Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PKN

TENTANG SISTEM HUKUM DAN PERADILAN DI INDONESIA


SESUAI DENGAN UUD 1945 PERLINDUNGAN
LEMBAGA KERJA DI INDONESIA

Disusun Oleh:
Selpia
Suselawati
Putri Noraidah

SMK NEGERI -2 PALANGKA RAYA


1. Sistem Hukum Dan Peradilan Di Indonesia Sesuai Dengan UUD 1945
Nasional
1.1 Pengertian Sistem hukum
Sistem Berasal dari bahasa Yunani “systema” yang dapat diartikan sebagai
keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Prof. Subekti, SH menyebutkan
sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri
atas bagoan-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau
pola, hasil dari suatu penulisan untul mencapai suatu tujuan”.
Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara
bagian-bagian. Selain itu juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara
bagian-bagian itu. Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman
dalam pembentukannya.
Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang
mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau
tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain.
Dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-
tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling
berhubungan dan berkaitan secara erat.untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut
perlu kerja sma antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan
pola tertentu.
Pembagian Hukum itu sendiri di golongkan dalam beberapa jenis :
1.1.1 Berdasarkan Wujudnya
Hukum tertulis, yaitu hukum yang dapat kita temui dalam bentuk tulisan dan
dicantumkan dalam berbagai peraturan negara, Sifatnya kaku, tegas Lebih menjamin
kepastian hukum Sangsi pasti karena jelas tertulis Contoh: UUD, UU, Perda
Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dan tumbuh dalam
keyakinan masyarakat tertentu (hukum adat). Alam praktik ketatanegaraan hukum
tidak tertulis disebut konvensi (Contoh: pidato kenegaraan presiden setiap tanggal 16
Agustus)
1.1.2 Berdasarkan Ruang atau Wilayah Berlakunya
1. Hukum lokal, yaitu hukum yang hanya berlaku di daerah tertentu saja (hukum
adat Manggarai-Flores, hukum adat Ende Lio-Flores, Batak, Jawa Minangkabau,
dan sebagainya.
2. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku di negara tertentu (hukum Indonesia,
Malaysia, Mesir dan sebagainya).
3. Hukum internasional, yaiu hukum yang mengatur hubungan antara dua negara
atau lebih (hukum perang, hukum perdata internasional, dan sebagainya).
1.1.3 Berdasarkan Waktu yang Diaturnya
1. Hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum); disebut juga hukum positif
2. Hukum yang berlaku pada waktu yang akan datang (ius constituendum). Dan
3. Hukum asasi (hukum alam).
1.1.4 Menurut sifatnya, hukum dapat dibagi dalam:
1. Hukum yang memaksa
2. Hukum yang mengatur (hukum pelengkap)
1.1.5 Menurut isinya maka hukum dapat digolongkan dalam 2 hal:
1. Hukum Publik
Yaitu aturan yang: mengatur hubungan antara Negara dengan warga Negara dan
hubungan antar warga Negara yang menyangkut kepentingan umum.
Hukum public mencakup :
2. Hukum Tata Negara
Mengatur tentang Negara dan perlengkapannya (struktur ketatanegaraan)
3. Hukum Tata Usaha Negara
Mengatur cara kerja dari alat-alat Negara dalam menjalankan tugasnya
4. Hukum Pidana
Aturan hukum yang mengatur perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh besarta
sangsi/hukuman bagi pelanggar. Buku yang mengatur hukum pidana disebut
KUHP(kitab undang-undang hukum pidana). Isinya berupa aturan dan sangsi
bagi pelanggarnya. Oleh sebab itu disebut juga hukum material.
5. Hukum Acara
aturan yang berisi tatacara penyelesaian pelanggaran hukum pidana di
pengadilan ataupun tata cara penangkapan. Bukunya disebut dengan
KUHAP(kitab undang-undang hukum acara pidana).Hukum ini menjadi
pedoman bagi polisi, jaksa dan hakim dalam menjalankan tugasnya. Disebut juga
dengan hukum formal.
6. Hukum Privat
Adalah keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antar warga Negara yang
menyangkut kepentingan pribadi atau perseorangan. Jadi kepentingan yang
diatur adalah masalah pribadi.
Meliputi :
1). Hukum Perdata
Mengatur hubungan perseorangan yang bersifat pribadi, mis : perceraian
2). Hukum dagang
Mengatur hubungan yang terkait dengan perdagangan
3). Hukum adat
Mengatur hubungan hukum yang menyangkut persoalan adat istiadat

