com/document/348520542/Stroke-Non-Hemoragik
A. Definisi
Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak secara
akut dan dapat menimbulkan kematian (WHO, 2014 dalam Latifah 2016). Stroke
adalah gangguan fungsi otak yang timbulnya mendadak, berlangsung selama 24 jam
atau lebih, akibat gangguan peredaran darah di otak (Yayasan Stroke Indonesia,
2010). Stroke diklasifisikan menjadi dua yaitu stroke iskemik dan perdarahan
(Hemoragik). Stroke adalah suatu keadaan yang mengakibatkan seseorang mengalami
kelumpuhan atau kematian karena terjadinya gangguan perdarahan di otak yang
menyebabkan kematian jaringan otak (Batticaca, 2009 dalam Latifah 2016).
Stroke Iskemik atau Non-Hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh suatu
gangguan peredaran darah otak berupa obstruksi atau sumbatan yang menyebabkan
hipoksia pada otak dan tidak terjadi perdarahan (AHA, 2015). Stroke Iskemik atau
non-hemoragik merupakan stroke yang disebabkan karena terdapat sumbatan yang
disebabkan oleh trombus (bekuan) yang terbentuk di dalam pembuluh otak atau
pembuluh organ selain otak (Sylvia, 2005 dalam Latifa 2016).
B. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara maju, setelah
penyakit jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalan 2 per 1000 populasi. Di
Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian setelah
penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang
stroke di antaranya 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang
menderita stroke hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid)
dengan 175.000 orang mengalami kematian (Victor & Ropper, 2001 dalam Agustina,
2014).
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3
per 1000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per
1000 penduduk. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus stroke pada masyarakat
telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Data nasional yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa stroke menempati
urutan pertama sebagai penyebab kematian untuk semua umur, dimana stroke menjadi
penyebab kematian terbanyak (15,4%) (Depkes RI, 2008 dalam Sofyan, 2015).
C. Etiologi
Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu:
1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran
darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan
kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat
menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi
pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi
karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali
memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
2. Embolisme cerebral
Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus
di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli
tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik
3. Iskemia
Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah.
D. Faktor Resiko
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada penyakit stroke diantaranya adalah riwayat
stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, penyakit karotis asimptomatis,
transient ischemic attack, hiperkolesterolemia, penggunaan kontrasepsi oral, obesitas,
merokok, alkoholik, penggunaan narkotik, hiperhomosisteinemia, antibodi
antifosfolipid, hiperurisemia, peninggian hematokrit, dan peningkatan kadar
fibrinogen, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu umur, jenis
kelamin, herediter, dan ras/etnis (Misbach dkk., 2004 dalam Sofyan 2015).
Berbagai penelitian telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor risiko stroke antara
lain herediter, usia, jenis kelamin, sosioekonomi, letak geografi, makanan tinggi
lemak dan kalori, kurang makan sayur buah, merokok, alkohol, aktifitas fisik kurang,
hipertensi, obesitas, diabetes melitus, aterosklerosis, penyakit arteri perifer, penyakit
jantung (heart failure), dan dislipidemia (Lannywati, 2016).
Faktor risiko terjadinya stroke secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2
yaitu, faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi (AHA,
2015).
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor genetik dan ras, usia, jenis kelamin,
dan riwayat stroke sebelumnya (AHA, 2015).
a. Faktor genetik seseorang berpengaruh karena individu yang memiliki
riwayat keluarga dengan stroke akan memiliki risikotinggi mengalami
stroke, ras kulit hitam lebih sering mengalami hipertensi dari pada ras
kulit putih sehingga ras kulit hitam memiliki risiko lebih tinggi terkena
stroke.
b. Faktor usia, stroke dapat terjadi pada semua rentang usia namun
semakin bertambahnya usia semakin tinggi pula resiko terkena stroke.
