Anda di halaman 1dari 11

A Distosia His

1 Definisi
Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia karena kelainan tenaga/ his
adalah his yang tidak normal baik kekuatan maupun sifatnya sehingga menghambat
kelancaran persalinan. (Buku ASKEB IV (PATOLOGI KEBIDANAN),AI YEYEH RUKIYAH
S.SiT, Lia Yulianti, Am.Keb, MKM)

2 Etiologi
Panggul sempit dan malposisi fetus merupakan penyebab umum disfungsi uterus. Derajat
sedang kesempitan panggul dan malposisi fetus, dapat menyebabkan disfungsi uterus
hipotonik sehingga mempunyai arti klinik yang penting. Uterus yang terlalu terdistensi,
seperti yang terjadi pada kehamilan kembar dan hidramnion, dapat menimbulkan
distensi yang berlebihan ini. Tetapi, pada banyak kasus-mungkin separuh di antaranya-
penyebab disfungsi uterus masih belum diketahui (Seitchik dkk, 1987). Kesalahan utama
jarang terletak padaserviks yang terlalu kaku untuk berdilatasi. Meskipun demikian para
primipara yang usianya agak lanjut, dan pada wanita dengan fibrosis serviks akibat keadaan
tertentu, kekakuan serviks yang berlebihan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya
distosia. (ObWil)
Sering dijumpai pada primigravida tua dan inersia uteri sering dijumpai pada multigravid;
faktor herediter, emosi dan kekuatan memegang peranan penting; salah pimpinan
persalinan pada kala II atau salah pemberian obat-obatan seperti oksitosin dan obat-obatan
penenang; penanganan distosia kelainan tenaga/his bila dijumpai pada permulaan
persalinan lakukan evaluasi secara keseluruhan untuk mencari sebab-sebabnya.(Buku
ASKEB IV (PATOLOGI KEBIDANAN),AI YEYEH RUKIYAH S.SiT, Lia Yulianti, Am.Keb,
MKM)

3 Komplikasi
kelainan his bisa menyebabkan komplikasi pada ibu maupun janin. ibubisa merasakan
kelelahan karena partus lama, atau nyeri yang hebatpada kelainan his hipertonik dan his
yang tidak dapat terkoordinasi.janin pun bisa mengalami distress bahkan kematian janin

B Tipe-tipe Distosia His


1 His Hipotonik
a. Definisi
Adalah his yang sifatnya lebih lama, lebih singkat dan lebih jarangdibandingkan dengan his
yang normal. Inersia uteri dibagi 2 keadaan primer dan sekunder. Pada fase laten diagnosis
akan lebih sulit tetapi bila sebelumnya telah ada kontraksi (his) yang kuat dan lama maka
diagnosis ini akan lebih mudah ditegakkan.

b. Etiologi
Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida, khususnyaprimigravida tua. Pada
multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Faktor herediter
mungkin memegang peranan pula dalam kelainan his. Sampai seberapa jauh faktor
emosi (ketakutakan dan lain-lain) mempengaruhi kelainan his, belum ada persesuaian
paham antara para ahli. Satu sebab yang penting dalam kelainan his, khusunya inersia
uteri, ialah apabila bagian bawah janin tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah
uterus seperti misalnya kelainan letak janin atau pada disproporsi sefalopelvik. Peregangan
rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda maupun hidramnion juga dapat merupakan
penyebab dari inersia uteri yang murni. Akhirnya gangguan pembentukan uterus pada masa
embrional, misalnya uterus bikornus unikollis, dapat pula mengakibatkan kelainan his. Akan
tetapi pada sebagian besar kasus, kurang lebih separuhnya, penyebab inersia uteri ini tidak
diketahui. Pengaruh hormonal karena kekurangan hormon oksitosin dan
prostaglandin, Pada kehamilan dg kelainan letak janin atau pada CPD, 50% penyebab
kelainan his tdk diketahui penyebabnya.

c. Faktor Predisposisi
Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia, uterus
yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau kehamilan kembar atau
makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta pada penderita dengan keadaan emosi
kurang baik.

d. Tanda dan Gejala


Pada disfungsi uterus hipotonik, kontraksi lebih jarang terjadi dan uterus tidak mudah
diraba meskipun pada puncak kontraksi.
1) waktu persalinan memanjang
2) dilatasi serviks lambat
3) membran biasanya masih utuh
4) berdasarkan tokografi : gelombang kontraksi kurang dari normal dengan amplitudo pendek.

