
- Pengaruh dari luar
Adanya pengaruh dari radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat
mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus.
Pengaruh ini umumnya dinamakan pengaruh teratogen.
2. Kelainan pada plasenta.
Misalnya end-arteritis dapat terjadi dalam vili korialis dan menyebabkan
oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
kematian janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena
hipertensi menahun.
3. Faktor maternal.
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria,
dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Toksin, bakteri, virus atau plasmodium
dapat melalui plasenta masuk ke janin, sehingga menyebabkan kematian janin dan
kemudian terjadilah abortus. Anemia berat, keracunan, laparotomi, peritonitis
umum, dan penyakit menahun juga dapat menyebabkan terjadinya abortus.
4. Kelainan traktus genitalia.
Retroversi uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan
abortus.
C. Patologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi
3
terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus.
Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.2,3
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam,
sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan
banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya dikeluarkan setelah
ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta. Hasil konsepsi
keluar dalam berbagai bentuk, seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang
tidak jelas bentuknya (blighted ovum), janin lahir mati, janin masih hidup, mola
kruenta, fetus kompresus, maserasi, atau fetus papiraseus.2,3
D. Klasifikasi
Abortus dapat digolongkan atas dasar : 2
1. Abortus Spontan
- Abortus imminens
- Abortus insipiens
- Missed abortion
- Abortus habitualis
- Abortus infeksiosa & Septik
- Abortus inkompletus
- Abortus kompletus
2. Abortus Provakatus (induced abortion)
- Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
- Abortus Kriminalis
Abortus Spontan
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-
faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor
alamiah.2
a. Abortus Imminens
Merupakan peristiwa terjadinya perdarahan pervaginam pada kehamilan 20
minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus dan tanpa adanya dilatasi
serviks.2 Adanya abortus imminens terlihat pada gambar 1.
4
Diagnosis abortus imminens ditentukan dari :2,3
- Terjadinya perdarahan melalui ostium eksternum dalam jumlah sedikit.
- Disertai sedikit nyeri perut bawah atau tidak sama sekali.
- Uterus membesar, sebesar tuanya kehamilan.
- Serviks belum membuka, ostium uteri masih tertutup.
- Tes kehamilan (+)
5
c. Abortus Inkomplet
Merupakan pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Perdarahan abortus ini
dapat banyak sekali dan tidak berhenti sebelum hasil konsepsi dikeluarkan. 2
Adanya abortus inkomplit terlihat pada gambar 3.
Ciri dari jenis abortus ini yaitu perdarahan yang banyak disertai kontraksi, kanalis
servikalis masih terbuka, dan sebagian jaringan keluar.3
Abortus Provokatus
Abortus provokatus adalah abortus yang disengaja, baik dengan memakai
obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi:1,2,3
a. Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
Abortus medisinalis adalah abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila
kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi
medis).
b. Abortus Kriminalis
Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang
tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
G. Penatalaksanaan
1. Abortus imminens2,3
- Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik
berkurang.
- Progesteron 10 mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk mengurangi kerentanan
otot-otot rahim.
- Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin sudah mati.
- Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
- Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 mg.
- Pasien tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
2. Abortus insipiens2
- Bila ada tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan
transfusi darah.
- Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan,
tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus,
disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg
intramuskular.
- Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam
dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai kontraksi
uterus sampai terjadi abortus komplet.
- Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran
plasenta secara digital yang dapat disusul dengan kerokan.
- Memberi antibiotik sebagai profilaksis.
3. Abortus inkomplet2,3
- Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau
ringer laktat yang disusul dengan ditransfusi darah.
- Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret lalu suntikkan ergometrin
0,2 mg intramuskular untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.
- Berikan antibiotik untuk rnencegah infeksi.
4.Abortus komplet2,3
- Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfusi
darah.
- Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
- Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin. dan mineral.
5.Missed abortion2
- Bila terdapat hipofibrinogenemia siapkan darah segar atau fibrinogen.
- Pada kehamilan kurang dari 12 minggu.
Lakukan pembukaan serviks dengan gagang laminaria selama 12 jam lalu
dilakukan dilatasi serviks dengan dilatator Hegar. Kemudian hasil konsepsi
diambil dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
- Pada kehamilan lebih dari 12 minggu.
