Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Lanjut Usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang

yang dimulai dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua.

Semua orang akan mengalami proses menua dan masa tua merupakan

masa hidup yang terakhir. Dimasa ini akan terjadi kemunduran fisik,

mental, dan sosial yang secara bertahap (Azizah, 2011).

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 3 ayat (2), (3), (4) UU

No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut

adalah seorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. (R. Siti,

2012)

2.1.2 Batasan batasan lanjut usia

Menurut WHO dalam (Padila, 2013) terdapat empat tahapan batasan

usia adalah:

1. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun

2. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun

3. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun

7
8

2.1.3 Proses menua (Aging Proses)

Menjadi tua (Menua) adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup

yang tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak

permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang

berarti seseorang telah melalui tahap tahap kehidupannya, yaitu

neonatus, toddler, pra school, school, remaja, dewasa dan lansia. Tahap

berbeda ini di mulai baik secara biologis maupun psikologis. (Padila,

2013).

Proses penuaan terdiri atas teori teori tentang penuaan, aspek

biologis pada proses menua, proses penuaan pada tingkat sel, proses

penuaan menurut sistem tubuh, dan aspek psikologis pada proses

penuaan. (Padila, 2013)

2.1.4 Tipe Lansia

Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,

lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya. Tipe tersebut

dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi

panutan.
9

2. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam

mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi

undangan.

3. Tipe Tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik,

dan banyak menuntut.

4. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama

dan melakukan pekerjaan apa saja.

5. Tipe Bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,

menyesal, pasif, dan acuh tak acuh. (R. Siti, 2012)

2.1.5 Tugas Perkembangan Lansia

Kesiapan lansia untuk beradaptasi terhadap tugas perkembangan

lansia dipengaruhi oleh proses tumbang pada tahap sebelumnya.

Tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut:

1. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun

2. Mempersiapkan diri untuk pension

3. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya

4. Mempersiapkan kehidupan baru


10

5. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat

secara santai

6. Memepersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan

(Padila, 2013)

2.1.6 Perubahan perubahan yang terjadi pada lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial, dan

psikologis.

1. Perubahan fisik

a. Sel : jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun,

dan cairan intraseluler menurun

b. Kardiovaskuler : katup jantung menebal dan kaku, kemampuan

memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume),

elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya

resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah

meningkat.

c. Respirasi : otot otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku,

elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga

menarik nafas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya

menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan

pada bronkus.

d. Persyarafan : saraf pasca indra mengecil sehingga fungsinya

menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi

khususnya yang berhubungan dengan stress.


11

e. Musculoskeletal : cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh

(osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan

menjadi kaku (atrofi otot).

f. Genitourinaria : ginjal: mengecil, aliran darah ke ginjal

menurun, penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus

menurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine ikut

menurun.

g. Pendengaran : membran timpani atrofi sehinggan terjadi

gangguan pendengaran. Tulang tulang pendengaran mengalami

kekakuan.

h. Penglihatan : respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap

gelap menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun,

dan katarak.

i. Endokrin : produksi hormone menurun

j. Kulit : keriput serta kulit kepala dan rambut menipis, rambut

dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun,

vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar keringat

menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kaki tumbuh berlebih

seperti tanduk.

k. Belajar dan memori : kemampuanbelajar masih ada tetapi

relative menurun. Memori (daya ingat) menurun karena proses

encoding menurun.

2. Perubahan Sosial

a. Peran : post power syndrome, single woman, dan single parent


12

b. Keluarga emptiness : kesendirian, kehampaan

c. Teman : etika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan

kapan akan meninggal.

d. Pensiunan : kalau menjadi PNS akan ada tabungan (dana

pensiun). Kalau tidak anak dan cucu yang akan memberi uang

e. Ekonomi : kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok

bagi lansia dan income security.

f. Pendidikan : berkaitan dengan pengentasan buta aksara dan

kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia

g. Agama : melaksanakan ibadah

h. Panti jompo : merasa dibuang atau diasingkan

3. Perubahan Psikologis

Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory,

frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi

kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan. (R. Siti,

2012)

2.1.7 Peran Anggota Keluarga Terhadap Lansia

1) Melakukan pembicaraan terarah

2) Mempertahankan kehangatan keluarga, meneydiakan waktu untuk

mendengarkan keluh kesahnya.

3) Melakukan melakukan persiapan makan bagi lansia

4) Membantu dalam hal transportasi

5) Membantu memenuhi sumber-sumber keuangan


13

6) Memberikan kasih sayang dan perhatian, menghormati dan

menghargai, jangan menganggapnya sebagai beban.

7) Bersikap sabar dan bijaksana terhadap perilaku lansia

8) Memberi kesempatan untuk tinggal bersamanya

9) Mintalah nasihatnya dalam peristiwa penting

10) Mengajaknya dalam acara acara penting

11) Memeriksakan kesehatan secara teratur, dorong, untuk tetap hidup

bersih dan sehat. (Padila, 2013)

2.1.8 Penyakit Degeneratif Lansia

Penyakit Degeneratif pada Lansia, semakin bertambahnya usia

seseorang maka semakin rentan orang tersebut untuk terjangkit suatu

penyakit.

Penyakit degeneratif adalah penyakit yang muncul akibat

penurunan fungsi organ tubuh. Umumnya penyakit ini menyerang

orang yang berusia lanjut seiring dengan kemunduran fungsi organ dan

sel dalam tubuhnya. Penyakit degeneratif diantaranya adalah sbb :

1. Stroke

2. Jantung koroner

3. Diabetes Melitus

4. Kanker

5. Gagal Ginjal

6. Hepatitis

7. Asam Urat
14

8. Rematik,

9. Osteoporosis

10. Alergi saluran pernapasan hingga alergi kulit.

Tanda Penyakit Degeneratif pada Lansia

a. Stroke

Penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga dan merupakan

kecacatan utama bagi manusia di dunia. Di Indonesia kasus stroke telah

mencapai angka 400.000–500.000 kasus setiap tahunnya dan 25% di

antaranya meninggal dunia. Ini berarti 100.000-125.000 orang meninggal

dunia akibat stroke. Selain itu stroke di Indonesia mulai menyerang

kelompok usia lebih muda dibawah usia 45 tahun.

b. Kanker

Dalam kasus penyakit kanker, di Indonesia penyakit kanker atau tumor

ganas ini belum dapat ditangani secara tuntas. Pada tahun 2003

diperkirakan 1.334.100 kasus dengan angka kematian akibat penyakit

kanker. Hingga kini penyebab terjadinya penyakit kanker belum diketahui

dengan pasti.

c. Jantung

Pada tahun 2010 penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu di

dunia. Sekitar 29 detik terdapat 1 orang terkena sakit jantung dan setiap 1

menit orang meninggal karena penyakit ini. 49% penderitanya adalah pria.
15

d. Diabetes mellitus

Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 memaparkan bahwa penyakit

diabetes melitus menduduki peringkat keenam sebagai penyebab kematian

pada kategori penyakit tidak menular.

