PENDAHULUAN
1
5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapakota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara
3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius (Baratawidjaja, 2006).
2
BAB II
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Kebakkramat, Karanganyar
Tanggal Masuk : 29 September 2015
Tanggal Pemeriksaan : 29 September 2015 – 4 Oktober 2015
No. RM : 01014812
2. Keluhan Utama
Sesak napas
3
maupun mual muntah. Pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan BAB
dan BAK.
6. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
Mempunyai binatang peliharaan : disangkal
Kontak dengan binatang : disangkal
4
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat di RS Dr. Moewardi menggunakan fasilitas BPJS.
Pasien berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tinggal bersama suami, anak,
dan cucunya, dengan lingkungan rumah beralaskan tanah.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sesak, GCS E4V5M6 (compos mentis).
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi pernapasan : 28 x/menit
Nadi : 108 x/menit
Suhu : 36,5oC
SpO2 : 97% dengan O2 3 lpm
3. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spidernaevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam beruban, tidak mudah
rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
5. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
7. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
8. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi
berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
5
9. Leher
JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar, nyeri tekan (-),benjolan (-),
leher kaku (-).
10. Thorax
Simetris, venektasi (-).
11. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
12. Paru
a. Paru (anterior)
Inspeksi statis : Permukaan dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (+/+)
b. Paru (posterior)
Inspeksi statis : Permukaan dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : hipersonor/hipersonor
Auskultasi : SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (+/+)
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
14. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
6
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Laboratorium 29 September 2015
Tabel 1. Hasil Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 14 g/dl 12.1 – 17.6
Hematokrit 41 % 33 – 45
Leukosit 9 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 350 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.70 juta/ul 4.50 – 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 87.6 /um 80.0 - 96.0
MCH 29.8 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 34.0 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 12.8 % 11.6 – 14.6
MPV 8.6 Fl 7.2 - 11.1
PDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.10 % 0.0 – 4.00
Basofil 0.90 % 0.0 – 2.00
Netrofil 60.10 % 55.00 – 80.00
Limfosit 24.50 % 22.00 – 44.00
Monosit 4.10 % 0.00 – 7.00
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 73 mg/dl 60 – 140
SGOT 14 u/l < 35
SGPT 9 u/l <45
Creatinine 0.6 mg/dl 0.8 – 1.3
7
Ureum 27 mg/dl < 50
ELEKTROLIT
Natrium darah 141 mmol/L 132 – 146
Kalium darah 3.7 mmol/L 3.7 – 5.4
Chlorida darah 106 mmol/L 98 – 106
SEROLOGI
HEPATITIS
HBsAg Nonreactive Nonreactive
8
Sistema tulang baik
Kesimpulan :
bronkhitis
D. RESUME
Pasien datang ke IGD RS Dr. Moewardi dengan keluhan sesak napas
sejak 2 hari SMRS. Sesak napas dirasakan hilang timbul, terutama pada
malam hari, serta dipengaruhi cuaca dan aktivitas. Pasien mengeluhkan
terdengar bunyi “ngik-ngik” saat sesak napas.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Batuk disertai dahak berwarna kuning kental tanpa disertai bercak darah.
Terdapat riwayat demam pada 5 hari yang lalu. Demam dirasakan sumer-
sumer, disertai nyeri tenggorok. Pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan
BAB dan BAK
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, RR
28 x/menit, nadi 108x/menit, suhu 36,5oC per aksiler, saturasi O2 97%
dengan O2 3 lpm. Pada pemeriksaan fisik, terdengar suara wheezing di kedua
lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil dalam batas
normal. Sedangkan dari pemeriksaan radiologis foto thoraks PA tampak
gambaran bronchitis.
E. DIAGNOSIS BANDING
Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut
Asma COPD Overlapping Syndrome
F. DIAGNOSIS KERJA
Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
9
G. TERAPI
O2 3 lpm
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Nebulisasi Funaterol : Ipatropium bromide = 1:0.25 / 8 jam
Injeksi dexamethason 5 mg / 8 jam
Azitromicyn 1 x 500 mg
N-acetil sistein 3 x 200 mg
H. PLANNING
Spirometri bila stabil
Cek sputum Mo/K/GR/R
I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya "terengah-engah" dan
berarti serangan nafas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk
menyatakan gambaran klinis nafas pendek tanpa memandang sebabnya, sekarang
istilah ini hanya ditujukan untuk keadaan-keadaan yang menunjukkan respon
abnormal saluran nafas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas yang meluas (Wilson, 1992).
