Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas
ini cenderung semakin meningkat. Peristiwa kehidupan yang sangat penuh
dengan tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya
hubungan sosial, pengangguran, masalah pernikahan, krisis ekonomi,
tekanan dalam pekerjaan dan deskriminasi meningkat, resiko terjadi
gangguan jiwa (Suliswati, Payapo et al. 2014). Berdasarkan data dari
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun
2013 tercatat jumlah penduduk Indonesia sebesar 241.000.000 orang
sedangkan sekitar 17.400.000 orang (7,2%) mengalami gangguan jiwa
(Hasriana, dkk, 2013).
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak
0,46% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar satu juta orang
menderita gangguan psikotik dan 11,6% menderita gangguan emosional
perilaku terhadap responden usia 15-64 tahun sehingga diperkirakan
penderita gangguan jiwa mencapai 19 juta orang. Hal ini menunjukkan
bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima
orang menderita gangguan jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa data
pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat
(Depkes.RI 2013).
Jenis dan karakteristik gangguan jiwa beragam, satu diantaranya
gangguan jiwa yang sering ditemukan dan dirawat adalah Skizofrenia
(Maramis, W et al. 2009). Prevalensi gangguan jiwa berat skizofrenia di
Indonesia hasil dari Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas tahun 2018
adalah sekitar 282.654 orang. Daerah paling banyak pasien gangguan jiwa
di Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat sekitar 55.133 (Rikesdas 2018)..
Menurut data WHO (2016) prevalensi penderita skizofrenia yaitu 21 juta
terkena skizofrenia (WHO 2016).
Gejala skizofrenia dibagi dalam dua kategori utama : gejala positif
atau gejala nyata dan gejala negatif atau gejala samar. Gejala positif terdiri
dari delusi (waham) yaitu keyakinan yang keliru yang tetap dipertahankan
sekalipun dihadapkan dengan cukup bukti tentang kekeliruannya, serta
tidak serasi dengan latar belakang pendidikan dan sosial budaya,
halusinasi yaitu penghayatan (seperti persepsi) yang dialami dengan panca
indera dan terjadi tanpa adanya stimulus eksternal, dan perilaku aneh
(bizarre). Gejala negatif (defisit perilaku) meliputi afek tumpul dan datar,
menarik diri dari masyarakat, tidak ada kontak mata, tidak mampu
mengekspresikan perasaan. Tidak mampu berhubungan dengan orang lain,
tidak ada spontanitas dalam percakapan, motivasi menurun dan kurangnya
tenaga untuk beraktivitas. Gejala negatif pada skizofrenia menyebabkan
mengalami gangguan fungsi sosial, isolasi sosial, halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh,
misalnya agresivitas atau katatonik (sheila, L et al. 2008).
Ketidak mampuan individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan
dapat mempengaruhi kesehatan jiwa. Satu diantaranya adalah isolasi
sosial, supaya dapat mewujudkan jiwa yang sehat, maka perlu adanya
peningkatan jiwa melalui pendekatan secara promotif, preventif dan
rehabilitatif agar individu dapat senantiasa mempertahankan kelangsungan
hidup terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun
pada lingkungannya (Winddyasih 2008).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang
lain (Yosep and Iyus 2009). Prilaku yang sering ditampilkan klien isolasi
sosial adalah menunjukkan menarik diri, tidak komunikatif, mencoba
menyendiri, asyik dengan pikiran dan dirinya sendiri, tidak ada kontak
mata, sedih, afek tumpul, prilaku bermusuhan, menyatakan perasaan sepi
atau ditolak, kesulitan membina hubungan dilingkungannya, menghindari
orang lain dan mengungkapkan perasaan tidak dimengerti orang lain
(Nanda, 2012).
Untuk meningkatkan keterampilan sosial, penderita perlu
mendapatkan pelatihan (seperti terapi aktivitas kelompok/terapi
lingkungan) atau memberi respon terhadap suatu masalah atau situasi
tertentu melalui komunikasi terapeutik. Kemampuan menerapkan teknik
komunikasi memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman perasaan
karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi
nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi
verbal yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien juga
kepuasan bagi perawat. Perawat harus memiliki tanggung jawab moral
yang tinggi dan didasari atas sikap peduli dan penuh kasih sayang serta
perasaan ingin membantu orang lain (Winddyasih 2008). Terapi aktivitas
kelompok sosialisasi (TAKS) merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
sangat penting dilakukan untuk membantu dan memfasilitasi pasien isolasi
sosial untuk mampu bersosialisasi secara bertahap melalui tujuh sesi untuk
melihat kemampuan sosialisasi pasien. Ketujuh sesi tersebut diarahkan
pada tujuan khusus TAKS, yaitu : kemampuan memperkenalkan diri,
kemampuan berkenalan, kemampuan bercakap-cakap, kemampuan
menyampaikan dan membicarakan topik tertentu, kemampuan
menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi, kemampuan bekerja
sama, kemampuan menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan
TAKS yaitu tahap persiapan, orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi
dengan menggunakan metode dinamika kelompok,diskusi atau Tanya
jawab serta bermain peran atau stimulasi (Stuart, G.W et al. 2006).
Berdasarkan data dari Rumah Sakit Jiwa Derah Abepura tahun 2017
tercatat jumlah pasien gangguan jiwa menurut jenis kelamin yaitu : laki-
laki 414, perempuan 132, menurut usia 24-64 tahun sebanyak 539,
menurut diagnosa medis yaitu Skizofrenia paranoid 473 . Berdasarkan data
tahun 2018 yaitu tercatat jumlah pasien gangguan jiwa menurut jenis
kelamin yaitu : laki-laki 548, perempuan 174, menurut usia 15-64 tahun
sebanyak 684, menurut diagnose medis yaitu skizofrenia paranoid 473.
Berdasarkan jumlah data pasien yang di rawat pada bulan Januari 2019 di
ruang kronis pria I jumlah pasien sebanyak 8 orang dengan kasus Defisit
Perawatan Diri: 3 orang, Isoalsi Sosial : 2 orang, Halusinasi : 3 orang,
Harga Diri Rendah : 1 orang. Di ruang kronis pria II jumlah pasien
sebanyak 15 orang dengan kasus Halusinasi : 12 orang, Perilaku
Kekerasan : 3 orang. Di ruangan kronis wanita jumlah pasien sebanyak 5
orang dengan kasus Defisit Perawatan Diri : 3 orang, dan Halusinasi : 2
orang. Di ruangan akut pria jumlah pasien sebanyak 4 orang dengan kasus
Halusinasi : 2 orang dan Perilaku Kekerasan : 2 orang. Di ruangan kelas
bangsal wanita jumlah pasien sebanyak 3 orang dengan kasus Halusinasi :
1 orang dan Waham : 2 orang.
Beberapa penelitian mengenai pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok
terhadap klien dengan masalah keperawatan isolasi sosial seperti
penelitian yang dilakukan oleh Andaryaniwati (2003) di rumah sakit jiwa
Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang, menunjukkan persentasi pelaksanaan
yang memuaskan yaitu mencapai tingkat keberhasilan 90% dimana
mampu meningkatkan kemampuan pasien untuk berinteraksi sosial.
Andaryaniwati (2003) menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna dari
pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. Keberhasilan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah peran perawat di
rumah sakit tersebut yang turut membantu pelaksanaan TAK Sosialisasi
yang senantiasa dikembangkan di dalam kegiatan sehari-hari melalui
proses keperawatan.
Pada jurnal Susiana 2012 tentang Terapi aktivitas kelompok
sosialisasi terhadap peningkatan kemampuan komunikasi verbal dan non
verbal klien isolasi sosial di rumah kutilang RSJ Dr.Radjiman
Wediodiningrat lawang-malang dengan Jenis penelitian pre-eksperimen
dengan rancangan one-group protest-post test design dan hasil penelitian
menunjukkan adanya peningkatan kemampuan verbal, terbukti dari 0%
berubah menjadi 47% (8 responden dari 17 responden) masuk kategori
baik setelah dianalisa menunjukkan Z hitung lebih kecil dari Z tabel yaitu
3,464 < 35 dengan signifikansi 0,001 < 0,05 artinya TAKS efektif terhadap
3 pengaruh TAKS Sesi 1-7 terhadap peningkatan kemampuan komunikasi
verbal. Untuk kemampuan nonverbal, dari 0% berubah menjadi 11,8% (2
responden dari 17 responden) masuk kategori baik, setelah dianalisa
menunjukkan Z hitung lebih kecil dari Z tabel yaitu -3,162 < 35 dengan
signifikansi 0,002 < 0,05, berarti Ha diterima. Artinya TAKS efektif
terhadap peningkatan kemampuan komunikasi nonverbal klien isolasi
sosial.
Jurnal Margitri 2010 tentang Efektifitas terapi aktivitas kelompok
sosialisasi terhadap perubahan perilaku isolasi sosial di ruang abimanyu,
maespati dan pringgondani rumah sakit jiwa daerah Surakarta. Dimana
jenis penelitiannya adalah quasi experiment dengan hasil penelitian
menunjukkan perubahan perilaku klien Isolasi Sosial, dari skor rata-rata
perilaku isolasi sosial klien sebelum dilakukan terapi aktivitas kelompok
sosialisasi sebesar 16,61 menjadi skor rata-rata 1,17 setelah dilakuan
pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Pemberian terapi aktivitas
kelompok sosialisasi efektif terhadap perubahan perilaku klien isolasi
sosial.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil dari latar belakang yang telah di dapatkan maka


