Anda di halaman 1dari 30

1

HUMANISME YUNANI KLASIK


DAN ABAD PERTENGAHAN
Bartolomeus Samho
Humanisme adalah istilah dalam sejarah intelektual yang acapkali digunakan dalam
bidang filsafat, pendidikan dan literatur. Kenyataan ini menunjukkan beragam makna yang
terkandung dalam dan diberikan kepada istilah ini. Meskipun demikian, secara umum kata
humanisme ini berkenaan dengan pergumulan manusia dalam memahami dan memaknai
eksistensi dirinya dalam hubungan dengan kemanusiaan orang lain di dalam komunitas.
Perbedaan interpretasi atas kata humanisme sebetulnya lebih merupakan persoalan
perspektif dalam menelaah bidang yang dikaji. Artinya, makna kata tersebut amatlah
tergantung pada untuk maksud apa orang membicarakannya atau untuk kepentingan
rencana dan proyek kemanusiaan apa orang mendiskusikan dan mengartikannya.1
Pada masa Yunani klasik, humanisme ini mewujud dalam paideia, suatu sistem
pendidikan Yunani klasik yang dimaksudkan untuk menerjemahkan visi tentang manusia
ideal. Hanya saja, prespektif Yunani klasik ini bertolak dari pandangan yang semata
kodrati tentang manusia. Pada Abad Pertengahan, perspektif Yunani klasik atas manusia
ini mendapat pembaruan dari paham Kristiani, terutama sejak St. Agustinus, yang
memandang manusia tidak sekadar makhluk kodrati, tetapi juga makhluk adikodrati,
imanen dan transenden. Dengan demikian, gagasan humanisme Yunani klasik tidak
ditinggalkan, tapi diusung ke tataran yang transenden. Manusia pun dipandang tidak
sekadar faber mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), tetapi lebih merupakan
imago dei; the image of God (makhluk ilahi atau citra Tuhan )2. Dalam terang perspektif
Kristiani ini, gambaran manusia ideal pun mengalami pembaruan. Manusia tidak sekadar
sebagai sosok yang selaras jiwa dan badannya, tapi makhluk yang ilahi-insani, sehingga
kelak mengalami kebangkitan “jiwa dan badan” secara utuh dan penuh.
Tulisan ini hendak menelusuri kerumitan peta humanisme Yunani klasik dan Abad
Pertengahan. Pembahasan akan berangkat dari kajian atas perspektif humanisme secara

1
etimologis dan historis, dilanjutkan dengan pembahasan paideia Yunani klasik sebagai
akar humanisme Abad Pertengahan, faktor-faktor penting dalam gerakan paideia Yunani
klasik, serta perspektif Yunani klasik dan Abad Pertengahan tentang manusia.

Perspektif Etimologis dan Historis


Humanisme sebagai gerakan kemanusiaan telah mengalami proses penafsiran dan
penurunan kata yang panjang. Oleh karena itu, makna kata tersebut perlu ditelusuri dalam
perspektif etimologis dan historis. Secara etimologis, istilah humanisme erat kaitannya
dengan kata Latin klasik, yakni humus, yang berarti tanah atau bumi. Dari istilah tersebut
muncul kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih
menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi”. Istilah yang senada dengannya adalah
kata Latin „humilis‟, yang berarti kesederhanaan dan kerendahan hati (kesahajaan). Lawan
dari pemaknaan istilah itu, pada awalnya, adalah makhluk ciptaan lainnya yang bukan
manusia (binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan) dan termasuk pula tatanan segala yang
ada, makhluk luar angkasa dan dewa-dewa (deus/divus, divinus)3.
Pada Abad Pertengahan, kaum terpelajar dan klerikus (kaum rohaniwan Katolik),
yang mendapat pengaruh dari pandangan filosofis dan teologis Agustinus dan Thomas
Aquinas, memandang manusia tidak sekadar makhluk kodrati saja tapi juga makhluk ilahi,
dengan mengembangkan pembedaan antara divinitas dan humanitas. Istilah divinitas
dimaksudkan untuk wilayah pengetahuan dan aktivitas yang diturunkan dari Kitab Suci,
sementara istilah humanitas dipahami sebagai suatu praktik kehidupan manusia dengan
dunianya yang khas (studi tentang bahasa-bahasa dan kesusasteraan yang kadangkala
masih dirujuk sebagai „humaniora‟).4
Perspektif humanisme pada masa Yunani klasik berangkat dari
pertimbanganpertimbangan yang kodrati tentang manusia. Sedangkan perspektif
humanisme pada Abad Pertengahan berangkat dari keyakinan dasar tentang manusia
sebagai makhluk kodrati dan adikodrati. Namun, gerakan humanisme yang dipahami
secara spesifik dan murni sebagai gerakan kemanusiaan sebetulnya baru berkembang pada
zaman Renesans, terutama berkaitan dengan bangkitnya minat kaum terpelajar (umanisti)

2
untuk mempelajari tulisan-tulisan klasik (Yunani-Romawi) dan bahkan karya-karya klasik
itu dijadikan sebagai bahan studi dan kajian ilmiah. Dalam rentang Renesans ini istilah
humanisme dikaitkan dengan gerakan kesadaran intelektual untuk menghidupkan kembali
literatur-literatur klasik Yunani-Romawi.5
Perspektif etimologis dan historis dalam memahami makna kata humanisme di atas
menunjukkan bahwa inti persoalannya adalah humanus atau manusia itu sendiri. Artinya,
bagaimana membentuk manusia (humanus) itu menjadi lebih manusiawi (melalui
humanismus), serta pihak mana atau siapa yang bertanggungjawab dalam proses
pembentukannya (humanista / umanisti / humanist). Jadi, ada tiga istilah penting untuk
menyingkapkan makna kata humanisme itu, yang maknanya saling kait-mengait, yakni
humanismus, humanista, dan humanitatis. 6
Pertama, kata „humanismus‟ diciptakan pada tahun 1908 oleh ahli pendidikan
Jerman, F. J. Niethammer untuk menunjukkan tekanan pengajaran yang diberikan pada
karya-karya klasik berbahasa Latin dan Yunani di sekolah-sekolah menengah sebagai
lawan dari tuntutan dunia pendidikan pada masa itu yang pengajarannya lebih berorientasi
pada ilmu pengetahuan dan sains dan bersifat praktis. Istilah humanismus ini diturunkan
dari istilah yang kedua, yakni humanista (humanists). Istilah humanista sebetulnya
diciptakan pada puncak kejayaan zaman Renesans untuk menunjukkan pada kelompok
yang menyebut diri mereka umanisti (para penerjemah, guru-guru dan khususnya para
profesor humanisme di universitas-universitas Italia). Kata “humanista” sebetulnya
diturunkan dari istilah klasik ketiga, yakni humanitas (humanity) atau studia humanitatis,
istilah yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Aulus Gellius dan Varro. Menurut
Gellius istilah Studia Humanitatis menunjuk pada gerakan paideia dalam kultur Yunani
klasik,7 dan berkaitan erat dengan artes liberales (pendidikan untuk orangorang merdeka),
yakni sistem pendidikan yang dikembangkan pada Abad Pertengahan.
Aulus Gellius sendiri menyebut sistem pendidikan itu sebagai „eruditionem
instiutionemque in bonos artes‟ atau „education and training in the liberal arts‟.8
Dalam praksisnya, artes liberales ini, sambil mengacu ke kerangka budaya Yunani,
memakai pula karya-karya pengarang Romawi klasik, khususnya Cicero dan Aulus

3
Gellius, sebagai bahan pengajarannya. Tujuan pendidikan artes liberales secara umum
adalah membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan melalui pengembangan
intelektual sehingga peserta didik menjadi manusia yang rasional, kritis, berwawasan luas,
mampu bergaul secara manusiawi, cerdas dan arif dalam membuat keputusan yang adil.
Dengan demikian, peserta didik menemukan bentuk kemanusiaannya yang benar, kodrat
manusia yang real dan asli.
Jadi secara historis, kaum umanisti (para penerjemah literatur klasik dan
guruguru/profesor-profesor) adalah orang-orang yang dipandang sebagai pioneer yang
mengembangkan gerakan kesadaran intelektual dengan kembali bersandar pada visi
humanisme Yunani klasik, paideia. Mereka memperoleh inspirasi tentang kemanusiaan
ideal dari literatur-literatur klasik melalui studia humanitatis itu. Dengan kata lain, akar
purba humanisme adalah paideia.9 Paideia dimaksudkan untuk membingkai segala
maksud dan usaha manusia dalam rangka merengkuh cita-cita manusia ideal sebagai
makhluk individual dan sosial.10

Paideia Yunani Klasik: Akar Humanisme Abad Pertengahan


Dalam rentang penafsiran atas humanisme, kultur Yunani klasik yang disebut
paideia selalu menjadi kiblat. Secara struktural, Paideia memang dipahami sebagai sistem
pendidikan dengan visi yang jelas, yakni mengupayakan manusia ideal. Manusia ideal
dalam pandangan Yunani klasik adalah manusia yang mengalami keselarasan jiwa dan
badan, suatu kondisi di mana manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan). Pencitraan
yang kodrati dan melulu menurut aturan akal budi atas manusia ini begitu mewarnai
pemikiran dan ajaran para pemikir Yunani klasik, dari masa pra-Sokrates sampai masa
Sokrates, termasuk kaum Sofis (seperti Protagoras, Isokrates). Bahkan keyakinan etis
Sokrates, Plato dan Aristoteles tentang tujuan hidup manusia, yakni eudaimonia
(kebahagiaan), “well-being” atau hidup yang baik, dapat dipastikan bertaut erat dengan
pencitraan atas manusia ideal tadi.
Dalam kurikulum tradisional Yunani klasik yang dikenal dengan istilah artes
liberales atau liberal arts, ada tujuh bidang pelajaran yang diajarkan dalam rangka