DM pada lansia memerlukan penanganan yang khusus bagi setiap

penderita nya. Mulai dari pola hidup yang sehat, olahraga yang teratur dan

menjaga dari hal-hal yang dapat menyebabkan komplikasi yang lebih berat

2.2 Konsep Diabetes Melitus oleh Lansia

2.2.1 Lansia Diabetes

Angka rata-rata harapan hidup penduduk di dunia telah meningkat

secara drastis. Jumlah penduduk lansia yang semakin meningkat

tersebut, menjadi tantangan baru bagi Indonesia, begitu pula dengan

peningkatan lansia yang mengalami berbagai penyakit tidak menular

kronis atau multimorbiditas. (Rosyada & Trihandini, 2010)

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat

meningkatkan dengan cepat prevalensi komplikasi kronis pada lansia.

Hal ini disebabkan kondisi hiperglikemia akibat ketiadaan absolut

insulin atau penurunan relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan

memicu munculnya penyakit tidak menular kronis lainnya, bahkan

kematian penyandang diabetes melitus tidak jarang disebabkan oleh

komplikasi.(Rosyada & Trihandini, 2010)

Diabetes melitus pada lansia seringkali tidak disadari karena

gejala-gejala diabetes seperti sering haus, sering berkemih, dan


16

penurunan berat badan tersamarkan akibat perubahan fisik alamiah

lansia yang mengalami penurunan, sehingga diabetes yang tidak

terdiagnosis ini akan terus berkembang menjadi komplikasi yang dapat

berakibat fatal.(Rosyada & Trihandini, 2010)

2.2.2 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan suatu sindrom klinik yang khas

ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi

atau penurunan efektivitas insulin. Sedangkan insulin merupakan

hormon yang diproduksi pankreas untuk mengendalikan kadar glukosa

dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.

Gangguan metabolik ini mempengaruhi metabolisme dari karbohidrat,

protein, lemak, air dan elektrolit. Diabetes berasal dari kata yunani yang

berarti mengalirkan atau mengalihkan, sedangkan diabetes melitus

merupakan kata lain untuk madu atau gula. Sehingga diabetes melitus

adalah penyakit di mana seseorang mengeluarkan atau mengalirkan

sejumlah urine yang terasa manis. (Octaviana, Wulandari . Santi, 2013)

Diabetes mellitus adalah keadaan hipergikemi kronik yang disertai

berbagai kelainan metabolic akibat gangguan hormonal yang

menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan

pembuluh darah. (Rendi, M.Clevo. Margareth, 2012)

Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronik yang komplek yang

melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan


17

berkembangnya komplikasi makro vaskuler, mikro vaskuler dan

neurologis. (Wijaya, 2013)

2.2.3 Etiologi Diabetes Melitus

1. DM tipe 1 (IDDM / Insulin Dependent Diabetes Melitus)

a. Faktor genetik / herediter

Peningkatan kerentanan sel-sel beta dan perkembangan antibodi

autoimun terhadap penghancuran sel-sel beta.

b. Faktor infeksi virus

Infeksi virus coxsakie pada individu yang peka secara genetic

c. Faktor imunologi

Respon autoimun abnormal = antibodi menyerang jaringan

normal yang dianggap jaringan asing

2. DM tipe II (NIDDM)

a. Obesitas = obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin dari sel

target di seluruh tubuh = insulin yang tersedia menjadi kurang

efektif dalam meningkatkan efek metabolik

b. Usia = cenderung meningkatkan diatas usia 65 tahun

c. Riwayat keluarga

d. Kelompok etnik

3. DM Malnutrisi

Kekurangan protein kronik = menyebabkan hipofungsi pankreas

4. DM Tipe Lain

a. Penyakit pankreas = pankreatitis, Ca pankreas


18

b. Penyakit hormonal = acromegali yang merangsang sekresi selsel

beta sehimgga hiperaktif dan rusak

c. Obat-obatan

a. Aloxan, streptozokin = sitotoksin terhadap sel-sel beta

b. Derivat thiazide = menurunkan sekresi insulin (Wijaya, 2013)

2.2.4 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

Tiga hal yang tidak bisa di pisahkan dari gejala klasik diabetes

mellitus adalah polyuria ( banyak kencing ), polydipsia ( banyak

minum) dan polyphagia ( banyak makan ).

a. Polyuria

Hal ini berkaitan dengan kadar gula yang tinggi diatas 160-180

mg/.dl maka glukosa akan sampai ke urin tetapi jika tambah

tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk

mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Gula

bersifat menarik air sehingga bagi penderitanya akan mengalami

polyuria atau kencing banyak.

b. Polydipsia

Di awali dari banyaknya urin yang keluar maka tubuh

mengadakan mekanisme lain untuk menyeimbangkannya yakni

dengan banyak minum. Diabetis akan selalu menginginkan

minuman yang segar serta dingin untuk menghindari dari

dehidrasi.

c. Polyphagia
19

Karena insulin yang bermasalah, pemasukan gula ke dalam sel-

sel tubuh kurang akhirnya energi yang dibentuk pun kurang.

Inilah mengapa orang merasakan kurangnya tenaga akhirnya

diabetis melakukan kompensasi yakni dengan banyak makan.

