Pemandangan itu ada di desa Wenling, Provinsi Zhejiang, Cina Selatan. Sebelum
tahun 1990-an, kampung halaman Xiaolu Guo seorang novelis dan pembuat film
yang kini tinggal di London, Inggris, masih berbentuk lembah pertanian. Dihiasi
semak-semak tanaman teh dan hutan bambu yang lebat. Jangankan terowongan
yang menembus pegunungan. Rambu lalu lintas pun tak ada di Wenling hingga
medio 1970-an sampai 1980-an.
Sekarang desa terpencil itu telah berubah menjadi kota metropolis berukuran
sedang yang menampung 1,4 juta jiwa. Seperti ratusan desa lainnya di Cina yang
selama 30 tahun terakhir bertransformasi menjadi kota, Wenling dihiasi hutan
beton cerminan banyaknya gedung pencakar langit yang baru dibangun. Untuk
mencapai kota itu, Xiaolu Guo hanya membutuhkan waktu 4 jam 52 menit
menggunakan kereta berkecepatan tinggi dari Shanghai.
Banyak cara dilakukan Negeri Tirai Bambu itu membangun infrastruktur. Pada
1984 misalnya, pemerintah pusat meluncurkan program ‘Food-for-Work’ atau
‘Makanan-untuk-Kerja’. Bahan pangan gratis disediakan pemerintah pusat bagi
desa miskin yang membangun jalan raya. Sementara pemerintah daerah
diharuskan menyediakan dana untuk membayar bahan bangunan dan peralatan
lainnya.
Selama tujuh tahun dari 1994-2000, pemerintah Cina menggelontorkan dana 920
juta renminbi untuk membangun jalan raya di 529 kabupaten miskin di 21 provinsi.
Di periode itu, 420 ribu km jalan raya dibangun setiap tahun. Pada 2002, total luas
jalan raya yang menghubungkan kota-kota baru di Cina mencapai 1.065 juta km
persegi. Dekade 2001-2011, investasi infrastruktur di Cina naik sepuluh kali lipat
dari $7 miliar menjadi $74 miliar.
Baca juga:
MGI mencatat, periode 1992-2013, Cina menghabiskan dana 8,6 persen dari PDB
dunia setara $829 miliar hanya untuk infrastruktur. Padahal rata-rata negara
hanya menghabiskan dana 3,5 persen dari PDB global. Sedangkan negara
berkembang seperti Indonesia, Banglades, Malaysia, Pakistan, Filipina, Sri Lanka,
Taiwan, Thailand, dan Vietnam hanya menghabiskan 3,6 persen dari PDB global
untuk pembangunan infrastruktur untuk kurun waktu lebih dari 20 tahun.
Investasi infrastruktur Cina mengalahkan anggaran belanja infrastruktur Amerika
Utara dan Eropa Barat meski sekalipun digabung.
Cina menjadi pemimpin dalam hal surplus antara realisasi dan target belanja
infrastruktur. Negara yang yang dipimpin Xi Jinping ini justru menghabiskan dana
3,3 persen lebih banyak dibanding perkiraan belanja infrastruktur.
Negara-negara di dunia yang juga menghabiskan dana belanja infrastruktur lebih
besar dibanding perkiraan adalah Jepang, Australia dan Qatar dengan
masing-masing besaran surplus 1,5 persen, 1,2 persen dan 0,3 persen.
Misalnya saja dengan menambah jalur kereta sebanyak 157 persen dari yang
sudah ada saat ini menjadi 139 ribu km sampai dengan tahun 2020. Kapasitas
terminal kontainer akan ditambah sebanyak 132 persen menjadi 237 juta TEU
dan menambah jumlah bandara sebanyak 62 persen menjadi lebih dari 240
bandara selama dua tahun ke depan.
Itu semua dilakukan dalam rangka membuka koridor logistik baru yang akan
menghubungkan cluster kota yang baru dan yang sedang berkembang. Feng
Yongsheng, seorang peneliti di Akademi Ilmu Sosial Cina, mengatakan kebijakan
pembangunan infrastruktur di wilayah yang belum berkembang membantu
mengatasi kesenjangan infrastruktur. Stabilisasi investasi menjadi hal penting
bagi pertumbuhan ekonomi Cina saat ini. Sebabnya, Cina perlu meluncurkan 165
proyek infrastruktur skala besar yang termasuk dalam rencana lima tahun ke
depan secepat mungkin.
(tirto.id - Ekonomi)