1.2 Sistem Peradilan Nasional


Di Indonesia untuk menegakkan keadilan dibentuklah lembaga peradilan.
Lembaga ini dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan hukum sesuai dengan
bidangnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu
mengenai perkara pengadilan. Nasional adalah bersifat kebangsaan, berkenaan atas
berasal dari bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa. Jadi, peradilan nasional adalah
segala sesuatu mengenai perkara pengadilan yang bersifat kebangsaan atau segala
sesuatu mengenai perkara pengailan yang meliputi suatu bangsa, dalam hal ini adalah
bangsa Indonesia.
Dengan demikian, yang dimaksud disini adalah sistem hukum Indonesia dan
peradilan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yaitu
sistem hukum dan peradilan nasional yang berdasar nilai-nilai dari sila-sila Pancasila.
Peradilan nasional berdasarkan pada Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dibentuk
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam hal ini dipegang oleh Mahkamah Agung
dan peradilan lain, adapun lembaga-lembaga dalam peradilan.
1.2.1 Peradilan tingkat pusat
Ada 2 badan peradilan tertinggi di Indonesia yaitu:
1. Mahkamah Agung.
Merupakan badan peradilan tertinggi di Indonesia dengan tugas dan wewenang:
1) Menyelesaikan perkara pidana di tingkat kasasi
2) Menguji semua peraturan yang lebih rendah dari UU apakah bertentangan atau
tidak dengan peraturan yang lebih tinggi
2. Mahkamah Konstitusi
Merupakan badan peradilan khusus yang bertugas menguji peraturan dari UU ke
atas apakah bertentangan atau tidak dengan UUD 45