Usia diatas 50 tahun risiko stroke menjadi berlipat ganda pada setiap
pertambahan usia.
c. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko stroke, laki-laki
memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan perempuan,
hal ini terkait kebiasaan merokok, risiko terhadap hipertensi,
hiperurisemia, dan hipertrigliserida lebih tinggi pada laki-laki.
d. Seseorang yang pernah mengalami serangan stroke yang dikenal
dengan Transient Ischemic Attack (TIA) juga berisiko tinggi
mengalami stroke, AHA (2015) menyebutkan bahwa 15% kejadian
stroke ditandai oleh serangan TIA terlebih dahulu.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko yang dapat diubah adalah obesitas (kegemukan), hipertensi,
hiperlipidemia, kebiasaan merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, dan
pola hidup tidak sehat (AHA, 2015).
a. Secara tidak langsung obesitas memicu terjadinya stroke yang
diperantarai oleh sekelompok penyakit yangditimbulkan akibat
obesitas, selain itu obesitas juga salah satu pemicu utama dalam
peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler.
b. Hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya stroke, beberapa
studi menunjukkan bahwa manajemen penurunan tekanan darah dapat
menurunkan resiko stroke sebesar 41%.
c. Hiperlipidemia atau kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar
lemak di dalam darah dapat memicu terjadinya sumbatan pada aliran
darah.
d. Individu yang merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol
memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke karena dapat memicu
terbentuknya plak dalam pembuluh darah.
7. Mengikuti
perintah
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana Pendeita stroke non
hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian
juga terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non hemoragik yang mengalami
hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian
tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin
berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut
sindrom neurovaskular :
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena
insufisiensi arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau
arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasidengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis
gejala yang timbuladalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul dapat
berupa hemiparesis yangmenghilang sebelum 24 jam atau amnesia umum
sepintas.
2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional
lebihbesar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan
fungsineurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu.
Mungkin padapemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara
klinis disebut RIND(Reversible Ischemic Neurologic Deficit).
3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas
sehinggamekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam
keadaan ini timbuldefisit neurologi yang berlanjut.
Sumbatan pembuluh
darah otak
Sedangkan secara patogenitas menurut Tarwoto dkk, (2007) Stroke iskemik (Stroke
Non Hemoragik) dapat dibagi menjadi :
a. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena trombosis di
arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri serebri media. Permulaan
gejala sering terjadi pada waktu tidur,atau sedang istrirahat kemudian
berkembang dengan cepat,lambat laun atau secara bertahap sampai mencapai
gejala maksimal dalam beberapa jam, kadang-kadang dalam beberapa hari (2-3
hari), kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada kecendrungan untuk membaik
dalam beberapa hari,minggu atau bulan.
b. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena emboli yang
pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala terlihat sangat mendadak
berkembang sangat cepat, kesadaran biasanya tidak terganggu, kemungkinan juga
disertai emboli pada organ dan ada kecendrungan untuk membaik dalam beberapa
hari, minggu atau bulan.
H. Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah (Firdayanti, 2014):
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan,
konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas,
terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4. Hidrosefalus
Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke non hemoragik
meliputi edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang (Jauch, 2016).
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragi kini terjadi
meskipun agak jarang (10-20%).
2. Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa kontras
adalah intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan.
Manitol dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intracranial dapat
dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam
pembengkakan sekunder stroke non hemoragik lebih lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini
diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke non hemoragik yang tidak rumit, tanpa
adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan
penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma
yang memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
non hemoragik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang
mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders.
Kejang sekunder dari stroke stroke non hemoragik harus dikelola dengan cara
yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis
injury.
I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2008) dalam Firdayanti (2014), pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan yaitu sebagai berikut :
a. Angiografi serebral
b. Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang
sub arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui
daerah segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan
aseptik. Posisi pasien yaitu posisi tidur miring dengan fleksi maksimal dari
lutut, paha, dan kepala semua mengarah ke perut, kepala dapat diberi bantal
tipis.
Hasil dari pemeriksaan lumbal pungsi yaitu tekanan yang meningkat dan
disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada
subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein
menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah
biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang
kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari
pertama.
d. MRI
e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).
f. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan
otak.
g. EKG
EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau
penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur EKG
biasanya membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman dan tidak
menimbulkan nyeri (Simangunsong, 2011).
h. Pemeriksaan darah dan urine
Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke dan
untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke. Pemeriksaan yang
direkomendasikan:
1) Hitung darah lengkap
Merupakan tes rutin untuk menentukan jumlah sel darah merah, sel
darah putih, trombosit dalam darah. Hematokrit dan hemoglobin
adalah ukuran jumlah sel darah merah. Hitung darah lengkap dapat
digunakan untuk mendiagnosis anemia atau infeksi. Hitung darah
lengkap digunakan untuk melihat penyebab stroke seperti
trombositosis, trombositopenia, polisitemia, anemia (termasuk sikle
cell disease).
