MAKALAH
Disusun guna memenuhi kegiatan belajar mengajar
dalam mata kuliah Studi Qur’an Hadis
oleh:
Ahmad Mushofi Hasan, S.H.
NIM: 1800018003
Konsentrasi : Hukum Ekonomi Syariah
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur'an, sumber ajaran Islam yang pertama, secara structural walaupun Hadis
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua memiliki posisi penting. Di sisi lain, secara
fungsional, Hadis bertugas mengeksplanasi ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat ‘a>m
(umum), mujmal (global) dan mut}laq. Selain itu, Hadis juga dapat menjadi sebuah
landasan bagi suatu konsensus hukum yang belum tertuang dalam al-Qur'an. Terkait
kedudukan tersebut, Allah Swt berfirman dalam al-Qur'an pada surat al-Nahl (16) : 44
berikut di bawah ini 1:
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم و لعلهم يتفكرون
Ayat di atas memiliki petunjuk yang kuat tentang peran Nabi Muhammad yang
sungguh luar biasa dalam hal menjelaskan kondisi umum al-Qur'an sebagaimana telah
dinyatakan sebelumnya, namun terdapat penekanan agar kita sebagai kaum Muslimin,
agar dapat bertafakur terhadap Al-Qur’an serta Hadis, maka bukan hal yang langka kalau
para sahabat memperoleh berbagai petunjuk tentang praktik mengerjakan sholat, zakat,
dan ibadah serta persoalan yang ada dimasyarakat.2
Menelaah tentang uraian di atas mengenai kedudukan hadis sebagai sumber
hukum ke dua setelah Al- Qur’an, maka merasa penting untuk melakukan diskursus
terkait dengan sejarah perkembangan Hadis. Keputusan ini mengingat banyak
problematika tentang otentisitas Hadis yang masih menjadi sebuah barang yang
debatable dikalangan para pemikir Islam, maupun barat, khususnya dalam bidang ilmu
hadis.
1
Terjemahan ayat di atas dan seterusnya dikutip dari Depag RI, al-Qur'an dan Terjemahannya
(Semarang: Kumusdasmoro Grafindo, 1994).
2
Untuk uraian lebih luas tentang fungsi Hadis terhadap al-Qur'an menurut al-Siba>‘i>, lihat
Mus{t{afa> al-Siba>‘i>, al-Sunnah wa Maka>natuha> fi al-Tashri>‘ al-Isla>mi> (Da>r al-
Warra>q: al-Maktab al-Isla>mi>, 2000), 67-68.
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
Hardly any of these traditions, as far as matters of religious law are concerned,
can be considered authentic; they were put into circulation, no doubt from the
loftiest of motives, by the Traditionists themselves from the first half of the
second century onwards.3
"Berbagai hambatan dalam Hadis – Hadis ini, salama masih fokus terhadap
hukum Agama, maka dapat dianggap Hadis S{ah{i>h{; Hadis diletakan pada
jalur yang tidak ada rasa keraguan, dilakukan oleh para pakar Hadis-Hadis
sendiri dari awal abad kedua, dan selanjutnya."
Kesimpulan Schacht dimulai atas analisa tentang periwayatan hadis, yang kita
sebut sanad. Selanjutnya, banyak orang, baik peneliti, periwayat Hadis atau siapapun
yang terlibat dalam periwayatan Hadis, dapat dengan mudah memberikan tanggal
maupun waktu tertentu pada sebuah sanad. Selanjutnya Schacht memproyeksikan
sanad ke masa yang lebih awal dengan mengklaim otoritas yang lebih tinggi, hingga
berakhir pada otoritas utama, yaitu, Nabi Muhammad, Saw.4 Oleh karenanya
kemudian dia berkesimpulan :
There is no reason to suppose that the regular practice of using isnüd is older than
the beginning of the second century.5
"Tidak ada alasan untuk menduga bahwa praktek pemakaian isnad atau sanad
secara teratur lebih tua dari permulaan abad kedua."
3
Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, 1986), 34.
4
Demikianlah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadis menurut Schacht, yang pada
akhirnya, hasil pemikiran itu menelurkan sebuah teori yang dikenal sebagai "projecting back".
Teori tersebut menghasilkan kesimpulan terkait masalah otentiitas Hadis Nabi Saw, bahwa semua
Hadis tidak murni berasal dari Nabi Saw. Uraian lebih luas tentang pembahasan teori tersebut,
lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press,
1959), 156 & 163.
5
Ibid, 37.
3
4
6
Ibid, 176.
4
5
sementara beliau tidak lebih dari manusia biasa yang ketika berbicara adakalanya
dalam keadaan marah atau gembira". Sejenak ‘Abdulla>h bin ‘Amr
mempertimbangkan pernyataan orang-orang Quraish tersebut lalu mengambil
keputusan untuk tidak akan menulis kembali segala hal yang dikatakan oleh Nabi
Saw. Tidak lama dari keputusannya itu, ‘Abdulla>h bin ‘Amr kemudian
berkonsultasi langsung kepada Nabi Saw tentang pernyataan orang-orang Quraish
yang selanjutnya mempengaruhi kebiasaan menulisnya terhadap Hadis. Terhadap
laporan ‘Abdulla>h bin ‘Amr tersebut seketika itu juga, Nabi Saw bersabda sebagai
berikut :
7
فو الذي نفسي بيده ما خرج مني إال حق
"Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaannya, tidaklah keluar
dariku (mulut Nabi Saw) kecuali sesuatu yang mengandung kebenaran."
Menurut banyak ulama, Hadis di atas merupakan salah satu dari sekian
riwayat yang sah sebagai landasan utama diperbolehkannya penulisan Hadis. Itulah
sebabnya, ‘Abdulla>h bin ‘Amr semakin intensif menulis apapun yang disabdakan
oleh Nabi Saw sehingga beliau dikenal yang paling banyak catatan hadisnya.
Catatan Hadis yang dimiliki oleh ‘Abdulla>h bin ‘Amr, oleh pemiliknya
diberi nama ( صحيفة الصادقةs}ah}i>fah al-s}a>diqah). Keberadaan catatan inilah yang
membuat Abu Hurairah kemudian memberikan apresiasi kepada pemiliknya dengan
pernyataannya : "Tak seorang pun yang memiliki perbendaharaan Hadis lebih
banyak dariku selain ‘Abdulla>h bin ‘Amr dikarenakan ia menulis sementara aku
tidak menulis.8
Selain ‘Abdulla>h bin ‘Amr, tidak sedikit dari kalangan sahabat sewaktu Nabi
Saw masih hidup, yang menulis Hadis atas inisiatif pribadi. Namun kegiatan
7
Lihat uraian A‘d{ami> tentang rajinnya sahabat yang satu ini menulis Hadis-hadis Nabi
Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Mus{tafa> A‘d{ami>, Dira>sa>t
fi>> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>khu Tadwi>nihi> (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>,
1980), 122.