peneliti tertarik untuk meneliti masalah yang ada ialah Adakah pengaruh
terapi aktivitas kelompok terhadap kemampuan komunikasi verbal pasien
gangguan jiwa di rumah sakit jiwa abepura ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas terhadap kemampuan
komunikasi verbal pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa
Abepura
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi verbal pasien sebelum


dilakukan pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
b. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi verbal pasien setelah
dilakukan pelaksanaan terapi aktivitas
c. Menganalisis pengaruh terapi aktivitas terhadap kemampuan
komunikasi verbal pada pasien isolasi sosial
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi umum
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam
mengembangkan ilmu praktis di bidang keperawatan dalam penerapan
Terapi Aktivitas Kelompok khususnya terapi aktivitas pada pasien jiwa
isolasi sosial.
2. Manfaat bagi perkembangan ilmu
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan gambaran pengaruh
terapi aktivitas pada pasien jiwa isolasi sosial.
3. Manfaat bagi institusi
Dengan dilakukannya penelitian ini bagi fakultas, ilmu – ilmu
kesehatan dapat nambah referensi, hkususnya referensi yang berkaitan
dengan Terapi Aktivitas Kelompok
4. Manfaat bagi penulis
Menambah pengetahuan, pengalaman dalam merancang dan
melaksanakan penelitian, dapat menerapkan pengetahuan yang telah
diperoleh dan sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan program
D-IV Keperawatan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Terapi Aktivitas Kelompok


1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah uapaya memfasilitasi
kemampuan sosialisasi sejumlah pasien dengan masalah hubungan sosial.
(Keliat, B et al. 2014). Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)
dilaksanakan dengan membantu pasien melakukan sosialisasi dengan
individu yang ada di sekitar pasien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara
bertahap dari interpersonal ( satu dan satu ), kelompok dan massa. Aktivitas
dapat berupa latihan sosialisi dalam kelompok.