4
mencapai aretê (keutamaan, kebajikan). Ketujuh bidang pelajaran itu adalah tata bahasa,
kemampuan berbicara (retorika), logika, berhitung (matematika), geometri (ilmu ukur),
astronomi, dan musik. Ketujuh bidang pelajaran ini selanjutnya terbagi ke dalam dua
kelompok, yakni: Trivium dan Quadrivium. Bidang studi yang masuk ke dalam kategori
TRIVIUM (pembagian bawah) adalah tata bahasa, kemampuan berbicara (retorika) dan
logika. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori QUADRIVIUM (pembagian atas)
adalah berhitung (matematika), geometri (ilmu ukur), astronomi, dan musik.11 Konsepsi
baru yang komprehensif tentang kultur ideal Yunani klasik ini dibangun pada masa
Isokrates (yang mewakili kaum Sofis) dan Plato.
Berkaitan dengan gerakan ini, konon kaum Sofis sering dipandang sebagai
pelopornya. Mereka memang pantas dipandang penting dalam gerakan paideia ini paling
kurang karena dua alasan ini. Pertama, kaum Sofis penting sebab mereka menggagas
sistem paideia baru yang sekaligus memperkaya khasanah gerakan paideia, yakni retorika
yang mengedepankan pidato (sebagai tandingan akademia Plato yang mengedepankan
filsafat). Kedua, mereka membagi liberal arts itu ke dalam dua kelompok besar, yakni
Trivium dan Quadrivium, langkah yang dipandang efektif untuk mencapai aretê atau
prasyarat dasar menuju manusia ideal ini.
Pada abad ke empat, masa Helenistik dan kekaisaran Romawi, istilah paideia terus
mengalami perluasan konotasi; dihubungkan dengan aretê (keutamaan tertinggi) sebagai
manusia. Paideia pun lantas digunakan untuk menunjukkan penyempurnaan ideal pikiran
dan tubuh manusia—kalos kagathos. Pada awalnya, baik aretê maupun kalos kagathos
dipandang menjadi milik privilese kaum aristokrat saja, sementara insan biasa dipandang
tidak berhak memasuki wilayah pemanusiaan seperti itu, kecuali mereka yang memang
diyakini sebagai orang yang mewarisinya atas dasar karunia ilahi para leluhurnya.12
Perubahan masyarakat pada jaman Yunani klasik (pasca perang Parsi) telah
mempengaruhi konsepsi atas aretê sehingga di mana-mana pada jaman itu orang
memfokuskan perhatian pada pertanyaan: pendidikan macam apakah yang menuntun
orang pada aretê?13 Pertanyaan itu ternyata mampu melahirkan kultur Yunani yang unik,
yakni kultur demokrasi. Suatu kultur yang merupakan prasyarat bagi perkembangan berarti

5
dalam memahami konsep aretê dari konsepsi aristokrasi yang sudah lama ditapaki ke
konsep barunya, yakni seputar cita-cita politik dari warga negara yang cinta akan
keadilan.14 Jadi, pergeseran pemaknaan konsep aretê (keutamaan tertinggi) atau “virtue”
sebagai jalan menuju eudaimonia terutama bermula sejak gerakan paideia kaum Sofis
diarahkan pada kepentingan di panggung politik demokrasi. Pergeseran atas pemaknaan
konsep aretê itu berawal dari konsepsi Gorgias atas logos sebagai „pidato‟.15
Pemaknaan kubu Sofis atas logos ini jelas berbeda dengan kubu akademia Plato
yang memaknai logos sebagai akal budi. Maka muncul polemik mengenai tujuan paideia
antara kubu Sofistik dengan kubu akademia Plato.16 Konsep aretê yang pada akademia
Plato dipahami sebagai ideal diri yang harus dicapai melalui paideia, yakni cerdas budi
dan hati alias bijaksana (sebab telah mengalami integrasi berbagai macam potensi diri
secara utuh dan penuh: intelektualitas, emosionalitas, moralitas, volitas, dan spiritualitas),
lalu dipahami oleh kaum Sofis sebagai cita-cita menjadi warga negara yang patuh pada
kepentingan negara (politikus). Pemaknaan paideia sebagai “seni mendidik” demi
mencapai aretê seperti diimpikan dalam wacana kultural Yunani klasik pun beralih ke
“seni mendidik” warga negara yang baik demi kepentingan politik berkaitan dengan cita-
cita demokrasi. Konsekuensi dari pembaruan ini adalah bahwa, gerakan paideia dan kalos
kagathos demi mencapai aretê menjadi terbuka untuk umum.
Selain paideia, seni mendidik warga negara dalam spirit yang serupa terdapat juga
di Sparta dan dikenal dengan istilah agogé (sebuah sistem pendidikan kewarganegaraan
yang unik). Dalam tataran dunia kesusasteraan, “seni mendidik” warga negara ini tampak
pula dalam karya-karya kesusasteraan, seperti tecermin dalam puisi karya Homeros macam
Illias dan Odyssea, yang rupanya lama sekali digunakan sebagai buku pendidikan untuk
rakyat Yunani.17 Namun di kemudian hari yang lebih berkembang agaknya adalah paideia.
Dalam polemik yang panjang itu, baik kubu Plato maupun kaum Sofis, yang
diwakili oleh Isokrates, sama-sama mengklaim bahwa mereka dapat menghantar manusia
ke tataran yang ideal melalui model pendidikan akal budi. Kedua pandangan yang berbeda
tentang keistimewaan manusia ini tentu mengakibatkan konsepsi yang berbeda pula
tentang arah paideia. Akademia yang didirikan Plato berangkat dari keyakinan bahwa

6
pendidikan mesti didasarkan atas pengetahuan yang benar. Oleh karena itu, Plato begitu
yakin akan suprioritas program pendidikannya dibandingkan dengan program kaum Sofis,
seperti terungkap dalam dialog-dialog Gorgias, Phaedrus, dan Phaedo. Bagi Plato, apa
yang benar itu jelas berbeda dengan sekadar kepercayaan atau pendapat tentang suatu hal.
Untuk memperkuat gagasannya ini, Plato menganaloginya dengan tujuan olah raga
(gymnastic) yang membuat badan menjadi sehat, begitu juga pembuatan hukum-hukum
negara yang membuat suatu negara menjadi kuat. Badan memang sehat kalau olah raga
dilakukan dengan benar, tapi kalau olah raga menjadi sekadar imitasi (tidak serius), maka
membuat orang kelihatan sehat padahal tidak. Demikian juga halnya dengan hukum-
hukum suatu negara, yang dibangun atas kefasihan berbicara sebagai imitasi kekuatan
negara karena dengan kefasihannya itu sang orator meyakini warga dengan mengklaim
dapat menyediakan apa yang menguatkan negara, tapi tanpa pengetahuan yang benar
tentang apa yang dipercayai dan diungkapkannya dalam pidato itu. Menurut Plato, seperti
ditegaskannya dalam Republica, bahwa cara alami untuk mendidik baik jiwa maupun
badan adalah melalui bidang gymnastic dan „musik‟. Gymnastic adalah pengolahan badan
sementara musik adalah pendidikan jiwa.18 Namun, gymnastic tidak sekadar
menggerakkan badan dan musik tidak sebatas membuat ritme dan bunyi, tetapi juga secara
komprehensif mencakup tindakan yang terekspresi kebenarannya dalam tutur kata yang
berpengetahuan dan bernalar, dalam logos, yang terutama berarti nalar dan pengetahuan
yang benar.
Analogi Plato di atas sebetulnya adalah sindiran keras terhadap model pendidikan
kaum Sofis yang mengunggulkan retorika. Menurut Plato, retorika kaum Sofis dibangun
atas dasar yang goyah. Metode retorika Sofistik yang persuasif itu dipandang Plato sebagai
upaya untuk menjauhkan khalayak ramai dari apa yang disebut kebenaran. Pidato-pidato
Sofistik tidak lebih dari sekadar upaya untuk mengelabui dan membujuk orang lain agar
mempercayai apa yang mereka katakan. Melalui pidato-pidatonya, kaum Sofis bukannya
menyingkapkan kebenaran, tapi menguburnya dalam gaya bahasa yang retoris belaka.
Kaum Sofis lebih memberi penghargaan pada apa yang tampaknya logis dan mungkin

7
ketimbang kepada apa yang sesungguhnya benar.19 Itulah yang membuat Plato, sebagai
filsuf yang yakin akan nilai-nilai universal dan mutlak, menjadi resah dan gelisah.
Keberatan Plato atas model pendidikan kaum Sofis ini tampak dalam karangannya
berupa dialog-dialog (Gorgias, Phaedrus, dan Phaedo), di mana Sokrates ditampilkan
sebagai pelaku.20 Di sisi lain, dalam dialog-dialog itu, Plato tampak ingin juga mengambil
alih seni retorika dari kaum Sofis untuk dikombinasikan dengan program kebudayaan dan
pendidikan yang dikembangkannya dalam Akademia yang didirikannya. Plato berupaya
menunjukkan bahwa retorika itu memang bagian penting dari filsafat, namun retorika yang
baik bukan sekadar berbicara melainkan didasarkan pada kebajikan. Menurut Sokrates
kebajikan adalah pengetahuan. Berdasarkan itu, Plato mengatakan bahwa kebajikan dapat
diajarkan, yakni melalui filsafat.21
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa polemik antara filsafat dan retorika
sebetulnya terletak pada fakta bahwa kedua disiplin ini memang berbeda visi dalam
membangun program-program pendidikan yang luas. Perbedaan visi ini menjadi titik
berangkat perbedaan motivasi dan tujuan dalam program-program pendidikan, bahwa
kedua kubu ini mengejar kualitas yang berlainan dalam diri peserta didiknya. Bila filsafat
lebih dimaksudkan untuk menanamkan kebijaksanaan dalam diri peserta didiknya, maka
retorika berusaha menanamkan kemampuan berbicara yang fasih dan persuasif dalam diri
peserta didiknya.
Kebijaksanaan yang menjadi motivasi filsafat dipahami sebagai upaya untuk
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal mendasar dan tertinggi, sehingga kebijaksanaan
yang dicapai lebih merupakan keutamaan intelektual yang mencerminkan gambaran
mengenai dirinya, dunia dan Tuhan. Sebaliknya pada retorika, sang orator melalui pidato-
pidatonya tidak hanya demi mengajar dan menarik minat para pendengarnya, tapi lebih
berupaya untuk membujuk para pendengarnya agar mempercayai pandangan-pandangan
yang dikumandangkannya. Maka tujuan pendidikan kaum Sofis akhirnya bukan untuk
mendidik rakyat, tapi untuk mendidik para pemimpin rakyat. Oleh karena itu, kaum Sofis
memilih para muridnya dan memberi pengajaran hanya kepada mereka yang tertarik
menjadi politikus dan akhirnya menjadi pemimpin suatu negara demokrasi.22