e. Komplikasi
Kelambatan tindakan yang tidak semestinya terjadi, sering membawa akibat yang tidak
menguntungkan, sementara intervensi yang terlalu cepat bisa mengakibatkan persalinan
dengan seksio sesaria yang tidak diperlukan. Kematian fetal dan neonatal akan menyertai
infeksi intrauteri yang umumnya terjadi pada persalinan disfungsional yang lama. Meskipun
tindakan proteksi bagi ibu melalui pengobatan infeksi intrauteri dengan antibiotic
merupakan tindakan yang bijaksana, namun terapi tersebut tidak banyak artinya dalam
melindungi janin. Kelelahan ibu dapat terjadi bila proses persalinan berlangsung terlampau
lama. Namun demikian, terapi suportif dengan pemberian cairan infus yang memadai harus
dimulai dan proses persalinan harus berlangsung sebelum semua komplikasi di atas
terjadi. Persalinan yang sulit lebih besar kemungkinannya untuk menimbulkan gejala sisa
psikologis pada ibu, sebagaimana di tegaskan baik oleh Jeffcoate (1961), maupun Steer
(1950). Keduanya mendapatkan bahwa persalinan yang sulit akan menimbulkan efek yang
berbahaya bagi proses kehamilan berikutnya. Kedua penyelidik ini memperlihatkan, lebih
dari dua pertiga di antara pasien-pasien mereka yang mempunyai anak lagi setelah
menjalani proses persalinan spontan, namun hanya sepertiga diantaranya mau mempunyai
anak lagi setelah persalinan dilakukan dengan tindakan vorsep tengah.

f. Patofisiologi
Tidak terdapat hipertonus basal dan kontraksi uterus mempunyai pola gradient yang normal
(sinkron), namun kenaikan tekanan yang sedikit pada saat his tidak cukup untuk
menimbulkan dilatasi serviks dengan kecepatan yang memuaskan. Tipe disfungsi uterus ini
biasanya terjadi selama fase aktif persalinan, yaitu sesudah serviks mengadakan dilatasi
lebih dari 4 cm.