Terapi aktivitas kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan


perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah keperawatan
yang sama. Aktivitas yang digunakan sebagai terapi dan kelompok dan
kelompok digunakan sebagai target asuhan. Didalam kelompok terjadi
dinamakan inervensi yang saling bergantung. Saling membutuhkan dan
menjadi laboratorium tempat pasien berlatih perilaku baru yang adaptif
untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptif. Tujuan dan terapi
aktivitas kelompok adalah meningkatkan identitas diri, menyatukan emosi
secara konstruktif, meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal atau
sosial (Keliat and Akemat. 2012)

2. Macam-macam terapi aktivitas kelompok


Menurut (Keliat and Akemat. 2012) Terapi Aktivitas Kelompok dibagi
menjadi empat yaitu :
a. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif atau Persepsi
Pada terapi ini, pasien dilatih mempersepsikan stimulus yang ada atau
stimulus yang pernah dialami sebelumnya. Keampuan persepsi klien
dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Diharapkan respon klien
terhadap berbagai stimulus menjadi adaptif. Stimulus yang disediakan
seperti memabaca buku, menonton TV, stimulus dari masa lalu yang
menghasilkan progress persepsi klien yang maladaptif, misalnya
kemarahan, pandangan negatif terhadap orang lain, dan halusinasi.
b. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori
Pada terapi ini, aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sesori klien.
Lalu dilakukan observasi reaksi sensoris klien terhadap stimulus yang
disediakan, berupa ekspresi perasaan secara nonverbal (ekspresi wajah,
gerakan tubuh). Aktivitas yang dapat digunakan sebagai stimulus seperti
musik, menari, dan menyanyi.

c. Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realisasi


Dalam terapi ini, pasien diorientasikan pada kenyataan yang ada
disekitar pasien, yaitu diri sendiri, orang lain yang ada disekitar pasien
atau orang yang dekat dengan pasien. Demikian juga dengan orientasi
waktu saat ini, masa lalu, dan yang akan datang.

d. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi


Pada terapi ini, pasien dibantu untuk bersosialisasi dengan individu yang
ada di sekitar pasien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap
dari interpersonal, kelompok, dan massa. Aktivitas dapat berupa latihan
bersosialisasi dalam kelompok. Dengan perawat ruangan sebagai terapi.

3. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok


Manfaat terapi aktivitas kelompok menurut (Yosep and Iyus 2009)
a. Manfaat secara umum
1) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing )
melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
2) Membentuk sosialisasi
3) Meningkatkan fungsi psikologi, yaitu meningkatkan kesadaran
tentang hubungan antara reaksi emosional dari sendiri dengan
perilaku defensive (bertahap terhadap stress) dan adaptasi
4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologi
seperti kognitif dan efektif
b. Manfaat secara khusus
1) Meningkatkan identitas diri
2) Menyalurkan emosi secara konstruktif
3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-
hari
4) Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri,
ketrampialan sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan
meningkatkan kemampuan tentang masalah-masalah kehidupan dan
pemecahannya.

4. Komponen Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisas


Menurut (Keliat, B et al. 2005) komponen kelompok terdiri dari delapan
aspek, yaitu sebagai berikut :
a. Struktur kelompok
Menjelaskan batasan komunikasi, proses pengambilan keputusan dan
membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam
kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah
komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil
secara bersama
b. Besaran kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang
anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil
menurut (Keliat, B et al. 2005) adalah 7-10 orang. Sedangkan menurut
Rawlins, Wiliams, dan Beck dalam (Keliat, B et al. 2005) adalah 5-10
orang. Anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota
mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya, jika terlalu kecil tidak cukup variasi informasi dan
interaksi yang terjadi. Pada penelitian yang telah digunakan adalah
menurut teori Keliat dan Akemat yaitu sebanyak 10 orang.
c. Lamanya sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-45 menit bagi fungsi kelompok
yang rendah 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi (Keliat, B
et al. 2005). Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa
orientasi,kemudian tahap kerja, dan finishing berupa terminasi.
Banyaknya sesi tergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali atau
dua kali perminggu ; atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
d. Komunkasi
Tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan
menganalisa pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan
umpan balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap
dinamika yang terjadi
e. Pemimpin
perlu mengobservasi peran yang terjdi dalam kelompok. Ada tiga peran
dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja
kelompok, yaitu maintence roles, task roles, dan individual role.
Maintence role yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi
kelompok. Task role, yaitu fokus pada penyelesaian tugas. Individual
role adalah self-centered dan distraksi pada kelompok (Keliat, B et al.
2005)
f. Kekuatan kelompok
Kekuatan (power) adalah kemampuan anggota kelompok dalam
mempengaruhi berjalannya kegiatan kelompok. Untuk mendapatkan
kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa
yang paling banyak mendengar dan siapa yang membuat keputusan
dalam kelompok.
g. Norma kelompok
Norma adalah standar perilaku yang dalam kelompok. Pengharapan
terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan
pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma
kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi
dan interaksi dalam kelompok. Kesesuasian prilaku anggota kelompok
dengan norma kelompok, penting dalam menerima anggota kelompok.
Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontak
dan ditolak anggota kelompok lain.
h. Kekohesifan
Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok bekerja sama dalam
mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap
betah dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik
dan puas terhadap kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan
kelompok dapat di pertahankan