Sampai sekarang belum ada kesepakatan tentang definisi asma bronkial
yang dapat diterima semua ahli. Telah banyak definisi yang dikemukakan untuk
menyimpulkan sifat dan bentuk penyakit ini, tetapi kadang-kadang definisi
tersebut tidak bisa menggambarkan karakteristik penyakit ini secara keseluruhan
(Baratawidjaja, 1999).
Definisi yang disepakati bersama dalam suatu konsensus internasional
para ahli asma menyatakan bahwa asma adalah suatu kelainan inflamasi kronik
saluran nafas. Sedangkan definisi yang banyak dianut saat ini adalah yang
dikemukakan oleh The American Thoracic Society (1962) yaitu "Asma adalah
suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil
pengobatan (Yunus, 1999).
Bila ditelaah lebih lanjut, definisi tadi dapat diuraikan menjadi:
1. Ada peningkatan respons trakea dan bronkus. Hal ini berarti bahwa jalan
nafas penderita asma mempunyai respon yang lebih hebat terhadap
berbagai rangsangan dibanding dengan orang normal.
2. Serangan asma jarang sekali hanya dicetuskan oleh satu macam
rangsangan, tetapi oleh berbagai rangsangan.
3. Kelainan tersebar luas pada kedua paru dan tidak hanya satu paru atau satu
lobus paru.
11
4. Derajat serangan asma dapat berubah-ubah, misalnya obstruksi lebih berat
pada malam hari dibanding dengan siang hari.
II. Klasifikasi
Asma menurut Konsensus Internasional diklasifikasikan berdasarkan
etiologi, beratnya penyakit, dan pola waktu terjadinya obstruksi saluran nafas
(Yunus, 1999).
a. Klasifikasi berdasarkan etiologi
Termasuk klasifikasi ini adalah:
Asma bronkial tipe non atopi (Intrinsik/cryptogenic)
Pada asma golongan ini, keluahan tidak ada hubungannya dengan paparan
(exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya ialah:
a) Serangan timbul setelah dewasa
b) Pada keluarga tidak ada yang menderita asma
c) Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan
d) Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
e) Rangsangan atau stimuli psikis mempunyai peran untuk menimbulkan
serangkaian reaksi asma
f) Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik
merupakan keadaan yang peka bagi penderita
Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik)
Pada golongan ini keluahan ada hubungannya dengan paparan (exposure)
terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat
ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe ini
mempunyai sifat-sifat:
a) Timbul sejak kanak-kanak
b) Pada family ada yang menderita asma
c) Adanya eksim pada waktu bayi
d) Sering menderita rinitis
Asma bronkial campuran (mixed)
12
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh factor-faktor intrinsic
maupun ekstrinsik.
13
Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(sebelum pengobatan)
14
Aktiviti fisik terbatas APE ≤ 60 % nilai terbaik
Variability APE > 30 %
III. Etiologi
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan utama
ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hipereaktivitas bronkus).
Hipereaktivitas bronkus itu belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga
karena adanya hambatan sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim
adenilsiklase dan meningginya tonus sistem parasimpatik. Keadaan demikian
menyebabkan mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik bila ada
rangsangan, hingga terjadi spasme bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan
derajat reaktivitas atau iritabilitas tersebut. Faktor genetik, biokimia, saraf
otonom, imunologis, infeksi, endokrin, psikologis, dan lingkungan lainnya, dapat
turut serta dalam proses terjadinya manifestasi asma. Karena itu asma disebut
penyakit yang multifaktorial (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1995).
Asma ekstrinsik atau alergik, ditemukan pada sejumlah kecil pasien
dewasa, dan disebabkan oleh alergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai
pada masa kanak-kanak dengan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit
atopik seperti demam jerami, ekzema, dermatitis, dan asma sendiri. Asma alergik
disebabkan karena kepekaan individu terhadap alergen, biasanya protein, dalam
bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, kain pembalut, atau yang
lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau coklat. Paparan terhadap alergen,
meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan serangan
asma.
Pada asma intrinsik atau idiopatik, sering tidak ditemukan faktor-faktor
pencetus yang jelas. Faktor-faktor yang nonspesifik seperti flu biasa, latihan fisik,
atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma jenis ini lebih sering timbul
sesudah usia 40 tahun, dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung
atau pada percabangan trakeobronkial.
15
Bentuk asma yang paling banyak menyerang pasien adalah asma
campuran, yang mana terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan
intrinsik (Wilson, 1992).
IV. Patogenesis
Asma ditandai dengan 3 kelainan utama pada bronkus yaitu
bronkokonstriksi otot bronkus, inflamasi mukosa, dan bertambahnya sekret yang
berada di jalan nafas.