Selain gejala-gejala diatas ada pula gejala lain yang dirasakan, seperti :

1. Sering mengantuk

2. Gatal-gatal, terutama di daerah kemaluan

3. Pandangan mata kabur

4. Berat bada berlebih untuk diabetes mellitus tipe 2

5. Mati rasa atau rasa sakit pada bagian tubuh bagian bawah

6. Infeksi kulit, terasa di sayat, gatal-gatal khususnya pada kaki

7. Penurunan berat badan secara drastis untuk diabetes mellitus

tipe 1

8. Cepat naik darah

9. Sangat lemah atau cepat lelah

10. Mual-mual dan muntah-muntah

11. Terdapat gula pada air seni

12. Penigkatan kadar gula dalam darah

2.2.5 Patofisiologi Diabetes Melitus

Sebagian besar gambaran patologis dari DM dapat dihubungkan

dengan salah satu efek utama akibat kurang nya insulin berikut :

Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang

mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300-1200


20

mg/dL. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak

yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal

disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah dan

akibat dai berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

Penderita yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau

toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi

ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160-180

mh/100ml), akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak

dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan

mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai

kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri

menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang

keluar bersama urine maka penderita akan mengalami keseimbangan

protein negatif dan berat badan menurun dan cenderung terjadi polifagi.

Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga

penderita menjadi cepat lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh

berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya atau

hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat

untuk energi.

Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis,

penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer.ini akan

memudahkan terjadinya gangren penderita yang mengalami defisiensi

insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa yang normal, atau


21

toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat, jika hiperglikeminya

parah dan melebihi ambang ginjal, maka timbul glukosoria, Glukosoria

ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan

mengeluarkan kemih (poliuria) harus terstimulasi, akibatnya pasien

akan minum dalam jumlah banyak karena glukosa hilang bersama

kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat

badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) timbul

sebagai akibat kehilangan kalori

1. Diabetes Tipe I

Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah

dihancurkan oleh autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat

produksi glukosa yang tidak teratur oleh hati. Di samping itu,

glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati

meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan

hiperglikemia postpradial (sesudah makan). Jika semua glukosa

yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam

urine (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebih diekskresikan

dalam urine, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan

elektrolit yang belebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.

Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, penderita

akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa

haus (polidipsia).
22

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan

lemak yang akan menyebabkan penurunan berat badan. Pasien

dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat

menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan

dan kelemahan. Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih

lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi

pemecahan lemak yang produksi badan keton yang merupakan

produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam

yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila

jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya

dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti abdominal, mual,

muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak ditangani

akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.

2. Diabetes Tipe II

Pada Diabetes Tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan

dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus

pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan

reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme

glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II

disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian

insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan

glukosa oleh jaringan.


23

Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan

progesif maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa

terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering

bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,

polidipsia, luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan

yang kabur (jika kadar glukosanya tinggi). Penyakit diabetes

membuat gangguan / komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh

darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik.

Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan

pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut

makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular)

disebut mikroangiopati.

Ada 3 problem utama yang terjadi bila kekurangan atau tanpa insulin :

a. Penurunan penggunaan glukosa

b. Peningkatan mobilisasi lemak

c. Peningkatan penggunaan protein (Wijaya, 2013)


24

2.2.6 Pathway

Kelainan Genetik Gaya Hidup Stress Malnutrisi Obesitas Infeksi

Peningkatan Merusak
Penyampaian Meningkatkan Penurunan
produksi Pankreas
kelainan beban produk insulin
insulin
pancreas ke metabolic
individu pancreas
turunan

Diabetes Melitus

Penurunan glukosa dalam sel

Glukosa menumpuk Sel tidak memperoleh


dalam darah nutrisi
Diabetes Melitus Diabetes Melitus
Peningkatan tekanan
osmolitas plasma Starvasi seluler
Diabetes Melitus

Kelebihan ambang glukosa pada


ginjal Pembongkaran Pembongkaran
Diabetes Melitus glikogen, asam protein dan asam
lemak, keton untuk amino
energi
Diuresis osmotik

Penurunan Penumpukan Penurunan Penurunan


Poliuria masa otot benda keton anti bodi perbaikan
jaringan

Nutrisi asidosis Resikko Terjadi


Defisit volume cairan
kurang dari tinggi perlukaan
kebutuhan infeksi
tubuh
Pola nafas Kerusakan
Tabel 2.1 Pathway DM tidak efektif integritas kulit

(Riyadi, 2008)
25

2.2.7 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

No. Gejala DM Tipe I DM Tipe II

1 Polyuria ++ +

2 Polydipsia ++ +

3 Polyphagia ++ +

4 Kehilangan BB ++ -

5 Pruritus + ++

6 Infeksi kulit + ++

7 Vaginitis + ++

8 Ketonuria ++ -

9 Lemah, lelah dan pusing ++ +

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis DM (Wijaya, Andra Saferi. Putri, 2013a)

Menurut Imam Subekti, 2009 Gejala Diabetes Melitus yaitu :

1. Keluhan Klasik :

a. Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah

b. Banyak buang air kecil

c. Banyak minum

d. Banyak makan

2. Keluhan Lain :

a. Kesemutan

b. Gangguan penglihatan

c. Gatal / bisul
26

2.2.8 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes termasuk penyakit kronis yang berkembang secara

bertahap, hingga akhirnya bisa memicu sejumlah komplikasi jika tidak

ditangani dengan baik.

Berikut adalah sejumlah komplikasi yang umumnya dialami oleh

penderita diabetes:

A. Penyakit kardiovaskular. Penderita diabetes memiliki risiko

lebih tinggi untuk terkena penyakit jantung, stroke,

aterosklerosis, dan tekanan darah tinggi.

B. Kerusakan saraf atau neuropati. Kadar gula darah yang

berlebihan dapat merusak saraf dan pembuluh darah halus.

Kondisi ini bisa menyebabkan munculnya sensasi kesemutan

atau perih yang biasa berawal dari ujung jari tangan dan kaki,

lalu menyebar ke bagian tubuh lain. Neuropati pada sistem

pencernaan dapat memicu mual, muntah, diare, atau konstipasi.

C. Kerusakan pada organ kaki. Neuropati atau terhambatnya

aliran darah pada kaki penderita diabetes berkemungkinan

meningkatkan risiko komplikasi kesehatan kaki yang biasanya

terlambat disadari. Sekitar 10 persen penderita diabetes

mengalami infeksi serius akibat luka atau goresan kecil pada

kaki. Gejala komplikasi kaki yang harus diwaspadai adalah

pembengkakan, kulit yang terasa panas saat disentuh, serta luka

yang tidak kunjung sembuh.