8
Pernyataan tersebut terdapat dalam S{ah{i>h al-Bukha>ri> sebagaimana dikutip oleh
Mus{tafa> A‘d{ami>. Lihat Ibid. Adapun redaksi asli sebagaimana tertulis di dalam S{ah{i>h al-
Bukha>ri> adalah sebagai berikut :
َبْل ِد َّ ِ بْل ِن َ لللَّ َم أَحَل كد أَ ْك َ َلر حَل ِدي ًا
ْ َ ْنل ِمنِلي إِ َّال َملا كَلانَ ِم
َ لن َ َلَيْل ِ َو
َ ُ َّب النَّبِي ِ صَلل ْ َ َما ِم ْن أ
ِ صحَا
َ َْم ٍرو فَ ِإنَّ كَانَ يَكْتب َوالَ أَكْتب
Lihat redaksi riwayat tersebut dalam Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>,
S{ah{i>h al-Bukha>ri> (Riyad: Maktabah al-Rushd, 2006), 25.
5
6
penulisan tersebut selain dimaksudkan untuk arsip pribadi,9 juga belum berifat
massal sebagaimana halnya yang terjadi dengan al-Qur'an. Terkait inisiatif sebagian
sahabat yang menulis Hadis dengan maksud tersebut, Syuhudi Ismail mencatat
beberapa sebab yang di antaranya adalah sebagai berikut :10
1. Ketika itu para sahabat hampir secara serentak menekankan perhatian khusus
dalam upaya pemeliharaan al-Qur'an dengan cara ditulis
2. Meskipun Nabi Saw memiliki beberapa sekretaris, tetapi mereka hanya
diberi tugas untuk menulis setiap wahyu yang turun dan surat-surat
kenegaraan. Alasan inilah yang membuat sebagian sahabat yang lain
berinisiasi untuk menulis sabda-sabda Nabi Saw.
3. Kesempatan para sahabat untuk senantiasa berada di dekat Nabi Saw tidak
dapat berlangsung sepanjang waktu. Hal ini terkait kesibukan masing-
masing sahabat demikian juga Nabi Saw yang tidak sama
Dalam konteks beberapa sahabat yang memiliki catatan Hadis tersebut,
terdapat pihak-pihak yang mengajukan keberatan akan kebenaran fakta bahwa Hadis
telah ditulis di zaman permulaan Islam. Kalangan yang mengingkari fakta itu
menyodori sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu> Sa‘i>d al-
Khudri> berikut ini :
9
Dalam konteks arsip pribadi, al-Bukha>ri> menampilkan riwayat Nabi Saw pernah
memerintahkan seorang sahabat untuk menulis khutbahnya pada peristiwa pembebasan kota
makkah.. Khutbah Nabi Saw tersebut ditulis atas permintaan orang dari Yaman guna dimilikinya
sebagai arsip pribadi sahabat yang bersangkutan. Dalam Hadis yang panjang, potongan riwayat
tersebut berbunyi sebagai berikut :
«ا ْكتبوا ِِلَبِي فالَ ٍن:َ اكْت ْب ِلي يَا َرلو َل َّ ِ فَقَال:َفَجَا َء َرج كل ِم ْن أ َ ْه ِل اليَ َم ِن فَقَال
Lihat redaksi Hadis selengkapnya dalam Ibid, 24.
10
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 102.
Bersama ‘Abdulla>h bin ‘Amr, tercatat nama-nama seperti Ali bin Abi Talib, Samurah bin Jundab,
‘Abdulla>h bin ‘Abba>s, Ja>bir bin ‘Abdilla>h al-Ans{ari> dan ‘Abdulla>h bin Abi> Awfa yang
mereka itu dikenal memiliki catatan-catatan Hadis.
11
Abu> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j al-Qushairi> al-Ni>sa>bu>ri>, S{ah{i>h
Muslim (Riyad: Da>r T{ayyibah, 2006), 1366.
6
7
1. Hadis yang berasal Abu> Sa‘i>d al-Khudri> di atas yang mengandung petunjuk
dilarangnya penulisan Hadis telah dibatalkan (mansu>kh) oleh adanya Hadis-
hadis yang justru memerintahkan kegiatan penulisan Hadis. Lebih dari itu,
jumlah Hadis yang melarang penulisan Hadis tersebut hanyalah satu buah riwayat
saja yang dianggap S{ah{i>h{. Pada saat yang sama, status Hadis pelarangan
penulisan tersebut berada dalam perdebatan para ulama ahli Hadis yakni terkait
antara berstatus marfu>‘ dan mawqu>f.12
12
Mus{tafa> A‘d{ami>, Dira>sa>t fi>> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>khu
Tadwi>nihi>, 79.
13
Ibid
14
Muh{ammad ‘Ajja>j al-Khat{i>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1988), 306.
15
Ibid, 308.
7
8
8
9
Pada periode ini (sahabat dan tabi'in senior) belum dibukukan melainkan
dijaga dalam hafalan, karena nabi SAW pernah melarang mereka menulis hadits-
hadits beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : Janganlah
kalian menulisi dariku selain al-Qur'an, dan barangsiapa yang telah menulis
sesuatu selain al-Qur'an maka ia harus menghapusnya. Walaupun akhirnya
beliau SAW membolehkannya, yaitu pada hari penaklukan Makkah pada para
sahabat : Tulislah apa yang aku sampaikan untuk abu Syah. Dan membolehkan
Abdullah bin Amr bin Ash untuk menulis hadits- hadits darinya.
Saat nabi SAW wafat para sahabat berinisiatif untuk menulis al-Qur'an
dalam bentuk mushaf dan tidak membukukan hadits nabi SAW melainkan
bersungguh-sungguh menyebarkannya dalam bentuk hafalan mereka.
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka
seperti Ibnu Juraij (150-H) dan Ibnu Ishaq (151-H) di Makkah; Ma'mar (153-H)
di Yaman; al-Auza'i (156-H) di Syam; Malik (179-H), Abu Arubah (156-H) dan
Hammah bin Salamah (176-H) di Madinah; Sufyan ats-Tsauri (161-H) di Kufah;
AbduLLAH bin Mubarak (181-H) di Khurasan; Husyaim (188-H) di Wasith;
Jarir bin abdul Hamid (188-H) di Ray. Mereka tidak hanya menulis hadits-hadits
nabi SAW saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in. Kitab-kitab hadits
yang masyhur di masa itu adalah :
9
10
Yaitu dimana tidak ditulis kecuali hadits-hadits nabi SAW saja, sehingga
mulai disusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa, seperti musnad
Imam Ahmad bin Hanbal. Walaupun demikian, masih tercampur dengan hadits-
hadits dha'if bahkan maudhu', sehingga pada pertengahan abad-III ini para ulama
membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-
ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari)
dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin
Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini
merupakan abad keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits
terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat
hampir seluruh hadits-hadits yang shahih.
10
11
Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk
menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti :
11
12
Agenda kodifikasi hadis secara resmi dan merupakan bagian dari program
pemerintah secara beruntun terjadi dalam dua tahap, yakni pada seperempat akhir
abad I H dilanjutkan kemudian seperempat awal abad II H. Adapun uraian kodifikasi
Hadis pada dua masa tersebut adalah sebagai berikut:
16
Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahra>ni>, Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu> wa
Tat}awwuruhu> (Riyad: Maktabah Da>r al-Minha>j, 1426 H), 68.