5. Tujuan TAK Sosialisasi


Menurut (Keliat, B et al. 2014) tujuan umum TAK Sosialisasi adalah pasien
dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap dan
tujuan khususnya adalah :
a. Pasien mampu memperkenalkan diri
b. Pasein mampu berkenalan dengan anggota kelompok
c. Pasien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
d. Pasien mampu menyampaikan dan membicarakan topik pembicaraan
e. Pasien mampu menyampaikan dan membicarkan masalah pribadi pada
oranglain
f. Pasien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK
yang telah dilakukan.
6. Aktivitas dan indikasi TAK Sosialisasi
Aktivitas yang dilaksanakan dalam tujuh sesi yang bertujuan untuk melatih
kemampuan sosialisasi pasien. Pasien yang diindikasikan mendapatkan
TAKS adalah pasien yang mengalami gangguan hubungan sosial berikut :
a.Pasien yang mengalami isolasi yang telah mulai melakukan interaksi
interpersonal
b. Pasien yang mengalami keruskan komunikasi verbal yang telah
berespons sesuai dengan stimulus.
TAK sosialisasi terdiri dari 2 sesi yaitu sesi 1 : memperkenalkan diri, sesi
2 : berkenalan dengan anggota kelompok . (Keliat, B et al. 2014)
B. Kemampuan komunikasi verbal
1. Pengertian
komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, baik
itu secara lisan maupun tulisan. Komunikasi verbal paling banyak dipakai
dalam hubungan antar manusia, untuk mengungkapkan perasaan, emosi,
pemikiran, gagasan, fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling
bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar.Unsur dalam
komunikasi verbal. Unsur penting dalam komunikasi verbal, dapat berupa kata
dan bahasa
a. Kata
Kata merupakan lambang terkecil dari bahasa. Kata merupakan lambang
yang mewakili sesuatu hal, baik itu orang, barang, kejadian, atau keadaan.
Makna kata tidak ada pada pikiran orang. Tidak ada hubungan langsung
antara kata dan hal, yang berhubungan langsung, hanyalah kata dan
pikiran orang. (Wood 2009) Komunikasi verbal merupakan sebuah
bentuk komunikasi yang diantara (mediated form of communication).
(Nugroho 2010) Seringkali kita mencoba membuat kesimpulan terhadap
makna apa yang diterapkan pada suatu pilihan kata-kata yang kita gunakan
adalah abstraks yang telah disepakati maknanya, sehingga komunikasi
verbal bersifat intensional dan harus 'dibagi' (shared) di antara orang-orang
yang terlibat dalam komunikasi tersebut.

b. Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi
makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan
adalah bahasa lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik.(Agus, M. et
al. 2003) Bahasa memiliki tiga fungsi yang erat hubungannya dalam
menciptakan komunikasi yang efektif. Fungsi itu digunakan untuk
mempelajari dunia sekitarnya, membina hubungan yang baik antar sesama
dan menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia. Ada tiga teori
yang membicarakan sehingga orang bisa memiliki kemampuan berbahasa,
diantarnya
1) Operant Conditioning Theory yang dikembangkan oleh seorang ahli
psikologi behavioristik yang bernama B. F. Skinner (1957). Teori ini
menekankan adanya unsur rangsangan (stimulus) serta tanggapan
(response) atau lebih dikenal dengan istilah S-R. Teori ini menyatakan
jika satu organism dirangsang oleh stimuli dari luar, orang cenderung
akan memberi reaksi. Anak-anak mengetahui bahasa karena ia diajar
oleh orang tuanya atau meniru apa yang diucapkan oleh orang lain
2) Cognitive Theory yang dikembangkan oleh Noam Chomsky, yang
menyatakan bahwa kemampuan berbahasa yang ada pada manusia
adalah pembawaan biologis yang dibawa dari lahir.
3) Mediating Theory atau teori penengah, yang dikembangkan oleh
Charles Osgood. Teori ini menyatakan bahwa manusia dalam
mengembangkan kemampuannya berbahasa, tidak saja bereaksi
terhadap rangsangan (stimulus) yang diterima dari luar, tetapi juga
dipengaruhi oleh proses internal yang terjadi dalam dirinya.(Agus, M.
et al. 2003)

C. Gangguan jiwa
1. Pengertian
Gangguan jiwa atau mental illenes adalah kesulitan yang harus
dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan
karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-
sendiri (Budiman 2010). Salah satu bentuk dari gangguan jiwa adalah
skizofrenia. Skizofrenia merupakan suatu penyakit persisten dan serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkrit dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah
menurut (Stuart 2007). Hampir di seluruh dunia tidak kurang dari 450 juta
(11 %) orang yang mengalami skizofrenia (ringan sampai berat) (WHO,
2006). Dampak yang di timbulkan oleh menarik diri pada pasien skizofrenia
adalah ; kerusakan komunikasi verbal dan non verbal, gangguan hubungan
interpersonal, gangguan interaksi sosial, resiko perubahan persepsi sensori
( halusinasi )

Indikator kesehatan jiwa yang dinilai antara lain gangguan jiwa


berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan
jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya
kemampuan menilai realitas (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai
gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses
pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas
atau katatonik.

2. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa


Keadaan mental seseorang yang menderita gangguan jiwa, menurut
Sundari (2005) dapat mengalami sebagai berikut:
a. Delusi atau waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk
akal) meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinan itu
tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan
misalnya penderita mendengar suara-suara atau atau bisikan-bisikan di
telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.
c. Kekacauan alam pikiran yaitu yang dapat dilihat dari isi
pembicaraannya, misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti
jalan pikirannya.
d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira berlebihan.
e. Tidak ada atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada inisiatif, tidak
ada upaya usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-
apa, malas dan selalu terlihat sedih.
Menurut (Stuart 2007) gejala yang menyertai dari gangguan jiwa
diantaranya isolasi sosial, dan halusinasi.