27

D. Kerusakan mata, khususnya retina. Retinopati muncul saat

terjadi masalah pada pembuluh darah di retina yang dapat

mengakibatkan kebutaan jika dibiarkan. Glaukoma dan katarak

juga termasuk komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita

diabetes.

E. Kerusakan ginjal. Ginjal memiliki jutaan pembuluh darah

halus yang menyaring limbah dari darah. Jika pembuluh darah

halus tersebut tersumbat atau bocor, kinerja ginjal Anda bisa

menurun. Kerusakan parah pada ginjal dapat

menyebabkan gagal ginjal yang membutuhkan dialisis (proses

cuci darah) atau bahkan transplantasi ginjal.

F. Disfungsi seksual. Kerusakan pembuluh darah halus serta saraf

pada para penderita diabetes pria (terutama perokok) dapat

mengakibatkan disfungsi ereksi. Pada penderita diabetes wanita,

komplikasi ini mungkin berupa kepuasan seksual yang menurun,

kurangnya gairah seks, vagina yang kering, atau gagal mencapai

orgasme.

G. Gangguan kulit. Diabetes akan membuat penderitanya rentan

terkena penyakit kulit seperti infeksi jamur maupun bakteri.

H. Keguguran atau kelahiran mati. Kadar gula darah yang tinggi

dapat membahayakan sang ibu dan janin. Risiko keguguran dan

kelahiran mati akan meningkat jika diabetes gestasional tidak

segera ditangani. Kadar gula darah yang tidak terjaga pada awal

kehamilan juga bisa mempertinggi risiko cacat lahir. Ibu hamil


28

yang menderita diabetes dianjurkan untuk memantau kadar gula

darahnya secara teratur. (Marianti.Alodokter)

2.2.9 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Melitus

a. Kadar glukosa

1. Gula darah sewaktu / random > 200 mg/dL

2. Gula darah puasa / nuchter > 140 mg/dL

3. Gula darah 2 jam PP (post pradial) > 200 mg/dL

b. Aseton plasma = hasil (+) mencolok

c. As lemak bebas = peningkatan lipid dan kolesterol

d. Osmolaritas serum (> 330 osm/l)

e. Urinalisis = proteinuria, ketonuria, glukosuria (Wijaya, Andra Saferi.

Putri, 2013)

2.2.10 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Menurut ADA, 2010 penatalaksanaan pada Diabetes Melitus ada 4 pilar

yaitu:

1. Edukasi atau Penyuluhan tentang penyakit,

2. Terapi Gizi Medis

3. Latihan Jasmani

4. Terapi Farmakologis (obat)


29

2.2.11 Pencegahan Diabetes Melitus

Melihat bahwa gangguan keseimbangan kadar gula darah dapat

dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang berlebihan (pola makan

yang salah) dan kegiatan yang penuh tekanan (gaya hidup stres), maka

Diabetes sebenarnya dapat di cegah dengan cara – cara berikut,

menurut VitaHealth (2006):

1. Bila kegemukan, turunkan berat badan.

2. Lakukan latihan aerobik (berenang, bersepeda, joging dan

jalan cepat) atau senam paling tidak tiga sampai lima kali

seminggu setiap kali melakukan durasi 15 – 60 menit.

3. Konsumsi gula sedikit mungkin atau seperlunya, karena bukan

merupakan bagian penting dari menu yang sehat.

2.3 Konsep Luka Kaki Diabetik

2.3.1 Definisi Luka

Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana

secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau

hilang.(Wijaya, Andra Saferi. Putri, 2013)

Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit, mukosa membran dan

tulang atau organ tubuh lain. ( Drakbar, 2008 )

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal

akibat proses patologis yang berasal dari internal dan eksternal, serta

mengenai organ tertentu. (Potter, 2010)


30

Luka kaki diabetik adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat

diabetes mellitus yang tidak terkendali. Kaki diabetes mellitus dapat

disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan

dan adanya infeksi. ( Tambunan, M, 2007 dalam Anik 2013 ).

Ulkus/ luka diabettik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetes

yang melibatkan gangguan pada saraf perifer dan otonom. Istilah

lainnya sering disebut “ diabetic foot ulcer “, luka neuropati, luka

diabetik neuropati atau ulserasi neuriphatik. ( Anik, 2013 )

2.3.2 Penyebab Luka

Mengetahui penyebab dari luka diabetes adalah hal yang sangat

penting karena akan berpengaruh terhadap manajemen luka. Setiap tipe

dari luka diabetes memiliki penanganan yang berbeda. Tipe luka

diabetes dibedakan menjadi tiga tipe penyebabnya, yaitu :

1. Luka neuropati ( disebabkan oleh neuropati perifer )

2. Luka iskemia ( disebabkan oleh penyakit vaskular perifer )

3. Tipe campuran / luka neuro-iskemik ( disebabkan karena

campuran neuropati perifer dan penyakit vaskular perifer )

Neuropati perifer adalah penyebab paling umum dari luka pada

penderita DM, sedangkan penyakit vaskular perifer adalah faktor yang

paling berpengaruh dalam menentukan kesembuhan luka.

A. Luka Neuropati

Gambaran luka neuropati ( Katsilambros et.al, 2010) yaitu :

1. Terjadi pada daerah yang memiliki tekanan plantar yang tinggi

( kepala metatarsal, bagian plantar dari jempol, tumit )


31

2. Penderita tidak merasakan sakit, kecuali bila ada komplikasi

seperti infeksi

3. Ada formasi kapalan/kalus pada pinggir luka

4. Biasanya dasarnya merah, dengan penampakan jaringan

granulasi yang merah

5. Ada neuropati perifer

6. Temperatur kaki biasanya normal atau hangat

B. Luka Iskemik

Luka pada daerah yang memiliki aliran darah yang buruk

jarang terjadi karena penyakit vaskular itu sendiri. Luka

biasanya diawali karena adanya trauma, seperti kaki terkena

benda keras, sepatu yang terlalu sempit, atau pecah-pecah pada

daerah tumit. Luka ini biasanya sulit sembuh dan seringkali

sakit.