Infus intravena oksitosin 10 IU dalam dekstrose 5% sebanyak 500 ml mulai
dengan 20 tetes per menit dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus.
Oksitosin dapat diberikan sampai 10 IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulang
infus oksitosin setelah pasien istirahat satu hari.
- Bila tinggi fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil konsepsi
dengan menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri melalui dinding perut.
6. Abortus infeksius dan septik2
- Tingkatkan asupan cairan.
- Bila perdarahan banyak, lakukan transfusi darah.
- Penanggulangan infeksi:
a) Gentamycin 3 x 80 mg dan Penicillin 4 x 1,2 juta.
b) Chloromycetin 4 x 500 mg.
c) Cephalosporin 3 x 1.
d) Sulbenicilin 3 x 1-2 gram.
- Kuretase.
- Pada abortus septik diberikan antibiotik dalam dosis yang lebih tinggi misalnya
Sulbenicillin 3 x 2 gram.
- Pada kasus tetanus perlu diberikan ATS, irigasi dengan H2O2, dan histerektomi
total secepatnya.
7. Abortus Habitualis2
- Memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sehat, istirahat yang
cukup, larangan koitus, dan olah raga.
- Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan.
A. Definisi
Mola berasal dari bahasa latin yang berarti massa dan hidatidosa berasal dari
kata Hydats yang berarti tetesan air. Mola hidatidosa adalah kehamilan yang
berkembang tidak wajar (konsepsi yang patologis) dimana tidak ditemukan janin dan
hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan hidropik menyerupai buah anggur
atau mata ikan.5 Dalam hal demikian disebut Mola Hidatidosa atau Complete mole,
sedangkan bila disertai janin atau bagian janin disebut sebagai Mola Parsialis atau
Partial mole.5
B. Epidemiologi
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas gestasional yang paling sering
terjadi. Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dibanding negara-negara Barat.4 Angka kejadian tertinggi pada wanita usia kurang
dari 20 tahun dan lebih dari 45 tahun, sosio-ekonomi rendah, dan kekurangan asupan
protein, asam folat dan karoten. 4
D. Patogenesis
Patogenesis penyakit ini dapat diterangkan oleh beberapa teori, yaitu: 5
1. Teori missed abortion
Kematian mudigah pada usia kehamilan 3-5 minggu saat dimana seharusnya
sirkulasi fetomaternal terbentuk menyebabkan gangguan peredaran darah. Sekresi
dari sel-sel yang mengalami hiperplasia dan menghasilkan substansi-substansi
yang berasal dari sirkulasi ibu diakumulasikan ke dalam stroma villi sehingga
terjadi kista villi yang kecil-kecil. Cairan yang terdapat dalam kista tersebut
menyerupai cairan asites atau edema tetapi kaya akan HCG.
2. Teori neoplasma dari Park
Teori ini mengemukakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas yang
mempunyai fungsi yang abnormal pula dimana terjadi resorpsi cairan yang
berlebihan ke dalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan
gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Sebagian dari vili berubah
menjadi gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada janin,
hanya pada mola parsial kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung-gelembung
ini sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat
mengisi seluruh kavum uterus.
E. Diagnosis
Diagnosis dari mola hidatidosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang ada.
1. Anamnesis
a. Terlambat haid (amenorea).
b. Adanya perdarahan pervaginam
c. Perut terasa lebih besar
d. Mual muntah yang hebat (Hiperemesis Gravidarum)
e. Tidak terasa adanya pergerakan anak
f. Hipertensi dalam kehamilan
g. Tanda-tanda tirotoksikosis
h. Tanda-tanda emboli paru
i. Tampak keluar jaringan seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
- Muka dan kadang–kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang
disebut sebagai mola face4
- Gelembung mola yang keluar
b. Palpasi
- Uterus lembek dan membesar tidak sesuai kehamilan
- Adanya fenomena harmonika: jika darah dan gelembung mola keluar maka
tinggi fundus uteri akan turun lalu naik lagi karena terkumpulnya darah
baru.5
- Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen gerak janin.