1) Isolasi Sosial
a. Pengertian
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (PPNI, T et al.
2017) Isolasi sosial ialah ketidak mampuan untuk membina hubungan
yang erat, hangat, terbuka, dan interdependen dengan orang lain.
Isolasi sosial adalah keadanaan dimana individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterma, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain. (Dermawan, D et al. 2013).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain (Yosep and Iyus 2009).
Menurut Dermawan D dan Rusdi (2013) isolasi sosial :
menarik
diri adalah keadaan di mana seseorang mengalami atau tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Klien merasa di tolak,
tidak di terima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain.

b. Rentang respon

Adaptif
maladaptif

1. Menyendiri 1.Merasa sendiri 1.Menarik diri

2. Otonomi 2. Dependensi 2.Ketergantungan

3. curiga
3. Bekerja sama 3.Manipulasi curiga

4. Saling
ketergantungan

Gambar 1 Rentang Respon Isolasi Sosial

(Sumber: Surya Direja Buku Ajaran Asuhan Keperawatan Jiwa di Indonesia, 2011)

1. Respon adaptif

Respon adaptif adalah respon yang masih dapat di terima oleh


norma- norma sosial dan kebudayaan secara umum dalam batas
normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap
yang termasuk respon adaptif (Keliat and Akemat. 2012)
a) Menyendiri, respon yang di butuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya

b) Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan


menyampaikan ide pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.

c) Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan


satu sama lain.
d) Saling ketergantungan (Interdependen), saling ketergantungan
antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.

2. Respon maladaptif

Respon maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma


sosial dan kehidupan di suatu tempat, berikut ini adalah perilaku
yang termasuk respon maladaptif (Keliat and Akemat. 2012)

a) Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam


membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.

b) Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya


diri sehingga tergantung dengan orang lain.
c) Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap
orang lain.

c. Etiologi

Terjadinya gangguan ini di pengaruhi oleh factor predisposisi


diantaranya perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang
lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak
mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan, keadaan ini
dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang
lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan
kegiatan sehari hari terabaikan. Isolasi sosial pada pasien akan di
jelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi (direja, A. et al.
2011) yang meliputi stressor dari factor predisposisi dan presipitasi.

1. Faktor predisposisi

a) Factor tumbuh kembang


Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial
b) Factor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan factor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial
c) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial
d) Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial
adalah otak, misalnya skizofrenia yang mengalami masalah
dalam hubungan sosial.
2. Factor presipitasi

Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh


factor internal dan eksternal seseorang. Factor setressor presipitasi
dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a) Factor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stess yang
ditimbulkan oleh factor sosial budaya seperti keluarga.
b) Factor internal
Contohnya adalah stressor psikologi, yaitu stress terjadi akibat
ansietas atau kecemasan yang berkepanjangan dan terjadinya
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk
mengatasinya.

d.Tanda gejala
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (PPNI, T et al.
2017) tanda gejala isolasi sosial sebagai berikut:
1) Gejala dan Tanda Mayor isolasi sosial

Subyektif Obyektif

1. Merasa ingin sendiri 1. Menarik diri


2. Merasa tidak aman di 2. Tidakberminat/menolak
tempat umum
Berinteraksi dengan
orang lain atau
lingkungan

(Sumber: Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)


2) Tanda dan gejala minor

Subyektif Obyektif
1. Merasa berbeda 1. Afek datar
2. Efek sedih
dengan orang lain
3. Riwayat ditolak
2. Merasa asik dengan
4. Menunjukkan
pikiran sendiri
permusuhan tidak
3. Merasa tidak
mampu memenuhi
mempunyai tujuan
harapan orang lain
yang jelas
kondisi difabel
tindakan tidak
berarti tidak ada
kontak mata,
perkembangan
terlambat, tidak
bergairah/ lesu

(Sumber: Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)

2). Halusinasi
a. Pengertian
Halusinasi didefinisikan sebagai seseorang yang merusak
stimulasi yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun baik
stimulus suara, bayangan, bau-bauan, pengecapan maupun (Yosep
and Iyus 2009) perabaan. Menurut (Stuart 2007)Halusinasi adalah
kesan respon dan pengalaman sensori yang salah. Halusinasi juga
dinyatakan sebagai persepsi klien terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, artinya klien menginterpretasikan sesuatu
yang nyata tanpa rangsangan dari luar (direja, A. et al.
2011)Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi
yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara
mengenai klien sehingga klien terhadap suara atau bunyi tersebut
(Stuart 2007)
b. Etiologi
Faktor Predisposisi menurut Yosep (2011)
1).Faktor perkembangan Perkembangan klien yang terganggu
misalnya kurangnya mengontrol emosi dan keharmonisan
keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, dan hilang percaya diri.
2).Faktor sosioklturalStres lingkungan dapat menyebabkan
terjadinya respon maladaptif, misalnya bermusuhan,
kehilangan harga diri, kerusakan dalam berhubungan
interpersonal, tekanan dalam pekerjaan dan kemskinan.
3).Faktor biokimia Adanya stress yang berlebihan yang dialami
oleh seorang maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia buffoferom dan
dimetytron ferase sehingga terjadi ketidakseimbangan
acetykolin dan dopamine.
4).Faktor psikologis Tipe kepribadian yang lemah dan tidak
bertanggung jawab akan mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat aditif. Klien lebih memilih beserangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
5).Faktor genetik dan pola asuh, hasil study menunjukan bahwa
faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat

berpengaruh pada penyakit ini.