2) Tes koagulasi
Tes ini mengukur seberapa cepat bekuan darah. Tes yang paling
penting dan evaluasi darurat stroke adalah glukosa (atau gula darah),
karena tingkat glukosa darah yang tinggi atau terlalu rendah dapat
menyebabkan gejala yang ungkin keliru untuk stroke. Sebuah glukosa
darah puasa digunakan untuk membantu dalam diagnosis diabetes yang
merupakan faktor risiko untuk stroke. Tes kimia darah lainnya untuk
mengukur serum elektrolit, ion – ion dalam darah (natrium, kalium,
kalsium) atau memeriksa fungsi hati atau ginjal.
3) Serologi untuk sifilis.
4) Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau hiperglikemia.
5) Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke (Greenberg, 2002 dalam
Simangunsong, 2011).
Analisis urine mencakup penghitungan sel dan kimia urine untuk
mengidentifikasi infeksi dan penyakit ginjal (Feigin, 2009 dalam
Simangunsong, 2011 ) .
J. Pencegahan
Pencegahan untuk stroke non-hemoragik ada dua yaitu (Mansjoer dkk, 2000):
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara menghindari rokok, stres mental,
alkohol, kegemukan (obesitas), konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan
amfetamin, kokain dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam
makanan, mengendalikan hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit
vaskular aterosklerotik lainnya serta perbanyak konsumsi gizi seimbang dan
olahraga teratur.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara memodifikasi gaya hidup yang
berisiko seperti hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus
dengan diet dan obat hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan
antikoagulan oral, dislipidemia dengan diet rendah lemak dan obat anti
dislipidemia, dan berhenti merokok, serta hindari kegemukan dan kurang gerak.
K. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Terapi pada penderita stroke non hemoragik menurut Esther (2010) dalam Setyadi
(2014) bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah ke otak, membantu lisis
bekuan darah dan mencegah trombosis lanjutan, melindungi jaringan otak yang
masih aktif dan mencegah cedera sekunder lain, beberapa terapinya adalah :
a. Terapi trombolitik : menggunakan recombinant tissue plasminogen activator
(rTPA) yang berfungsi memperbaiki aliran darah dengan menguraikan
bekuan darah, tetapi terapi ini harus dimulai dalam waktu 3 jam sejak
manifestasi klinis stroke timbul dan hanya dilakukan setelah kemungkinan
perdarahan atau penyebab lain disingkirkan
b. Terapi antikoagulan : terapi ini diberikan bila penderita terdapat resiko tinggi
kekambuhan emboli, infark miokard yang baru terjadi, atau fibrilasi atrial
c. Terapi antitrombosit : seperti aspirin, dipiridamol, atau klopidogrel dapat
diberikan untuk mengurangi pembentukan trombus dan memperpanjang
waktu pembekuan
d. Terapi suportif : yang berfungsi untuk mencegah perluasan stroke dengan
tindakannya meliputi penatalaksanaan jalan nafas dan oksigenasi,
pemantauan dan pengendalian tekanan darah untuk 13 mencegah perdarahan
lebih lanjut, pengendalian hiperglikemi pada pasien diabetes sangat penting
karena kadar glukosa yang menyimpang akan memperluas daerah infark.
2. Penalaksanaan Keperawatan
a. Terapi Non Farmakologi
1) Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas
fisik merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk
semua pasien yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang
membutuhkan terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat
tersebut harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet
dan perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011 dalam
Agustina, 2014 ). Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau
berbunga terbukti memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik
pada studi Framingham (JAMA 1995;273:1113) dalam Agustian
(2014) dan studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233) dalam
Agustina (2014), setiap peningkatan konsumsi per kali per hari
mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah lemak
trans dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga direkomendasikan.
Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1 kali per
hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga
20% dalam 12 tahun (N Engl J Med 1999;341:1557) dalam Agustina
(2014), namun konsumsi alkohol berat (> 5 kali/ hari) meningkatkan
risiko stroke.
2) Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke
setara dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya
melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua
pasien harus diberitahu untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 30-
45 menit setiap hari (Goldszmidt et al., 2011 dalam Agustina, 2014).
Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme
karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung).
Latihan juga merupakan komponen yang berguna dalam
memaksimalkan program penurunan berat badan, meskipun
pengaturan pola makan lebih efektif dalam menurunkan berat badan
dan pengendalian metabolisme (Sweetman, 2009 dalam Agustina,
2014).
b. Rehabilitasi Pemberian Stimulasi Dua Dimensi
1) Pengertian rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan dasar dari program pemulihan penderita stroke
(Wang, 2014 dalam Fitriani, 2016). Rehabilitasi stroke merupakan
sebuah program komprehensif yang terkoordinasi antara medis dan
rehabilitasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan dan memodifikasi
keampuan fungsional yang ada (Stein, 2009 dalam Fitriani, 2016).
Rehabilitasi dini diunit 21 penanganan stroke dapat berpengaruh kepada
keselamatan hidup penderita stroke (Ginsberg, 2007 dalam Fitriani,
2016).
2) Tujuan rehabilitasi Tujuan Rehabilitasi medis menurut Stein (2009)
dalam Fitriani (2016) yaitu: a. Mengoptimalkan dan memodifikasi
keampuan fungsional b. Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif
dan fungsi lain yang terganggu c. Membantu melakukan kegiatan
aktivitas sehari – hari d. Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan
hubungan interpersonal dan aktivitas sosial
3) Kegiatan rehabilitasi pemberian stimulasi dua dimensi Menurut (Lingga,
2013) program rehabilitasi mencakup berbagai macam kegiatan untuk
melatih kembali fungsi tubuh pasien yang lemah akibat stroke yang
dialami. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medik pasien
stroke meliputi:
a) Latihan rentang gerak aktif dengan cylindrical grip
Pengertian latihan rentang gerak aktif asistif dengan cylindrical
grip adalah latihan rentang gerak aktif merupakan latihan yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki pergerakkan
sendi untuk meningkatkan masa otot dan kekuatan otot (Potter &
Perry, 2005 dalam Fitriani, 2016). Latihan cylindrical grip
merupakan suatu bentuk latihan fungsional tangan dengan cara
menggenggam sebuah benda berbentuk silindris 22 seperti tisu
gulung pada telapak tangan, yang bertujuan untuk menunjang
pemulihan kemampuan gerak dan fungsi tangan, dengan
melakukan latihan dengan menggunakan cylindrical grip akan
membantu proses perkembangan motorik tangan (Irfan, 2010
dalam Fitriani, 2016). Cylindrical grip merupakan salah satu dari
power grip yang menggunakan benda berbentuk silindris berfungsi
untuk menggerakkan jari-jari tangan dan membantu menggenggam
dengan sempurna (Irfan, 2010 dalam Fitriani, 2016). Macam-
macam latihan dengan power grip dengan menggunakan pola
menggenggam dan memegang terdiri atas cylindrical grip,
spherical grip, hook grip, dan lateral prehension (Irfan, 2010 dalam
Fitriani, 2016)
Lama latihan rentang gerak Menurut (Potter & Perry, 2005 dalam
Fitriani, 2016) frekuensi latihan yang baik dalam sehari adalah dua
sampai tiga kali sehari dan lama latihan minimal tiga menit setiap
sendi dan 15-20 menit dalam satu kali sesi latihan. Penelitian yang
dilakukan oleh Garber et al (2011) dalam jurnal yang berjudul “
Quantity and Quality of Exercise for Developing and 25
Maintaining Cardiorespiratoy, Musculoskeletal, and Neuromotor
Fitness in Apparently Healthy Adults : Guidance for Prescribing
Exercise” rekomendasi dasar untuk melakukan latihan neuromotor
yang melibatkan ketrampilan motorik meliputi latihan
keseimbangan, latihan gerak, koordinasi, dan gaya berjalan untuk
meningkatkan fungsi fisik dengan frekuensi dua sampai tiga kali
perminggu, tiap sesi lebih dari 20-30 menit total lebih dari 60
menit latihan per minggu.
b) Terapi musik
Pengertian terapi musik adalah terapi yang menggunakan musik
secara terapeutik terhadap fungsi fisik, fisiologis, kognitif dan
fungsi sosial (American Music Therapy Association, 2011 dalam
Fitriani, 2016). Musik merupakan seni mengatur suara dalam
waktu yang berkelanjutan, terpadu dan menggugah komposisi
melalui melodi, harmoni, ritme, dan timbre atau warna nada
(Snyder, 2010 dalam Fitriani, 2016).