1.3 Peradilan tingkat Umun


1.3.1 Pengadilan negeri (PN)
Merupakan badan pengadilan terendah, berada di setiap kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. Seorang terdakwa akan diadili di kabupaten dimana dia melakukan
tindak kejahatan , diadili di PN setempat. Bagi terdakwa yang tidak terima dengan
vonis hakim di tingkat PN, dapat mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi
di tingkat provinsi (PT) peristiwa ini dikenal dengan “naik banding”
1.3.2 Pengadilan Tinggi (PT)
Merupakan pengadilan di tingkat provinsi. Menyelesaikan permasalahan yang
diajukan oleh terpidana yang tidak terima atas vonis di tingkat sebelum (PN).
Jika si terpidana tetap tidak mau terima atas voni di tingkat banding ini, dia masih
bisa mengajukan upaya hukum di tingkat pusat (MA) yang dikenal dengan nama
“kasasi”
1.3.3 Mahkamah Agung (MA)
Menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi di tingkat kasasi. Apabila
masih juga ditolak, maka si terpidana masih bisa melakukan 2 upaya hukum lagi di
tingkat ini
1.3.4 Peninjauan Kembali (PK)
Bisa diajukan bila terpidan tetap merasa tidak bersalah dengan menunjukkan
bukti baru yang belum pernah diungkap sebelumnya di pengadilan. Kemungkinan yang
terjadi adalah bebas murni atau ditolak.
1.3.5 Grasi
Apabila terpidana mengaku bersalah, minta ampun pada presiden selaku kepala
Negara. Kemungkinan yang terjadi dikurangi hukuman atau tetap.
1.3.6 Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan yang dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan terhadap sengketa
tata usaha Negara. Meliputi
1. Pengadilan Tata Usaha Negara
Menyelesaikan permasalahan hukum Di tingkat kabupaten/kota
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Menyelesaikan permasalahan “naik banding” perkara tata usaha negara Di
tingkat provinsi.
1.3.7 Peradilan Agama
Peradilan yang dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan perdata bagi
masyarakat beragama islam, msalnya masalah perceraian. Meliputi:
1. Pengadilan Agama (PA)
Menyelesaikan permasalahan hukum Di tingkat kabupaten/kota.
2. Pengadilan Tinggi Agama
Menyelesaikan permasalahan “naik banding” perkara perdata Di tingkat
provinsi.
1.3.8 Peradilan Militer
Peradilan yang dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang
dilakukan oleh anggota militer. Terdiri dari :
1. Pengadilan Militer
Menyelesaikan permasalahan hukum dilakukan oleh militer pangkat kapten ke
Bawah.
2. Pengadilan Militer Tinggi
Menyelesaikan permasalahan hukum dilakukan oleh militer pangkat Mayor ke
Bawah. Juga bisa untuk mengadili anggota militer yang “naik banding” dari
tingkat di bawahnya
3. Pengadilan Militer Utama
Menyelesaikan permasalahan hukum yang dilakukan oleh terdakwa yang masih
tidak puas dengan hukuman yang sudah dijatuhkan di tingkat pengadilan militer
tinggi. Juga memutuskan perselisihan tentang wewenang mengadili antar
pengadilan militer yang berlainan.
1.3.9 Peradilan Pajak.
Peradilan yang dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang
dilakukan oleh para wajib pajak
1.3.10 Komisi Yudisial
Lembaga khusus yang dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim dan
mengusulkan nama calon hakim Agung. Selain lembaga peradilan nasional
adapun Peran Lembaga-Lembaga Penegak Hukum di Indonesia
1. Kepolisian
2. Tugas utamanya adalah menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat,
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegkkan hukum.
3. Sebagai aparat hukum polisi dapat menjalakan fungsinya sebagai
penyelidik dan penyidik. Polisi juga berwenang untuk menangkap orang
yang diduga melakukan tindak kejahatan.
4. Hasil pemeriksaaan yang dilakukan oleh polisi terhadap pelaku tindak
criminal disbut dengan BAP (berita acara pemeriksaan) yang akan
diserahkan kepada kejaksaan.
Kepolisian Negara diatur oleh UU No. 2 Tahun 2002. tugas pokok kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah:
1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2) menegakkan hukum, dan
3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada mayarakat.
Untuk melaksanakan tugasnya, kepolisian antara lain berwenang:
1) menerima laporan dan pengaduan
2) menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban
umum
3) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
1.3.11 Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia diatur oleh UU No. 16 Tahun 2004, yang dalam
undang-undang itu disebutkan bahwa diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
Kejaksaan adalah alat negara sebagai penegak hukum yang juga berperan sebagai
penuntut umum dalam perkara pidana. Jaksa adalah alat yang mewakili rakyat untuk
menuntut seseorang yang melanggar hukum pidana maka sisebut penuntut umum yang
mewakili umum. kejaksaan merupakan aparat Negara yang bertugas :
1. Untuk melakukan penuntutan terhadap pelanggaran tindak pidana di pengadilan.
Di sini jaksa melakukan penuntutan atas nama korban dan masyarakat yang
merasa dirugikan
2. Sebagai pelaksana (eksekutor) atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Aparat kejaksaan akan mempelajari BAP yang diserahkan oleh
kepolisian. Apabila telah lengkap maka kejaksaan akan menerbikan P21 yang
artinya siap dibawa ke pengadilan untuk disidangkan. Tugas dan wewenang jaksa