g. Penatalaksanaan
1) Deteksi dini
Pada fase laten diagnosis akan lebih sulit tetapi bila sebelumnya telah ada kontraksi (his)
yang kuat dan lama maka diagnosis ini akan lebih mudah ditegakkan.
2) Anamnesa
ibu merasakan hisnya melemah dari sebelumnya
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memperlihatkan:
a) Dilakukan observasi pasien yang berhubungan dengankeadaan umumnya, besarnya rasa
nyeri dan derajat kemajuan persalinan
b) Uterus dipalpasi untuk menentukan tipe dan beratnya kontraksi.
4) Pengelolaan Kasus
Pencegahan :
a) Keadaan umum penderita harus diperbaiki. Gizi selama kehamilan harus diperhatikan.
b) Penderita dipersiapkan menghadapi persalinan, dan dijelaskan tentang kemungkinan-
kemungkinan yang ada.
Tindakan :
a) Pada inersia primer, setelah dipastikan penderita masuk dalam persalinan, evaluasi
kemajuan persalinan 12 jam kemudian dengan periksa dalam. Jika pembukaan kurang dari
3 cm, porsio tebal lebih dari 1 cm, penderita diistirahatkan, diberikan sedativa sehingga
dapat tidur. Mungkin masih dalam "false labor". Jika setelah 12 jam berikutnya tetap ada
his tanpa ada kemajuan persalinan, ketuban dipecahkan dan his diperbaiki dengan infus
pitosin. Perlu diingat bahwa persalinan harus diselesaikan dalam waktu 24 jam setelah
ketuban pecah, agar prognosis janin tetap baik.
b) Pada inersia uteri sekunder, dalam fase aktif, harus segera dilakukan :
 penilaian cermat apakah ada disproporsi sefalopelvik dengan pelvimetri klinik atau
radiologi. Bila ada CPD maka persalinan segera diakhiri dengan sectio cesarea.
 bila tidak ada CPD, ketuban dipecahkan dan diberi pitocin infus.
 nilai kemajuan persalinan kembali 2 jam setelah his baik. Bila tidak ada kemajuan,
persalinan diakhiri dengan sectio cesarea.
 pada akhir kala I atau pada kala II bila syarat ekstraksi vakum atau cunam dipenuhi, maka
persalinan dapat segera diakhiri dengan bantuan alat tersebut.
Stimulasi oksitosin
Sebelum merangsang persalinan dengan oksitosin, kita harus yakin bahwa jalan lahir
kemungkinan besar memadai untuk ukuran kepala janin, dan bahwa kepala janin sudah
engaged dengan baik dalam panggul, yang berarti menggunakan diameter terkecil untuk
penyesuaian dengan jalan lahir (diameter biparietalis dan suboksipitobregmatika). Panggul
yang sempit paling kecil kemungkinannya kalau semua criteria berikut terpenuhi:
1) Konjugata diagonalis normal
2) Dinding samping pelvis hampir sejajar
3) Spina iskiandika tidak menonjol
4) Sacrum tidak rata
5) Angulus subpubikum tidak sempit
6) Presentasi janin adalah presentasi oksiput
7) Kepala janin sudah engaged atau turun lewat pintu atas panggul dengan tenaga fundus
Jika semua criteria ini tidak terpenuhi, pilihan alternatifnya adalah persalinan dengan seksio
sesarea atau mungkin dengan stimulasi oksitosin. Jika digunakan oksitosin, maka kecepatan
denyut jantung janin harus diamati dengan ketat. Apabila tidak bisa dipantau secara terus-
menerus, kerja jantung janin harus diperiksa segera setelah kontraksi rahim dan jangan
menunggu satu menit atau lebih sesudahnya.
Teknik Infus Oksitosin
Sepuluh unit oksitosin dicampurkan dengan 1 L larutan duakan jumlah pengencerannya
atau membagi dosis oksitosin menjadi separuhnya. Walaupun larutan yang lebih encer oleh
beberapa penulis ditemukan memberikan hasil yang cukup efektif, campuran (10 U per L)
mudah dibuat, aman, efektif dan paling kecil kemungkinannya untuk timbulnya kekeliruan
dalam pembuatannya serta pemberiannya. Karena larutan oksitosin menggandung 10 mU
per mL, kecepatan tetesan akan mudan dihitung. Penggunaan pompa infuse dengan
kecepatan tetesan yang konstan akan meningkatkan ketepatan takaran yang diberikan,
khususnya rentang takara yang lebih rendah, dan sangat dianjurkan. Sebuah jarum infuse,
yang cairan infusnya sudah dimatikan telebih dahulu, disisipkan ke dalam pembuluh darah
venalengan, atau sebaiknya disambung dengan selang infuse yang sudah bekerja dengan
baik, dan kemudian tetesan dimulai perlahan sehingga pemberian oksitosin tidak lebih dari
1 mU per menit (Seitchik dan Castillo, 1982).
Untuk memperkuat proses persalinan pada disfungsi hipotonik yang sejati, 1 mU
oksitosin tidak boleh menimbulkan kontraksi tetanik pada rahim, meskipun kita harus
sudah siap untuk menghentikan aliran infuse kalau kepekaan uterus terhadap obat tersebut
terlampau tinggi. Kecepatan aliran bisa ditingkatkan secara berangsur-angsur dengan
interval tidak lebih dari 30 menit untuk menghasilkan takaran yang tidak melampaui10 mU
per menit, menurut Seitchik dan Castillo (1982). Dalam menghadapi disfungsi uterus,
kecepatan tetesan jarang diperlukan lebih dari takaran ini. Untuk induksi persalinan, jika
kecepatan aliran dengan takaran 30 hingga 40 mU per menit gagal untuk menimbulkan