Pada asma ekstrinsik, alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada
mukosa bronkus yang mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia, serta
sekresi lendir yang tebal. Mekanisme terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan
baik, walaupun sangat rumit. Penderita yang telah disensitisasi terhadap satu
bentuk alergen yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen yang
dihirup itu. Antibodi ini merupakan imunoglobulin jenis IgE. Antibodi ini melekat
pada permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Bila satu molekul IgE yang
terdapat pada permukaan sel mast menangkap satu molekul alergen, sel mast
tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan sejumlah bahan yang
menyebabkan konstriksi bronkus. Salah satu contohnya yaitu histamin dan
prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor β-2 adrenergik,
yang bila dirangsang dengan obat anti asma salbutamol β-2 mimetik akan
menghambat pelepasan histamin. Aminofilin juga dapat menghalangi pembebasan
histamin. Pada mukosa bronkus, darah tepi, dan sputum terdapat sangat banyak
eosinofil. Dulu fungsi eosinofil dalam sputum tidak diketahui, tapi baru-baru ini
diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim yang
menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan
perlindungan terhadap asma. Dengan demikian jelaslah bahwa kadar IgE akan
meninggi dalam darah tepi.
Asma intrinsik memiliki patogenesa yang berbeda dengan asma ekstrinsik.
Mungkin diawali oleh kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-
serabut nervus vagus yang akan merangsang bahan-bahan iritan dalam bronkus
sehingga timbul refleks batuk dan sekresi lendir. Serabut nervus vagus ini
16
demikian sensitifnya hingga langsung menimbulkan refleks konstriksi bronkus.
Selain itu, lendir yang sangat lengket akan disekresi sehingga pada kasus-kasus
berat dapat menimbulkan sumbatan saluran nafas yang hampir total, sehingga
menimbulkan status asmatikus, gagal nafas, dan kematian. Rangsangan yang
paling penting untuk refleks ini ialah infeksi saluran pernafasan oleh flu (common
cold), adenovirus, dan juga oleh bakteri seperti Haemophilus influenzae. Selain
itu, polusi udara oleh gas iritatif asal industri, asap, dan udara dingin juga dapat
berperanan. Faktor emosi juga memiliki peran penting pada semua jenis asma
(Sibuea et al, 1992).
V. Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan urutan pemeriksaan berikut:
1. Anamnesis
Secara klinis asma diduga bila ada gejala mengi, batuk, sesak nafas, dan
riwayat pneumonia atau bronkitis yang berulang. Batuk yang menetap dan
berulang terutama sesudah pajanan berbagai zat tertentu, aktivitas, gangguan
emosi, dan infeksi virus. Batuk pada asma menjadi lebih berat pada malam
hari. Namun kadang-kadang gejala asma hanya berupa batuk-batuk kronik.
Penting juga diketahui dalam anamnesis adalah gejala-gejala yang membaik
secara spontan atau dengan bronkodilator dan anti inflamasi, dan faktor-faktor
yang dapat mencetuskan asma dan atopi dalam keluarga (Yunus, 1999).
2. Pemeriksaan fisik
Hasil yang didapat tergantung stadium serangan, lamanya serangan serta
jenis asmanya. Pada asma yang ringan dan sedang, tidak ditemukan kelainan
fisik di luar serangan. Kadang-kadang dapat ditemukan penyakit lain sebagai
penyakit penyerta berupa otitis media, konjungtivitis, rinitis, polip hidung,
sinusitis atau hiperplasia tonsil (Yunus, 1999).
Pada inspeksi terlihat pernafasan yang cepat dan sukar, disertai batuk-
batuk paroksismal, dan ekspirium memanjang. Saat inspirasi terlihat retraksi
daerah supra klavikular, suprasternal, epigastrium, dan sela iga. Pada asma
kronik, terlihat bentuk toraks emfisematus, bongkok ke depan, sela iga
17
melebar, dan diameter anteroposterior toraks bertambah. Saat serangan berat
terlihat tanda-tanda kegelisahan sampai penurunan kesadaran, kesukaran
berbicara, takikardi, penggunaan otot bantu nafas, sianosis, hiperinflasi, dan
pulsus paradoksus. Pada perkusi terdengar hipersonor di seluruh toraks,
terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
Pada auskultasi, awalnya terdengar bunyi nafas kasar/mengeras. Bila
penyakit makin berat, mengi dapat terdengar baik saat ekspirasi maupun
inspirasi. Dalam keadaan normal, fase ekspirasi 1/3-1/2 dari fase inspirasi.
Saat serangan, fase ekspirasi memanjang. Terdengar juga ronki kering dan
ronki basah serta suara lendir bila banyak sekresi bronkus.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan tingkat obstruksi jalan nafas pada
saat pemeriksaan umumnya sangat tergantung pada kemampuan pengamat.