8
Walaupun demikian, retorika tidak lantas bisa dicampakkan begitu saja dan
dipandang sebagai model pendidikan yang “omong kosong” belaka karena tidak ada
kebijaksanaan di dalamnya dibandingkan dengan filsafat. Retorika tetap punya kualitas
tersendiri dalam menyingkapkan mosaik-mosaik kebijaksanaan. Menurut Cicero retorika
berkaitan erat dengan kebijaksanaan intelektual, dan bahkan sebagai sebuah seni hidup (ars
vivendi), tapi di sini retorika dipahami lebih sebagai keutamaan moral ketimbang
keutamaan intelektual. Berdasarkan pemahaman itu, Cicero mengidentifikasi
kebijaksanaan intelektual dengan kebijaksanaan praktis dan mendefenisikannya sebagai
imitasi akal budi dan alam. Menurut Alexander dari Hales, perbedaan tujuan pendidikan
filsafat dan retorika ini merupakan perbedaan antara scientia, yakni pengetahuan sepkulatif
mengenai Yang Benar, dan sapientia, kesempurnaan kehendak yang menggerakkannya ke
arah kebaikan. Orang yang terpelajar mengetahui kebenaran; orang yang bijaksana
mencintai dan melakukan kebaikan.23
Sistem paideia kaum Sofis memang membawa pengaruh positif terhadap
kebudayaan Yunani, terutama karena retorikanya mengakibatkan suatu revolusi intelektual
di Yunani. Gorgias dan sofis-sofis lain menciptakan gaya bahasa yang baru dalam prosa
Yunani. Sejarawan-sejarawan besar Yunani seperti Herodotos dan Thucydides, mendapat
pengaruh yang mendalam dari pemikiran sofistik.24 Mereka tidak hanya berjasa karena
mengambil manusia sebagai obyek bagi pemikiran filsafat, tapi juga meletakan fondasi
untuk pendidikan sistematis bagi kaum muda.
Namun, terlepas dari jasa mulia kaum Sofis dalam memperkaya khasanah paideia
dengan retorikanya yang khas, perjuangan mereka itu bagi kubu Sokrates identik dengan
strategi persuasif dan penipuan belaka. Sokrates, Plato dan Aristoteles mengkritik ajaran
sofistik sebagai aliran yang merusak banyak nilai tradisional dalam bidang agama dan
moralitas. Akibatnya, segala hal yang berbau Sofistis selanjutnya menjadi semacam aib
sosial, bukan hanya karena kaum Sofis identik dengan hybris (kaum sombong) yang
merasa diri serba bisa dan mengetahui kunci jawaban menuju kehidupan sosial yang
harmonis, tapi terlebih karena mereka dipandang sebagai kelompok munafik dan
“penipu”.25

9
Identifikasi yang terakhir itu, ternyata berakar dalam dan bermula sejak kritik
tajam yang dilontarkan oleh Sokrates, Plato, dan Aristoteles terhadap praktik edukasi kaum
Sofis di panggung pendidikan klasik yang, menurut mereka, tidak lebih dari pada upaya
untuk mengeruk keuntungan pribadi.26 Maka, Sokrates dan jajaran pengikutnya menilai
kaum Sofis sebagai kaum munafik yang mengajarkan keutamaan-keutamaan tapi hanya
sebagai strategi untuk mengeruk keuntungan materi belaka (uang) dari kaum muda yang
diajarnya. Kritik pedas terhadap kaum Sofis itu tampak dalam dialog Protagoras, di mana
Plato menyebut kaum Sofis sebagai “pemilik warung yang menjual barang rohani”.27
Sementara Aristoteles, murid Plato itu, mengarang buku yang berjudul Sophistikoi
elenchoi (cara-cara berargumentasi kaum Sofis), maksudnya tentu cara-cara
berargumentasi yang tidak sah dan lebih berpretensi untuk mengeruk keuntungan bagi diri
sendiri.28 Walaupun demikian, tidak semua sofis menyalahgunakan keahliannya untuk
maksud yang jahat. Sofis-sofis besar seperti Protagoras dan Gorgias adalah orang yang
dihormati oleh khalayak umum karena moralitasnya yang bermutu tinggi.29
Relasi antara tradisi filosofis dan retorika ini menjadi semakin rumit terutama
karena fakta bahwa para orator sejak jaman Isokrates sangat menaruh perhatian pada etika
dan suka menyebut diri mereka “filsuf”, sementara para filsuf sejak jaman Aristoteles
cenderung menawarkan kuliah retorika versi mereka sebagai bagian dari filsafat. Pada
permulaan Abad Pertengahan, polemik ini pada umumnya terlupakan karena orang-orang
Romawi memiliki tradisi retorika yang begitu kuat sehingga tradisi filsafat justru kurang
begitu diperhatikan. Pada akhir Abad Pertengahan, sekitar abad ke sebelas dan ke duabelas,
tumbuh kembali minat untuk mempelajari karya-karya Yunani klasik, khususnya karya-
karya Aristoteles. Ada dua babak perkembangan penting yang menandai bangkitnya minat
untuk mempelajari karya-karya Yunani klasik ini, yang sekaligus merupakan alasan
mengapa pendidikan renaisans itu menjadi penting.30
Pertama, terjemahan atas karya-karya Aristoteles (mengenai logika dan mengenai
penafsiran) oleh Boethius, yang mewarnai institusi pendidikan baik di Italia maupun di
negara Eropa. Di Eropa Utara muncul sekolah-sekolah yang disebut sekolah katedral, yang
merupakan pusat pendidikan dasar bagi para calon imam Katolik. Di sekolahsekolah ini

10
diajarkan tujuh bidang liberal arts, termasuk tata bahasa dan membaca karyakarya Yunani
klasik yang sudah diterjemahkan ke dalam Latin. Menjelang akhir abad ke sebelas, awal
abad ke duabelas dan seterusnya, ada berbagai macam tulisan dalam bidang filsafat dan
sains yang terbuka untuk umum, khususnya karya-karya Aristoteles yang ditulis dalam
bahasa Arab (oleh Ibn Sina dan Ibn Rushd) dan dalam bahasa Yunani, yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Boethius. Otomatis di sini karya-karya para
pemikir awal Abad Pertengahan, menjadi materi penting dalam studi pada masa ini. Karya-
karya ini secara perlahan-lahan mulai merangsang dan mengubah pemikiran Barat. Ada
tiga artes (keterampilan teknis) sebagai bidang utama dalam institusi-institusi pendidikan
pada masa ini, yakni studi logika, filsafat dan sains berdasarkan pemikiran Aristoteles.31
Setelah menyelesaikan pendidikan yang bersifat saintifik-filosofis ini, para lulusan sekolah
ini kemudian dapat melanjutkan studi ke salah satu dari tiga fakultas profesional yang ada,
yakni: hukum, kedokteran, dan teologi. Berbeda dari Eropa Utara, di Italia Utara yang
terbentuk oleh negara-negara kota, yang kelak melahirkan humanisme renaissans, memberi
perhatian pada keterampilan menulis surat (ars dictaminis).32
Kedua, munculnya institusi pendidikan tinggi yang baru, yang merupakan wujud
perkembangan sekolah-sekolah monastik dan katedral pada Abad Pertengahan, yakni
universitas-universitas terkenal seperti universitas Bologna, Salerno, Paris, Montpellier
dan Oxford. Hasil terjemahan Boethius yang tadinya menjadi bahan kajian para pemikir
Barat di sekolah-sekolah monastik dan katedral itu, lantas menjadi bahan kurikulum inti di
universitas.33 Logika dan filsafat alam pun segera menemukan tempat baru untuk
berkembang, yakni dalam universitas-universitas yang baru muncul dan dibangun pada
awal abad ke tigabelas. Sebetulnya, kata “universitas” sendiri bermakna
“perkumpulan”atau “paguyuban”. Namun, karena ada banyak bentuk perkumpulan pada
Abad Pertengahan, makna kata universitas itu secara perlahan dipersempit dan akhirnya
secara eksklusif dipakai untuk menunjuk pada kelompok intelektual atau masyarakat
terpelajar dan pakar.34
Jadi, sistem pendidikan paideia dalam Yunani klasik merupakan akar purba
gerakan humanisme dalam berbagai wujudnya. Gerakan yang berangkat dari kurikulum

11
pendidikan tradisional Yunani klasik itu menjalar dengan tertatih-tatih dari masanya,
merambat dengan cepat pada Abad Pertengahan melalui penalaran kritisnya, dan akhirnya
matang secara historis pada masa Renesans. Dalam puncak perkembangannya pada masa
Renesans itu, kurikulum pendidikan tradisional mendapat berbagai macam bentuk
pembaharuan, misalnya menambahkan bidang studi baru yang diajarkan (logika,
matematika, astronomi yang baru) dan mendirikan fakultas untuk pendalaman bidang
studi-bidang studi tertentu secara profesional (fakultas hukum, kedokteran, dan teologi).
Selain itu, model pengajaran pun berkembang, yakni kuliah (lectura) dan bacaan yang
disertai dengan penjelasan atas teks standard tertentu serta debat (disputatio). Model
pengajaran yang terakhir ini merupakan diskusi publik berdasarkan tesis yang diajukan
dengan argumen-argumen formal.