c. Auskultasi
- Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin (pada mola hidatidosa parsial
mungkin dapat didengar BJJ).2
- Terdengar bising dan bunyi khas.5
d. Pemeriksaan dalam
- Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin,
terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta
evaluasi keadaan serviks.5
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Yang harus diperhatikan pada hasil laboratorium adalah hormon -hCG, karena
karakteristik yang terpenting dari penyakit ini adalah kemampuannya dalam
memproduksi hormon -hCG, sehingga jumlah hormon ini lebih meningkat bila
dibandingkan dengan kehamilan normal pada usia kehamilan tersebut. Hormon
ini dapat dideteksi di urin maupun dalam serum penderita. Terdapat tiga jenis
pemeriksaan -hCG, yaitu :
- -hCG kualitatif serum, terdeteksi jika kadar hCG > 5 – 10 mIU/ml
- -hCG kualitatif urin, terdeteksi jika kadar hCG > 25-50 mIU/ml
- -hCG kuantitatif urin, terdeteksi jika kadar hCG > 5-2 juta mIU/ml
b. USG
Pada kehamilan mola, bentuk karakteristik yang ada berupa gambaran seperti
“badai salju“ tanpa disertai kantong gestasi atau janin.
USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan antara
kehamilan normal dengan mola hidatidosa. Namun harus diingat bahwa
beberapa struktur lainnya dapat memperlihatkan gambaran yang serupa dengan
mola hidatidosa termasuk mioma uteri dengan kehamilan ini dan kehamilan
janin > 1. Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik
sehingga seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed
abortion, abortus inkomplit atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II
gambaran mola hidatidosa umumnya lebih spesifik, kavum uteri berisi massa
ekogenik bercampur bagian-bagian anekhoik vesikuler berdiameter antara 5-10
mm. Gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang tawon
(honey comb) atau badai salju (snow storm). Gambaran tersebut tampak pada
gambar 9. Pada 20-50% kasus dijumpai adanya massa kistik multilokuler di
daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka lutein. Kista ini tidak
dapat diketahui keberadaannya jika hanya dengan pemeriksaan palpasi
bimanual. USG dapat mendeteksi adanya kista teka lutein oleh karena itu untuk
mengetahui ada tidaknya kista teka lutein dipergunakan USG.
Gambar 8. Pemeriksaan USG pada mola hidatidosa komplit
Tampak gambaran vesikuler
c. Amniografi
d. T3 dan T4
Untuk membuktikan gejala tirotoksikosis.
F. Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding dari mola hidatidosa, yaitu: 4,5
1. Abortus
2. Kehamilan ganda
3. Kehamilan dengan mioma
4. Hidramnion
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Perbaiki keadaan umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita
harus distabilkan dahulu. Tindakan yang dilakukan sebelum penderita dalam
keadaan stabil, dapat merangsang terjadinya syok ireversibel, eklampsi atau krisis
tiroid yang dapat menyebabkan kematian. Tergantung pada bentuk penyulitnya,
kepada penderita harus diberikan :
- Koreksi dehidrasi
- Tranfusi darah, pada anemia (Hb <8 gr%) atau untuk mengatasi syok
hipovolemik
- Antihipertensi/ antikonvulsi, seperti pada terapi preeklamsi/ eklamsia
- Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
- Untuk emboli paru hanya diberikan terapi suportif, terutama oksigenasi dan
antikoagulan sampai gejala akutnya hilang. Jika perlu dirawat di ICU.
2. Pengeluaran jaringan mola
Oleh karena mola hidatidosa merupakan suatu bentuk kehamilan yang patologis
dan dapat disertai dengan penyulit, pada prinsipnya harus dievakuasi secepat
mungkin. Terdapat dua cara, yaitu:
a. Kuretase
Kuret vakum merupakan metode terpilih karena lebih aman, cepat, dan efektif
untuk mengevakuasi jaringan mola. Kuretase dilakukan langsung apabila ada
pembukaan kira-kira sebesar 1 jari: jaringan mola telah keluar dan keadaan
umum pasien stabil, yaitu jika pemeriksaan DPL, kadar β-hCG, serta foto thorax
selesai.3 Sedangkan apabila jaringan mola belum keluar, dilakukan dilatasi
kanalis servik dengan batang laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam
kemudian, dan sebelum kuretase diberikan infus dekstrosa 5%, uterotonika
(oksitosin) dan narkoleptik. Oksitosin diberikan 10 mIU dalam 500 cc Dextrose
5 % atau dengan penyuntikan 2 ½ satuan oksitosin tiap setengah jam sebanyak 6
kali. Seluruh hasil kerokan di PA. Kira-kira 10-14 hari sesudah kerokan itu
dilakukan kerokan ulangan dengan kuret tajam, agar ada kepastian bahwa uterus
betul-betul kosong dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas
yang dapat ditemukan. Makin tinggi tingkat itu, makin perlu untuk waspada
terhadap kemungkinan keganasan.5
b. Histerektomi
Histerektomi dilakukan untuk mengurangi frekuensi terjadinya penyakit
trofoblas ganas. Histerektomi hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke
atas dengan jumlah anak hidup tiga atau lebih. Histerektomi dapat dilakukan
dengan jaringan mola intoto atau setelah kuretase. Apabila terdapat kista lutein,
maka ovarium harus dipertahankan karena ovarium akan kembali ke ukuran
normal setelah titer -hCG turun.