Karakteristik dari luka iskemik adalah :

1. Terjadi di tepi-tepi atau di bagian dorsal dari kaki dan ajri-jari

kaki atau diantara jari-jari kaki

2. Biasanya terasa sakit

3. Dasar luka biasanya kuning atau hitam

4. Ada riwayat intermitten claudication

5. Pada pengkajian tanda-tanda penyakit vaskular perifer (

kulitnya dingin, pucat atau sianosis, tipis, rambut kulit

banyak hilang, nadi perifer lemah atau hilang , dan ABI

kurang dari 0.9 )


32

C. Luka Neuroiskemik

Luka neuroiskemik memiliki etiologi campuran, yaitu

neuropati dan iskemik. Gambaran visual dari luka ini juga

merupakan campuran dari tanda-tanda luka neuropatik dan

iskemik.

2.3.3 Klasifikasi Luka

A. Klasifikasi Meggitt-Wagner

Klasifikasi Meggitt-Wagner ( Wagner, 1981 ) adalah klasifikasi

yang paling terkenal dan sudah tervalidasi dengan baik. Kekurangan

dari klasifikasi ini adalah tidak memasukan parameyter yang snagat

penting dalam luka diabetes yaitu iskemia dan neuropati.

Grade Keterangan
Grade 0 Belum ada luka pada kaki yang beresiko tinggi
Grade 1 Luka superfisial
Luka sampai pada tendon atau lapisan subkutan yang lebih dalam,
Grade 2
namun tidak sampai pada tulang
Grade 3 Luka yang dalam, dengan selulitis atau formasi abses
Gangren yang terlokalisir ( gangren dari jari-jari atau bagian depan
Grade 4
kaki/forefoot )
Gangren yang meliputi daerah yang lebih luas ( sampai pada daerah
Grade 5
lengkung kaki/midfoot dan belakang kaki/hindfoot )
Tabel 2.3 Klasifikasi Luka Diabetik Meggitt-Wagner

B. Klasifikasi Dari Universitas Texas

Klasifikasi ini mudah digunakan dan lebih lengkap, tidak

hanya memasukan unsur kedalam luka, tetapi juga ada atau


33

tidaknya iskemia dan infeksi. Kekurangan dari klasifikasi ini

adalah tidak memasukkan unsur neuropati.

0 I II III
Tidak ada lesi Luka dangkal Luka dalam sampai Luka penetrasi ke
terbuka atau luka fascia, tendon atau sendi atau tulang
yang sudah selesai sendi
A
proses epitalisasi (
luka sudah tertutup
dengan kulit baru )
B Ada infeksi Ada infeksi Ada infeksi Ada infeksi
C Ada iskemi Ada iskemi Ada iskemi Ada iskemi
Ada iskemi dan Ada iskemi Ada iskemi dan Ada iskemi dan
D
infeksi dan infeksi infeksi infeksi
Tabel 2.4 Klasifikasi Luka Diabetik Dari Universitas Texas

C. Klasifikasi PEDIS

Klasifikasi PEDIS dikembangkan oleh International Working

Group of Diabetic Ulcer ( IWGDU ) pada tahun 2003 untuk

kepentingan penelitian. Klasifikasi ini menggunakan deskripsi yang

lebih rinci, serta sedikit dibanding dengan klasifikasi-klasifikasi

lain, sehingga banyak digunakan oleh klinisi yang belum banyak

memiliki pengalaman klinis .

PEDIS adalah singkatan dari Perfusion ( perfusi ), Extent atau

Size ( luas ataun ukuran luka ), Depth atau Tissue loss ( Kedalaman

atau hialngnya jaringan), Infection ( infeksi ) dan Sensation (

sensasi ).
34

Grade Keparahan infeksi Manifestasi klinis


1 Tidak terinfeksi Luka tanpa nanah atau inflamasi
Adanya 2 atau lebih dari tanda-tanda berikut :
bernanah, kemerahan, nyeri, nyeri ketika disentuh,
hangat, atau indurasi ( menjadi lebih keras ),
2 Ringan selulitis pada sekitar luka < dari 2 cm, dan
kerusakan terbatas pada epidermis, dermis ataun
lapisan dari subkutan, tidak ada tanda komplikasi.

Infeksi lokal, terjadi pada pasien yang secara


sistemik dan metabolik stabil, namun memiliki >
dari 1 tanda berikut : selulitis > 2 cm,
3 Berat lymphangitic treaking ( garis kemerahan dibawah
kulit ), abses pada jaringan dalam, gangren,
kerusakan sudah kengenai otot, tendon, sendi atau
tulang. Tidak ada tanda-tanda inflamasi sistemik.
Infeksi pada pasien dnegan toksisitas sistemik da
kondisi metabolik yang tidak stabil, suhu > 390 C
atau < 360 C, dneyut nadi nadi > 90 per menit,
4 Parah hipotensi, muntah, leukositosis, pernafasan > 20
kali permenot, PaCO2 < 32 mmHg sel darah putih
12.000 mm3 atau < 4.000 mm3, atau 10% leukosit
imatur.
Tabel 2.5 Klasifikasi Luka Diabetik PEDIS
(Sari, 2015)

2.3.4 Fisiologi Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi

jaringan yang rusak.

Penyembuhan luka merupakan suatu fenomena yang sangat

menakjubkan. Dalam hal ini, intervensi medis, perawat dan bidan dapat
35

membantu proses penyembuhan luka dengan berusaha keras untuk

merawat dan melindungi proses biologis yang terjadi pada tingkat

seluler.

Proses-proses tersebut dipengaruhi oleh peristiwa fisiologis dan

psikologis. Oleh karena itu, dalam merawat luka yang perlu dikaji

bukan hanya pengkajian pada lukanya saja, tetapi juga pengkajian

manusia seutuhnya.

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang sangat kompleks.

Oleh karena itu, penting bagi praktisi pemerhati perawatan luka (

terutama perawat, bidan dan dokter ) untuk memiliki

pengetahuan/pemahaman tentang proses fisiologis penyembuhan luka,

dengan bebrapa alasan sebagai berikut :

1) Mengetahui/memahami fisiologi kulit bisa membantu

memahami fisiologi penyembuhan luka

2) Mengetahui/memahami fisiologi penyembuhan luka,

memungkinkan praktisi dapat mengenali kondisi luka yang

abnormal

Mengetahui/memahami kebutuhan proses penyembuhan luka

tentang sejauh apa nutrisi yang tepat untuk diberikan pada

pasien.(Boyle, 2007)

2.3.5 Fase Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka memang harus melewati tahap-tahapan

tertentu yaitu : fase inflamasi, fase rekonstruksi dan fase maturasi, dan
36

untuk mendukung terjadinya proses tahapan-tahapan tersebut maka

petugas yang merawat luka dapat memodifikasi lingkungan luka agar

proses tersebut terlewati dengan baik oleh luka tersebut. Tiga fase

penyembuhan luka tersebut, diuraikan sebagai berikut :

1) Fase imflamasi, dimulai pada saat terjadi luka yang bisa bertahan 2

sampai 3 hari. Koagulasi merupakan respon yang pertama terjadi

setelah luka terjadi dan melibatkan platelet.