Paideia dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya


Paideia atau “seni mendidik” dalam Yunani klasik itu sering dipandang sebagai
tonggak awal sebuah sejarah peradaban melalui pendidikan atau kesadaran intelektual
35
manusia. Yunani dianggap penting dalam wacana pendidikan lantaran paideia-nya
termasuk unik dan istimewa. Unik karena bangsa ini sudah menyelami esensi makna
pendidikan sebagai upaya menyelaraskan jiwa dan badan dan bukan sekadar demi
mengasah kecerdasan otak. Konsepsi atas pendidikan seperti ini berimbas pada program
aksi dalam pendidikan sebagai yang tidak hanya sebatas aktivitas olah “otak”, tapi juga
olah fisik melalui gymnastic dan olah “jiwa” atau kepekaan hati melalui music. Maka di
sini tampak bahwa, bangsa Yunani telah melangkah jauh dalam memahami hakikat makna
pendidikan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada masa itu. Pendidikan bagi
Yunani klasik adalah upaya membangun sinergi konstruktif bagi pengaktualan potensi-
potensi kecerdasan dalam diri manusia. Istimewa karena bangsa ini sudah menunjukkan
bagaimana sistem pendidikan warga negara secara definitif dan terorganisir (tampak dalam
upaya pembagian bidang-bidang pelajaran ke dalam Trivium dan Quadrivium).

12
Kendati demikian, kegemilangan Yunani dalam paideia tidak terlepas dari andil
bangsa-bangsa lain seperti Mesir dan Babylonia. Kecanggihan Yunani dalam ilmu
astronomi, sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Babylonia. Demikianpun, ilmu
ukur (geômetria) yang berkembang pesat di Yunani juga tidak lepas dari pengaruh Mesir.
Orang Yunani menjadi tersohor dalam perkembangan ilmu pengetahuan karena berhasil
mengolah secara defenitif ilmu pengetahuan yang sebetulnya sudah lebih dulu dikenal oleh
bangsa lain sehingga begitu bercorak ilmiah. Jadi, bangsa lain adalah bagian dalam rentang
sejarah ilmu pengetahuan di Yunani. Hanya saja, ilmu pengetahuan mendapat corak yang
sungguh-sungguh ilmiah baru pada bangsa Yunani.
Kita boleh menghargai dengan sangat tinggi prestasi artistik, religius, dan politik
dari bangsa-bangsa terdahulu, tapi sejarah tentang apa yang dapat kita sebut sebagai
sungguh-sungguh peradaban dalam pendidikan, “seni mendidik” manusia—upaya
pengejaran cita-cita kemanusiaan dengan disengaja—, kata Werner Jaeger, mulai dalam
sistem pendidikan Yunani klasik, yakni Paideia. Bahkan, meskipun dalam ratusan tahun
terakhir kesarjanaan modern begitu diperluas dengan horison sejarah, tapi tetap belum bisa
mengubah fakta historis ini. Sejarah yang kita miliki, secara fisik dan intelektual, termasuk
sejarah kebangkitan kesadaran intelektual, politik dan ekonomi bangsa-bangsa di dunia ini
mulai dengan Yunani. Werner Jaeger bahkan mengatakan bahwa, kelompok bangsa Eropa
sendiri berpusat pada Yunani (Hellenosentris)36.
Yunani tidak hanya berhasil mengubah visi bangsa-bangsa lain tentang manusia
dan komunitas sosialnya melalui paideia, tetapi mendahului bangsa-bangsa lain dalam
mengorganisasikan pendidikan warga negara dengan baik. Di situlah letak keistimewaan
dan keunikan Yunani dalam hal pendidikan. Bangsa Yunani tidak hanya membangun
seperangkat aturan untuk kehidupan bersama yang baru sama sekali bila dibandingkan
dengan bangsa-bangsa lainnya, tetapi juga membangun suatu sistem pendidikan yang
dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran diri warga negara akan seperangkat aturan
dan tanggungjawabnya kepada negara.
Telah disinggung di atas bahwa paideia itu pada tahap paling perdana adalah
menyangkut upaya pewarisan karakter fisik, sosial dan intelektual manusia sampai pada

13
tataran lebih tinggi dalam komunitasnya. Artinya pada tahap paling awal, paideia itu
berurusan semata dengan upaya mencapai keutamaan tertinggi atau ideal diri dalam
komunitas. Pemahaman paideia awal ini dikemudian hari mengalami perkembangan ke
ranah politik dan ekonomi, khususnya setelah Athena menjadi polis tersohor pada pasca
perang Parsi. Paling kurang ada tiga hal yang mempengaruhi perkembangan gerakan
paideia Yunani klasik pasca perang Parsi ini, terlepas dari motif awal terselubung para
Sofis dalam mengorganisasikannya, yakni:
Pertama, situasi politik dan kehidupan ekonomi di Athena pasca perang Parsi (449
s.M) yang menuntut adanya strategi serius dalam mengembangkan strategi politik dan
ekonomi Polis. Konsepsi Pericles37 yang diteruskan oleh Thucydides berhasil mengusung
Athena sebagai polis termaju pada jamannya sehingga kota itu pantas menjadi pusat
Yunani. Kondisi ini tidak hanya membuat Athena selanjutnya menjadi pusat politik dan
ekonomi yang baru, tapi juga menjadi pusat kultural baru. Kemajuan pesat Athena itu jelas
menuntut adanya perkembangan baru dalam dunia intelektual. Kegemilangan Athena
sebagai polis utama Yunani pada masa klasik itu dengan sendirinya menjadi latar belakang
bagi timbulnya filsafat sehingga begitu signifikan bagi perkembangan intelektual dan ilmu
pengetahuan. Banyak pemikir yang menaruh minat untuk mengembangkan diri,
mempertaruhkan karier dan berhasrat mengembangkan ajarannya di Athena. Anaxagoras,
misalnya, adalah fisluf pertama yang memilih Athena sebagai tempat tinggalnya.
Protagoras adalah filsuf dan tokoh utama di antara para Sofis yang begitu intensif
mengunjungi Athena. Kondisi dan kemajuan Athena kala itu menjadi inspirasi Para Sofis
untuk memikirkan model pendidikan ideal untuk menanggapi tuntutan realitas sosial dan
politik pada masa itu.
Kedua, kesadaran akan pentingnya pendidikan yang dirasakan di seluruh Yunani
kala itu. Athena sebagai polis yang tersohor dalam hal kultur pasca perang Parsi itu tidak
hanya kian berkembang dalam ranah kultural, tapi juga dalam bidang politik dan ekonomi.
Kondisi ini menuntut adanya terobosan baru dalam dunia pendidikan untuk
mempersiapkan mutu intelektualitas orang-orang Yunani dalam praksis politik dan
ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan dirasa sebagai hal mendasar untuk meningkatkan

14
kesadaran politik dan ekonomi. Kesadaran itu membuat logos menjadi fokus perhatian
masyarakat Yunani dan berhasil menggantikan peran mitos, yang sudah lama dipakai
bangsa Yunani untuk mencari jawaban-jawaban rasional tentang problem-problem yang
diajukan alam semesta. Maka sejak abad ke-6 s.M. logos pun menjadi pusat perhatian para
pemikir Yunani klasik. Logos, yang pada awalnya dimaknai sebagai “rasio”, kemudian
dipahami sebagai “sabda” atau bahasa dan mendapat posisi istimewa, yakni alat dan
senjata ampuh untuk sukses dalam panggung politik dan ekonomi. Pergeseran pemaknaan
atas logos ini membuat minat dan perhatian kaum terpelajar pada masa itu pada bahasa
semakin tinggi. Akhirnya, sukses tidaknya seseorang di bidang politik dipahami erat
kaitannya dengan mahir-tidaknya orang berbahasa. Kemahiran berbahasa tampak dalam
adu argumentasi politik atau orasi politik yang biasanya terjadi pada saat sidang umum,
dewan harian atau sidang pengadilan. Sejak Athena mengalami puncaknya sebagai polis,
nuansa demokratis kian berkembang dan minat kaum terpelajar terhadap bahasa kian
tinggi. Konteks dan kebutuhan sosial Polis kala itu (stabilitas politik dan ekonomi)
menumbuhkan minat kaum muda akan pendidikan serta pembinaan agar mereka kelak
dapat turut memeriahkan panggung politik demokrasi. Sampai saat itu, pendidikan Yunani
tidak lebih dari pendidikan elementer saja. Kaum Sofis, seperti telah disinggung di atas,
adalah pihak yang berkepentingan dalam panggung politik. Maka mereka merasa
bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan kaum muda Yunani pada
tingkat lebih tinggi berkaitan dengan peningkatan kesadaran warga negara dalam praksis
politik dan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa mereka memetakan pembagian bidang
pelajaran yang diajarkan kepada kaum muda ke dalam dua kelompok besar TRIVIUM dan
QUADRIVIUM, seperti telah diuraikan di atas.38
Ketiga, perkembangan pesat Paideia juga tidak terlepas dari interaksi antar budaya
yang tak terelakan di polis Yunani yang maju pesat seperti Athena. Perjumpaan dan
pergaulan orang Yunani dengan orang asing atau budaya non Yunani menyadarkan mereka
akan perbedaan antara budaya Yunani dengan budaya bangsa lain. Interaksi antar budaya
ini di satu sisi memang memperkaya khazanah budaya bangsa Yunani, tapi di sisi lain
menimbulkan sikap kritis kaum Sofis dalam memahami kultur bangsa bangsa, termasuk