Pada mola hidatidosa parsial setelah dilakukan evakuasi, selanjutnya tidak perlu
tindakan apa-apa. Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya tidak dianjurkan.
Kejadian koriokarsinoma setelah histerektomi hanya 2,8% sedangkan sesudah
kuretase 8,4%.3
3. Terapi dengan profilaksis dengan sistostatika
Terapi ini diberikan pada kasus mola dengan risiko tinggi akan terjadi keganasan,
misalnya pada umur tua (>35 tahun), riwayat kehamilan mola sebelumnya, dan
paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil
histopatologi yang mencurigakan.8 Kemoterapi masih menjadi perdebatan karena
efek sampingnya yang cukup besar walaupun beberapa penelitian menunjukkan
penurunan insidensi. Biasanya diberikan methotrexate (MTX) atau actinomycin D.
Kadar β-hCG di atas 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai risiko tinggi
untuk perubahan ke arah ganas, pertimbangkan untuk memberikan MTX 3x5 mg
sehari selama 5 hari dengan interval 2 minggu sebanyak 3 kali pemberian. Pada
pemberian MTX diikuti dengan pemberian asam folat 10 mg 3 kali sehari (sebagai
antidotum MTX) dan cursil 35 mg 2 kali sehari (sebagai hepatoprotektor). Dapat
juga diberikan actinomycin D 12 µg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut tanpa
antidot maupun hepatoprotektor.
H. Komplikasi
1. Komplikasi non maligna7
Perforasi Uterus
Selama kehamilan kadang-kadang terjadi perforasi uterus dan jika terjadi perforasi
maka kuretase harus dihentikan. Laparoskopi atau laparotomi harus dilakukan
untuk mengetahui tempat terjadinya perforasi.
Perdarahan
Merupakan komplikasi yang terjadi sebelum, selama, dan bahkan setelah tindakan
kuretase.Oleh karena itu oksitosin intravena diberikan sebelum memulai tindakan
untuk mengurangi terjadi perdarahan.
DIC
Faktor yang dilepaskan jaringan mola mempunyai aktivitas fibinolitik. Semua
pasien diskrining untuk melihat adanya koagulopati.
Embolisme tropoblastik
Dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan akut. Faktor risiko terbesar terjadi
pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia gestasi 16 minggu.
Keadaan ini bisa fatal.
Infeksi pada sevikal atau vaginal.
Perforasi pada dinding uterus yang tipis selama evakuasi mola dapat menyebabkan
penyebaran infeksi. Ruptur uteri spontan bisa terjadi pada mola benigna dan mola
maligna.
2. Komplikasi maligna 6
Mola invasif atau koriokarsinoma berkembang pada 20% kasus mola dan
identifikasi pasien penting untuk tindakan selanjutnya.Setelah mola komplit invasi
uteri terjadi pada 15% pasien dan metastase teerjadi pada 4 pasien. Tidak terdapat
kasus koriokarsinoma yang dilaporkan setelah terjadi mola inkomplit meskipun ada
juga yang menjadi penyakit trofoblastik non metastase yang menetap yang
membutuhkan kemoterapi.
I. Prognosis
Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnosa dini dan terapi
yang adekuat.Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung untuk menderita
anemia dan perdarahan kronis.Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini dapat
menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi.
C. Faktor Risiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik.
Namun kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko.2
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah sebagai berikur:
1. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh
di saluran tuba.
3. Faktor tuba 2
- Pada hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkelok-kelok panjang dapat
menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi secara baik.