di bidang pidana antara lain:
1) melakukan penuntutan
2) melaksanakan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap
3) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasar UU Dalam
bidang ketertiban dan ketentraman umum jaksa turut melakukan
penyelidikan yang berupa:
1) peningkatan kesadara hukum
2) mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara
3) pengamanan kebijakan penegakan hukum
1.3.12 Kehakiman
Tugas utama seorang hakim adalah memeriksa, memutus suatu tindak pidana
atau perdata. Untuk itu seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus lepas dari
segala pengaruh agar keadilan benar-benar bisa ditegakkan. Di tingkat pusat kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh MA dan MK. Jika MA merupakan lembaga peradilan umum
tertinggi, maka MK merupakan lembaga peradilan khusus karena tugasnya :
1. terbatas kepada hak uji terhadap UU ke atas ,
2. sengketa kewenangan antar lembaga Negara,
3. pembubaran partai politik
4. memutuskan presiden dan/atau wakil presiden telah melanggar hukuman tidak
mengurusi masalah pidana.
5. KPK
Lembaga baru yang dibentuk karena tuntutan dan amanat reformasi agar Negara
bersih dari praktek KKN. Dibentuk berdasarkan UU no 30 tahun 2002. Tugas
utamanya adalah menyelidiki dan memeriksa para pelaku korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat Negara. KPK ini dalam menjalankan tugasnya
bertanggungjawab langsung kepada presiden.
1.4 Kekuasaan Kehakiman yang Integral
Kekuasaan kehakiman yang integral dan terpadu dapat dimulai dengan
dilakukannya restrukturisasi atau “penataan kembali” bangunan sistem hukum pidana
Indonesia yang bebas dan mandiri.
Berbicara mengenai penataan kembali sistem hukum untuk menciptakan
kekuasaan kehakiman yang integral, bebas dan mandiri maka ada tiga hal pokok yang
menjadi fokus pembicaraan antara lain substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum.
Pertama; Substansi hukum. Permasalahan yang dialami dari segi substansi
hukum/pengaturan hukum adalah lembaga kepolisian dan kejaksaan tidak disebutkan
secara tegas dan jelas dalam konstitusi bahwa kedua lembaga tersebut masuk dalam
kekuasaan yudisial tetapi hanya disebutkan dalam Pasal 24 ayat 3 UUD NRI 1945
bahwa Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
Rumusan pasal ini mengandung multi tafsir apakah kepolisian dan kejaksaan
masuk dalam kategori badan-badan lain yang menjalankan kekuasaan kehakiman atau
tidak. Dilihat dari sub fungsi polisi sebagai penyidik dan sub fungsi kejaksaan sebagai
penuntut dan/atau penyidik maka dapat dikatakan bahwa kedua institusi tersebut masuk
dalam lingkaran kekuasaan yudisial/kehakiman.
Kalau demikian maka seyogyanya kepolisian dan kejaksaan harus berada di luar
kekuasaan eksekutif agar tidak bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman
yang bebas dan mandiri dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 24 ayat 1. Tetapi permasalahannya adalah apakah tugas kepolisian dan
kejaksaan hanya melakukan penyidikan dan penuntutan?
Tentunya tugas kedua institusi tersebut tidak hanya sebatas itu sehingga terasa
amat sulit kepolisian dan kejaksaan berada di luar eksekutif walaupun di sisi lain
menjalankan fungsi menegakkan hukum yang merupakan bagian dari fungsi kekuasaan
kehakiman. Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah membentuk Badan Penyidik
dan Badan Penuntut yang bersifat independen.
Badan-badan tersebut berada di luar kepolisian dan kejaksaan walaupun
keanggotaanya berasal dari institusi-institusi tersebut tetapi tidak bertanggung jawab
kepada kapolri maupun kepada kejaksaan agung tetapi benar-benar independen dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Kedua; Struktur hukum merupakan penggerak/motor dari substansi hukum
karena substansi tidak mungkin berjalan tanpa struktur hukum. Keduanya saling
mengisi dan saling mendukung. Substansi tanpa struktur maka akan mati dan struktur
tanpa substansi akan kacau.
Substansi hukum yang baik tetapi dijalankan oleh struktur hukum yang buruk
maka akan buruk tetapi substansi hukum yang buruk tetapi dijalankan oleh struktur
yang baik maka akan baik tetapi akan lebih baik kalau substansi dan strukturnya sama-
sama baik tetapi sangatlah sulit untuk menemukan kedua-duanya hadir bersamaan. Di
sini diharapkan bangsa ini memiliki struktur hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat,
pegawai LP) yang berintegritas, bertanggung jawab, transparan, bermoral, berilmu dan
beriman serta memiliki masyarakat yang sadar hukum maka sudah pasti keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia akan tercapai.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri dapat dimaknai dari dua sudut
pandang yaitu pertama; bebas dan mandiri dari kekuasaan eksekutif/pemerintah dan
politik dan hal ini perlu diatur dalam substansi hukum agar benar-benar ada
kemandirian kekuasaan kehakiman yang utuh dan holistik dalam arti kemandirian
keseluruhan sistem peradilan pidana yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan
penuntutan, kekuasaan mengadili, kekuasaan pelaksanaan pidana dan kekuasaan
pemberian bantuan hukum.
Hal ini sebagai bentuk pencerminan Indonesia sebagai negara hukum. Dari