kontraksi rahim yang memuaskan, maka takaran yang lebih besar lagi kemungkinan tidak
akan menghasilkan his.
Ibu yang mendapatkan infuse oksitosin tidak boleh di tinggal sendiri sementara cairan
infuse diberikan. Kontraksi uterus harus dievaluasi secara kontinyu. Dan pemberian
oksitosin harus segera dihentikan jika lama his lebih dari 1 menit atau jika denyut jantung
janin memperlihatkan penurunan yang bermakna. Kalau salah satu di antara kedua
keadaan ini terjadi, penghentian seketika infuse oksitosin hampir selalu memperbaiki
gangguan sehingga mencegah terjadinya kemungkinan yang berbahaya bagi ibu dan janin.
Konsentrasi oksitosin dalam plasma akan menurun dengan cepat, karena waktu paruh rata-
rata oksitosin kuang lebih 5 menit.
Kita harus selalu mempertimbangkan bahwa oksitosin mempunyai khasiat antidiuretik
yang poten. Jika 20 mU atau lebih oksitosin per menit diinfuskan, maka bersihan air bebas
oleh ginjal akan mengalami penurunan yang nyata. Jika cairan yang mengandung air,
diinfuskan dengan jumlah yang cukup banyak bersama-sama oksitosin, maka bisa saja
terjadi kemungkinan intoksikasi air yang dapat mengakibatkan konvulsi, koma dan bahkan
kematian.
Pada Rumah Sakit Parkland, tindakan pengawasan berikut ini dilakukan
dalam penggunaan oksitosin untuk mengatasi disfungsi hipotonik:
1) Wanita tersebut harus dalam proses persalinan yang sebenarnya, dan bukan dalam proses
persalinan palsu atau persalinan prodromal. Bukti adanya persalinan adalah penipisan dan
dilatasi serviks yang terus berlangsung. Meskipun kemajuannya sudah berhenti, persalinan
tersebut harus sudah mengalami kemajuan dengan adanya dilatasi serviks 3 sampai 4 cm.
salah satu kesalahan yang paling dijumpai dalam kebidanan adalah mencoba untuk
menstimulasi persalinan pada wanita yang belum berada
2) yang jelas terhadap proses persalinan yang aman tidak boleh ada.
3) Penggunaan oksitosin umumnya dan distensi uterus berlebihan yang harus dihindari pada
kasus-kasus presentasi janin yang abnormal nyaa, seperti pada hidramnion yang berat,
janin yang sangat besar atau pada kehamilan kembar.
4) Wanita dengan paritas yang tinggi (lebih dari 5 anak) pada umumnya tidak diberi oksitosin,
karena kemungkinan terjadinya rupture uteri lebih besar dari pada wanita dengan paritas
yang rendah. Oksitosin biasanya tidak diberikan pula pada wanita dengan sikatriks pada
rahim yang ditimbulkan oleh persalinan sebelumnya.
5) Kondisi janin harus baik sebagaimana dibuktikan lewat frekuensi denyut jantung janin yang
normal dan tidak terlihatnya mekonium dalam cairan ketuban. Janin yang mati tentu saja
bukan kontraindikasi untuk pemberian oksitosin, kecuali jika terdapat disproporsi fetopelvik
yang nyata atau letak lintang.
6) Dokter ahli kebidanan harus mencatat waktu kontraksi pertama setelah pemberian oksitosin
dan siap menghentikannya apabila timbul kontraksi tetanik. Hiperstimulasi uterus dengan
oksitosin juga harus di hindari. Frekuensi, intensitas serta lama kontraksi, dan tonus otot
rahim pada saat di antara kontraksi tidak boleh melampaui tonus pada persalinan spontan
yang normal.
7) Pemantauan denyut jantung janin dan aktivitas uterus dengan alat elektronis harus
dilakukan terus-menerus. Elektroda internal yang ditempelkan pada kulit kepala janin dan
alat pemantau tekanan itrauteri harus digunakan secepatnya karena pemasangan kedua
alat pemantau ini merupakan tindakan yang bijaksana.
Salah satu karakteristik pada pemberian oksitosin intravena yang berhasil adalah, oksitosin
segera bekerja menimbulkan kemajuan persalinan yang nyata. Untuk setiap kecepatan
infuse, kadar oksitosin dalam plasma akan mencapaipuncak yang datar setelah 30 hingga
40 menit, karena tercapainya keseimbangan antara kecepatan pemberian oksitosin dan
kecepatan penghancurannya oleh enzim oksitosinase. Dengan demikian, obat tersebut tidak
harus digunakan untuk menstimulasi persalinan dengan periode waktu yang tidak terbatas.
Oksitosin harus digunakan untuk waktu yang tidak lebih dari beberapa jam saja (O’Driscoll
dkk., 1984; Seichik dan Castillo, 1982); sehingga, bila perubahan serviks tidak terjadi
dengan jelas dan bila persalinan pervaginan diperkrakan tidak mungkin berlangsung, maka
persalinan dengan seksio sesaria harus dilaksanakan. Sebaliknya, oksitosin tidak boleh di
pakai untuk memaksa dilatasi serviks dengan kecepatannya yang melebihi keadaan
normalnya (Cohen dan Friedman, 1983). Kesiapan dokter untuk melakukan seksio sesaria
pada kasus-kasus di mana pemberian oksitosin tidak berhasil atau bila terdapat
kontraindikasi terhadap pemakaian oksitosin, akan menurunkan mortalitas dan morbiditas
perinatal secara bermakna.
Hipotonis Hipertonis
Kejadian 4% dari persalinan 1% dari persalinan