Faktor presipitasi terjadinya gangguank sensori persepsi
halusinasi menurut (Stuart 2007) adalah :
1) .Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak,
yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada
mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak juntuk di interpretasikan.
2) Stress lingkunganAmbang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber kopingSumber koping mempengaruhi respon individu
dalam menanggapi stressor.

c. Tanda dan Gejala


Pasien pada halusinasi cenderung menarik diri, serididapatkan
duduk terpaku pada pandangan mata pada satu arah artertentu,
tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau
menyerang orang lain, gelisah atau melakukan gerakan seperti
sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri
tentang halusinasi yang dialami dirinya (apa yang dilihat, didengar
atau dirasakan) (Yosep and Iyus 2009)
d. Jenis-Jenis Halusinasi Jenis halusinasi menurut (Stuart 2007)
antara lain :
1).Halusinasi pendengaran
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, terutama
suara-suara orang, biasanya klien mendengar suara orang
yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya
dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2). Halusinasi penglihatan
Karakteristik ditandai dengan adanya stimulus penglihatan
dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik,
gambaran kartun dan atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan bias menyenangkan atau
menakutkan.
3). .Halusinasi penghidung
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan
bau yang menjijikan seperti darah, urine atau feses. Kadang-
kadang terhidu bau harum.Biasanya berhubungan dengan
stroke, tumor, kejang dan dementia.
4).Halusinasi peraba
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak
enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan listrik
datang dari tanah. Benda mati.
5) Halusinasi pengecap
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang
busuk, amis dan menjijikan. Merasa mengecap rasa seperti
darah, urine atau feses
6) Halusinasi kenestik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh
seperti darah mengalir, melalui vena atau arteri. Makanan
dicerna atau pembentukan cairan.
7) Halusinasi kinestetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak
B. Sintesa Penelitian Sebelumnya

No Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Dan Hasil Penelitian Kesimpulan
Variable Penelitian
1 (Nyumirah Peningkatan Bertujuan untuk Dengan metode Sample berjumlah Berdasarka hasil
Kemampuan kuantitatif
2013) mengetahui pengaruh 33 orang dengan uji statistic tidak
menggunakan desain
Interaksi Sosial pemberian terapi quasi experimental tehnik ada hubungan
(Kognitif, afektif pre –post test
perilaku kognitif pengambilan umur dengan
dan Prilaku) Melalui
without control
terhadap kemampuan teknik pengambilan sample total kognitif, efektif,
Penerapan Terapi sample secara total
klien isolasi sosial sampling. Hasil dan prilaku dan
Perilaku Kognitif sampling . denga
dalam melakukan variable yang di penelitian ada hubungan
teliti yaitu kognitif
interaksi. Penelitian menunjukkan ada antara jenis
sebelum 13,79 dan
dilakukan untuk sesudah 19,88 pegaruh terapi kelamin dengan
Afektif sebelum
menganalisa perilaku kognitif kognitif (P< 0,05)
14,58 dan sesudah
peningkatan 17,33 terhadap ada hubungan
Perilaku sebelum
kemampuan kognitif kemampuan
9,64 dan sesudah
,efektif dan perilaku 11,06 interaksi
klien isolasi sosial (kognitif, efektif
dan perilaku)
pada klien isolasi
sosial (P value
≤ 0,05¿
2 (Wiastuti and Pengaruh Terapi Diketahuinya pengaruh Penelitian ini Hasil penelitian Sehingga hasil ini
Aktivitas terapi aktivitas merupakan diketahui bahwa mengindikasikan
Mamnu’ah
Kelompok kelompok sosialisasi penelitian quasi didapatkan hasil bahwa terdapat
2011) Sosialisasi terhadap kemampuan eksperiment teknik uji statistic nilai P perbedaan yang
Terhadap sosialisasi pada pasien sample yang di 0,001 lebih kecil signifikan antara
Kemampuan isolasi sosial di rumah gunakan adalah dari pada 0,05. sbelumdan sesdah
Sosialisasi Pada sakit purposive sampling. Sehingga di dapat perlakuan hasil
Pasien Isoalasi Dengan sample 15 disimpulkan ada tersebut
Sosial responden yang pengaruh terapi menunjukkan
memenuhi kriteria aktivitas bahwa Ha di
inklusi untuk kelompok terima Ho di tolak
menganalisa sosialisasi yang artinya terapi
hubungan dua terhadap aktivitas kelmpok
variable digunakan kemampuan sosialisasi
iju Wilcoxon signed sosialisasi pada berpengaruh dalam
test pasien isolasi meningktkan
sosial kemampuasn
sosialisasi
3 (Tumiwa Pengaruh Terapi Penelitian ini bertujuan Metode yang di Menunjukkan ada Berdasarkan hsil
Aktivitas untuk mengetahui gunakan adalah pengaruh antara penelitian yang
2018)
Kelompok pengaruh terapi quasi experiment terapi aktivitas telah dilakukan
Sosialisasi Sesi aktivitas kelompok dan desain yang di kelompok terdapat
3Terhadap soasialisasi sesi 3 gunakan dala sosialisasi sesi 3 peningkatan nilai
Kemampuan terhadap kemampuan penelitian ini adalah dengan rata- rata
Komunikasi komunikasi verbal one group pretest kemampuan kemampuan
Verbal Pada Klien klien menarik diri dan posttet jumlah komunikasi komunikasi verbal
Menarik Diri sample dalam verbal pada klien klien menarik diri
penelitian sebanyak menarik diri di setelah di berikan
34 orang dengan RSJ prov jawa TAKS sesi 3
teknik pengambilan barat
total sampling
pengumpulan data
menggunakan
wawancara bebas
terpimpin
4 (Nancye and Pengaruh Terapi Untuk mengetahui Dalam penelitian ini Hasil dari Ada pengaruh
Aktivitas Klompok pengruh terapi aktivitas rancangan yang di penelitian ini terapi aktivitas
Maulidah
Sosialisasi kelompok sosialisasi gunakan adalah penilitian ini kelompok
2018) Terhadap terhadap kemampuan quasi eksperiment semua responden sosiaisasi terhadap
Kemampuan bersosialisasi dengan metode one- tidak memiliki kemampuan
Bersosialisasi group pre-post test kemampuan bersosialiasasi
Pasien Isolasi design. Yaitu bersosialisasi pada pasien isolasi
Sosial Diagnosa menggunakan dengan baik sosial diagnose
Skizofrenia Di hubungan sebab sebelum skizofrenia .
Rumah Sakit Jiwa akibat dengan cara dilakukan TAKS
Menur Surabaya melibatkan satu sebanyak 7
klompok oarang (100%)
subjek,variable sedangkan setelah
bebas dalam di lakukan TAKS
penelitian ini adalah sebagaian
terapi aktivitas responden
klompok sosiaslisasi mampu untuk
dan variable terkait bersosialisasi
dalam penelitian ini dengan baik
adalah kemampuan sebanyak 5 orang
bersosialisasi. ( 0,8%) dan ada
pengaruh TAKS
sebagaian
responden
mampu untuk
bersosialisasi
dengan nilai
p=0,025.
5 (Hasriana, Pengaruh Terapi Tujuan penelitian ini .Desain penelitian Pengolahan data .Kesimpulan
Aktivitas adalah mengidentifikasi menggunakan menggunakan penelitian ini
Nur et al.
Kelompok pengaruh terapi rancangan The one komputer SPSS adalah ada
2013) Sosialisasi aktivitas kelompok group pretest-postest versi 16.Hasil pengaruh terapi
Terhadap sosialisasi terhadap design, dengan analisa aktivitas kelompok
Kemampuan kemampuan pasien teknik pengambilan menunjukkan sosialisasi
Bersosialisasi Pada berinteraksi sosial sampel yaitu adanya pengaruh terhadap
Klien Isolasi purposive sampling yang signifikan kemampuan pasien
Sosial Menarik terhadap 30 dari TAK berinteraksi sosial.
Diri Di Rumah responden dengan Sosialisasi Sebaiknya TAK
Sakit Khusus lama rawat kurang terhadap Sosialisasi menjadi
Daerah Provinsi dari 3 bulan. kemampuan terapi keperawatan
Sulawesi Selatan Kemampuan berinteraksi sosial terhadap setiap
berinteraksi sosial dengan p = 0,000. pasien dengan
diukur sebelum dan masalah
setelah dilakukan keperawatan
intervensi TAK isolasi sosial
menggunakan karena TAK
lembar observasi. merupakan salah
Analisa data dengan satu tindakan
uji “wilcoxon sign keperawatan yang
rank test”. efektif.