15
juga kultur bangsa Yunani. Para Sofis yang berjasa dalam mengorganisir paideia sampai
ke tataran yang lebih tinggi malahan memandang bahwa budaya tradisional itu bukanlah
hal yang harus dipertahankan, sebab hidup sosial tidak mempunyai dasar kodrati.
Berdasarkan paham ini mereka menyebarkan paham baru kepada kaum muda Yunani
bahwa manusia adalah dasar untuk segala sesuatu dan bukan budaya tradisional. Kaum
Sofis benar-benar meletakkan dasar paham relativisme budaya atau relativisme di bidang
tingkah laku etis. Artinya, baik dan buruk; benar dan salah tindakan seseorang adalah
bersifat relatif sebab aturan sosial tidak mempunyai dasar kodrati. Pada tataran ini kaum
Sofis mempengaruhi kaum muda Yunani untuk tidak terlalu terpaku kaku pada tradisi-
tradisi tua Yunani, sebab tradisi-tradisi tua itu hanyalah kesepakatan yang tidak
mempunyai dasar kodrati. Kaum Sofis memang berhasil menggiring kaum muda
menentang tradisi-tradisi tua Yunani. Itulah juga yang menjadi sasaran kritik Sokrates,
Plato dan Aristoteles.

Perspektif Yunani Klasik Tentang Manusia


Paideia sebagai gerakan intelektual boleh dipandang sebagai gerakan yang lebih
kemudian dalam rentang sejarah pemikiran filosofis Yunani klasik. Dalam tahap-tahap
awalnya, filsafat Yunani tampak semata-mata berurusan dengan dunia fisik (upaya
menyelami rahasia alam) dan asal-usul dari segala yang ada. Otomatis pada rentang
permenungan filsafat awal ini, kesadaran reflektif manusia tertuju pada pihak luar dirinya,
belum “antroposentris”. Maka, gagasan seputar pentingnya keselarasan jiwa dan badan
pun belum ada. Itulah sebabnya mengapa pada tahap-tahap awal filsafat Yunani,
kosmologi mengungguli penyelidikan-penyelidikan cabang-cabang filsafat lainnya.
Manusia belum menjadi fokus sorotan, walaupun gagasan bahwa manusia adalah
mikrokosmos (Yunani: micros kosmos, Latin: mundus parvus atau mundus minor) sudah
ada, tapi gagasan itu belum berkembang ke penyelidikan seputar jiwa manusia dan
pentingnya keselarasan jiwa dan badan, paling tidak sampai pada masa Sokrates beserta
pengikutnya dan kubu Sofistik.

16
Mikrokosmos adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan kodrat manusia
sebagai yang sama (analogous atau homologous) dengan realitas eksternal yang luas, yakni
“makrokosmos” (meges kosmos).39 Perihal kapan gagasan manusia sebagai mikrokosmos
itu mulai berkembang, agaknya bisa ditelusuri sejak para filsuf Yunani awal, antara lain,
Anaximenes, Pythagoras dan Herakleitos hingga mendapat kejelasan pada masa Sokrates
dan jajaran pengikutnya.
Anaximenes memandang adanya persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya.
Menurut Anaximenes, tubuh adalah mikrokosmos (dunia kecil) dan seakan-akan
mencerminkan jagat raya yang adalah makrokosmos. Anaximenes memandang jiwa
manusia bagaikan udara. Kata Anaximenes, “Seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh kita,
demikian pun udara melingkupi segala-galanya”.40 Pandangan lainnya diungkapkan juga
oleh Pythagoras. Menurut Pythagoras, jiwa manusia tidak dapat mati. Sesudah kematian
manusia, kata Pythagoras, jiwanya berpindah ke dalam hewan, dan bila hewan tersebut
mati maka jiwanya berpindah lagi, dan seterusnya. Walaupun demikian, Pythagoras yakin
bahwa manusia dapat membebaskan jiwanya dari cengkeraman nasib dengan cara
berpantang jenis makanan tertentu seperti daging hewan dan kacang. Selain itu, mazhab
Pythagorean juga mempraktikkan filsafat sebagai jalan menuju ke penyucian jiwa,
semacam sarana terapi menuju kebahagiaan.41 Namun, pandangan bahwa manusia adalah
mikrokosmos tampaknya mulai berkembang dan mendapat sentuhan filosofis secara agak
istimewa sejak Herakleitos.
Herakleitos adalah filsuf pertama yang berdiri pada garis perbatasan antara
pemikiran kosmologis dan pemikiran antropologis. Meskipun tetap berbicara sebagai filsuf
alam, tapi ia sudah yakin bahwa mustahillah menyelami rahasia alam tanpa mempelajari
rahasia manusia. “Bila kita hendak tetap menguasai realitas dan memahami maknanya, kita
harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri”, kata Herakleitos.
Dengan demikian, masuk akal bila Herakleitos menyebut seluruh filsafatnya dengan dua
kata edizêsamên emeôton (“Aku mencari diriku sendiri”).42

17
Upaya Herakleitos menggarisbawahi pentingnya pengenalan diri sebagai jalan
untuk memahami rahasia alam membuatnya menaruh perhatian khusus kepada kebatinan
manusia atau jiwanya. Menurut Herakleitos, alam semesta ini diatur oleh logos, atau
“rasio”, yakni hukum yang menguasai segala-galanya. Manusia sebagai pribadi, terutama
jiwanya, mengambil bagian dalam logos itu.43 Konon Herakleitos memahami logos
sebagai yang bersifat ilahi, tapi jelas bukan Allah personal. Menurut Herakleitos, logos itu
harus disamakan dengan api, tapi melebihi sesuatu yang sifatnya material belaka sebab
kemampuannya untuk mengubah dan menghadirkan realitas sebagai yang berubahubah.
Dalam kosmologinya, Herakleitos mengatakan bahwa kosmos selalu berubah: dari api
menjadi air, lalu menjadi tanah dan kemudian menjadi air lalu menjadi api lagi.
Berdasarkan perspektif itu, Herakleitos menyimpulkan bahwa jiwa manusia tetap dalam
keadaan perubahan, semacam lingkaran perpindahan-perpindahan jiwa. Di sini tampak
bahwa “hidup” dan “mati” bagi Herakleitos sebenarnya merupakan hal yang sama, yakni
tetap dalam keadaan perubahan atau transformasi dalam esensi yang tetap.44 Maka,
Herakleitos yakin bahwa pengenalan diri (yang tetap dalam keadaan perubahan) menjadi
cara yang efektif untuk memahami rahasia alam.
Namun, pengenalan rahasia alam model Herakleitos yang tergolong baru ini, meski
dalam arti tertentu melekat erat pada filsafat Yunani awal, tidaklah bertumbuh sampai ke
kematangan, kecuali pada masa Sokrates.45 Sokrates tidak bermaksud mengkritik teori-
teori para pendahulunya, tapi mencoba melihat masalah-masalah filsafat dan metafisika
dalam cahaya baru sebab problem-problem itu diacukan kepada pusat intelektual baru.
Pada Sokrates kita tidak lagi menjumpai teori kosmologi, sebab permenungan filosofisnya
berpusat pada satu pertanyaan saja, yakni; Apakah manusia itu. Pertanyaan filosofis-
antropologis Sokrates ini menyerap seluruh minat teoretis manusia, sehingga membuat
masalah-masalah filsafat dan metafisika sebelumnya tersisihkan.
Permenungan Sokrates memang berangkat dari persoalan eksistensi kodrati
manusia. Akan tapi, dia tidak pernah mengusahakan sebuah defenisi spesifik tentang
manusia. Sokrates hanya membuat analisis yang teliti dan rinci atas sifat-sifat dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan manusia. Berdasarkan analisisnya itu, dia menentukan sifat-

18
sifat manusia dan merumuskannya dalam kategori sebagai berikut: kebaikan, keadilan,
kesahajaan, kejujuran dan seterusnya. Kategorisasi Sokrates atas manusia ini merupakan
fakta yang sama sekali baru sehingga tak mungkin memakai cara pandang pengenalan para
filsuf pra Sokratik (yang dipakai untuk mendeteksi alam) sebagai cara pandang yang tepat
untuk memahami manusia. Bagi Sokrates, manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan
berdasarkan kesadarannya, yakni cara berpikir dialektis. Artinya, manusia dapat
memahami dirinya dan sesamanya melalui relasi intersubyektif dengan manusia lain.
Otomatis Sokrates di sini memandang gambaran tentang sifat dan kodrat manusia sebagai
yang dapat didekati dan dipahami hanya dengan komunikasi langsung dimana metode yang
digunakan adalah dialog atau metode berpikir yang dialektis. Pandangan Sokrates ini jelas
berbeda dari kerangka berpikir sebelumnya yang memandang kebenaran secara objektif
sebagai hal yang “sudah selesai”, yang selain dapat diperoleh lewat jerih payah pemikir
individual, juga kemudian dapat dialihkan dan dikomunikasikan secara langsung kepada
pihak lain secara monolog.
Pandangan Sokrates itu tentu menggeser kecenderungan lama yang menekankan
objektivitas dalam memahami kebenaran. Pada Sokrates, bukan objektivitas sebagai ciri
khas kebenaran, tapi intersubjektivitas. Sokrates tak dapat lagi mendukung pandangan
para pendahulunya tentang kebenaran. Seperti dilukiskan oleh Plato—dalam Republik
(politeia), Sokrates meyakini bahwa menanamkan kebenaran jiwa kepada seseorang adalah
sama muskilnya dengan memercikkan kebenaran kepada seseorang yang buta sejak lahir.
Dalam prespektif Sokrates ini, kebenaran pada hakekatnya adalah hasil pemikiran
dialektis. Pandangan ini hendak menegaskan pentingnya interaksi, kerjasama terus-
menerus antarsubjek yang saling bertanya jawab, yang oleh Sokrates disebut sebagai
maieutikê teknê (teknik/seni kebidanan).46
Maka berbeda dengan objek empiris pada para filsuf sebelumnya, pada Sokrates
kebenaran hanya dapat dipahami melalui aksi sosial. Di sini secara tak langsung pertanyaan
Sokrates tentang: “Apakah manusia itu”, tampak terjawab. Manusia adalah makhluk yang
terus-menerus mencari dirinya, makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji
secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. “Pencarian diri” dan