Saat terjadinya Fase Aktif Fase laten


Nyeri Tidak nyeri Nyeri
Fetal Distress Lambat terjadi Cepat terjadi
Reaksi terhadap Baik Tidak baik
oksitosin
Pengaruh sedatif Sedikit banyak

2 His Hipertonik
a. Definisi
Adalah his yang terlampau kuat dan terlalu sering sehingga tidak ada relaksasi. His
hipertonik disebut juga tetania uteri yaitu his yang terlalu kuat. Sifat hisnya normal, tonus
otot diluar his yang biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his.

b. Etiologi
Usia terlalu tua, Pimpinan persalinan, Karena induksi persalinan dengan oksitosin, Rasa
takut dan cemas.

c. Faktor Predisposisi
Faktor yang dapat menyebabkan kelainan ini antara lain adalah rangsangan pada uterus,
misalnya pemberian oksitosin yang berlebihan, ketuban pecah lama dengan disertai infeksi,
dan sebagainya.

d. Tanda dan Gejala


1) persalinan menjadi memanjang
2) kontraksi uterus tidak teratur dan lebih nyeri. nyeri dirasakan sebelum dan sesudah
kontraksi
3) tekanan istirahat intrauterin meninggi
4) dilatasi serviks cepat
5) ketuban pecah dini
6) cepat terjadi distress janin
e. Komplikasi
1) Hal ini dapat menyebabkan terjadinya partus presipitatus yang dapat
mengakibatkan persalinan diatas kendaran, dikamar mandi, dan tidak sempat
dilakukan pertolongan. Akibatnya terjadilah luka-luka jalan lahir yang luas pada servik,
vagina pada perineum,dan pada bayi dapat terjadi perdarahan intracranial.Bila ada
kesempitan panggul dapat terjadi rupture uteri mengancam, dan bila tidak segera ditangani
akan berlanjut menjadi rupture uteri
2) Asfiksia intra uteri – kematian janin

f. Patofisiologi
Tonus basal bisa meningkat cukup besar atau gerakan tekanan mengalami perubahan, yang
keduanya mungkin terjadi akibat kontraksi pada segmen tengah uterus dengan tenaga yang
lebih kuat daripada tenaga fundus, atau akibat asinkronisme total pada impuls yang berasal
dari setiap kornu, atau juga akibat kombinasi kedua keadaan tersebut.

g. Penatalaksanaan
1) Anamnesa
ibu mengatakan sangat mules dan tidak ada waktu mulesnya berhenti.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memperlihatkan:
a) ibu terlihat sangat kesakitan dan kelelahan karena uterus terus menerus berkontraksi
b) saat dilakukan palpasi uterus, his terlampau kuat dan durasi his lama
3) Pengelolaan Kasus
a) Dilakukan pengobatan simtomatis untuk mengurangi tonus otot, nyeri, mengurangi
ketakutan. Denyut jantung janin harus terus dievaluasi. Bila dengan cara tersebut tidak
berhasil, persalinan harus diakhiri dengan sectio cesarea.
b) Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena biasanya bayi sudah
lahir tanpa ada seorang yang menolong. Kalau seorang wanita pernah mangalami partus
presipitatus, kemungkinan bsar kejadian ini akan berulang pada persalinan berikutnya.
Karena itu, sebaiknya wanita dirawat sebelum persalinan, sehingga pengawasan dapat
dilakukan dengan baik. Pada persalinan keadaan diawasi dengan cermat, dan epiostomi
dilakukan pada waktu yang tepat untuk menghindarkan terjadinya ruptura perinei tingkat
ketiga. Bilamana his kuat dan ada rintangan yang menghalangi lahirnya janin, dapat timbul
lingkaran retraksi patologik, yang merupakan tanda bahaya akan terjadi ruptura uteri.
Dalam keadaan demikian janin harus segera dilahirkan dengan cara yang memberikan
trauma sedikit-sedikitnya bagi ibu dan anak.

3 His yang Tidak Terkoordinasi


a. Definisi
Adalah sifat his yang berubah-ubah tidak ada koordinasi dan sinkronasi antara kontraksi
dan bagian-bagiannya, jadi kontraksi tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.

b. Etiologi
Insidensi yang dilaporkan bervariasi dari 1 hingga 7 persen, tapi diragukan apakah sindrom
yang sebenarnya terjadi pada lebih dari 2 persen persalinan. Malpresentasi dan disproporsi
yang ringan merupakan predisposisi terjadinya kerja abnormal uterus.