6 (Pangestu, Pengaruh Terapi Untuk Rancangan Hasil Terapi Berdasarkan pada


Aktiv mengetahui pengaruh penelitian ini adalah Aktivitas hasil penelitian
Widodo et al.
Itas Kelompok terapi aktivitas praeksperimen Kelompok dan
2014) Sosialisasi kelompok sosialisasi dengan Sosialisasi di pembahasan, maka
Terhadap terhadap menggunakan RSJD Surakarta dapat disimpulkan
Kemampuan kemampuan rancangan termasuk dalam sebagai berikut:
Komunikasi komunikasi verbal Posttest Only 1Hasil
kategori
Verbal Klien klien menarik diri di Design. Terapi Aktivitas
mempunyai
Menarik Diri Di RSJD Surakarta pada Populasi Kelompok
Rsjd kelompok sesudah dalam penelit kemampuan Sosialisasi di
Surakarta diberikan perlakuan. ian ini pasien komunikasi RSJD Surakarta
skizofernia yang verbal pasien termasuk dalam
berjumlah skizofrenia dalam kategori
211 orang menarik diri, dan mempunyai
berdasarkan rekam ada pengaruh kemampuan
medik yang terapi aktivitas komunikasi verbal
mengalami kelompok pasien skizofrena
gangguan sosialisasi dalam menarik
komunikasi verbal (TAKS) t diri.
pada klien 2
erhadap
menarik diri. Sampel .
kemampuan
ditetapkan sebanyak Ada pengaruh
30 responden komunikasi terapi aktivitas
dengan teknik verbal pasien kelompok
purposive sampling skizofrenia sosialisasi (TAKS)
. menarik diri di terhadap
Alat RSJD Surakarta kemampuan
analisis yang komunikasi verbal
digunakan dengan pasien
ana skizofrenia
lisis deskriptif menarik diri di
RSJD Surakarta.