Hal yang lebih baik adalah mencari tanda-tanda yang berhubungan dengan
hiperinflasi dada, seperti hiperresonansi, retraksi subkostal, tarikan trakea dan
tegangnya otot-otot skalenus (Yunus, 1999).
3. Uji faal paru
Uji faal paru yang paling sederhana adalah pemeriksaan arus puncak
ekspirasi (APE) dengan alat Mini Wright Peak Flow Meter. Pemeriksaan ini
memiliki arti bila dilakukan secara serial. Variabilitas nilai APE sebesar 20%
atau lebih antara pagi dan sore merupakan diagnostik asma. Pemeriksaan paru
yang lebih akurat adalah dengan spirometri, yaitu menentukan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1 terhadap kapasitas vital
paksa (KVP). Reversibilitas asma dapat dilihat dengan pengukuran faal paru
(APE atau VEP1) sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator, misalnya
inhalasi agonis β-2. Peningkatan APE atau VEP1 sebesar 15% atau lebih
sesudah inhalasi bronkodilator menunjukkan adanya reversibilitas penyakit
(Yunus, 1999).
4. Pemeriksaan laboratorium
Pada penderita asma sering ditemukan eosinofilia. Uji kulit dengan alergen
merupakan pemeriksaan diagnostik pada asma alergi. Pemeriksaan IgE
18
spesifik dalam serum juga berguna dalam diagnostik asma alergi (Yunus,
1999).
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto toraks tidak begitu penting untuk diagnosis asma.
Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan penyakit lain yang mempunyai
gejala mirip asma atau untuk melihat komplikasi penyakit seperti atelektasis,
pneumotoraks, pneumonia, dan fraktur iga (Yunus, 1999).
6. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memperlihatkan dan mengukur derajat
hipereaktivitas bronkus yang terdapat pada penderita asma. Selain itu juga
dilakukan bila ada kecurigaan asma namun tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan fisik dan faal paru. Uji provokasi ini dapat dilakukan dengan
beban kerja, hiperventilasi isokapnik, udara dingin, maupun dengan inhalasi
spesifik atau nonspesifik (Yunus, 1999).
VI. Penatalaksanaan
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
1. Asma intermiten
Termasuk pula penderita exercise-induced asthma atau kambuh
hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala
tidak ada dan faal paru normal. Serangan berat umumnya jarang walaupun
mungkin terjadi. Bila terjadi serangan berat, selanjutnya penderita diobati
sebagai asma persisten sedang.
2. Asma persisten ringan
Penderita membutuhan obat pengontrol setiap hari untuk
mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat;
sehingga terapi utamanya adalah antiinflamasi setiap hari dengan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400
ug BD/hari.
3. Asma persisten sedang
19
Penderitaan membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk
mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya adalah
kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari) dan agonis
beta-2 kerja lama.
4. Asma persisten berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik
mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal
mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE
seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mnugkin. Untuk
emncapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol
tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhala
glukokortikosteroid dosis tinggi (>800 ug BD/hari) dan agonis beta-2 kerja
lama.
20
kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita
memantau kondisinya sendiri, indentifikasi perburukan asma sehari-hari,
mengontrol gejala dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan
medis/dokter. Penderita dipekenalkan pada tiga daerah (zona) yaitu merah,
kuning dan hijau. Zona merah berarti berbahaya, kuning hari-hari dan hijau
adalah baik.
21
Penatalaksanaan serangan akut
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat
bersifat fatal atau mengancam jiwa. Seringnay serangan asma menunjukkan
penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain penanganan
asma ditekankan pada penanganan jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan serangan asma akut atau perburukkan gejala dengan
memberikan pengobatan yang tepat.
Penilaian berat serangan merupakan kunci utama dalam penanganan
serangan akut. Langkah berikutnya adalah memerikan pengobatan tepat,
selanjutnya menilai respon pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan
apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita.