19
“pengujian diri” itu terjadi dalam konteks sosial, sehingga manusia hanya mungkin sampai
pada tahap “pengenalan diri” hanya jika dia hidup bersama orang lain; berdialog dengan
orang lain. Keyakinan Sokrates ini bermuara pada tesisnya yang terkenal, “hidup yang
tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak dihidupi” (“the unexamined life is not worth
living”).47
Pandangan Sokrates tentang manusia di atas menyiratkan makna bahwa manusia
mampu mengenal siapa dirinya dalam konteks relasi intersubyektif; manusia mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diajukan secara rasional dengan
argumentasi yang rasional dalam tataran dialogal. Pandangan ini menunjukkan bahwa
walaupun manusia memiliki potensi rasionalitas yang luar biasa untuk memahami realitas,
termasuk untuk memahami manusia sebagai subyek dan pusat realitas, tapi potensi itu akan
sampai pada pengetahuan dan moralitas tergantung pada aksi sosialitasnya. Artinya,
manusia mampu membuat tanggapan terhadap dirinya dan orang lain di satu sisi memang
karena ia memiliki potensi rasionalitasnya, tapi di sisi lain karena aksi sosialitasnya yang
mengaktualkan potensi rasionalitasnya itu. Imbas etis pandangan ini adalah keyakinan atas
manusia sebagai makhluk yang mampu “bertanggungjawab” atas diri dan sesamanya,
menjadi subyek moral. Namun, kemampuan rasionalitas setiap manusia itu berbeda,
sehingga mempengaruhi tingkat pengetahuan dan kesadaran moralitasnya. Bagaimana
upaya mengatasi persoalan ini? Tampaknya di situlah peran paideia menjadi jelas,
mengoptimalkan potensi rasionalitas manusia dan meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran moralitasnya tentang bagaimana seseungguhnya menjadi manusia yang
bijaksana.
Pandangan Yunani klasik tentang manusia sebagai mikrokosmos tampaknya
mengalami klimaksnya pada ajaran Plato. Dengan perantaraan Plato, Sokrates
meninggalkan jejak pada seluruh perkembangan peradaban manusia sesudahnya. Dalam
Timaeus-nya, Plato memabandingkan manusia sebagai mikrokosmos dan jagat raya
sebagai makrokosmos. Pandangan yang sudah lazim diyakini para pemikir Yunani klasik,
terutama sejak Anaximenes itu, praktis diambil alih oleh Plato, yang yakin bahwa dunia
juga seperti manusia, terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa diciptakan oleh

20
“Sang Tukang”, yang untuk maksud itu menengadah kepada ide-ide sebagai model. Jiwa
dunia diciptakan lebih dahulu dari pada jiwa-jiwa manusia.48
Ajaran Plato tentang manusia sebagai mikrokosmos dalam sejarah filsafat biasanya
dinamakan “dualisme”. Menurut Plato, tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan. Dalam
anggapanya tentang jiwa, Plato tidak hanya dipengaruhi oleh Sokrates, tapi juga oleh
Orfisme49 dan mazhab Pythagorean. Dia mengambil alih perkataan yang lazim dipakai
oleh mazhab Pythagorean bahwa tubuh merupakan kubur bagi jiwa dan jiwa berada dalam
tubuh bagaikan di dalam penjara. Seperti Sokrates, Plato pun menganggap jiwa sebagai
pusat atau inti sari kepribadian manusia. Namun, inti kepribadian manusia ini menurut
Plato terdiri dari tiga bagian, yang harus dipahami sebagai tiga “fungsi” jiwa. Bagian
pertama adalah “bagian rasional”, yang dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan.
Bagian kedua adalah “bagian keberanian”, yang dikaitkan dengan “kegagahan”. Bagian
ketiga adalah “bagian keinginan”, yang bisa dipahami sebagai kehendak. Penjamin
keseimbangan antara ketiga bagian jiwa manusia itu adalah keadilan.50 Namun, yang
menarik dari Plato adalah keyakinan teguhnya tentang jiwa manusia yang bersifat baka.
Beberapa sejarawan memandang gagasan Plato tentang kebakaan jiwa manusia ini
dipengaruhi oleh pandangan Sokrates. Namun, pandangan demikian tampaknya kurang
kuat alasannya sebab Sokrates sendiri pada akhir Apologia mengatakan bahwa ia tidak tahu
apakah kematian dapat disamakan dengan keadaan tidur tanpa impian ataukah kematian
boleh diumpamakan sebagai perpindahan ke tempat yang lebih baik. Ide kebakaan jiwa
dalam konsepsi Plato bisa jadi berakar dalam keyakinan Pythagoras yang mengatakan
“jiwa manusia tidak dapat mati”.51
Namun, bila pada Pythagoras dan Plato kita temukan gagasan eksplisit tentang
kebakaan jiwa, maka pada Aristoteles, gagasan itu tidak berlaku. Dalam traktatnya De
anima, Aristoteles menampilkan pandangan yang berbeda dengan konsepsi Pythagoras dan
Plato, terutama tentang kebakaan jiwa. Aristoteles memandang jiwa dalam tiga perspektif.
Pertama, Aristoteles menganut dualisme dengan menganggap jiwa bertentangan dengan
tubuh, suatu pandangan yang dianut juga oleh gurunya, Plato (yang menganggap jiwa dan
tubuh tidak merupakan kesatuan). Kedua, ia menekankan kerjasama antara jiwa dan tubuh,

21
di mana tubuh dipandangnya sebagai alat yang dipergunakan oleh jiwa. Ketiga, ia
melukiskan jiwa sebagai entelekheio tubuh; kesatuan jiwa dan tubuh sangat ditekankan;
jiwa tidak lagi dianggap bersifat baka.52 Perbedaan Aristoteles dengan Plato yang
menyolok adalah gagasan tentang kebakaan jiwa yang

“diimani” Plato tapi ditolak oleh Aristoteles.53


Anggapan Sokrates bahwa manusia dengan rasionalitasnya mampu membuat
tanggapan terhadap dirinya dan orang lain sehingga ia menjadi makhluk yang
“bertanggungjawab” dan menjadi subyek moral masih merupakan jawaban klasik untuk
pengenalan diri manusia. Walaupun Plato dipandang sukses menjadi perantara Sokrates
sehingga Sokrates berhasil meninggalkan jejak pada seluruh perkembangan peradaban
manusia sesudahnya, tapi permasalahan Sokrates dan metode Sokratik tidak pernah dapat
dilupakan, tidak pernah dapat dihapuskan. Maka, untuk memahami keutuhan mendasar
dan kontinuitas sempurna dari pemikiran filsafat kuno dengan pemikiran sesudahnya
adalah membandingkan tahap-tahap awal filsafat Yunani itu dengan salah satu produk
paling terhormat karya Marcus Aurelius Antonius yang berjudul To Himself (Bagi Dia
Pribadi). Baik Sokrates maupun Marcus Aurelius percaya bahwa untuk menemukan kodrat
dan hakekat manusia perlu pertama-tama menyisihkan sifat-sifat insidental dan eksternal,
sebab hakekat manusia tidak dipandang ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar
(pangkat, jabatan, kekayaan), tapi ditentukan oleh nilai yang diberikan pada dirinya
sendiri.54
Konsepsi mengenai pentingnya menyelaraskan jiwa dan badan menunjukkan
keseriusan para filsuf Yunani klasik dalam memahami manusia. Bahkan gerakan Paideia
menandai keseriusan itu. Paideia bukan hanya sebagai pintu masuk untuk menyelami
totalitas diri sebagai manusia, tapi lebih merupakan wahana untuk mendamaikan
(menyelaraskan) kedua potensi dominan dalam diri manusia yang saling tarik-menarik,
yakni badan dan jiwa. Paideia memungkinkan setiap orang untuk mencapai pengetahuan
dan moralitas sampai pada tataran aretê (keutamaan, kebajikan) sehingga ia mencapai
eudaimonia (kebahagiaan). Pengetahuan dan kesadaran moralitas seseorang dipandang
tinggi manakala ia mampu menampilkan kebijaksanaan dalam perkataan dan

22
perbuatannya. Kemampuan demikian menjadi tanda bahwa seseorang sudah megenal
dirinya dan mulai menapaki wilayah ideal sebagai manusia, yakni keselarasan jiwa dan
badan.
Dalam filsafat Stoa, tuntutan untuk mengenal diri, seperti halnya dalam persepsi
Sokrates, merupakan keistimewaan dan kewajiban dasar manusia untuk memahami
kebenaran yang menghantarnya pada keselarasan jiwa dan badan. Dalam prespektif teori
Stoa, manusia yang mampu hidup serasi dengan dirinya, jiwa dan badannya, hidup serasi
juga dengan alam semesta. Maka tidak heran jika filsafat Stoa berpandangan bahwa, “The
perfect happiness of life is when everything is done according to harmony with the genius
of each individual with reference to the will of the universal govenor and manager of
things”.55 Teori Stoa ini merupakan salah satu kekuatan utama dalam membentuk
kebudayaan kuno dan prespektif tentang manusia ideal. Namun, kekuatan itu tiba-tiba
berhadapan dengan kekuatan baru, yakni prespektif baru tentang manusia dalam
pandangan Kristen pada Abad Pertengahan yang berangkat dari Agustinus. Selanjutnya
kita akan menelusuri peta pandangan tentang manusia dalam rentang Abad Pertengahan.
Dalam penelusuran ini penulis akan memfokuskan kajian pada dua filsuf dan teolog yang
terkemuka pandangannya pada Abad Pertengahan, yang gaungnya sampai kini masih
terasa menggelegar, yakni Agustinus dan Thomas Aquninas.