17
Selain itu, dalam upayanya agar umat Islam lebih konsentrasi mempelajari dan menghafal al-
Qur'an, ‘Umar bin Khat{t{a>b juga melarang para sahabat Nabi Saw yang lain saat itu untuk
memperbanyak periwayatan Hadis. Kebijakan yang ditempuh oleh ‘Umar ini tidak berarti ia
melarang para sahabat meriwayatkan Hadis secara mutlak. Hal itu hanya dimaksudkan agar para
sahabat berhati-hati di dalam meriwayatkan Hadis. Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadis, 45.
12
13
Alasan ditunjuknya Kathi>r bin Murrah oleh ‘Abd ‘Azi>z bin Marwa>n
untuk melakukan penulisan Hadis-hadis tersebut karena dia pernah berjumpa dan
bergaul dengan tujuh puluh sahabat Nabi Saw yang turut serta dalam peristiwa
perang Badar.
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Sa‘ad, al-T{abaqa>t al-Kubra> juz VII (Beirut: Da>r al-
18
13
14
banyak hal-hal terkait hasil kodifikasi Hadis yang dilakukan oleh para ulama di
atas dalam usahanya memenuhi permintaan gubernur Mesir itu. Beberapa hal
terkait hasil kodifikasi yang tidak diketahui itu adalah: 19
1. Nama para sahabat Nabi Saw yang dijadikan narasumber Hadis-hadis oleh
Kathi>r bin Murrah ketika dia meriwayatkan Hadis-hadis dari mereka.
2. Jumlah Hadis-hadis yang ditulis oleh Kathi>r bin Murrah dan Para ulama di
kota H{ims}
Pada masa inilah yang terjadi di awal abad II Hijriah, kegiatan kodifikasi
Hadis-hadis Nabi Saw secara massif dilakukan yang berskala nasional untuk
wilayah kekuasaan Islam saat itu. Dinyatakan demikian karena melibatkan
banyak pihak dalam kegiatannya. Pada era pemerintahannya, khalifah ‘Umar bin
‘Abd al-‘Azi>z saat itu menginstruksikan ke seluruh pejabatnya serta mendorong
semua ulama di berbagai negeri kekuasaan Islam untuk menghimpun Hadis-hadis
Nabi Saw. Bunyi instruksi ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z dalam hal ini disebutkan
19
Untuk uraian lebih luas tentang ini, lihat Muh{ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th
‘Ulu>muhu> wa Mus}t}a>h}uhu> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), 219.
14
15
oleh Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> dalam potongan kisah tentang itu sebagai
berikut :
ل َّل َم
َ َلَ ْي ِ َو
َ َّ َّصل ِ ََ ْب ِد ا ْل َع ِز ِيز ِإ َل ْاْلف
َ ا ْنظروا َحد: اق
َ ِ َّ ِيث َرلو ِل َ َكت ََب َ َمر بْن
20
.فَاجْ َمعوه
Dari kalangan pejabat yang terkenal memiliki andil dalam kegiatan ini,
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z mengirimkan surat perintah kodifikasi kepada
gubernur Madinah yaitu Abu> Bakr bin Muh{ammad bin ‘Amr bin H{azm (w.
120).21 Isi surat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> adalah
sebagai berikut:
ُ َّصل َ ِ َّ ث َرلو ِل ِ ا ْنظ ْر َما كَانَ مِ ْن َحدِي: ٍ َ ْب ِد ال َع ِز ِيز ِإ َل أ َ ِبي َبك ِْر ب ِْن ح َْز
َ َكت ََب َ َمر بْن
َّ َ َّ ْ َ َ
ُ َاب العل َماءِ َوال تقبَ ْل إِال َحدِيث النبِي ِ صل َ َ ْ
َ وس ال ِعل ِم َوذه َ للَّ َم فَاكْت ْب ف ِإنِي خِ فت در
ْ َ َ َلَ ْي ِ َوَ
ْ َ َ َّ ْ ْ ْ
َ « َولتفشوا ال ِعل َم َولتَجْ لِسوا َحت َّ يعَل َم َم ْن الَ يَ ْعلم ف ِإنَّ ال ِعل َم الَ يَ ْهلِك َحت َّ يَكون:َلي وللمْ
22
.ل ًِّرا
"‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z menulis surat kepada Abu> Bakr bin H{azm
(yang isinya adalah) : perhatikanlah sesuatu yang kamu temukan dari
Hadis Rasulullah Saw kemudian tulislah. Sungguh saya khawatir akan
lenyapnya ilmu (hadis) dan tiadanya (wafatnya) para ulama dan
janganlah engkau terima selain Hadis Nabi Saw. Kemudian sebarkanlah
oleh kalian ilmu dan buatlah majlis ilmu sehingga orang yang tidak tahu
menjadi tahu karena sesungguhnya ilmu itu tidak akan menjadi rusak
sehingga ia menjadi sesuatu yang rahasia"
Selaku bawahannya, instruksi khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z
tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Abu> Bakr bin H{azm. Ia berhasil
mengumpulkan beberapa catatan Hadis dari beberapa kalangan, misalnya yang
berasal dari ‘Amrah binti ‘Abd al-Rah{ma>n al-Ans{ariyyah dan al-Qa>sim bin
Muh}ammad bin Abi> Bakr al-Shiddi>q. Keduanya adalah murid ‘A>’ishah binti
Abu> Bakr al-S{iddi>q. Namun teramat sayang, jerih payah gubernur Madinah
tersebut belum sempat disaksikan oleh sang khalifah dikarenakan khalifah ‘Umar
20
Ibn H{ajar mengutip kisah ini dalam kitab Ta>ri>kh As{biha>n sebagaimana diakuinya dalam
kitabnya. Lihat Ah{mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath{ al-Ba>ri> bi
Sharh{ S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>, juz I (Riyad: Da>r T{ayyibah, 2005), 341. Informasi serupa lihat
Muh{ammad bin Muh{ammad bin Abu> Shuhbah, al-Wasi>t{ fi> ‘Ulu>m wa Mus{t{ala>h{ al-
H{adi>th (t.t.: ‘A>lim al-Ma‘rifah, 1983), 65-66.
21
Abu> Bakr bin Muh{ammad bin ‘Amr bin H{azm adalah ta>bi‘i>n yang termasuk ahli fikih
kala itu dan banyak meriwayatkan Hadis dari sejumlah sahabat Nabi Saw di samping dari ‘Amrah
binti ‘Abd al-Rah{ma>n al-Ans{ariyyah. Beliau diangkat sebagai gubernur sekaligus qa>d{i>
yang ditugaskan di Madinah oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z. Tentang sketsa biografisnya akan
dipaparkan kemudian dalam sub bab Sketsa Biografis Tokoh Ulama Pelaksana Utama Kebijakan
Kodifikasi Hadis Di Abad II H dalam makalah ini.
22
Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S{ah{i>h al-Bukha>ri>, 23.
15
16
bin ‘Abd al-‘Azi>z meninggal dunia sebelum proyek sang gubernur selesai.23
Dikarenakan gubernur Madinah ini hanya menghimpun Hadis-hadis dari
kalangan terbatas, maka kitab Hadis yang telah sukses disusunnya tidak lengkap.