Tujuan dan manfaat terapi musik Tujuan dan manfaat dari terapi
musik yaitu untuk mengembalikan fungsi individu sehingga dapat
mencapai kualitas hidup yang lebih baik, melakukan pencegahan,
pengobatan, dan rehabilitasi dengan pemberian terapi karena
musik dianggap mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan
(Wigram, 2004 dalam Fitriani, 2016).
Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke Jenis musik yang
diberikan untuk pasien stroke adalah musik yang lembut dan
getaran yang lambat (Forsblom, 2012 dalam Fitriani, 2016).
Pengolahan irama yang tepat dapat membantu proses motorik
melalui sinkronisasi sensorimotorik dengan musik (Fujioka et al,
2012 dalam Fitriani, 2016). Salah satu jenis musik yang lembut
dan nada yang lambat adalah musik instrumental (Gillen, 2009
dalam Fitriani, 2016).
Lama pemberian terapi musik Terapis dapat melakukan terapi
musik selama kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari,
namun waktu 10 menit dapat diberikan karena selama waktu 10
menit telah membantu pikiran klien beristirahat (Wigram, 2004
dalam Fitriani, 2016). Posisi pasien harus nyaman saat
mendengarkan musik, tempo sedikit lebih lambat 60-80 ketukan
per menit dengan irama yang tenang (Schou, 2008 dalam Fitriani,
2016). Salah satu contoh musik instrumental yang memiliki tempo
lambat 60-80 ketukan per menit yaitu musik ethnic bali seperti gus
teja. Pola sensori musik diorganisir dalam pola irama, tidak hanya
membantu pasien untuk berlatih mensinkronkan waktu gerak
sesuai ketukan, tetapi juga membantu terapis dalam perencanaan
program yang disesuaikan dengan pola gerak pasien (Djohan, 2006
dalam Fitriani, 2016).
Intervensi:
Intervensi:
Manajemen nutrisi
Intervensi:
Peningkatan batuk
a. Bantulah pasien pada posisi duduk dengan kepala sedikit tertekuk, bahu
relaks, dan lutut ditekuk
b. Dorong pasien untuk menarik beberapa napas dalam
c. Dorong pasien untuk menarik napas dalam, tahan 2 detik, dan batuk dua atau
tiga kali berturut-turut
d. Instruksikan pasien untuk tarik mapas dalam beberapa kali, menghembuskan
napas perlahan, dan membatukannya
Intervensi:
Peninangkatan komunikasi
KASUS
Klien Ny. M, berumur 62 tahun datang ke IGD RSUD Tarakan Jakarta bersama
keluarga, pada tanggal 08Mei 2017, pukul 09.30 WIB, dengan keluhan badan
terasa lemas tidak mampu untuk duduk atau berdiri sendiri tangan dan kaki
kanan tidak dapat digerakan. Tindakan yang dilakukan yaitu mengobservasi
TTV, TD : 150/90 mmHg, N : 84 x/menit, Rr : 21 x/menit, S : 36,5 0C, infuse
Ring Asering/ 12 jam, Diagnosa Medis Stroke Iskemik. Obat- obat yang
didapatkan yaitu Metformin 3 x 500 Mg, Cpg 1 x 75 Mg, Ksr 2 x 1 Mg,
Piracetam 3 x 3 gram. Hasil laboratorium pada tanggal 22 Desember 2014, yaitu
Hb 12,5 g/dl, Ht 34,8 vol%, Eritrosit 4,07 Juta/ul, Leokosit 8550 /ul, Trombosit
234000/ul, Ureum 45 mg/dl, Kreatinin 1,16 mg/dl, GDS 376 mg/ dl. Pada
tanggal 10 Mei 2017 pukul 19.00 WIB, klien pindah keruang Dahlia, saat
perawat ruangan melakukan pengkajian didapatkan data TTV : TD : 150 / 90
mmHg, N : 84 x/ menit, S : 36,5 C, Rr : 21 x/menit, Klien terlihat lemah,
kesadaran compos mentis, kaki kanan dan tangan kanan lemas dan tidak dapat
digerakan. Obat- obat yang didapatkan Metformin 3 x 500 Mg, Cpg 1 x 75 Mg,
Ksr 2 x 1 Mg, Piracetam 3 x 3 gram.
I. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien datang ke RSUD Tarakan dengan Keluhan badan terasa lemas
tidak mampu untuk duduk atau berdiri sendiri tangan dan kaki kanan
tidak dapat digerakan. Factor pencetus klien, darah tinggi yang
meningkat akibat emosi yang tidak terkontrol dan Diabetes Melitus,
Timbulnya keluhan pada klien secara bertahap, lama keluhan yang
dirasakan ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, upaya untuk
mengatasi penyakit yang diderita klien, keluarga klien mengajak klien
untuk berobat ke RSUD Tarakan Jakarta.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat penyakit sebelumnya klien mempunyai riwayat Hipertensi
dan Dm ± 3 bulan, riwayat alergi tidak ada, riwayat pemakaian obat
captropil 2 x 25 mg.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien anak kedua dari lima bersaudara, klien mempunyai enam orang
anak, Klien tinggal serumah dengan suami dan dua orang anak yang
pertama sudah menikah dan anak ke enam belum menikah. Riwayat
penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga klien adalah
ayahnya yang menjadi factor resiko hipertensi dan DM
d. Riwayat Psikososial dan Spiritual
Orang yang terdekat dengan klien yaitu suami dan anaknya, interaksi
dengan keluarga baik, pembuat keputusan dianggota keluarga yaitu
suami, klien mengatakan bila ada masalah pada anggota keluarga klien
selalu dimusyawarahkan kepada angota keluarga terutama suami dan
anaknya. Dampak penyakit klien dengan keluarga klien sedih, masalah
yang mempengaruhi klien, klien mengatakan tidak bias beraktifitas
seperti biasanya, mekanisme koping terhadap stress, klien mengatakan
dengan cara pemecahan masalah, persepsi klien terhadap penyakitnya,
hal yang dipikirkan klien saat ini, klien ingin cepat sembuh, harapan
setelah menjalanin perawatan klien ingin cepat sembuh, dan mengikuti
pengobatan di rumah sakit. perubahan yang dirasakan setelah jatuh
sakit, klien tidak dapat beraktifitas seperti biasa dan dibantu keluarga.
System nilai kepercayaan, nilai-nilai yang bertentangan dengan
kesehatan, klien mengatakan selalu berdoa kepada allah swt agar
diberi kesembuhan. Kondisi lingkungan rumah klien bersih, nyaman
lingkungan rumah yang mempengaruhi kesehatan keluarganya yaitu
klien tinggal didekat jalan raya ( berisik) dan banyak polusi kendaraan.
DATA FOKUS
Subjektif Objektif
- Tangan dan kaki kanan - Kesadaran composmentis
tidak dapat digerakan - Lemah
- Pusing - Kelumpuhan tangan dan
- Badan terasa lemas kaki kanan
- Aktifitas sehari- hari - kekuatan otot tangan dan
dibantu keluarga kaki kanan klien 0
- Personal hygiene ( mandi, - dibantu keluarga (makan,
BAB, BAK) dibantu mandi, BAB, BAK) dibantu
keluarga keluarga
- Klien dan keluarga - klien dan keluarga tampak
mengatakan kurang bingung saat ditanya
mengerti mengenai mengenai penyakit stroke.
perawatan penyakit yang - Hasil pemeriksaan TTV :
diderita klien. TD : 150/90 mmHg, N : 84
x/menit, Rr : 21 x/menit,
Suhu : 36,50C, terpasang
IVFD Ring As 500 Ml/12 jam,
VI. ANALISA DATA
DO :
- Keadaan klien
sedang, kesadaran
compos mentis
- Paralisis tangan dan
kaki kanan
- Observasi TTV :
TD :150/90 mmHg
N : 84 x/menit
Rr : 21 x/menit
S : 36,5 0C
2. DS : Kelemahan Keterbatasan aktifitas dan Keterbatasan aktifitas dan
- Lemas neoromuskuler merawat diri merawat diri berubungan dengan
- Tangan dan kaki kanan kelemahan neoromuskuler
tidak dapat digerakan
- Aktifitas sehari-hari
seperti makan dan
minum dibantu
keluarga
- Personal hygiene
(Mandi, BAK, BAB)
dibantu keluarga
DO:
- Lemah
- Paralisis tangan dan kaki
kanan
- Kekuatan otot tangan
dan kaki kanan klien
masih 0
- Dibantu oleh keluarga
(makan, minum, BAB,
BAK) dibantu keluarga
3. DO : Tentan kondisi dan Kurang pengetahuan Kurang pengetauan tentang
- Klien dan keluarga pengobatan, prawatan, kondisi, pengobatan, perawatan,
mengatakan kurang rehabilitasi, tanda dan rehabilitas, tanda dan gejala
mengerti mengenai gejala komplikasi komplikasi.