Perspektif Abad Pertengahan Tentang Manusia


Agustinus, filsuf dan teolog kristiani tersohor yang pandangan dan ajarannya sangat
berpengaruh dalam otoritas Gereja Katolik Roma itu berdiri di perbatasan dua zaman. Ia
mapan dalam zaman Kristiani pada abad keempat dan bertumbuh dalam tradisi Yunani,
khususnya, sistem Neo-Platonisme. Pandangan filsafat Neo-Platonisme begitu terekam
kuat dalam seluruh filsafatnya. Agustinus menjadi titik berangkat perseteruan pandangan
tentang manusia antara Yunani-Romawi klasik dan Gereja Katolik. Pandangannya tentang
manusia boleh dikatakan mengalami loncatan dari pandangan pada masa sebelumnya.
Menurut Agustinus, manusia tidak sekadar makhluk kodrati, tapi juga adikodrati.

23
Pandangan baru yang berkembang pada Abad Pertengahan ini sama sekali belum pernah
dikenal sebelumnya.
Pertentangan pandangan tentang manusia antara kekuatan lama dan kekuatan baru
itu mengguncangkan kekokohan cita-cita klasik tentang manusia ideal hingga ke dasar-
dasarnya. Memang teori Yunani klasik, apa pun mazhabnya, yang pada umumnya
mengedepankan pemahaman kodrati tentang manusia, tidak perlu selalu bermusuhan
dengan teori Kristiani pada Abad Pertengahan. Dalam sejarah pemikiran manusia
keduanya bekerja bahu-membahu dan sering kita jumpai keduanya berada dalam hubungan
erat lewat pemikiran seorang filsuf tertentu. Walaupun demikian, tetap ada satu pokok
pemikiran di mana antagonisme antara cita-cita Kristiani dengan cita-cita Yunani awal
(Stoisme) seputar manusia tampak tidak terdamaikan. Kebebasan mutlak manusia yang
oleh Stoisme disanjung sebagai kebajikan dasar manusia, oleh teori Kristiani yang diwakili
Agustinus justru dianggap sebagai dasar kejahatan dan kesesatan.56 Pergumulan antara dua
pandangan yang bertentangan satu sama lain itu berlangsung selama berabad-abad.
Gejolak pergumulan itu masih terasa bahkan sampai pada awal zaman modern—pada masa
Renesans dan pada abad ketujuh belas.
Agustinus tidak hanya berhasil mengangkat citra manusia ke tataran adikodrati atau
transenden, tapi dia juga meletakan dasar bagi kerangka berpikir pada Abad Pertengahan
dan dogmatik Kristiani tentang manusia. Dalam karyanya Confessiones, kita dapat
mengikuti pandangan Agustinus langkah demi langkah. Mulai dari sudut pandang filsafat
Yunani yang didasari rasionalitas tinggi, sampai ke pandangan teologisnya yang amat
dilandasi pewahyuan Kristiani. Menurut Agustinus, semua filsafat yang muncul sebelum
hadirnya Kristus rentan terhadap suatu kesalahan dasar. Alasannya adalah karena semua
filsafat sebelum hadirnya Kristus dipengaruhi oleh paham bida‟ah yang satu dan sama,
yakni: daya rasio diunggulkan sebagai daya tertinggi manusia. Tetapi apa yang tak pernah
dapat diketahui oleh manusia sampai ia diterangi oleh wahyu Ilahi secara istimewa adalah
bahwa rasio itu sendiri merupakan salah satu potensi manusia yang paling mendua-arti dan
paling terbuka untuk dipersoalkan di dunia. Rasio tidak dapat menunjukkan kepada kita
jalan menuju kejelasan, kebenaran dan kebijaksanaan. Arti rasio sendiri kabur, asal-

24
usulnya terselubung dalam misteri, yakni misteri yang hanya dapat dijawab oleh wahyu
Kristiani.
Rasio bagi Agustinus tidak memiliki sifat yang sederhana dan unik melainkan sifat
mendua dan terbagi-bagi. Manusia diciptakan dalam citra Tuhan (imago dei); dan dalam
keadaan asli di mana ia muncul dari tangan Tuhan, maka ia memiliki dimensi
“pola” ilahi dalam eksitensinya. Namun, dimensi “pola” ilahi itu lenyap dalam dosa Adam.
Sejak manusia awal itu jatuh ke dalam dosa karena nafsunya untuk menyaingi Tuhan, kata
Agustinus, semua daya rasio asli menjadi kabur. Rasio dengan kekuatannya sendiri tidak
pernah dapat menemukan jalan untuk mengembalikan potensinya ke keadaan asli, ke
hakikatnya yang murni seperti semula, kecuali, melalui pertolongan adikodrati, berkat daya
rahmat ilahi.
Demikianlah sktesa kasar format filsafat manusia baru yang dibangun dan
dimengerti oleh Agustinus, dan bertahan dalam pelbagai sistem besar Abad Pertengahan.
Dalam perspektif Abad Pertengahan ini, apa yang dipandang sebagai kebanggaan pada
Yunani awal, kini menjadi sekadar tampak bagaikan kemiskinan manusia dalam memberi
arti pada potensi rasio, sehingga papa dan paling rendah kadarnya. Ajaran Stoa bahwa
manusia harus mematuhi prinsip “batin”-nya “jiwa” dalam dirinya sendiri, pada Abad
Pertengahan di bawah terang pandangan Agustinus malahan dianggap sebagai berhala.
Pandangan Stoa itu layak ditinggalkan sebab membahayakan pandangan iman Kristen
bahwa, manusia (tubuh dan jiwanya) adalah bersifat kodrati dan adikodrati, imanen dan
transenden, bercorak ilahi. Manusia adalah citra Tuhan, seperti tampak dalam ungkapan
Agustinus yang paling terkenal tentang Allah dalam confessionesnya,” Telah kauciptakan
kami bagi diriMu sendiri, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat di dalamMu”( Cor
meum inquietus est donec requiescat in Te) 57.
Setelah Agustinus, kiranya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa, Thomas Aquinas
adalah tokoh tersohor di antara sejumlah tokoh lainnya dalam mengusung pandangan
tentang manusia. Penganut Aristoteles yang kembali kepada sumber-sumber filsafat
Yunani itu, bahkan tidak berani menyimpang dari dogma dasar tentang manusia yang
digagas oleh Agustinus. Ia bahkan mendulang ulang perkataan Ibn Sina bahwa, manusia

25
adalah makhluk yang tergantung pada Wujud Mutlak, yakni Tuhan. Dengan demikian,
Thomas menunjukkan dukungan imannya pada gagasan Agustinus tentang manusia
sebagai makhluk kodrati dan adikodrati, sekaligus mengamini pandangan transendental
filsuf kenamaan Islam Ibn Sina (Avicenna). Namun, bila kita membandingkan Agustinus
dengan Thomas Aquinas, maka tampak bahwa Thomas memang lebih menyukai daya rasio
manusiawi, meskipun ia juga yakin akan ketidakmampuan menggunakan daya-daya itu
secara benar jika tanpa dibimbingi dan diterangi oleh rahmat ilahi. Di sini kita sampai pada
pembalikan menyeluruh terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh filsafat Yunani
klasik di satu sisi, dan peningkatan kesadaran dalam memahami esensi eksistensi manusia
di sisi lain. Apa yang dianggap keluhuran tertinggi manusia pada masa Yunani awal, bisa
dipandang sebagai bahaya dan godaan bila diterima dengan tanpa memandang aspek
adikodrati pada manusia.
Dalam karyanya yang berjudul Summa Theologiae, yang memuat konsepsinya
secara filosofis dan teologis tentang Tuhan, dunia dan manusia, Thomas melukiskan
hakikat sejati Tuhan sebagai Yang tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Menurut
Thomas, batas akhir dari semua yang dapat diketahui oleh manusia tentang Tuhan adalah
mengetahui bahwa dia tidak mengetahui Tuhan, karena manusia tahu bahwa Tuhan
mengungguli semua hal yang dapat dipahami mengenainya”.58 Maka, ketika diajukan
pertanyaan kepadanya seputar apakah Tuhan itu ada, Thomas menjawabnya dengan dua
bentuk argumnentasi.59 Pertama, kesadaran bahwa Tuhan itu ada tidak ditanamkan dalam
diri kita secara alamiah dalam cara tertentu atau jelas. Manusia sadar akan apa yang
diinginkannya dan ia secara alamiah menginginkan sebuah kebahagiaan yang hanya dapat
ditemukan dalam Tuhan. Kedua, seseorang yang mendengar kata “Tuhan” mungkin tidak
memahamiNya sebagai “Yang tidak dapat dipikirkan lebih daripada itu”; orang mungkin
percaya bahwa Tuhan itu bertubuh. Sementara tentang dunia, Thomas mengatakan bahwa
rancangan, keteraturan dan adanya tujuan di alam semesta ini tidak mungkin hanya
merupakan hasil suatu kebetulan belaka, pasti ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan.