Betapapun demikian, kitab Hadis hasil susunannya merupakan kitab Hadis yang
termasuk paling awal atas sponsor pemerintah pusat. Namun teramat sayang kitab
tersebut tidak sampai pada generasi umat Islam dewasa ini.
Sedangkan dari kalangan ulama yang menonjol dalam rangka
mensukseskan program ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z itu, tampillah seorang ulama
yang amat dikenal ketakwaan dan kredibilitas intelektualnya di bidang Hadis –
sehingga kepadanya disematkan gelar "al-Ima>m" – yaitu Muh{ammad bin
Muslim bin Shiha>b al-Zuhri> atau populer dikenal dengan imam al-Zuhri>.24
Tentang perannya di bidang kodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw ini, al-Zuhri
menyatakan seperti berikut :
لل َليهلا أمرنا َمر بلن َبلد العزيلز بجملَ السلنن فكتبناهلا دفتلرا دفتلرال فبعلث إلل كلل أر
25
.للطان دفترا
"‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z memerintahkan kepada kami untuk
mengumpulkan sunnah, maka kami menulisnya buku demi buku dan dia
mengirimkannnya (menyebarkannya) ke setiap daerah kekuasaannya
yang diperintah oleh seorang sultan masing-masing satu buku."
23
S{ubh{i> al-S{a>lih{, ‘Ulu>m al-H{adi>th wa Mus{tala>h{uhu>, 45.
24
Ulama besar ini berdomisili di Hijaz dan menjadi juru fatwa bagi penduduk Hijaz dan Syam.
Menurut satu riwayat, beliau wafat pada tahun 124 H. Lihat Muh{ammad bin Muh{ammad bin
Abu> Shuhbah, al-Wasi>t{ fi> ‘Ulu>m wa Mus{t{ala>h{ al-H{adi>th, 66. Secara lebih luas,
tentang sketsa biografisnya akan dipaparkan kemudian dalam sub bab Sketsa Biografis Tokoh
Ulama Pelaksana Utama Kebijakan Kodifikasi Hadis Di Abad II H dalam makalah ini.
25
‘Ali> ‘Abd al-Ba>sit} Mazi>d, Minha>j al-Muh}addithi>n fi> al-Qarn al-Awwal al-Hijri> wa
H{atta> ‘As}rina> al-H{a>d}ir (t.t.: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-’A<mmah li al-Kita>b, t.th.),
210.
26
Tidak kurang dari lima puluh satu ulama periwayat Hadis yang meriwayatkan Hadis dari al-
Zuhri>. Beberapa di antaranya adalah sang pengarang kitab muwat{t{a’ yaitu Ma>lik bin Anas,
Sufya>n bin Sa‘i>d al-Thawri> dan Sufya>n bin ‘Uyaynah. Lihat Mus{tafa> A‘d{ami>,
Dira>sa>t fi>> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>khu Tadwi>nihi>, 204-211.
16
17
selaku khalifah yang amat gandrung akan pemeliharaan sumber agama, ‘Umar
bin ‘Abd al-‘Azi>z memerintahkan dan menganjurkan para pejabatnya agar
berkunjung kepada al-Zuhri> untuk meriwayatkan Hadis-hadis darinya. Tindakan
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z ini dilatari oleh penilaiannya bahwa hanya al-
Zuhri>lah orang yang paling mengerti dan menguasai terhadap Hadis-hadis Nabi
Saw waktu itu.27
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, setelah al-Zuhri>
menyelesaikan proyek kodifikasi Hadis, khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z
kemudian mengirimkan dokumen-dokumen hasil kodifikasi al-Zuhri> itu ke
berbagai daerah dalam wilayah kekuasaannya.28 Hal demikian dimaksudkan oleh
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z sebagai bahan dan acuan kegiatan kodifikasi Hadis di
masa-masa mendatang.
Kebijakan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z yang mengirimkan dokumen-
dokumen hasil kodifikasi Hadis yang dilakukan oleh al-Zuhri> tersebut dapat
dikatakan bahwa dalam skala luas dan merupakan program resmi pemerintah,
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>zlah orang pertama kali yang menerbitkan kebijakan
dimaksud. Sedangkan al-Zuhri>lah ulama yang pertama kali dan berhasil dengan
gemilang membukukan Hadis-hadis Nabi Saw atas sponsor pemerintah. Itulah
sebabnya dengan rasa bangga al-Zuhri>, sehubungan dengan prestasinya itu, ia
kemudian menyatakan :
29
.لم يدون هذا العلم أحد قبل تدويني
"Tak seorang pun yang telah membukukan ilmu (Hadis) ini sebelum
aku."
27
Mus{t{afa> al-Siba>‘i>, al-Sunnah wa Maka>natuha> fi al-Tashri>‘ al-Isla>mi>, 123.
28
S{ubh{i> al-S{a>lih{, ‘Ulu>m al-H{adi>th wa Mus{tala>h{uhu>, 46.
29
Ibid
30
Pernyataan Ma>lik bin A<nas tersebut dikutip oleh al-Zahra>ni> dari Ibn ‘Abd al-Barr dengan
sanadnya sendiri kepada Ma>lik bin A<nas. Lihat Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahra>ni>,
Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu> wa Tat}awwuruhu>, 77.
17
18
18
19
setelah dipisahkan dari berbagai catatan yang bukan bersumber dari Nabi Saw.
Selanjutnya Hadis-hadis Nabi Saw tersebut ditulis.31
2. Maraknya praktek pemalsuan Hadis.
Kondisi sebagaimana diuraikan pada poin pertama di atas beriringan
dengan fakta banyaknya para pemalsu Hadis dari berbagai aliran teologi dan
kelompok politik. Pemalsuan Hadis yang dilakukan hanya untuk kepentingan
ideologi masing-masing aliran teologi dan faksi politik. Fenomena ini ditengarai
bermula saat Ali bin Abi Talib tampil sebagai khalifah dan berlanjut secara
intensif paska era pemerintahannya. Ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga
golongan yaitu Syi'ah, Khawarij dan kelompok mayoritas umat Islam yang setia
mengikuti para ulama ahlussunnah. Masing-masing kelompok mengaku berada
dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela
pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat
itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula
membuat hadis palsu adalah dari golongan Syi'ah kemudian golongan Khawarij.
Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu Syi'ah
berpusat pada waktu itu.
Terkait kenyataan ini, al-Zuhri> ketika ia menjalankan tugas kodifikasi
Hadis dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z, ia pernah berujar sebagai berikut :
ِ ِيث ت َأْتِينَا مِ ْن ِق َب ِل ا ْل َمش ِْر
ِ ق ن ْنكِرهَا َال نَ ْع ِرفهَا ل َما َكتَبْت َحدِي ًا َو َال أ َ ِذ ْنت فِي ِكت َا ِب َ لَ ْو َال أَحَاد
32
31
Lihat isi surat ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z kepada gubernurnya tersebut dalam sub bab
sebelumnya. Lihat pula kekhawatiran beliau apabila kelak Hadis-hadis Nabi Saw terbengkalai
yang pada akhirnya musnah seiring wafatnya para ulama ahli Hadis di berbagai daerah sebagai
alasan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z menerbitkan kebijakan kodifikasi Hadis dalam Nu>r al-Di>n
Muh}ammad ‘Itr al-H{alibi>, Minha>j al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Da>r al-
Fikr, 1997), 58.