Pemakaian IUD dimana proses peradangan yang dapat timbul pada endometrium
dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
D. Patologi 2
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama
dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu telur berimplantasi pada ujung atau
sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya
vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian diresorpsi. Pada nidasi
secara interkolumner telur bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat
nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang
menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua
di tuba tidak sempurna, dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk
ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat
implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi
trofoblas.
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum
graviditas dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek. Endometrium dapat pula
berubah menjadi desidua. Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami
degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping atau dilepaskan secara utuh.
Perdarahan pervaginam yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari
uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang degeneratif.
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga tidak
mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan
tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu. Terdapat beberapa
kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba yaitu:
E. Klasifikasi
3. Kehamilan Ovarial
4. Kehamilan servikal
F. Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba.
1. Kehamilan ektopik belum terganggu 2,7
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur sulit untuk
diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas.Amenorea
atau gangguan haid dilaporkan oleh 75-95% penderita. Lamanya amenore
tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita
tidak mengalami amenore karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya.
Tanda-tanda kehamilan muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25% kasus.
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah nyeri di
perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum mengalami
ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar
ditentukan. Keadaan ini juga masih harus dipastikan dengan alat bantu diagnostik
yang lain seperti ultrasonografi (USG) dan laparoskopi.
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau
ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap wanita
dengan gangguan haid dan setelah diperiksa dicurigai adanya kehamilan ektopik
harus ditangani dengan sungguh-sungguh menggunakan alat diagnostik yang ada
sampai diperoleh kepastian diagnostik kehamilan ektopik karena jika terlambat
diatasi dapat membahayakan jiwa penderita.
2. Kehamilan ektopik terganggu 2,7
Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari perdarahan
banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak
jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan
keadaan umum penderita sebelum hamil.1
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau akut
biasanya tidak sulit.Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-
tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita
pingsan, tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat serta perdarahan yang
lebih banyak dapat menimbulkan syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin.
Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam
rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan
bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi nyeri.2
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada KET. Hal ini
menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua.
Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%. Perdarahan berarti gangguan
pembentukan hCG. 2
Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat, dan pada pemeriksaan
ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut. Pada pemeriksaan
ginekologik ditemukan serviks yang nyeri bila digerakkan dan kavum Douglas
yang menonjol dan nyeri raba.10 Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas
suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak
lunak. Hematokel retouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglas.2
G. Diagnosis
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan pada kehamilan muda adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan
kurang dari 22 minggu.Perdarahan ini biasanya disebabkan oleh komplikasi kehamilan
yang mengarah pada abortus, mola hidatidosa, dan kehamilan ektopik.
1. Abortus dibagi atas:
- Abortus spontan
- Abortus provokatos/ Abortus yang disengaja
- Abortus septik
2. Molahidatidosa, merupakan proliferasi abnormal dari vili khorialis
3. Kehamilan ektopik, yakni kehamilan dengan implantasi terjadi di luar rongga
uterus
DAFTAR PUSTAKA
1. Perdarahan Pervaginam Pada Kehamilan Muda.Diunduh
dari: http://midwiferygirl.blogspot.com/2010/06/perdarahan-pervagina-pada-
kehamilan.html. Diakses tanggal 25 November 2013
2. Hadijanto B. Perdarahan pada kehamilan muda. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin
AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2009; hlm459-91.
3. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset; 1984.
4. Mochtar, Prof. Dr. Rustam. Komplikasi akibat langsung kehamilan. Sinopsis
Obstetri; Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998; hlm 209-
45.
5. Pongcharoen S. Hydatidiform Mole Pregnancy : Genetics and Immunology. Siriraj
Hosp Gaz 2004;56(7):382-387.
6. Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa; Ilmu Kandungan. Edisi ke-2. Jakarta. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010; 488-490.
7. Prawirohardjo S.Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta
Pusat: Yayasan Bina Pustaka; 2007.
8. Data SKDI 2012, Angka Kematian Ibu Melonjak. 2012. Diunduh dari
http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/25/15/787480/data-sdki-2012-angka-
kematian-ibu-melonjak Diakses tanggal 25 November 2013.
9. Cunningham, F. Obstetrics Williams 23rd Edition. United States of America;
McgRaw-Hill: 2010.