22
nafas dan Torakoabdominal
retraksi Paradoksal
suprasternal
Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent Chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE >80% 60-80 % < 60 %
PaO2 >80 mmHg 80-60 <60 mmHg
mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 >45 mmHg
mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%
Penatalaksanaan di rumah
Kemampuan menderita untuk medeteksi dini perburukan asmanya
adalah penting dalam keberhasilan penangannan serangan akut. Bila penderita
dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan dirumah, maka ia tidak hanya
mencegah keterlambatan pengobatan tetapi juga meningkatkan kemampuan
untuk mengontrol asmanya sendiri. Idealnya penderita mencatat gejala,
kebutuhan bronkodilator dan faal paru (APE) setiap harinya dalam kartu
harian (pelangi asma), sehingga paham mengenai bagaimana dan kapan :
- Mengenal perburukan asmanya
- Memodifikasi atau menambah pengobatan
- Menilai berat serangan
- Mendapatkan bantuan medis/dokter
23
\ Penilaian berat serangan
Klinis : gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE < 80 % prediksi/nilai terbaik
Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (setiap 20 menit, tiga kali dalam
1 jam), atau bronkodilator oral
24
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah
dilakukan, respon pengobatan, waktu mulai terjadinya dan penyebab/ pencetus
serangan saat itu, dan ada tidaknya seriko tinggi untuk mendapatkan keadaan
fatal/kematian.
25
dengan pengalaman dan keterampilan dokter dalam penanganan masalah
pernafasan.
Penilaian awal
Riwayat dan pemeriksaan fisis (auskultasi, otot batu nafas, deyut jantung,
frekuensi nafas) dan bila mungkin faal paru (APE/VEP 1, saturasi O2).
AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi
Pengobatan awal
Bila APE > 60% prediksi/terbaik. Tetap Bila tidak perbaikan dalam 6-
berikan pengobatan oral atau inhalasi 12 jam
27
Meningkatkan fungsi paru mendekati normal dan mempertahankan keadaan
tersebut
Mengupayakan tercapainya tingkat aktivitas normal termasuk exercise
Menghindari efek samping karena obat
Mencegah terjadinya aliran udara yang irreversibel
Mencegah kematian karena asma
Pada prinsipnya obat anti asma untuk mengontrol penyakit terdiri dari
pengobatan pencegahan yang bersifat jangka panjang terutama antiinflamasi, serta
pengobatan yang bersifat mengatasi serangan, efeknya segera dan waktu
bekerjanya singkat dikenal sebagai bronkodilator.
Selain itu prinsip lainnya adalah bentuk/ teknik pemberian obat yaitu
secara oral dan inhalasi. Pemberian secara inhalasi lebih dianjurkan untuk
pengobatan jangka panjang, mengingat alasan tingginya konsentrasi obat yang
dapat sampai di saluran nafas secara langsung dengan efek teraupetik yang tinggi
dan efek samping sistemik yang sangat minimal. Hal ini disebabkan beberapa hal
seperti pemberian langsung ketarget sasaran dan dosis obat yang sangat kecil 1/10
sampai 1/100 oabt oral. Walaupun demikian masih terdapat beberapa kelemahan
dari obat inhalasi yaitu teknik pemakaian yang relatif tidak mudah bagi anak-anak
dan orang tua, serta harga yang relatif mahal untuk penderita kalangan ekonomi
menengah kebawah. Akan tetapi telah terjadi berbagai terobosan dalam mengatasi
permasalahan tersebut, yaitu kemasan obat inhalasi yang bervariasi dan
tersedianya berbagai obat penolong (spacer) untuk memudahkan
pemakaian.penggunaan spacer pada inhalasi dosis terukur (metered dose inhaler/
MDI) tidak hanya memudahkan pemakaian, akan tetapi juga mengurangi absobsi
sistemik dan efek samping obat.
Dalam memberikan pengobatan jangka, selain dibutuhkan obat yang tepat
bagi keadaan asma dan toleransi penderita, juga perlu diperhatikan beberapa hal
yaitu teknik pemberian obat yang tepat sesuai tingkat kemampuan penderita dan
pemberian informasi/ edukasi penderita dalam hal pemakaian obat-obat tersebut
serta memonitornya setiap kunjungan baik melalui respon klinik maupun teknik
pemakaian obat (Art-Khaled, 1996).
28
Pengobatan asma jangka panjang didasarkan pada beratnya penyakit dan
modifikasi dapat dilakukan sesuai kondisi. Beberapa hal perlu diperhatikan yaitu:
(WHO, 1995)
1. Untuk mencapai kondisi terkontrol, pengobatan dapat dimulai dari level
maksimal sesuai berat penyakit, dan bila tercapai kondisi terkontrol
diturunkan secara bertahap. Atau sebaliknya dimulai dengan pengobatan
sesuai berat penyakit dan dinaikkan bila dibutuhkan.
2. Naikkan level pengobatan, bila tidak tercapai kondisi terkontrol atau keadaan
asma menetap atau tidak ada perbaikan.
3. Turunkan level pengobatan bila tercapai kondisi terkontrol yang stabil paling
tidak 3 bulan, secara bertahap diturunkan sampai tercapai pengobatan level
serendah mungkin yang menghasilkan kondisi terkontrol seoptimal mungkin.