32
Abu> Bakr Ah}mad bin ‘Ali> al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Taqyi>d al-‘Ilm (Beirut: Ih}ya>’ al-
Sunnah al-Nabawiyya, tt), 107.
19
20
tidak ada lagi menyusul telah selesainya al-Qur'an dihimpun dalam satu mushaf
yang dikenal dengan mushaf ‘Uthma>ni> dan telah tersebar ke berbagai daerah
Islam. Pada saat yang bersamaan al-Qur'an juga telah dipelajari dan dihafal oleh
hampir semua umat Islam. Berangkat dari perkembangan kondisi inilah ‘Umar
bin ‘Abd al-‘Azi>z berinisiatif mengkodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw.33
4. Pedoman ajaran agama bagi umat Islam yang telah heterogen.
Telah semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam. Kondisi ini secara
pasti menimbulkan banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat
Islam. Dalam rangka memecahkan dan mengatasi kompleksitas permasalahan
umat, khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z memandang perlu apabila Hadis-hadis
Nabi Saw dibukukan guna memudahkan umat ketika mereka menjadikan Hadis
Nabi Saw sebagai rujukan dan pedoman hidup mereka. Lebih dari itu, tidak
seperti halnya al-Qur'an yang memuat petunjuk-petunjuk secara global, Hadis-
hadis Nabi Saw untuk sebagian besar mengandung petunjuk-petunjuk secara
rinci.34
Keempat faktor itulah yang menjadi pemicu utama khalifah ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Azi>z memerintahkan secara resmi kepada al-Zuhri> dan Abu> Bakr bin
Muh{ammad bin ‘Amr bin H{azm untuk mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar di
kalangan umat Islam ketika itu, sekaligus menyalinnya kedalam lembaran-lembaran
yang kemudian dikirim kepada masing-masing penguasa satu lembar di tiap-tiap
wilayah
C. Sketsa Biografis ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z Sebagai Tokoh Pengambil Kebijakan
Kodifikasi Hadis di Abad II H
Nama beserta silsilah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z dari jalur ayah adalah ‘Umar
bin ‘Abd al-‘Azi>z bin Marwa>n bin al-H{akam bin Abi> al-‘A<s} bin Umayyah bin
Abd al-Shams al-Qurashiyy al-Umawiyy Abu> H{afs} al-Madaniyy al-
33
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis (Bandung: PT Alma'arif, 1974), 53.
34
Mudassir, Ilmu Hadis (Surabaya: Pustaka Setia, 2008), 105.
20
21
Damashqiyy.35 Sementara dari jalur ibu, beliau adalah putra dari Ummu ‘A<s}im bint
‘A<s}im bin ‘Umar bin al-Khat}t}a>b bin Nufayl dari bani ‘Adiyy bin Ka‘ab.36
Beliau dilahirkan pada tahun 61 – informasi lain menyebutkan pada tahun 63
H37 – di kota H{ilwa>n. Kota tersebut masuk dalam wilayah propinsi Mesir di mana
sang ayahanda yakni ‘Abd ‘Azi>z bin Marwa>n menjabat sebagai gubernur di
propinsi itu38 pada masa pemerintahan saudaranya yang menjadi khalifah dinasti
Umayyah yakni ‘Abd al-Ma>lik bin Marwa>n.
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z adalah amirul mukminin yang berarti pemimpin
umat Islam atau kepala negara pemerintahan Islam dari kalangan dinasti Umayyah.
Meski ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z adalah pejabat tertinggi negara, dalam bidang
keilmuan Islam beliau ternyata memperoleh gelar prestisius yakni seorang ima>m
dan H{a>fiz}.39 Sebagaimana dikutip oleh Ibnu H{ajar, menurut al-Bukha>ri>, gelar
ima>m yang disematkan kepadanya diakui oleh Ma>lik bin Anas dan Sufya>n bin
‘Uyaynah. Hadis-hadis Nabi Saw yang diriwayatkannya sangat banyak. Sementara
menurut Ibnu H{ibban, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z adalah ulama yang thiqah dari
generasi ta>bi‘i>n.40
Gelar dan penilaian atas kapasitasnya tersebut diperolehnya dikarenakan
kedalaman ilmunya dan dedikasinya dalam hal kontribusi keilmuannya untuk
35
Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar Shiha>b al-Di>n al-‘Asqala>ni>, Tahdhi>b al-Tahdhi>b juz III,
(t.t: Muassasah al-Risa>lah, tth), 240.
36
Muh}ammad bin Sa‘ad bin Mani>‘ al-Zuhri>, Kita>b al-T{abaqa>t al-Kabi>r juz VII (Kairo:
Maktabah al-Kha>naji>, 2001), 324.
37
Sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Ibn al-Jawzi> menuturkan bahwa tahun kelahirannya
pada tahun 63 H bertepatan dengan tahun wafat istri Nabi Saw yakni Maymu>nah Ra. Lihat
Jama>l al-Di>n Abu> al-Farj ‘Abd al-Rah}ma>n bin al-Jawzi>, Si>rah wa Mana>qib ‘Umar bin
‘Abd al-‘Azi>z (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), 9. Adapun sumber yang menyebutkan
pada tahun 61 H dari kelahirannya, tahun tersebut bertepatan dengan tahun wafat al-H{usayn bin
‘Ali>. Lihat Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar Shiha>b al-Di>n al-‘Asqala>ni>, Tahdhi>b al-
Tahdhi>b juz III, 240.
‘Abd al-Rah}ma>an bin Abi> Bakr Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ta>ri>kh al-Khulafa>’ (t.t.:
38
241.
21
22
pengembangan keilmuan agama. Kredibilitas agung ini juga berbanding lurus dengan
sosok pribadinya yang dikenal sangat zuhud, tekun beribadah dan sangat takut kepada
Allah Swt sehingga beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat wara‘.41 Di
usianya yang masih belia, beliau telah sukses menghafal keseluruhan ayat al-Qur'an.