26
Berkat pandangannya yang brilian dalam Summa Theologiae, Thomas tidak hanya
berhasil mengganti buku Sentences karya Petrus Lombardus, tapi juga dipandang berhasil
menjembatani filsafat Aristoteles dengan teologi Kristiani. Dalam filsafat
Yunani klasik, khususnya Aristoteles, Tuhan dipandang sebagai „Penggerak‟ (dipahami
dengan daya rasio). Pandangan itu jelas berlainan dengan pandangan Kristiani yang
mengimani Tuhan sebagai Pribadi (daya iman). Thomas menjembataninya dengan
mengatakan bahwa, daya rasio manusia menjadi tidak mungkin digunakan secara benar
jika tanpa dibimbing dan diterangi oleh rahmat ilahi (daya iman). Itulah sebabnya mengapa
konsili Trente dan para Yesuit menerima Summa Theologiae sebagai filsafat dan teologi
Gereja Katolik.

Penutup
Kerangka besar humanisme memang tersimpul kuat dalam masa Renesans. Namun,
akar paling dasar dari gerakan kemanusiaan ini adalah paideia Yunani klasik yang
mendapat sambutan kritis secara filosofis-teologis pada Abad Pertengahan melalui
Agustinus dan Thomas Aquinas.
Dalam perkembangan selanjutnya, paideia atau humanisme ini memang bisa mewujudkan
dirinya dalam berbagai disiplin ilmu modern, baik eksakta maupun noneksakta. Pandangan
ilmuwan Galileo Galilei (yang meneruskan pandangan Copernicus) bahwa poros semesta
ini adalah matahari (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris), meski ditolak oleh otoritas
Gereja Katolik, sejatinya merupakan wujud keberhasilan paideia dalam dimensi
astronominya. Perkembangan lebih lanjut bisa ditemukan dalam teori Immanuel Kant
(1975) tentang matahari yang diubah oleh Laplace (1800). Menurut Kant, matahari ini
terjadi dari kabut raksasa yang terdiri dari debu dan gas. Sedangkan menurut Laplace,
kabut purba itu merupakan bola gas yang berputar. Teori kedua tokoh itu bukan hanya
mendukung secara implisit pandangan Galileo, tapi merupakan tanda kemajuan bagi
sebuah humanisme modern. Sebuah kemajuan paideia lainnya bisa kita temukan di abad
20 dalam pandangan Teilhard de Chardin. Menurut Teilhard, bumi ini terbentuk melalui

27
tiga fase perkembangan lahiriah (fase geosfer atau pra-hidup, fase biosfer atau kehidupan
dan fase noosfer atau pikiran). Ketiga fase perkembangan lahiriah itu terjadi dalam rentang
waktu milyaran tahun silam dan saling menentukan bagi perkembangan lahiriah dalam
berbagai bentuknya di seantero planet bumi ini.60 Pandangan ini tentu dengan sendirinya
telah menopang lajunya pandangan tentang manusia, terutama berkaitan dengan evolusi
manusia.
Konon menurut Teilhard, evolusi manusia kini berada dalam fase ketiga, yakni
noosfer. Manusia mengalami evolusi. Ciri-ciri dan bentuk tubuh, cara berjalan,
potensipotensi diri (intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas dan kesadaran
sosialitasnya) mengalami perkembangan pada setiap generasinya. Demikianpun,
kesadaran perihal cara-cara makhluk ini memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup,
meneruskan generasinya dan bertahan hidup berhadapan dengan binatang buas atau
ancaman dari suku dan komunitas lain menunjukkan kesadaran belajarnya yang tinggi.
Kiranya, apapun pandangan atas manusia, baik dari agama maupun ilmu humaniora seperti
sosiologi, antropologi dan lain-lain, tidaklah pernah luput dari interpretasi Yunani klasik
tentang manusia. Gagasan paideia klasik tentang manusia yang dikembangkan oleh Gereja
Katolik pada Abad Pertengahan dalam sekolah-sekolah katedral dan monastik dan
universitas-universitas pada masa Renesans sebetulnya menjadi fondasi permenungan
dunia pendidikan dewasa ini tentang manusia.
Demikian, Paideia Yunani klasik telah memberi kontribusi bagi sebuah
permenungan tentang eksistensi manusia. Hasil pergumulan para pemikir Yunani klasik
dan Abad Pertengahan tentang manusia memang tidak bisa dirumuskan dalam sebuah
kesimpulan yang final. Kendati demikian, kita bisa memetik beberapa butir penting dari
gerakan intelektual dalam dua masa yang berbeda ini, Yunani klasik dan Abad
Pertengahan, dalam memahami pribadi manusia. Pertama, paideia Yunani klasik telah
membuka peluang berarti bagi permenungan seputar manusia berdasarkan kodratnya.
Manusia dijadikan sebagai subyek realitas, ukuran untuk menentukan apa yang salah dan
yang benar (Protagoras). Di sini tampak bahwa manusia menjadi skala prioritas dalam
pertimbangan akal budi. Maka cita-cita mencapai manusia ideal, selaras jiwa dan badan

28
menjadi agenda komunitas sosial. Kedua, gerakan paideia yang mengusung cita-cita
komunitas ini membuka peluang lebar bagi berkembangnya praksis politik demokrasi.
Otomatis di sini mulai muncul gagasan yang menggerogoti paham feodalisme secara
perlahan tapi pasti, yakni pemerintahan demokrasi. Dalam alam demokrasi rakyat menjadi
lebih penting dalam negara. Kesadaran akan demokrasi ini memicu kaum Sofis
mengembangkan paideia yang mengedepankan retorika. Di sini pendidikan dipahami
sebagai upaya untuk mengembangkan kefasihan berpidato. Logos pun dipahami sebagai
„pidato‟. Kefasihan berpidato menjadi prasyarat kesuksesan seorang politikus. Ketiga,
gerakan ini mendorong setiap pribadi untuk membentuk diri menjadi manusia terhormat
dengan mengembangkan potensi-potensi diri dan menopang segala upaya demi mencapai
aretê agar terciptalah eudaimonia (kebahagiaan). Keempat, gerakan paideia ini menjadi
batu loncatan bagi semua bentuk dan jenis serta jenjang pendidikan pada masa setelah
Yunani klasik (mulai pada Abad Pertengahan) hingga masa kini, baik formal, informal
maupun nonformal. Kelima, gerakan paideia ini menjadi tonggak permenungan Agustinus
perihal pandangan yang sejati tentang manusia, yakni sebagai makhluk insaniilahi (imago
dei). Keenam, berbagai pandangan seputar Tuhan, dunia dan manusia mendapat
orientasinya secara definitif dan terorganisir berkat paideia Yunani klasik, mulai dari Abad
Pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan menjamurnya teori tentang Tuhan, dunia dan
manusia dewasa ini, entah itu bercorak teisme dan ateisme, merupakan perpanjangan
tangan dari kesadaran manusia yang bila ditelusuri ternyata berakar dalam gerakan paideia
ini. Ketujuh, kecanggihan ilmu pengetahuan dalam melacak sejarah peradaban manusia
sampai pada tataran yang paling primitif seperti yang dilakukan oleh para antropolog dan
sampai pada tingkat yang paling modern-saintifik dalam rupa rekayasa genetik seperti yang
dilakukan oleh para ahli genetika (geneticist), tidak mungkin dipandang lepas dari
kesadaran gerakan humanisme awal, paideia Yunani klasik ini.
Model pendidikan dalam Yunani klasik dan Abad Pertengahan, kendati berbeda
visi dan orientasi, merupakan upaya serius dalam menegaskan eksistensi hidup. Maka,
manusia dan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak mungkin diceraikan,
melainkan disatukan agar ia fungsional. Nalar intelektual, emosional, sosial, dan spiritual

29
yang menjadikan manusia utuh dan penuh sebagai pribadi justru terasah secara tajam
dalam dan melalui pendidikan. Ketajaman nalar-nalar itu penting sekali, sebab manusia
hidup adalah manusia yang bernalar, dan dengan bernalar itu manusia menjadikan
hidupnya terasa lebih hidup lagi. Maka, bernalar adalah salah satu bentuk penegasan
manusia atas eksistensi hidupnya.
Ketika manusia bernalar, maka secara praktis ia menentukan suatu sikap atau
menyikapi hidupnya. Hidup yang disikapi merupakan hidup yang dimaknai. Hidup yang
dimaknai memunculkan nilai dan kebenaran. Penghayatan akan nilai dan kebenaran itu
menentukan apakah hidup itu bermakna atau tidak. Sementara makna hidup itu justru
ditemukan ketika manusia mampu merangkai secara padu antara nalar intelektual,
emosional, sosial dan spiritual untuk memaknai pengalaman dan kenyataan. Dalam
kerangka itu, akibat-akibat praktis dari daya-daya nalar itu digunakan manusia sebagai
patokan etis untuk menetapkan nilai dan kebenaran sebagai legitimasi atas hidup yang
layak dihidupi dalam kenyataan. Kiranya begitulah sasaran umum semua pendidikan
kemanusiaan, mulai dari rentang yang dipandang paling awal macam paideia Yunani
klasik itu, hingga yang paling bernuansa religius pada Abad Pertengahan, dan bahkan
sampai pada yang paling berpusat pada manusia pada masa Renesans, yang menopang
gerakan kesadaran akan hak-hak asasi manusia dalam pendidikan yang paling terkini.
Pendidikan adalah aktivitas mencari dan menelusuri kebermaknaan hidup sebagai manusia
secara utuh dan penuh. Pendidikan membantu manusia dalam memaknai hidupnya dan
menyadari kodrat dirinya. Pada kesadaran yang terakhir inilah manusia menemukan
puncak kematangan identitas dirinya sebagai manusia, yakni mengalami keselarasan jiwa
dan badan dalam pengakuan iman bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan.

30

Anda mungkin juga menyukai