4. Setelah asma terkontrol tetap evaluasi pengobatan berkala (3-6 bulan sekali)
5. Pada kasus asma berat dengan penyakit penyerta atau dengan komplikasi
maka selayaknya dirujuk kepada ahli paru.
Pengobatan yang tepat sesuai berat penyakit disusun pula oleh NHLBI,
GINA dan WHO dengan maksud tercapainya pengamanan yang adekuat , hal ini
berdasarkan data yang menunjukkan kekerapan serangan atau eksaserbasi asma
yang membutuhkan perawatan rumah sakit atau pertolongan gawat darurat,
walaupun telah terjadi perkembangan dalam pengetahuan patogenesis, diagnosis
dan berbagai jenis pengobatan asma.
Berikut ini telah disusun tuntunan (guideline) pengobatan yang relatif dipakai
diseluruh negara menurut NHLBI, GINA dan WHO 1998: (WHO, 1998)
29
atau ipratropium bromida atao
Steroid nebulasi>1mg, oral agonis beta-2 3-4x/hr
2x/hr
Bila perlu steroid oral,
dosis kecil, selang
sehari,pagi hari
Asma Persisten Pengobatan setiap hari Inhalasi bronkodilator
Sedang Inhalasi steroid kerja singkat
MDI+spacer 400- Agonis beta-2 atau
800mcg/hr atao Steroid ipratropium bromida
nebulisasi <1mg/hr Agonis beta-2 atau
ipratropium bromida oral
agonis beta-2, 3-4x/hr
Asma persisten Pengobatan setiap hari Inhalasi bronkodilator
Ringan Inhalasi steroid kerja singkat
MDI+spacer 200- Agonis beta-2 atau
400mcg/hr ipratropium bromida
Kromoglikat (gunakan Agonis beta-2 atau
MDI+spacer atau secara ipratropium bromida oral
nebulisasi agonis beta-2, 3-4x/hr
Asma Tidak dibutuhkan Inhalasi bronkodilator
Intermitten kerja singkat.
Agonis B2 atau
ipratropium bromid bila
dibutuhkan.
30
dipikirkan modifikasi dari tuntunan tersebut dengan mengindahkan kondisi di
Indonesia.
Terjadinya eksaserbasi pada asma disebabkan oleh faktor pencetus yang
bervariasi dari satu penderita dengan penderita lainnya, dengan kata lain faktor
pencetus bersifat individual. Faktor pencetus dapat dibagi atas dua bagian yaitu
inciter, yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasme tanpa meningkatkan
hipereaktivitas bronkus (HBR), contohnya asap rokok, bau-bauan merangsang,
exercise dan inducer, yang dapat menimbulkan inflamasi sehingga meningkatkan
HBR, contohnya alergen, infeksi pernafasan, bahan kimia.
Identifikasi faktor pencetus dapat dilakukan oleh penderita, keluarga
penderita dengan bantuan dokter. Untuk pencetus berupa alergen dapat dilakukan
uji kulit (prick test). Identifikasi pencetus mutlak dilakukan dengan tujuan untuk
mencegah serangan dan mengurangi pemakaian obat-obatan.
Edukasi terhadap penderita asma dan keluarganya merupakan hal yang
mutlak dilakukan dalam penanganan asma jangka panjang. Edukasi dapat
diberikan oleh tim medis kepada penderita dan keluarga penderita sehingga
mereka dapat memahami asma dan permasalahannya serta dapat memahami
maksud pengobatan jangka panjang asma, mengenal bila terjadi perburukan,
mengatasi serangan tersebut sesuai anjuran dokter dan mengetahui kapan saatnya
harus mencari bantuan medis. Bentuk penyampaian edukasi dapat berupa
konsultasi dokter-penderita, penyuluhan kelompok, informasi melalui leaflet/
brosur/ buku/ televisi/ radio/ video.
Penatalaksanaan asma jangka panjang membutuhkan perawatan yang
berkesinambungan dan monitor yang terus menerus. Monitor tidak harus
dilakukan oleh dokter tetapi juga dilakukan oleh penderita dan keluarga penderita.
Monitor meliputi pengamatan terus menerus terhadap gejala, kebutuhan
bronkodilator dan fungsi paru, sehingga penderita mengenal bila terjadinya
perburukan, perbaikan atau kondisi yang menetap stabil. Cara yang mudah dan
dapat dilakukan penderita di rumah sehari-hari adalah pemeriksaan APE (Arus
Puncak Ekspirasi) dengan alat peak flow meter, dan dicatat pada kartu harian.