Itulah sebabnya atas ketinggian takwa kepada Allah Swt dan buahnya, Sufya>n al-
Thawri> menyematkan kepadanya gelar "khulafa>’ al-Ra>shidi>n" yang kelima
setelah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.42
Terkait banyaknya Hadis Nabi Saw yang diriwayatkannya, guru-gurunya di
bidang periwayatan Hadis terdiri dari sejumlah sahabat Nabi Saw yang masih hidip
dan sejumlah ta>bi‘i>n senior. Mereka adalah adalah ‘Abdulla>h bin ‘Umar, Anas
bin Ma>lik, Ibn Sala>m, ayahnya sendiri yakni ‘Abd ‘Azi>z bin Marwa>n, al-Sa>ib
bin Yazi>d, ‘Abdulla>h bin Ja‘far bin Abi> T{a>lib, ‘Urwah bin al-Zubayr, Sa‘i>d
bin al-Musayyib, Abu> Salamah bin ‘Abd al-Rah}ma>n, dan lain-lain.43
Sedangkan para periwayat hadis yang meriwayatkan hadis darinya
berjumlah dua puluh dua orang yang antara lain adalah kedua putranya sendiri yakni
‘Abdulla>h dan ‘Abd al-‘Azi>z, Abu Salamah (yang termasuk salah seorang
gurunya), Abu Bakar bin H{azm (gubernurnya di Madinah), Ibnu Shiha>b al-Zuhri>
(seorang ulama besar yang ditunjuknya sebagai koordinator kodifikasi hadis), Layth
bin Abi> Ruqayyah al-Thaqafi> (sekretarisnya), Maslamah bin ‘Abd al-Ma>lik bin
Marwa>n (sepupunya), ‘Anbasah bin Sa‘i>d bin al-‘A<s}, Raja>’ bin H{aywah dan
lain-lain.44
Sebelum menjadi khalifah, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z menghabiskan
sebagian besar hidupnya di Madinah. Ketika ayahnya, ‘Abd al-‘Azi>s wafat,
Khalifah ‘Abd al-Ma>lik bin Marwa>n memintanya untuk pindah ke Damaskus dan
menikahkan dengan putrinya, yakni Fa>t}imah binti ‘Abd al-Ma>lik bin Marwa>n.
Pada masa pemerintahan khalihah Wali>d bin ‘Abd al-Ma>lik, ‘Umar bin ‘Abd al-
‘Azi>z diangkat menjadi gubernur di wilyah Hijaz. Ketika itu usianya baru dua puluh
41
Tentang sifat wira'inya yang amat tinggi lihat secara detail di Muh}ammad bin Sa‘ad bin
Mani>‘ al-Zuhri>, Kita>b al-T{abaqa>t al-Kabi>r juz VII, 325-397.
42
Jama>l al-Di>n Abu> al-Farj ‘Abd al-Rah}ma>n bin al-Jawzi>, Si>rah wa Mana>qib ‘Umar
bin ‘Abd al-‘Azi>z, 73.
43
Lihat tiga sumber yang saling melengkapi dalam Ibid, 19, Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar
Shiha>b al-Di>n al-‘Asqala>ni>, Tahdhi>b al-Tahdhi>b juz III, 240 dan ‘Abd al-Rah}ma>n bin
Abi> Bakr Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ta>ri>kh al-Khulafa>’, 172.
44
Ibid.
22
23
empat tahun. Saat Masjid Nabawi dibongkar untuk direnovasi, ‘Umar bin ‘Abd al-
‘Azi>z dipercaya sebagai pengawas pelaksana.
Langkahnya yang bisa dicontoh oleh para pemimpin saat ini ketika ia
menjabat sebagai khalifah dari dinasti Umayyah adalah membentuk sebuah dewan
penasehat yang beranggotakan sekitar sepuluh ulama terkemuka saat itu. Bersama
merekalah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z mendiskusikan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat selama dalam pemerintahannya. Sehubungan dengan itu terkait
kebijakannya untuk mengkodifikasi Hadis, ia terlebih dahulu bermusyawarah dengan
anggota dewan penasehat itu yang pada akhirnya mereka menyetujui kebijakan
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z tersebut.45
Oleh karenanya pada masa pemerintahannya ia sangat berjasa ketika
menerapkan kebijakan kodifikasi hadis-hadis Nabi Saw secara resmi untuk pertama
kalinya. Lebih dari itu ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z selaku khalifah juga berperan
sebagai aset dan mengambil bagian dalam kegiatan kodifikasi hadis. Menurut
beberapa riwayat, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z turut terlibat mendiskusikan hadis-hadis
yang tengah dihimpun, di samping ia sendiri memiliki beberapa catatan tentang
hadis-hadis yang diterimanya.46
Dalam proyek kodifikasi ini, sebagai kepala Negara, ‘Umar bin ‘Abd al-
‘Azi>z mempercayakan kepada beberapa pihak. Di antaranya yang paling menonjol
dari kalangan pejabat adalah geberburnya sendiri di Madinah yakni Abu> Bakr bin
Muh{ammad bin ‘Amr bin H{azm. Adapun dari kalangan intelektual agama atau
para ulama, yang paling besar perannya adalah Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w.
124 H). Selanjutnya al-Zuhri menggalang para ulama lainnya untuk mengumpulkan
hadis-hadis Nabi Saw di masing-masing daerah mereka dan ia berhasil menghimpun
hadis dalam satu kitab sebelum sang khalifah meninggal dunia untuk kemudian oleh
khalifah dikirimkan ke berbagai daerah sebagai bahan dan acuan penghimpunan hadis
di masa berikutnya.47 Berkat pekerjaan al-Zuhri inilah hadis-hadis Nabi Saw
45
Di masa awal pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z terdapat banyak peristiwa yang
melatarbelakangi kebijakan kodifikasi Hadis seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Sebagai
respon terhadap perkembangan Hadis yang demikian, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z kemudian
bermusyawarah dengan para ulama itu Lihat S{ubh{i> al-S{a>lih{, ‘Ulu>m al-H{adi>th wa
Mus{tala>h{uhu@ (Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1977), 44-45.
46
Lihat uraian sebelumya yang menjelaskan periwayatan Hadis oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z
dari sejumlah sahabat dan ta>bi‘i>n senior.
47
Lihat uraian sebelumya dalam bab II tentang Perkembangan Kodifikasi Hadis dalam makalah
ini.
23
24
terselamatkan dari resiko hilang, salah bahkan pemalsuan oleh oknum-oknum umat
yang tidak bertanggung jawab.
Terkait pengabdian dan komitmennya terhadap khazanah keilmuan Islam
terutama Hadis-hadis Nabi Saw yang begitu tinggi sebagaimana telah diuraikan
secara panjang di atas, suatu saat pernah keluar sebuah pernyataan darinya. Berikut
ini pernyataannya:
لَ ْو َال لنَّةك أحْ يِيهَا أ َ ْو:اس يَقول َ َ لَمِ ْعت َ َم َر ْبن:َاق قَال
َ ََّ ْب ِد ا ْلعَ ِز ِيز َوه َو يَ ْخطب الن ٍ َح َّدثَنَا ِزيَاد بْن مِ ْخ َر
48 ً َ َ َ
َ َبدَة أمتها لَ َما بَالَيْت أ ْن أن ال أ
.ِيش ف َواقا
"Telah menceritakan kepada kami Ziya>d bin Mikhra>q, dia berkata: "Aku
pernah mendengar ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z berkhutbah di hadapan banyak
orang": "Kalaulah bukan karena Sunnah yang aku hidupkan, atau bid‘ah yang
aku pecundangi, niscaya aku akan menjadi hina dan tidak bisa hidup mulia
dan terhormat."