keseluruhan sistem peradilan pidana tersebut kekuasaan penyidikan yang berada di
bawah komando kepolisian dan kekuasaan penuntutan yang berada di bawah komando
kejaksaan masih berada di bawah bayang-bayang pemerintah sehingga belum tercipta
sistem peradilan pidana terpadu yang bebas dan mandiri.
Kedua; bebas dan mandiri dari keinginan suap, jual beli pasal, jual beli putusan,
favoritisme (pilih kasih)/tebang pilih dan berbagai praktek mafia hukum dan mafia
peradilan lainnya merupakan penghalang terbesar dalam menciptakan kemandiran
kekuasaan kehakiman karena aparat penegak hukum diikat oleh praktek-praktek mafia
tersebut sehingga putusan pengadilan yang dihasilkan tidak/kurang berkeadilan sosial.
W. Clifford mengemukakan bahwa meningkatnya kejahatan telah cukup untuk
menarik perhatian pada tidak efisiennya struktur peradilan pidana yang sekarang ada
sebagai suatu mekanisme pencegahan kejahatan.
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Johannes Andenaes bahwa semakin tinggi
dan meningkatnya angka rata-rata kejahatan, merupakan bukti kegagalan atau
ketidakmampuan (impotensi) sistem yang ada sekarang (Ibid). Melihat kondisi ini
maka perlu ada pengawas independen yang secara khusus mengawasi setiap sub sistem
peradilan pidana agar benar-benar bebas dari berbagai praktek mafia tersebut.
Ketiga: Kultur/budaya hukum merupakan perwujudan dari sistem nilai-nilai
budaya hukum meliputi masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan
hukum dan ilmu. Kultur/budaya hukum adalah roh/jiwa yang menghidupi struktur
hukum dalam melaksanakan substansi hukum.
Diharapkan perilaku hukum dari struktur hukum mencirikan budaya hukum
Indonesia yaitu budaya hukum Pancasila karena Pancasila merupakan
jiwa/roh/kepribadian bangsa Indonesia.
Dan, pada dasarnya substansi hukum dibuat dengan ilmu hukum, dengan
demikian penegakannya pula harus menggunakan ilmu hukum. Melupakan ilmu
hukum dalam menerapkan hukum akan menyebabkan struktur hukum memahami
substansi hukum tersebut secara parsial (sepotong-sepotong) sehingga keadilan yang
dicapai bukan keadilan materiel tetapi sekedar keadilan prosedural.
1.4.1 Kesatuan Sistem Hukum
Masalah penegakan hukum di Indonesia terlihat dari belum terintegrasinya ketiga
sistem hukum tersebut yaitu substansi hukum, struktrur hukum dan budaya hukum.
Adanya disharmonisasi perundang-undangan, belum terintegrasinya sistem peradilan
pidana secara holistik yang bebas dan mandiri menjadi sinyal/potret buram sistem
hukum Indonesia.
Tentang budaya hukum Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa budaya
suap/budaya amplop, budaya jalan pintas, budaya kaca mata kuda/budaya coffee-
extract tentunya tidak sesuai dengan budaya keilmuan dan dapat
menghambat/merendahkan/menghancurkan kualitas penegakan hukum (Barda, tanpa
tahun:41).
Agar sistem hukum nasional benar-benar terarah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan (ibid) maka perlu adanya
kesatuan sistem hukum yang memadai dalam masing-masing sistem dan adanya
pengawasan independen yang berkualitas dan berintegritas dalam rangka menciptakan
kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri “Demi Keadilan Sosial berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Perlindungan Lembaga Kerja Di Indonesi
2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Undang Undang dan Jenis Perlindungan -
Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat.
Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan
masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah
kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana
pembangunan harus di jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya
gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994
pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum
wajib mengikuti program jaminan social tenaga kerja karena adanya pentahapan
kepesertaan.
Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang wajib di laksanakan oleh
setiap pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan orang untuk bekerja pada
perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan, yaitu mengenai pemeliharaan dan
peningkatan kesejahteraan di maksud diselenggarakan dalam bentuk jaminan social
tenaga kerja yang bersifat umum untuk dilaksanakan atau bersifat dasar, dengan
bersaskan usaha bersama, kekeluargaan dan kegotong royongan sebagai mana yang
tercantum dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Jaminan pemeliharaan kesehatan merupakan jaminan sebagai upaya
penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pemeliharaan
kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan dibidang
penyembuhan. Oleh karena itu upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak
sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya
diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan social
tenaga kerja. Para pekerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat, dengan
resiko dan tanggung jawab serta tantangan yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada
mereka dirasakan perlu untuk diberikan perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan
kesejahteraannya sehingga menimbulkan rasa aman dalam bekerja.