Sistem monitor ini sangat membantu penatalaksanaan asma, sehingga penderita
31
tidak jatuh pada keadaan perburukan yang berat atau pada keadaan efek samping
obat yang tidak perlu.
Monitor fungsi paru wajib dilakukan setiap penderita kontrol kedokter
melalui pemeriksaan spirometri, bila tidak mungkin cukup dengan pemeriksaan
APE. Kontrol teratur (1 kali sebulan) penting dilakukan walaupun keadaan asma
telah terkontrol stabil. Kepatuhan penderita dalam mengikuti penatalaksanaan
asma jangka panjang dapat ditingkatkan dengan hubungan kerjasama yang baik
antara dokter-penderita serta edukasi (Global Initiative for Asthma, 1998).
32
BAB IV
ANALISIS KASUS
33
compos mentis, nampak sesak sedang. Pasien masih bisa diajak berbicara namun
tidak satu kalimat utuh. Pasien merasa lebih nyaman ketika duduk dibandingkan
tidur terlentang. Didukung dengan pemeriksaan fisik pasien yaitu tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 103x/menit, dan frekuensi napas 28x/menit. Pengembangan
dinding dada kanan sama dengan kiri, fremitus raba kanan sama dengan kiri, pada
perkusi didapatkan sonor pada seluruh lapang paru, serta terdengar suara dasar
vesikuler saat auskultasi. Terdengar wheezing saat akhir ekpirasi pada sisi kanan
dan kiri paru, namun tidak terdengar RBH maupun RBK. Pada pemeriksaan
jantung dan abdomen semua dalam batas normal. Hasil laboratorium darah
menunjukkan peningkatan eosinophil yaitu 10.40% (0.00 – 4.00%). Eosinofil
merupakan karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil berperan
sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin, antara lain IL-3, IL-5, IL-6,
GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF.
Pada pasien ditegakkan diagnosis asma akut sedang pada asma tidak
terkontrol. Indikator asma tidak terkontrol adalah muncul 1) asma malam,
terbangun malam hari karena gejala-gejala asma, 2) kunjungan ke darurat gawat,
ke dokter karena serangan akut, 3) kebutuhan obat pelega meningkat (bukan
akibat infeksi pernapasan, atau exercise-induced asthma). Pada pasien dapat
terjadi asma yang tidak terkontrol mungkin karena teknik inhalasi obat yang
kurang tepat, kepatuhan penggunaan obat, terdapat pemicu serangan asma yaitu
debu karena pasien memiliki alergi debu, penyakit saluran napas yang
memperberat seperti sinusitis, bronchitis, dan sebagainya. Pasien juga mengalami
infeksi saluran napas atas yang ditandai batuk dengan dahak kuning kental serta
demam ± 5 hari SMRS.
Terapi yang diberikan adalah IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, nebulizer berotec :
atrovent 1: 0,25 mg/ 6 jam. Berotec berisi fenoterol hydrobromide yaitu golongan
agonis β-2 kerja singkat yang memiliki lama kerja 3-5 jam berfungsi sebagai
bronkodilator. Mekanisme kerjanya yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah
dan menurunkan pelepasan mediator dari sel mast. Sedangkan atrovent berisi
ipratropium bromide yaitu golongan antikolinergik. Mekanisme kerjanya
34
memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik,
selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan
sebelum pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut dapat memperbaiki faal paru
(APE dan VEP1).
Pasien juga diberikan injeksi dexamethasone 5 mg/8 jam
Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada
serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan. Antibiotik tidak rutin
diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia, bronkitis
akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Hal ini
sesuai dengan kondisi pasien sehingga pasien. Infeksi bakteri yang sering
menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, sehingga pada kasus ini
pasien mendapatkan azitromicin golongan makrolid) 1x500 mg sebab antibiotik
empiris yang tepat untuk gram positif dan atipik yaitu golongan makrolid,
kuinolon dan alternatif amoksisilin/ amoksisilin dengan asam klavulanat. N-
asetilsistein juga diberikan pada pasien dengan dosis 3x200 mg berfungsi sebagai
mukolitik.
Pada tanggal 30 September 2015, pasien masih merasa sesak namun sudah
berkurang, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 104x/menit, frekuensi napas
20x/menit, Saturasi O2 97% dengan O2 nasal 3 lpm. Wheezing masih didapatkan
di kedua lapang paru saat ekpirasi akhir. Pengobatan masih dilanjutkan seperti
sebelumnya namun pemberian nebulizer berotec:atrovent 1: 0,25/ 6 jam berubah
menjadi per 12 jam. Pasien direncanakan untuk tes spirometri bila sudah stabil
dan pemeriksaan sputum. Pada tanggal 3 Oktober 2015 pasien diperbolehkan
pulang ke rumah dan menjalani kontrol rutin berdasarkan kondisi pasien terakhir,
dimana pada pasien sudah didapatkan adanya keluhan apapun dan kondisi fisik
pasien sudah stabil.