Pengeluaran platelet akan menyebabkan vasokontriksi untuk

mencapaiu hemostasis sehingga mencegah perdarahan lebih lanjut.

Setelah hemostasis tercapai, terjadi vasodilatasi dan permeabilitas

pembuluh darah meningkat, dengan respon inflamasi. Fase inflamasi

selanjutnya terjadi beberapa menit setelah luka terjadi dan berlanjut

hingga sekitar 3 hari. Fase inflamasi memungkinkan pergerakan

leukosit ( utamanya neutrofil ). Neutrofil selanjutnya memfagosit

dan membunuh bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam persiapan

pembentukan jaringan baru.

2) Fase proliferasi atau rekonstruksi, apabila tidak ada infeksi atau

kontaminasi pada fase inflamasi maka proses penyembuhan

selanjutnya memasuki tahap proliferasi atau rekonstruksi. Fase ini

dimulai pada hari kedua-ketiga, setelah fibroblast datang dan

bertahan sampai minggu ketiga. Tujuan utama dari fase ini adalah :

a. Proses granulasi ( utnuk mengisi ruang kosong pada luka )

b. Angiogenesis ( pertumbuhan kapiler baru ), dimana secara klinis

akan tampak kemerahan pada luka. Angiogenesis terjadi


37

bersamaan dnegan fibroblas. Tanpa proses angiogenesis sel-sel

penyembuhan tidak dapat bermigrasi, replikasi, melawan infeksi

dan pembentukan atau deposit komponen matrik baru.

c. Proses kontraksi ( untuk menarik kedua tepi luka agar saling

berdekatan ), menurut Hunt ( 2003 ) kontraksi adalah peristiwa

fisiologi yang menyebabkan terjadinya penutupan pada luka

terbuka.

3) Fase maturasi atau remodelling ( 24 hari - 1 tahun ), merupakan fase

yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka.

Aktifitas sintesis dan degradasi kolagen dalam keseimbangan :

peningkatan produksi maupun penyerapan kolagen berlangsung 6

bulan sampai 1 tahun, dapat lebih lama apabila daerah yang luka

dekat dengan sendi. Serabut-serabut kolagen meningkat secara

bertahap dan bertambah tebal, kemudian disokong oleh proteinase

untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang

utama pada matriks. Serabut kolagen menyebar dengan saling terikat

dan menyatu serta berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan.

Akhir dari penyembuhan didapatkan parut luka yang matang, yang

mempunyai kekuatan 80% dibanding kulit normal. Kekuatan luka

meningkat sejalan dnegan reorganisasi kolagen sepanjang garis

tengahan kulit, terjadi cross-link kolagen. Penurunan vaskularitas.

Fibroblast dan miofibroblas menyebbakan kontraksi luka selama fase

remodeling. Dengan melewati fase ini, dapat dikatakan sembuh

apabila :
38

a. Tidak terlalu gatal

b. Tidak menonjol

c. Tidak merah

d. Lunak bila ditekan.

(Boyle, 2007)

2.3.6 Faktor Faktor Penyembuhan Luka

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka terdiri

dari faktor lokal ( oksigenasi, hematoma dan lain – lain ), faktor umum

( usia, nutrisi, sepsis, steroid, dan obat-obatan ( Subiston, 1992 ), serta

faktor lainnya seperti gaya hidup dan mobilisasi ( Kozler, 1995 )

a. Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi penyembuhan luka antara

lain :

1. Oksigenasi : Keadaan semacam ini membuat ketersediaan

oksigen utnuk penyembuhan luka sedikit. Kurangnya volume

darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunyya

ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.

2. Hematoma : Merupakan bekuan darah, seringkali darah pada

luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk ke dalam

sirkulasi, tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal terseut

memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh sehingga

menghambat proses penyembuhan luka.

3. Infeksi : . Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuha

luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel


39

panunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu

sendiri, baik penunjang maupun kedalam luka.

4. Keadaan luka : keadaan khusus dari luka mempengaruhi

kecepatan dan efek penyembuha luka. Beberapa luka gagal

untuk menyatu

b. Faktor umum/ sistemik yang mempengaruhi penyembuhan luka

1. Usia : penambahan usia berpengaruh terhadap semua

penyembuhan luka sehubungan dengan adanya gangguan

sirkulasi dan koagulasi, respon inflamasi yang lebih lambat dan

penurunan aktivitas fibroblas.

2. Nutrisi : untuk penyembuhan luka yang optimal diperlukan

asupan protein, vitamin A dan C, tembaga, zinkum, dan zat besi

yang adekuat sebagai peningkatan kebutuhan yang diperlukan

untuk penyembuhan luka.

3. Obesitas : pasien yang obesitas mengalami penundaan

penyembuhan karena suplai darah ( oksigenasi ) jaringan

adiposa tidak adekuat. Adanya sejumlah besar lemak subkutan

dan jaringan lemak ( yang memiliki sedikit pembuluh darah ).

4. Diabetes : apabila insulin sedikit, maka ambilan glukosa oleh sel

menjadi sedikit sehingga energi bagi sel untuk beregenerasi

makin sedikit. Hal inilah yang menyebabkan luka pada diabetes

sukar sembuh. (Sari, 2015).