perawatan penyakit yang
diderita klien
DS :
- Klien dan keluarga
tampak bingung saat
ditanya mengenai
penyakit stroke.
Agustina R.,R. 2014. BAB II Tinjauan Pustaka. Diakses pada tanggal 28 April 2017
dalamhttp://repository.wima.ac.id/3139/3/Bab%202.pdf
Latifah L. 2016. BAB II Tinjauan Pustaka. Diakses pada tanggal 28 April 2017
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9422/4%20BAB%20II.pdf?s
equence=6&isAllowed=y
Sofyan A.,M. 2015. Hubungan Umur, Jenis Kelamin, Dan Hipertensi Dengan Kejadian
Stroke. Diakses pada tanggal 28 April 2017 dalam
file:///C:/Users/DEWI/Downloads/182-514-1-PB.pdf
Ghani L. 2016. Faktor Risiko Dominan Penderita Stroke Di Indonesia (Dominant Risk
Factors Of Stroke In Indonesia). Diakses pada tanggal 28 April 2017 dalam
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=434745&val=4882&title=Faktor
%20Risiko%20Dominan%20Penderita%20Stroke%20di%20Indonesia
Smeltzer, Suzanne C. 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.
EGC, Jakarta.
Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prakasita Masayu. 2014. Laporan Karya Tulis Ilmiah BAB II. Diakses dari:
eprints.undip.ac.id Pada tanggal 1 Mei 2017 Pukul 08.13 WIB.
Wijaya, Aji Kristianto. 2013. Patofisiologi Stroke Non-Hemoragik Akibat Trombus. Diakses
pada 29 April 2017, dari:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82595&val=970
Firdayanti. 2014. Laporan PendahuluanStroke Non Hemoragik (SNH). Diakses Pada 28 April
2017, dari:
https://Www.Academia.Edu/10077081/LAPORAN_PENDAHULUAN_KLIEN_DE
NGAN_STROKE_NON_HEMORAGIK_SNH
Jauch, Edward C. 2016. Ischemic Stroke. Diakses pada 28 April 2017, dari:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-followup
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta kedokteran fkui
jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, 2000; hal. 17-18.
Simangunsong. (2011). Gambaran Profil Lipid pada Penderita Stroke di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009. Diakses pada 30 April 2017 dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/21421/Chapter%20II.pdf;jsess
ionid=6D83DFD463E04EDB88052197F1B00726?sequence=4
Setyadi, Imam M. 2014. Kajian Asuhan Keperawatn Pasien Dengan Gangguan Mobilisasi
Pada Penyakit Stroke Non Hemoragik di RSUD Dr. Moewardi. Diakses pada 30 April
2017. Diakses dari : http://stikespku.com/digilib/files/disk1/2/stikes%20pku--
imammasyku-85-1-imammas-i.pdf
Agustina, R Ruth. 2014. Studi Penggunaan Angiostensi Reseptor Bloker (ARB) Pada pasien
Stroke Rawat Inap di RSU. Dr Saiful Anwar Malang. Diakses pada 30 April 2017.
Diakses dari : http://repository.wima.ac.id/3139/3/Bab%202.pdf
Fitriani, Ni Luh Eka T. 2016. Pengaruh Stimulasi Dua Dimensi Terhadap Kekuatan Otot
Ekstremitas Atas Pasien Stroke Non Hemoragik Di Rsup Sanglah Denpasar.Diakses
pada 30 April 2017. Diakses dari : erepo.unud.ac.id/17414/3/1102106073-3-
BAB%20II.pdf
Latifah L. 2016. BAB II Tinjauan Pustaka. Diakses pada tanggal 28 April 2017
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9422/4%20BAB%20II.pdf?s
equence=6&isAllowed=y
STROKE NON HEMORAGIK
Disusun oleh:
A.15.1
DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017