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 101
Hijriyah dalam usia empat puluh tahun – menurut banyak pendapat – dan
dimakamkan di Di>r Sam‘a>n, sebuah kota di wilayah H{ims}.49 Menurut beberapa
riwayat, Umar bin Abdul Azis meninggal karena diracun oleh internal oknum
keluarga besar bani Umayyah. Peristiwa ini terjadi disebabkan ketegasan dan
keberanian ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z dalam menentang ketidakadilan dan
menjunjung tinngi kebenaran serta sikap zuhud yang dimiliki Umar. Konon sikap
Umar tersebut menyebabkan anggota besar dinasti Umayyah tidak menjadi leluasa
menyalahgunakan kekuasaan sebagai alat untuk memperkaya diri atau bertindak
sewenang-wenang dengan berlindung di balik kekuasaan dinastinya.50
48
Jama>l al-Di>n Abu> al-Farj ‘Abd al-Rah}ma>n bin al-Jawzi>, Si>rah wa Mana>qib ‘Umar
bin ‘Abd al-‘Azi>z, 97.
49
Ibid, 327.
50
Lihat uraian secara lengkap dalam Ibid, 316-324.
24
25
kegiatan mereka tersebut. Dengan demikian penyusunan materi yang dilakukan oleh
para ulama itu tercatat dalam dua kategori, yakni sebagai berikut:51
1. Kitab-kitab yang berisi Hadis-hadis Nabi Saw semata.
2. Kitab-kitab yang berisi Hadis-hadis Nabi Saw yang bercampur dengan keputusan
resmi para khalifah, perkataan atau komentar para sahabat Nabi Saw ta>bi‘i>n.
Selain coraknya seperti yang di atas, materi-materi yang dikodifikasikan
dilakukan tidak secara sistematis. Dalam hal ini mereka tidak mengklasifikasi Hadis-
hadis dan materi lainnya berdasarkan suatu topik tertentu. Adapun materi-materi yang
dihimpun ketika itu bersumber dari catatan-catatan Hadis Nabi Saw yang ditulis pada
masa-masa sebelumnya sampai masa ta>bi‘i>n senior, Athar para sahabat dan fatwa
ta>bi‘i>n.52 Fenomena demikian diperkirakan berlangsung hingga pertengahan abad
II H.53
Pada perkembangan berikutnya, ketika memasuki paruh kedua abad II H dan
seiring teritorial kekuasaan pemerintahan Islam semakin luas, para ulama semakin
banyak serta terlibat aktif dalam usaha pencatatan Hadis. Sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, bahwa hasil usaha pengumpulan hadis yang di prakarsai oleh
al-Zuhri> dan Abu> Bakr bin Muh}ammad bin H{azm yang masih sangat sederhana
dalam metode penyusunannya, menjadi salah satu acuan dalam penghimpunan hadis
pada masa-masa selanjutnya. Kemudian pada tahapan selanjutnya, metode
pengklasifikasian berkembang menjadi berbagai metode yang pada akhirnya metode-
metode tersebut menjadi nama sebuah kitab hadis. Hal ini disebabkan pada umumnya
para penulis hadis tidak memberikan nama-nama tertentu untuk kitab-kitab
tulisannya. Materinya pun untuk sebagian besar masih belum berubah. Dalam hal ini
kitab-kitab yang dihasilkannya di samping berisi Hadis-hadis Nabi Saw semata, juga
bercampur dengan keputusan resmi para khalifah, perkataan atau komentar para
sahabat Nabi Saw ta>bi‘i>n. Namun demikian Hadis-hadis Nabi Saw yang
dikodifikasi terhadis pada masa ini telah terklasifikasir ke dalam berbagai bab, seperti
bab hukum Islam dan lainnya.
51
Nu>r al-Di>n Muh}ammad ‘Itr al-H{alibi>, Minha>j al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th, 59.
52
Ibid.
53
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 76.
25
26
54
Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahra>ni>, Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu> wa
Tat}awwuruhu>, 81-82.
26
27
55
Lihat dua sumber yang saling melengkapi dalam Muhammad Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 83 dan Fatchur Rahman, Ikhtishar
Mushthalahul Hadis, 56.
27
28
28
29
al-Muwat}t}a’ memiliki arti yang sama, lalu kenapa Ma>lik bin Anas tidak
menamakan kitabnya dengan al-Mus}annaf, sebuah nama populer bagi literatur hadis
pada saat itu.56 Dalam beberapa laporan dikatakan, kitab ini dinamakan al-
Muwat}t}a’ karena sang pengarang menulis kitab ini untuk mempermudah umat
mencari rujukan sumber hukum. Pendapat lain menyatakan, sebab dinamakannya
kitab ini dengan al-Muwat}t}a’ adalah karena Ma>lik bin Anas telah menyodorkan
kitab itu untuk dikoreksi oleh tujuh puluh ulama Madinah yang semuanya sepakat isi
kitab tersebut. Oleh karenanya sang pengarang lalu menamakannya dengan istilah
Muwat}t}a’.57
Al-Muwat}t}a’ tidak hanya berisi hadis nabi semata, tetapi juga berbagai
fatwa sahabat dan ta>bi‘i>n. Hadis-hadis Nabi Saw yang terhimpun di dalamnya
menurut Yah}ya> bin Yah}ya> al-Andalusi> mencapat delapan ratus lima puluh tiga
buah. Sedangkan menurut penuturan Abu> Bakr al-Abhari>, jumlah Hadis-hadis
Nabi Saw, Atha>r sahabat dan fatwa ta>bi‘i>n mencapai seribu tujuh ratus dua
puluh buah. Perincian dari jumlah itu adalah enam ratus berbentuk musnad, dua ratus
dua puluh dua berbentuk mursal, enam ratus tiga belas berbentuk mawqu>f dan dua
ratus delapan puluh lima fatwa dari para ta>bi‘i>n. Perhitungan jumlah yang
demikian berbeda-beda disebabkan berbedanya riwayat dari Ma>lik bin Anas sendiri.
Demikian ini karena Ma>lik bin Anas senantiasa merevisi kitabnya tersebut dalam
kurun empat puluh tahun lamanya.58
Berpijak dari kenyataan al-Muwat}t}a’ seperti di atas, wajar apabila terjadi
perdebatan serius di kalangan para ahli. Banyak para ahli dengan berbagai alasan dan
argumen menolak jika al-Muwat}t}a’ dikatakan sebagai kitab hadis.
Ignaz Goldziher misalnya mengatakan, bahwa kitab al-Muwat}t}a’ tidak
dianggap sebagai kitab hadis terbesar pertama dalam Islam. Kitab tersebut tidak pula
dianggap sebagai kitab hadis dalam literatur kaum muslim. Karya ini tidak
mendapatkan tempat sama sekali dalam al-Kutub al-Sittah dan hanya merupakan
referensi generasi belakangan yang ingin memperluas sirkulasi literatur kanonik.
Pada faktanya, al-Muwat}t}a’ bukan sebuah koleksi hadis tetapi lebih sebagai sebuah
koleksi hukum. Al-Muwat}t}a’ tidak membentuk skema isi dalam koleksi-koleksi
56
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis, 77.
57
Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahra>ni>, Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu> wa
Tat}awwuruhu>, 83.
58
Ibid.