c. Faktor Predisposisi
1) Usia dan Paritas
Keadaan ini terutama merupakan keadaan pada primigravida. Sekitar 95% dari kasus-kasus
berat terjadi dalam persalinan pertama dan uterus hampir selalu lebih efisien pada
kehamilan berikutnya. Insidensi pada primigravida lanjut usia hanya sedikit lebih tinggi
dibandingkan pada wanita muda.
2) Faktor-faktor Konstitusi
Yang terutama cenderung mengalami kerja uterus yang tidak terkoordinasi adalah wanita
yang gemuk, mirip laki-laki (maskulin) dan relatif infertile. Tampaknya ada tendensi
familial. Kerja uterus yang tidak terkoordinasi ini tidak berhubungan dengan malnutrisi atau
pun dengan debilitas umum.
3) Kondisi Emosi dan Kejiwaan
Kita tidak tahu bagaimana masalah kejiwaan dan emosi bekerja dalam menyebabkan atau
memperburuk inkoordinasi uterus pada persalinan. Dikatakan bahwa rasa takut
meningkatkan tegangan pada segmen bawah uterus. Akan tetapi, ada wanita tenang yang
mengalami persalinan sulit dan ada wanita yang amat emosional yang melahirkan dengan
mudah. Kebanyakan kelainan berat pada system saraf pusat tidak memberikan pengaruh
yang merugikan persalinan.
4) Kelainan Uterus
Sementara sebagian dokter menganggap bahwa overdistensi, fibroid dan jaringan perut
pada uterus menjadi predisposisi timbulnya kontraksi uterus yang jelek, dokter-dokter
lainnya menolak anggapan tersebut. Yang pasti, kelainan congenitaluterus, uterus yang
fusinya tidak lengkap atau uterus bicornis akan mengganggu persalinan.
5) Pecahnya Ketuban
Pecahnya ketuban dalam kondisi yang tepat akan merangsang uterus untuk berkontraksi
lebih baik dan mempercepat kemajuan persalinan. Akan tetapi, ketuban yang pecah
sebelum serviks matang-yaitu serviks belum mendatar, masih keras, tebal dan tertutup-
tentu menghasilkan persalinan lama dan tidak efisien.
6) Gangguan Mekanis dalam Hubungan Janin dengan Jalan Lahir
Bagian terendah yang menempel baik pada serviks dan segmen bawah uterus pada kala
satu persalinan dan dengan vagina serta perineum pada kala dua akan menghasilkan
rangsangan refleks yang baik pada myometrium. Segala sesuatu yang menghalangi
hubungan baik ini akan menyebabkan kegagalan refleks tersebut dan akibatnya timbullah
kontraksi yang buruk.
Hubungan antara posisi posterior, sikap ekstensi dan posisi melintang yang macet,
(transverse arrest) dengan kerja uterus yang salah telah diketahui dengan baik. Malposisi
menyebabkan gangguan uterus, dan jika keadaan ini bisa diperbaiki, maka kontraksi
kerapkali kembali menjadi baik.
Penurunan yang lambat dan pembentukan segmen bawah uterus yang tidak lengkap
merupakan tanda dini inkoordinasi rahim. Disproporsi cephalopelvik dalam derajat yang
ringan menjadi predisposisi timbulnya kerja uterus yang tidak terkoordinasi
atau incoordinate uterine action.
7) Iritasi uterus
Rangsangan yang tidak tepat pada uterus oleh obat-obatan atau oleh tindakan manipulasi
intrauterine dapat megakibatkan terjadinya inkoordinasi uterus

d. Tanda dan Gejala


Gambaran klinis berupa persalinan lama tanpa adanya disproporsi fetopelvik. Pada sebagian
daerah otot uterus terjadi hipertonus, peningkatan tegangan dan spasme yang yang
menetap sekalipun diluar kontraksi. Tekanan intrauterine istirahat meningkat. Kontraksi
sering terjadi dan kekuatan serta periodisitasnya biasanya tidak teratur. Meskipun kontraksi
rahim acapkali kuat dan selalu menimbulkan rasa nyeri, kemajuan persalinan tetap lambat
atau tidak ada. Serviks membuka dengan lambat, dan bagian terendah hanya maju sedikit
atau sama sekali tidak mengalami kemajuan. Kondisi ini terjadi pada segala derajat, dari
yang ringan hingga yang paling berat.
Persalinan mula-mula bisa berlangsung normal atau sejak permulaan sudah inkoordinasi.
Ketuban pecah dini sementara serviks masih tertutup dan belum mendatar acapkali terlihat.
Pasien terus mengeluhkan nyeri dan kalau pada pemeriksaan tidak ditemukan kemajuan
persalinan, kita dapat menyimpulkan bahwa ibu tersebut memberikan keluhan yang
berlebihan bila dibandingkan keadaan yang sebenarnya. Walaupun begitu, dokter kebidanan
ya ng berpengalaman akan mengenali keadaan ini dan memberikan sedasi. Setelah suatu
masa istirahat (bebas kontraksi), pola kontraksi mungkin kembali normal atau tetap terjadi
inkoordinasi. Semakin lama serangan kontraksi yang bersifat kolik itu semakin meningkat.
Pasien mendekapkan kedua belah tangannyapada daerah uterus yang peka tersebut untuk
melindunginya. Akhirnya diperlukan sedasi lebih dalam lagi.
Persalinan berlangsung lama, khususnya kala I, karena pada kerja uterus yang tidak
terkoordinasi, serviks tidak berhasil membuka secara normal. Setelah jangka waktu yang
panjang: (1) serviks dapat berdilatasi penuh, dan bayi dilahirkan secara spontan atau
dengan bantuan forceps: (2) digunakan metode mempercepat dilatasi serviks sebelum bayi
dapat diekstraksi: atau (3) kelahiran tidak bisa dilangsungkan pervaginjam sehingga
dilaksanakan sectio caesarea.
Yang khas pada keadaan ini adalah adanya keluhan nyeri sebelum uterus terasa mengeras,
dan nyeri tersebut tetap ada sekalipun uterus sudah lembek kembali. Kadang-kadang
timbul nyeri yang kontinyu, khususnya nyeri yang hebat pada daerah punggung. Pasien
menyadari bahwa persalinannya tidak maju-maju sehingga timbul kecemasan dan
hilangnya semangat yang memperburuk situasi. Akhirnya ia menjadi lelah serta dehidrasi
dan denyut nadi serta suhunya meningkat.
Serviks dapat tebal atau tipis, mungkin menempel secara pas dengan bagian terendah atau
tergantung secara longgar di dalam vagina. Serviks berdilatasi lambat sekali dan tidak
pernah tercapai dilatasi yang penuh. Pada kebanyakan kasus, dilatasi berhenti pada 6
hingga 7 cm. kadang kala bibir anterior serviks yang tebal dan oedematous ini terjepit di
antara os pubis dan kepala janin.
Pasien sering merasakan keinginan yang mendadak untuk mengedan sebelum serviks
terbuka penuh. Pendamping atau penolong persalinan harus menghentikan keinginan
mengedan ini karena pasien tersebut dapat menjadi letih tanpa kemajuan lebih lanjut.
Disini ada kecenderungan terjadinya retensio urin. Vomitus sering terjadi dan menambah
berat keadaan dehidrasi.
Diagnosis berdasarkan pada hal-hal berikut:
1) Kesan subjektif pasien terhadap kekuatan dan lamanya His
2) Kesan objektif pemeriksa terhadap lamanya kontraksi rahim, dan pendapatnya yang
sebagian objektif terhadap kekuatan kontraksi tersebut
3) Pengamatan terhadap efektifitas kontraksi dalam mempercepat kemajuan khususnya
dilatasi serviks
4) Penggunaan alat elektronik untuk memonitor kontraksi uterus dan denyut jantung janin.
(Oxorn, Harry and Forte, William R. 2010. Ilmu Kebidanan:Patologi dan Fisiologi Persalinan.
Yogyakarta: penerbit ANDI)

e. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada maternal:
1) Kelelahan
2) Perdarahan dan syok
3) Infeksi
4) Laserasi vagina pada kelahiran yang sulit
5) Pelepasan anuler atau laserasi seviks
Setelah 24 jam bahaya bagi ibu dan janin meningkat dengan tajam. Banyak ibu merasakan
penderitaan yang begitu hebat sehingga mereka menolak untuk menambah anak. Mortalitas
anak dibawah 1%.
Bahaya bagi janin
1) Asfiksia akibat persalinan lama dan akibat gangguan pada sirkulasi utero plasenta selama
kontraksi rahim yang lama dan kuat
2) Cedera pada saat kelahiran yang traumatic
3) Komplikasi pulmoner akibat asprasi air ketuban yang terinfeksi
Mortalitas fetal dibawah 15%. Prognosis dahulu jelek, khususnya akibat kelahiran traumatic
dengan forceps yang sering dilakukan sebelum serviks terbuka penuh dan dengan kepala
bayi yang belum masuk panggul. Perbaikan pada hasil hasil persalinan disebabkan oleh :
1) diagnosis dini kerja uterus yang tidak efektif
2) ekstraksi forceps pada waktu yang lebih tepat
3) bertambahnya penggunaan sectio caesarea
4) anastesi lebih baik
5) diagnosa dini hipoksia janin dengan monitoring elektronik denyut jantung janin

Lingkaran Retraksi dan Lingkaran Kontriksi


Lingkaran Retraksi
Bila retraksi rahim berlebihan waktu persalinan misalnya karena rintangan jalan lahir maka
terjadilah lingkaran retraksi patologis atau lingkaran bandl.
Adanya lingkaran bandl merupakan gejala ancaman robekan rahim. Lingkaran bandl
terjadi jika ketuban sudah pecah, pembukaan sudah lengkap dan bagian depan tidak dapat
maju. Terjadi misalnya pada kesempitan panggul, hydrocephalus, kelainan presentasi atau
posisi : letak lintang, letak dahi.
Gejala ancaman robekan rahim ialah :
1. Lingkaran retraksi naik sampai sedikit di bawah pusat atau lebih tinggi
2. His kuat, sampai tetania uteri
3. Ligamenta rotunda tegang juga di luar his, sehingga dapat teraba dari luar
4. Nyeri spontan dan nyeri tekan di atas simfisis karena regangan sbr. Mula-mula sewaktu his,
kemudian juga di luar his
5. Pasien gelisah dan nadi cepat
6. Terdapat darah dalam urine karena tekanan atau regangan vesica urinaria.

Lingkaran kontriksi
Lingkaran kontriksi adalah kekejangan melingkar dari sebagian otot rahim dan dapat terjadi
pada kala I, II maupun III. Pada letak kepala lingkaran ini menjepit anak antara kepala dan
bahu. Lingkaran kontriksi menghalangi turunnya anak sehingga menyebabkan dystocia.
Tempat lingkaran tidak berubah, berlainan dengan lingkaran retraksi yang naik dengan
majunya persalinan. Lingkaran ini tidak mengakibatkan ruptur uteri dan disebabkan karena
his yang tidak terkoordinasi.
Pada umumya hanya dapat diraba dengan pemeriksaan dalam walaupun ada kalanya dapat
diraba dari luar.