40

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan pada Diabetes Melitus

A. Pengkajian
1. Identitas

Dalam mengkaji identitas beberapa data didapatkan adalah nama klien,

umur, pekerjaan,pendidikan terakhir, agama, suku, alamat. Diabetes

sering muncul setelah memasuki usia tersebut terutama setelah

seseorang memasuki usia 45 tahun terlebih pada orang yang

overweight. (Riyadi, 2008)

2. Keluhan Utama

Pasien diabetes mellitus merasasakan keluhan utama yang berbeda-

beda. Biasanya dengan keluhan yang khas berupa polifagia, poliuria,

polidipsia, lemas, dan berat badan turun.(Riyadi, 2008)

3. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu akan didapatkan

informasi apakah terdapat faktor-faktor resiko terjadinya diabetes

mellitus misalnya riwayat obesitas, hipertensi, atau juga

aterosclerosis, juga dapat digambarkan sebagai kondisi penderita

yang pernah mengalami suatu penyakit seperti penyakit pancreas,

mengkonsumsi obat obatan atau zat kimia tertentu. (Riyadi, 2008)

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengkajian berupa proses terjadinya gejala khas dari DM,

penyebab terjadinya DM serta upaya yang telah dilakukan oleh

penderita untuk mengatasinya.(Riyadi, 2008)

c. Riwayat Kesehatan Keluarga


41

Kaji adanya riwayat keluarga yang terkena diabetes mellitus, hal

ini berhubungan dengan proses genetik dimana orang tua dengan

diabetes mellitus berpeluang untuk menurunkan penyakit tersebut

kepada anaknya.(Riyadi, 2008)

4. Pola Aktivitas

a. Pola Nutrisi

Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi

insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga

menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak

minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut

dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan

metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan

penderita.

b. Pola Eliminasi

Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik

yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan

pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi

relatif tidak ada gangguan.

c. Pola Istirahat dan Tidur

Adanya poliuri, dan situasi rumah sakit yang ramai akan

mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola

tidur dan waktu tidur penderita.


42

d. Pola Aktivitas

Adanya kelemahan otot – otot pada ekstermitas menyebabkan

penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara

maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.

e. Pola persepsi dan konsep diri

Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan

penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. lamanya

perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan

menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran

pada keluarga (self esteem).

f. Pola sensori dan kognitif

Pasien dengan diabetes mellitus cenderung mengalami neuropati /

mati rasa pada kaki sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.

g. Pola seksual dan reproduksi

Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ

reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seks,

gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada

proses ejakulasi serta orgasme.

h. Pola mekanisme stres dan koping

Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,

perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi

psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah

tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak


43

mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif /

adaptif.

5. Pengkajian Fisik

a. Keadaan Umum

Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan,

berat badan dan tanda – tanda vital.

b. Head to Toe

1) Kepala Leher

Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran

pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah

gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah

menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah

bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda,

diplopia, lensa mata keruh.

2) Sistem integumen

Kaji Turgor kulit menurun pada pasien yang sedang

mengalami dehidrasi, kaji pula adanya luka atau warna

kehitaman bekas luka, kelembaban dan suhu kulit di daerah

sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar

luka, tekstur rambut dan kuku.

3) Sistem pernafasan

Adakah sesak nafas menandakan pasien mengalami diabetes

ketoasidosis, kaji juga adanya batuk, sputum, nyeri dada.

Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.


44

4) Sistem kardiovaskuler

Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau

berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi,

aritmia, kardiomegalis. Hal ini berhubungan erat dengan

adanya komplikasi kronis pada makrovaskuler

5) Sistem urinari

Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau

sakit saat berkemih.Kelebihan glukosa akan dibuang dalam

bentuk urin.

6) Sistem muskuloskeletal

Adanya katabolisme lemak, Penyebaran lemak dan,

penyebaran masa otot,berubah. Pasien juga cepat lelah,

lemah.

7) Sistem neurologis

Berhubungan dengan komplikasi kronis yaitu pada system

neurologis pasien sering mengalami penurunan sensoris,

parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat,

kacau mental, disorientasi.

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari

200mg/dl). Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang

menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.

b. Gula darah puasa normal atau diatas normal.

c. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.


45

d. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.

e. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat

menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan

propensitas pada terjadinya aterosklerosis

B. Diagnosa keperawatan

1. Kekurangan volume cairan b.d diuresis osmotic (dari hiperglikemia)

atau kehilangan gastrik berlebihan.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan masa otot

3. Risiko tinggi sepsis b.d kadar glukosa tinggi atau penurunan fumgsi

leukosit

4. Kerusakan integritas kulit b.d nekrosis pada jaringan (nekrosis luka

ganggren)

5. Nyeri akut b.d agen fisik

(Riyadi, 2008)

C. Intervensi

1. Kekurangan volume cairan b.d diuresis osmotic (dari

hiperglikemia) atau kehilangan gastrik berlebihan.

1. Pantau TTV, catat adanya perubahan TD.

R/ penurunan volume cairan darah akibat diuresis osmotik dapat

dimanifestasikan oleh hipotensi, takikardi, nadi teraba lemah.

2. Kaji suhu, warna, turgor kulit dan kelembaban, pengisian kapiler

dan membran mukosa.


46

R/ dehidrasi yang disertai demam akan teraba panas, kemerahan

dan kering di kulit sebagai indikasi penurunan volume pada sel.

3. Pantau masukan dan pengeluaran, catat balance cairan.

R/ memberikan perkiraan kebutuhan cairan tubuh (60-70% BB

adalah air).

4. Berikan cairan 1500-2500 ml dalam batas yang dapat ditoleransi

jantung.

R/ mempertahankan komposisi cairan tubuh, volume sirkulasi dan

menghindari overload jantung.

5. Batasi intake cairan yang mengandung gula dan lemak misalnya

cairan dari buah yang manis.

R/ menghindari kelebihan ambang ginjal dan menurunkan tekanan

osmosis.(Riyadi, 2008)

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan penurunan masa otot.

1. Timbang berat badan.

R/ mengkaji indikasi terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan

menentukan jumlah kalori yang harus dikonsumsi penderita DM.

2. Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar

gula.

R/ menyesuaikan antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel

untuk mengambil glukosa.

3. Libatkan keluarga pasien dalam memantau waktu makan


47

R/ meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan

nutrisi.

4. Kolaborasi pengobatan insulin secara teratur dan intermiten.

R/ insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan

cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel.

5. Kolaborasi dengan ahli diet.

R/ Kebutuhan diet penderita harus disesuaikan dengan jumlah

kalori karena kalau tidak terkontrol akan beresiko hiperglikemia.

3. Resiko tinggi sepsis b.d kadar glukosa darah tinggi atau penurunan

fungsi leukosit

1. Observasi tanda tanda infeksi dan peradangan

R/ Memastikan kondisi pasien pada periode peradangan atau

sudah terjadi infeksi. Terjadinya sepsis dapat dicegah lebih awal.

2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan,

memakai handscoon, masker dan kebersihan lingkungan.