29
30
hadis, tetapi lebih kepada tujuan dan rencana penyusunannya. Tujuan karya ini
disusun bukan untuk menghimpun elemen-elemen hadis yang beredar di dunia Islam,
tetapi untuk menggambarkan praktik hukum, ritual, dan keagamaan. Selain itu, al-
Muwat}t}a’ banyak dipenuhi dengan berbagai fatwa dari para tokoh terkemuka, baik
dari kalangan sahabat maupun ta>bi‘i>n.59
Alasan-alasan di ataslah yang membuat Goldziher tidak setuju kalau al-
Muwat}t}a’ dikatakan sebagai kitab hadis. Ia lebih suka mengatakannya sebagai kitab
hukum. Senada dengan Goldziher, dalam "The Tradition of Islam", Alfred Guillaume
mengatakan bahwa al-Muwat}t}a’ adalah bukan sebuah koleksi hadis. Ketertarikan
pengarang kitab ini adalah dalam persoalan hukum, dan tujuannya ialah untuk
mendirikan sebuah sistem hukum berdasarakan praktek masyarakat Madinah.
Tujuannya tidak seperti tujuan para kolektor hadis lainnya untuk memastikan hadis-
hadis nabi yang beredar di dunia Islam dan menguji validitasnya dengan berbagai
kriteria, tetapi ia memiliki tujuan praktis dan terbatas, yaitu mendirikan sebuah sistem
hukum yang bersumber pada kesepakatan para pakar di Madinah. Selain itu, ia tidak
menelusuri sanad hadis yang dikumpulkan hingga kepada Nabi saw. Karya ini
mencakup hadis-hadis yang tidak mendapat tempat dalam karya-karya berikutnya
karena tidak didukung dengan daftar nama-nama periwayat yang bersambung kepada
Nabi saw.60
Argumen yang diajukan Guillaume dalam rangka menolak al-Muwat}t}a’
sebagai kitab hadis tampak tidak jauh berbeda dengan argumen Goldziher. Goldziher
dan Guillaume melihat al-Muwat}t}a’ dengan kaca mata kitab-kitab hadis pada abad
III H. Sebagaimana telah maklum memiliki ciri-ciri kodifikasi dan hasil kodifikasi
Hadis pada abad III H adalah sebagai berikut:
1. Telah mencakup hampir seluruh Hadis.
2. Tidak mementingkan masalah hukum.
3. Memisahkan dengan tegas antara hadis Nabi saw dan fatwa para tokoh, baik dari
kalangan sahabat maupun ta>bi‘i>n.
Jadi, sangat wajar apabila terjadi perbedaan dalam memandang karya
Ma>lik bin Anas tersebut. Hal itu tidak lain karena perbedaan sudut pandang dan
tolok ukur yang digunakan sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda dan
59
Ignaz Goldziher, Muslim Studies terj. C.M. Barber and S.M. Stern, vol. II (London: George
Allen and UNWIN LTD, 1971)
60
Guillaume, A, The Tradition of Islam (Oxord: Oxford Universty Press, 1942, 53.
30
31
bertolak belakang. Oleh karena itu, al-Muwat}t}a’ seharusnya dilihat dari sudut
sejarah perkembangan dan penyusunan kitab hadis. Dari situ, dapat diamati dengan
jelas bahwa al-Muwat}t}a’ merupakan tipe kitab hadis abad II H.
Tentang kualitas Hadis-hadis dalam kitab al-Muwat}t}a’, banyak ulama hadis
telah memberikan komentar. Al-Sha>fi‘i> misalnya menyatakan sebagai berikut:
أصح كتاب بعد كتاب ُ كتاب مالك
61
61
Nu>r al-Di>n Muh}ammad ‘Itr al-H{alibi>, Minha>j al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th, 59.
62
Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahra>ni>, Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu> wa
Tat}awwuruhu>, 84.
31
32
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Sejarah kodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw adalah proses perkembangan
pembukuan Hadis secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dinasti Umayyah pada
abad awal II H secara nasional meliputi seluruh daerah kekuasaan Islam, yang dalam hal
ini kebijakan tersebut diterbitkan oleh khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z. Namun dalam
lingkup sempit kodifikasi tersebut pernah dilakukah oleh gubernur Mesir dalam
pemerintahan dinasti Umayyah tersebut yakni sang ayahanda khalifah dari dinasti
Umayyah di atas. Kodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw di atas berawal dari kegiatan
penulisan Hadis dari pertumbuhan awal Islam itu sendiri. Dengan kata lain, kegiatan
penulisan Hadis secara berkesinambungan telah dimulai sejak masa Nabi Saw masih
hidup.
Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa Hadis-hadis Nabi Saw sebagai
sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan
yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya
larangan penulisan Hadis, hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan
Hadis bersama al-Qur'an dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan
kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan Hadis sehingga mengesampingkan al-
Qur'an.
Adapun faktor-faktor kebijakan kodifikasi Hadis oleh khalifah ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Azi>z pada awal abad II H berkisar pada empat situasi kritis, yakni:
1. Kekhawatiran akan musnahnya Hadis-hadis Nabi Saw.
2. Maraknya praktek pemalsuan Hadis
3. Hilangnya alasan akan bercampur dengan al-Qur'an.
4. Pedoman ajaran agama bagi umat Islam yang telah heterogen.
32
33
Adalah dua ulama yang zuhud, wira'i dan berwawasan luas tentang hadis yakni
al-Zuhri> dan Abu> Bakr bin Muh}ammad bin H{azm yang ditunjuk oleh sang khalifah
sebagai koordinator utama dalam kegiatan kodifikasi Hadis.
Kedua karya ulama besar di atas selanjutnya menjadi acuan oleh para ulama di masa
selanjutnya untuk mengkodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw meski khalifah ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Azi>z meninggal dunia di awal abad II H.
Adapun karakteristik hasil kodifikasi di abad II H, seiring motivasi kegiatannya
seperti telah disinggung, berbentuk sangat sederhana. Selama pertengahan awal abad II
H, Hadis-hadis yang telah dikodifikasi belum terklasifikasi ke dalam berbagai bab. Di
masa berikutnya yang diperkirakan mulai pertengahan abad II H, hasil kodifikasi Hadis-
hadis Nabi Saw terklasifikasir ke dalam beberapa bab, misalnya bab hukum Islam. Selain
itu karakteristik lain hasil kodifikasi itu adalah belum terpisahkannya mana materi yang
bersumber dari Nabi Saw, Atha>r para sahabat dan fatwa para ta>bi‘i>n.
33
34
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Rah}ma>an bin Abi> Bakr Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ta>ri>kh al-
Khulafa>’ (t.t.: Maktabah Nazza>r Mus}afa> al-Ba>z, 2004).
‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> juz I (al-
Riya>d}: al-Maktabah al-Riya>d} al-H{adi>thah, t.th.).
Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar Shiha>b al-Di>n al-‘Asqala>ni>, Tahdhi>b al-
Tahdhi>b juz III, (t.t: Muassasah al-Risa>lah, tth).
Ahmad bin Hanbal dalam Mus{tafa> A‘d{ami>, Dira>sa>t fi>> al-H{adi>th al-
Nabawi> wa Ta>ri>khu Tadwi>nihi> (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>,
1980).
34
35
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 76.
35
36
Nu>r al-Di>n Muh}ammad ‘Itr al-H{alibi>, Minha>j al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-
H{adi>th (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997).
Terjemahan ayat di atas dan seterusnya dikutip dari Depag RI, al-Qur'an dan
Terjemahannya (Semarang: Kumusdasmoro Grafindo, 1994).
36