35
BAB V
FOLLOW UP PASIEN
36
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (+/+), ronki (-/-)
3. Paru posterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (+/+), ronki (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem ekstremitas Akral dingin
- - - -
- - - -
Diagnosis
Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Nebulisasi Funaterol : Ipatropium bromide = 1:0.25 /12 jam
3. Injeksi dexamethasone 5 mg/8 jam
4. Azytromicin 1 x 500 mg
5. N-asetilsistein 3 x 200 mg
Plan
1. Sputum Mo/G/K/R (rencana tanggal 1 Oktober 2015)
37
2. Spirometri bila stabil
38
Perkusi : Sonor/sonor
Diagnosis
Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Nebulisasi Funaterol : Ipatropium bromide = 1:0.25 /12 jam
3. Injeksi dexamethasone 5 mg/8 jam
4. Azytromicin 1 x 500 mg
5. N-asetilsistein 3 x 200 mg
Plan
1. Sputum Mo/G/K/R
39
2. Spirometri bila stabil
40
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
3. Paru posterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem ekstremitas Akral dingin
- - - -
- - - -
Diagnosis
Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Nebulisasi Funaterol : Ipatropium bromide = 1:0.25 /12 jam
3. Azytromicin 1 x 500 mg
4. N-asetilsistein 3 x 200 mg
Plan
Bila kondisi stabil usul BLPL tanggal 3 Oktober 2015
41
D. Tanggal 3 Oktober 2015
S : batuk (+), sesak (-), demam (-)
O:
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5°C per aksiler
SiO2 : 98% (O2 ruang)
Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider naevi (-)
Kepala : mesocephal, luka (-), atrofiotot (-), rambut rontok (-)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupi lisokor (3 mm/ 3mm), oedempalpebra (-/-), sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB
(-), nyeri tekan (-), benjolan (-)
Thoraks : retraksi (-)
1. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: BJ I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
2. Paru anterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
42
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
3. Paru posterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitu sraba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem ekstremitas Akral dingin
- - - -
- - - -
Diagnosis
Asma akut sedang pada asma tidak terkontrol
Terapi
1. Azytromicin 1 x 500 mg
2. N-asetilsistein 3 x 200 mg
3. Fluticasone
4. Berotec
Plan
BLPL
43
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas sehingga
menimbulkan gejala episodik berulang berhubungan dengan obstruksi
jalan napas luas dan bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Klasifikasi berat serangan asma akut dibedakan menjadi asma akut ringan,
asma akut sedang, dan asma akut berat.
Pada kasus seorang wanita 43 tahun datang ke RSUD Dr.
Moewardi dengan keluhan utama sesak napas sejak 2 hari yang lalu.
Pasien didiagnosis dengan asma akut sedang pada asma tidak terkontrol.
Indikator asma tidak terkontrol adalah muncul 1) asma malam, terbangun
malam hari karena gejala-gejala asma, 2) kunjungan ke gawat darurat, ke
dokter karena serangan akut, 3) kebutuhan obat pelega meningkat (bukan
akibat infeksi pernapasan, atau exercise-induced asthma). Pada pasien ini
dapat terjadi asma yang tidak terkontrol mungkin karena teknik inhalasi
obat yang kurang tepat, kepatuhan penggunaan obat, terdapat pemicu
serangan asma yaitu alergi dingin, penyakit saluran napas yang
memperberat seperti sinusitis, bronchitis, dan sebagainya
B. Saran
1. Asma adalah salah satu penyakit tidak menular yang jumlah kasusnya
cukup tinggi ditemukan dalam masyarakat sehingga menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.
2. Asma tidak dapat disembuhkan tetapi asma dapat dikontrol. Diperlukan
edukasi yang tepat kepada pasien untuk mengontrol penyakit asma yang
dideritanya, antara lain edukasi untuk menghindari faktor pencetus yang
dapat menyebabkan kekambuhan, edukasi untuk minum obat secara
teratur, termasuk edukasi cara penggunaan obat yang tepat.
44
DAFTAR PUSTAKA
45
12. NHLBI/WHO Workshop Report. Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. NHLBI 1995.
13. Bacharier LB, Louis S.”Step-down” therapy for asthma: Why, When, and How?
JACI. 2002; 109 (6):916.
14. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar
SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: ShaikhWA.editor.
Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical
Publishers;2006. 707-36
46