R/ Meminimalkan invasi mikroorganisme

3. Anjurkan untuk makan sesuai jumlah kalori yang dianjurkan

terutama membatasi makanan yang mengandung gula.

R/ Menurunkan risiko kadar gula darah tinggi yang merupakan

media terbaik untuk pertumbuhan mikroorganisme.

4. Bantu pasien untuk melakukan personal hygiene

R/ Menurunkan risiko invasi mikroorganisme

5. Berikan obat antibiotic yang sesuai


48

R/ Penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.

(Riyadi, 2008)

4. Kerusakan integritas kulit b.d kerusakan jaringan /kulit

Definisi : perubahan /gangguan epidermis dan /atau dermis.

Kriteria Hasil:

1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,

temperature, hidrasi, pigmentasi)

2. Tidak ada luka/lesi pada kulit

3. Perfusi jaringan baik

4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan

mencegah terjadinya cedera berulang

5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan

perawatan alami

Intervensi

Pressure Management

1. Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang longgar

2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

3. Mobilisasi pasien (ubah posisi klien) setiap dua jam sekali

4. Monitor kulit akan adanya kemerahan

5. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang tertekan

6. Monitor aktivitas dan mobilisasi klien

7. Monitor status nutrisi pasien

8. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat


49

Insision Site Care

1. Membersihkan, memantau dan meningkatkan proses penyembuhan

pada luka yang ditutup dengan jahitan klip atau strapless

2. Monitor proses kesembuhan area insisi

3. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi

4. Bersihkan area sekitar jahitan menggunakan lidi kapas steril

5. Gunakan preparat anti septic, sesuai program

6. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka

tetap terbuka (tidak dibalut) sesuai program. (Nurarif, AH. Kusuma,

2015)

5. Nyeri akut b.d agen fisik

1. Tentukan karakteristik nyeri berdasarkan diskripsi pasien

(tergantung pada pasien yang mengekspresikan)

R/ Menetapkan dasar untuk mengkaji perbaikan/perubahan pada

nyeri

2. Letakkan ayunan kaki di atas tempat tidur/anjurkan untuk

menggunakan pakaian tidur yang longgar

R/ Menghindari tekanan langsung pada area cidera yang dapat

mengakibatkan vasokonstriksi/peningkatan nyeri

3. Berikan analgetik per oral sesuai kebutuhan

R/ Menurunkan ambang nyeri yang dialami oleh pasien melalui

serabut syaraf

4. Anjurkan pasien untuk memulai aktivitas tidak tergesa dan

mendadak
50

R/ Meningkatkan rasa perhatian terhadap benda sekeliling dan

mengurangi kekakuan otot.

D. Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh

perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya : Intervensi dilaksanakan

sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ; ketrampilan

interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien

pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi

serta dokumentasi intervensi dan respon pasien. Pada tahap implementasi

ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang telah

dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul

pada pasien.(Riyadi, 2008)

E. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan

dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai kemungkinan terjadi pada

tahap evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi berfokus pada ketepatan

perawatan yang diberikan dan kemajuan pasien atau kemunduran pasien

terhadap hasil yang diharapkan. Evaluasi merupakan proses yang interaktif

dan kontinu karena setiap tindakan keperawatan dilakukan, respon klien


51

dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang yang

diharapkan.(Riyadi, 2008)
52

2.5 Kerangka Konsep

Input Diagnosa Intervensi & Implementasi Evaluasi


Pengkajian Proses Output

1. Kekurangan Volume 1. Terapi Farmakologi 1. Integritas kulit yang baik


Lansia Cairan b.d Diuresis
osmotic (Dari a. Obat Oral dapat dipertahankan
dengan
Penyebab hiperglikemia) b. Cairan Pembersih 2. Perfusi jaringan baik
Diabetes
Melitus luka (Sodium 3. Menunjukkan pemahaman
1. Faktor Genetik 2. Ketidakseimbangan
dengan luka
2. Usia nutrisi kurang dari Chloride) dalam proses perbaikan
kaki
3. Nutrisi kebutuhan tubuh b.d
diabetik c. Dressing kulit dan mencegah
4. Riwayat keluarga Ketidakcukupan insulin
5. Gaya Hidup 2. Terapi Non terjadinya cedera berulang
3. Kerusakan Integritas
Kulit b.d Nekrosis Farmakologi 4. Mampu mempertahankan
Tanda dan pada Jaringan a. Diet kelembapan kulit
Gejala (nekrosis luka
ganggren) b. Edukasi/Penyuluhan 5. Menunjukkan terjadinya
1. Poliuria
c. Latihan Jasmani proses penyembuhan luka
2. Polidipsia 4. Resiko infeksi b.d
3. Polifagia Trauma pada jaringan,
4. Luka susah Proses penyakit
sembuh (Diabetes Mellitus) Keterangan
5. Gatal gatal
= Diteliti

Tabel 2.6 Kerangka Konsep = Tidak Diteliti

52
53

Narasi Kerangka Konsep

Pada kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa diabetes mellitus

dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab, yaitu faktor genetik atau herediter,

usia, kurangnya nutrisi, riwayat keluarga dan gaya hidup. Sehingga menimbulkan

tanda dan gejala diabetes mellitus seperti polyuria (banyak kencing), polydipsia

(banyak minum), polyphagia (banyak makan), luka sukar sembuh, dan gatal

gatal. Kemudian dapat mempengaruhi kejadian diabetes mellitus, yang

menimbulkan berbagai diagnosa seperti kekurangan volume cairan b.d diuresis

osmotic (dari hiperglikemia), ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh b.d ketidakcukupan insulin, kerusakan integritas kulit b.d nekrosis pada

jaringan (nekrosis luka ganggren), resiko infeksi b.d trauma pada jaringan, proses

penyakit (diabetes mellitus). Tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu

pemberian terapi farmakologi ( Obat oral, Cairan pembersih luka (sodium

chloride), dressing) dan terapi non farmakologi (Diet, Edukasi atau penyuluhan,

Latihan Jasmani). Setelah diberikan intervensi dan implementasi yang tepat dan

diharapkan mendapatkan hasil klien mengalami integritas kulit yang baik, perfusi

jaringan baik, menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan

mencegah terjadinya cedera berulang, mampu mempertahankan kelembapan

kulit, menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka.

Anda mungkin juga menyukai