7 (Astriningsih Pengaruh Terapi Penelitian Penelitian ini Terapi Tingkat sosialisasi


Aktivitas quasi exsperiment merupakan Aktivitas pada pasien
and
Kelompok ini bertujuan untuk penelitian Kelompok gangguan jiwa di
Mamnu’ah Sosialisasi mengetahui pengaruh eksperiment Sosialisasi Desa Banaran
Terhadap Tingkat terapi aktivitas menggunakan menunjukkan Galur Kulon
2014)
Sosialisasi kelompok sosialisasi design Quasi hasil paling Progo sebelum
Pada Pasien terhadap tingkat Exsperimental banyak responden dilakukan
Gangguan Jiwa Di sosialisasi pada pasien (eksperimen semu) memiliki kategori intervensi Terapi
Desa gangguan jiwa. dengan rancangan baik sebanyak 9 Aktivitas
Banaran Galur one group pretest orang (90,0%), Kelompok
Kulon Progo – yang memiliki Sosialisasi
Yogyakarta post test kategori cukup diperoleh
tanpa kelompok sebanyak 1 orang hasil dengan
pembanding atau (10%), dan tidak kategori kurang.
kelompok kontrol. ada responden Sedangkan tingkat
Dengan yang memiliki sosialisasi pada
mengobservasi kategori kurang. pasien gangguan
sebanyak 2 kali Hal ini sesuai jiwa di Desa
yaitu sebelum dan dengan hasil Banaran Galur
sesudah diberikan penelitian yang Kulon Progo
perlakuan. dilakukan sesudah dilakukan
Kelompok Wiastuti (2011), intervensi Terapi
diobservasi sebelum sesudah Aktivitas
dilakukan intervensi, memberikan Kelompok
kemudian intervensi Terapi Sosialisasi
diobservasi kembali Aktivitas diperoleh hasil
setelah Kelompok dengan kategori
intervensi. Sosialisasi pada baik.
Populasi pada 15 responden Terdapat
penelitian ini adalah (100%) memiliki perbedaan tingkat
keseluruhan subjek kemampuan sosialisasi sebelum
penelitian klien sosialisasi baik. dan sesudah
gangguan jiwa di Hasil dari dilakukan
Desa Banaran Galur pengukuran 11 intervensi Terapi
Kulon Progo responden Aktivitas
Yogyakarta yang memiliki Kelompok
sebanyak 81 orang. kemampuan Sosialisasi pada
Dalam penelitian ini cukup mengalami pasien gangguan
teknik pengambilan peningkatan jiwa di Desa
sampel secara sosialisasi Banaran Galur
non probability menjadi baik Kulon Progo
sampling dan 4 responden dengan nilai
dengan teknik yang memiliki signifikansi
purposive sampling kemampuan p=0,005 (p<0,05).
. Dikatakan sosialisasi kurang
non probability mengalami
sampling dengan p
tenik eningkatan
purposive sampling sosialisasi
sebanyak 10 orang. menjadi baik.
Daftar Pustaka

Agus, et al. (2003). , Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal.


Jogyakarta, kanisius.

Astriningsih, L. and M. a. Mamnu’ah (2014). Pengaruh Terapi Aktivitas


Kelompok Sosialisasi terhadap Tingkat Sosialisasi pada Klien Gangguan Jiwa di
Desa Banaran Galur Kulon Progo Yogyakarta, STIKES'Aisyiyah Yogyakarta.

Budiman (2010). Jumlah Gangguan Jiwa.

Depkes.RI (2013). Dapertemen Kesehatan Republik Indonesia, Data Gangguan


Jiwa di Indonesia.

Dermawan, et al. (2013). Konsep dan Kerangka Kerja Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta, GOSYEN.

direja, s., et al. (2011). BUKU AJAR ASUHAN KEPERAWATAN JIWA


YOGYAKARTA, NUHA MEDIKA.

Hasriana, H., et al. (2013). "Pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi


terhadap kemampuan bersosialisasi pada klien isolasi sosial menarik diri di
Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan." Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis 2(6): 74-79.

Keliat and Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta, EGC.

Keliat, et al. (2005). PROSES KEPERAWTAN JIWA. JAKARTA, EGC.

Keliat, et al. (2014). KEPERAWATAN JIWA TERAPI AKTIVITAS


KELOMPOK. JAKARTA, EGC.

Maramis, et al. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Jakarta, Airlangga


university press.

Nancye, P. M. and L. Maulidah (2018). "Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok


Sosialisasi Terhadap Kemampuan Bersosialisasi Pasien Isolasi Sosial Diagnosa
Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya." Keperawatan 6(1).
Nugroho, W. (2010). Modul Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Jakarta,
EGC.

Nyumirah, S. (2013). "Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif


dan perilaku) melalui penerapan terapi perilaku kognitif di rsj dr amino
gondohutomo semarang." Jurnal keperawatan jiwa 1(2).

Pangestu, D. W., et al. (2014). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi


Terhadap Kemampuan Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri Di RSJD
Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

PPNI, et al. (2017). STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA


JAKARTA, DEWAN PENGURUS PUSAT.

Rikesdas (2018). Riset Kesehatan Dasar, Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan

sheila, et al. (2008). Keperawatan Jiwa. JAKARTA, BUKU KEDOKTERAN


EGC.

Stuart, et al. (2006). Principles and practice of psychiatric nursing. Mosby Year
Book, Misouri.

Stuart, G. W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta, ECG.

Suliswati, et al. (2014). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta,


EGC.

Tumiwa, F. F. (2018). "PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


SOSIALISASI SESI III TERHADAP KEMAMPUAN SOSIALISASI PASIEN
ISOLASI SOSIAL DI RUANGAN KATRILI RSJ PROF. DR. V. L
RATUMBUYSANG MANADO." Community Health 3(2).

WHO (2016). "World Health Statistics Monitoring Health For The Sdgs." from
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Wiastuti, A. and M. a. Mamnu’ah (2011). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi Terhadap Kemampuan Sosialisasi Pada Pasien Isolasi Sosial Di Rumah
Sakit Ghrasia Provinsi Diy, STIKES'Aisyiyah Yogyakarta.

Winddyasih (2008). Manajemen Stres, National Safety Councli. Jakarta, EGC.

Wood, J. T. (2009). Communication in Our Lives. USA, University of North


Carolina at Capital Hill.

Yosep and Iyus (2009). KEPERAWATAN JIWA. BANDUNG, PT. Revika


Aditama.

Anda mungkin juga menyukai