2.2 Jenis Perlindungan Kerja


Secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja yaitu sebagai berikut
: Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja),
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal 78
1. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh
mengenyam dan mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada
umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.
Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja.
2. Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha
untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang
ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini
lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.
3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang
cukup guna memnuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk
dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar
kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.
Ketiga jenis perlindungan di atas akan di uraikan sebagai berikut :

2.3 Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja


Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis
perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan
dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan
pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan
pekerja/buruh ”semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan
tidak memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi.
Karena sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan
perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya
bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan
perlindunga sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-undang memandang
perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial
ini merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal ini
disebabkan beberapa alasan berikut : Ibid, hal 80
1. Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi
kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
2. Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau
kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga
pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan
kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan
”dalam suatu hubungan kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak
melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial
sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.

2.4 Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja


Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu
perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan
oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk
kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan
perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
1. Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan
menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat
memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir
sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
2. Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya
akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan
pengusaha harus memberikan jaminan sosial.
3. Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan
keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk
mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi
perusahaan baik kualitas maupun kuantitas. Ibid, hal 84
Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU
No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan
pelaksanaan undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan
Hindia Belanda masih dijadikan pedoman dalam pelaksanaan keselamatan kerja di
perusahaan. Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut : Ibid, hal 84
1. Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir
dengan S. 1931 No. 168 yang kemudian setelah Indonesia merdeka diberlakukan
dengan Peraturan Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini menatur tentang
keselamatan dan keamanan di dalam pabrik atau tempat bekerja.
2. Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.
3. Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan
pemakaian timah putih kering.

2.5 Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial


Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan
kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.
Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya
berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial
berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan
masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal
dunia.
Indonesia, Undang-undang Jaminan SosialTenagakerja, No, 3 Tahun 1992 Pasal
10. Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah
merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang (
jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari tua ), dan pelyanan kesehatan
yakni jaminan pemeliharaan kesehatan. Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam
Undang – Undang Nomor. 3 Tahun 1992 adalah : Lalu Husni, Pengantar hukum
ketenaga kerjaan indonesia, ( Jakarta : PR Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal 122.
Merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan.
Pada hakikatnya program jaminan soisal tenaga kerja dimaksud untuk memberikan
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian yang
hilang.
Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek
antara lain : Indonesia, (Undang-undang jaminan soail tenaga kerja, 3 Tahun 1992.)
1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi
tenaga kerja beserta keluarganya.
2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja
sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam
hubungan kerja terjadi resiko – resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan
lainnya.

2.6 Jenis – Jenis Jaminan Sosial tenaga kerja


2.5.1 Jaminan Kecelakaan Kerja
Kecelakaan Kerja maupun penyakit akibat kerja maerupakan resiko yang
dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi
hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau
cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan
kecelakaan kerja.
2.5.2 Jaminan Kematian
Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan
mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan
sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan
kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya
pemakaman maupun santunan berupa uang.
2.5.3 Jaminan hari Tua
Hari tua dapat mengkibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mapu bekerja.
Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan
mempengaruhi ketenaga kerjaan sewaktu masih bekerja, teruma bagi mereka yang
penghasilannya rendah. Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan yang
dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 ( lima
puluh lima ) tahun atau memnuhi persyaratan tersebut.
2.5.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan unutk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja sehingga dapat melaksankan rugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya
kesehatan dibidang penyembuhan ( kuratif ). Oleh karena, upaya penyembuhan
memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada
perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penggulangan kemampuan
masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Disamping itu pengusaha
tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang meliputi
upaya peningkatan (promotif), pencegahan (oreventif), penyembuhan (kuratif), dan
pemulihan (rehabilitatif)

Anda mungkin juga menyukai