Anda di halaman 1dari 3

Anak Angkat dan Anak Tiri dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Tujuan melaksanakan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga atau rumah tangga
minimal terdiri dari suami, isteri dan anak. Terkadang ada sebuah rumah tangga yang sudah
lama terbangun tetapi tidak atau belum dikaruniai anak. Maka untuk menyalurkan rasa
kebapakan dan keibuan, keluarga itu kemudian mengambil anak angkat atau mengadopsi
anak orang lain dan dijadikan sebagai anak angkatnya.

Ada perbedaan yang mendasar dalam pengangkatan anak menurut Burgerlijk Wetbok (BW)
dan menurut Islam. Menurut BW, pengangkatan anak menjadikan putus hubungan sama
sekali antara anak dengan orang tua kandungnya dan anak angkat itu masuk dalam keluarga
orang tua angkatnya serta statusnya sama dengan anak kandung orang tua angkatnya. Ia
menjadi anak dari orang tua angkatnya dan putus hubungan darah dengan orang tua
kandungnya. Ia mendapat warisan sama dengan anak kandung orang tua angkatnya dan putus
waris dengan orang tua kandungnya.

Islam tidak membenarkan pengangkatan anak yang demikian. Islam melarang mengambil
anak orang lain untuk diberi status anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang
tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan
anak dengan orang tua. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Ahzab ayat 40 :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.”

Anak angkat berhak mendapat wasiat wajibah, lalu anak tiri mendapat apa???
Sebagaimana kita ketahui sebelum nabi Muhammad diutus sebagai Rasulullah, dahulu ia
mempunyai seorang anak angkat yaitu Zaid Bin Haritsah. Waktu itu karena anak angkat
dihukumi sebagai anak kandung, maka Zaid itupun dipanggil oleh orang banyak dengan
panggilan Zaid Bin Muhammad, sampai kemudian turun ayat diatas yang membatalkan anak
angkat sebagai anak kandung, dan tetaplah Zaid dipanggil dengan Zaid Bin Haritsah. Sejak
itu anak angkat tetap menjadi anak kandung orang tua biologisnya, hanya pemeliharaan dan
biaya hidup sehari-harinya beralih kepada orang tua angkatnya.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 171 huruf (h) mendefinisikan anak angkat
sebagai “anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan Pengadilan”.

Dengan definisi tersebut diatas perlu digaris bawahi bahwa hubungan hukum antara orang tua
angkat dengan anak angkatnya tidak ada perobahan, tetap sama seperti sebelum
pengangkatan anak, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan. Kemahraman
dan kewarisan anak angkat tetap bersambung dengan orang tua kandungnya. Sedang dengan
orang tua angkat tetap sebagai orang lain, bila orang tua angkatnya itu bukan dari keluarga.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkatnya atau
sebaliknya sangat akrab seperti hubungan anak kandung dan orang tuanya. Antara orang tua
angkat dengan anak angkatnya begitupun sebaliknya terjadi hubungan kasih sayang yang
sedemikian rupa, saling bantu membantu dalam memenuhi kehidupan rumah tangga maupun
kebutuhan ekonomi dan lain sebagainya, bahkan mungkin ada yang melebihi dari hubungan
anak kandung dengan orang tuanya. Tetapi dalam hukum waris anak angkat tetaplah orang
lain yang tidak termasuk ahli waris orang tua angkatnya.

Demikian juga bagaimanapun dekatnya hubungan antara orang tua angkat dengan anak
angkatnya, orang tua angkat tetaplah orang lain yang tidak ada hubungan waris dengan anak
angkatnya.
Karena tidak ada hubungan saling mewarisi antara orang tua angkat dengan anak angkatnya
dan sebaliknya, maka dianjurkan antara orang tua angkat dengan anak angkatnya atau
sebaliknya, untuk saling memberi hibah atau wasiat.

Anak angkat dan orang tua angkat tidak mempunyai hubungan waris mewaris. Akan tetapi
melihat kenyataan hubungan anak angkat dan orang tua angkat dan sebaliknya, sedemikian
rupa seperti hubungan anak kandung dan orang tua kandung, dan hubungan semacam ini
tidak dapat dipungkiri secara hukum, maka KHI mengapresiasi fakta yuridis tersebut dan
menampungnya dalam pasal 209. Dinyatakan dalam pasal 209 ayat (1) Harta peninggalan
anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut diatas,
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Pasal 209 ayat (2) Terhadap
anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan orang tua angkatnya.

Makna “wasiat wajibah” adalah seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat
meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu lahir dari asas apabila dalam
suatu hal hukum telah menetapkan harus berwasiat, maka ada atau tidak ada wasiat dibuat,
wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya.

Jadi, menurut hukum, anak angkat dan orang tua angkat mendapat wasiat wajibah apabila
salah satunya meninggal dunia. Sekarang kita pertanyakan kalau anak tiri atau orang tua tiri
meninggal dunia, mereka yang masih hidup mendapat apa? KHI dalam hal ini diam tidak
dapat menjawab, karena memang tidak mengaturnya sama sekali.

Kalau dilihat hubungan antara orang tua tiri dengan anak tirinya atau sebaliknya anak tiri
dengan orang tua tirinya, mungkin dapat disamakan dengan hubungan orang tua angkat
dengan anak angkatnya atau sebaliknya. Bahkan lebih mesra lagi, lebih kuat lagi, karena
salah satu dari orang tuanya adalah orang tua kandung. Kalau anak angkat dengan orang tua
angkatnya, kedua orang tua angkat adalah orang lain semua, tetapi kalau anak tiri dan orang
tua tiri, maka salah satu dari orang tua adalah orang tua kandung. Jadi lebih dekat lagi. Tetapi
ketika KHI memberi wasiat wajibah bagi anak angkat dan orang tua angkat, maka kepada
anak tiri dan orang tua tiri KHI tidak memberi apa-apa.

Seyogyanya kepada orang tua tiri dan anak tiri, ketika salah satunya meninggal dunia, maka
kepada yang masih hidup layak juga diberi wasiat wajibah, karena secara sosiologis, secara
yuridis, hubungan anak tiri dan orang tua tiri menyatu sedemikian rupa seperti juga antara
orang tua dengan anak kandungnya.

Anda mungkin juga menyukai