Perbedaan antara :
Lingkaran kontriksi Lingkaran retraksi patologis
Merupakan kekejangan otot Selalu terdapat pada batas
melingkar rahim pada suatu antara segmen bawah dan
tempat segmen atas rahim
Tempat lingkaran lebih tebal Dinding rahim di atas lingkaran
daripada daerah di atas atau lebih tebal dari dinding rahim
di bawahnya di bawah lingkaran
Dinding rahim di bawah Dinding rahim di bawah
lingkaran tidak teregang lingkaran sangat teregang
Dapat terjadi dalam Kala I, II Selalu terjadi dalam kala II
dan III
Tidak berubah tempat Berangsur naik ke atas
Jarang teraba dengan palpasi Teraba dengan palpasi
luar
Keadaan umum pasien cukup Keadaan umum pasien buruk
baik
Sebab : selaput janin robek Sebab : bagian depan anak
sebelum waktunya ; tindakan terhalang kemajuannya
intrauterin

f. Patofisiologi
Tonus otot uterus yang menarik menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras dan lama bagi
ibu dan dapat pula menyebabkan hipoksia pada janin. His jenis ini juga disebut sebagai
uncoordinated hypertonic uterin contraction. Kadang-kadang pada persalinan lama dengan
ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini menyebabkan spasmus sirkuler setempat,
sehingga terjadi penyempitan kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran
kontraksi. Lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana, akan tetapi biasanya ditemukan pada
batas antara bagian atas dan segmen bawah uterus. Lingkaran konstruksi tidak dapat
diketahui dengan pemeriksaan dalam, kecuali kalau pembukaan sudah lengkap, sehingga
tangan dapat dimasukkan ke dalam kavum uteri. Oleh sebab itu jika pembukaan belum
lengkap,biasanya tidak mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti. Adakalanya persalinan
tidak maju karena kelainan pada serviks yang dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini
bisa primer atau sekunder. Distosia servikalis dinamakan primer kalau servis tidak
membuka karena tidak mengadakan relaksasi berhubung dengan incoordinate uterin action.

g. Penatalaksanaan
1) Anamnesa
ibu mengatakan merasa kesakitan yang luar biasa, merasa cemas.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memperlihatkan:
a) Dilakukan observasi pasien yang berhubungan dengan keadaan umumnya, besarnya rasa
nyeri dan derajat kemajuan persalinan
b) Uterus dipalpasi untuk menentukan tipe dan beratnya kontraksi
c) Pemeriksaan vaginal memperlihatkan posisi, stasiun, ukuran caput, kondisi serviks, adanya
cincin kontriksi dan setiap disproporsi
d) Pada kasus-kasus yang meragukan dilakukan pemeriksaan sinar X untuk menyingkirkan
diproporsi fetopelvik atau posisi abnormal
3) Pengelolaan Kasus
Pencegahan
a) Perasaan takut diatasi dengan prewatan prenatal yang baik
b) Analgesi digunakan jika perlu untuk mencegah hilangnya pengendalian
c) Sedasi berat diberikan pada persalinan palsu agar pasien tidak kecapaian ketika benar-
benar menjalani persalinan yang sesungguhnya.
Tindakan Umum :
a) Semangat pasien harus dipertahankan
b) Infuse dilakukan untuk memberikan cairan atau hidrasi. Larutan menyediakan kalori dan
mencegah terjadinya asidosis
c) Kandung kemih harus dikosongkan bilamana perlu
d) Terapi antibacterial dilakukan jika ada indikasi
Sedasi dan Analgesi
Meskipun sedasi dengan jumlah yang berlebihan dapat merintangi uterus berkontraksi,
penggunaan sedasi yang tepat tidak akan mengganggu persalinan yang sebenarnya. Pasien
memerlukan sedasi untuk meredakan kecemasannya dan memerlukan analgesi untuk
mengatasi rasa nyeri. Seringkali sedasi dan istirahat dapat mengubah persalinan yang
buruk menjadi persalinan yang lebih baik. Analgesi epidural lumbalis yang kontinyu sering
efektif untuk memperbaiki koordinasi uterus.
Stimulasi Uterus
Uterus harus dirangsang hanya dalam kondisi hipotonik. Jika uterus berada dalam
keadaan hipertonik, stimulasi akan memperburuk keadaan. Metode stimulasi :
a) Menyuruh pasien berjalan-jalan untuk mempertahankan bagian terendah tetap pada serviks
b) Pemberian oksitosin yang sebaiknya diencerkan dengan cairan infuse
c) Ketuban dipecah (artificial rupture)
Tindakan Operatif
a) Bila kepala janin sudah rendah dan serviks telah menipis, bisa dilakukan dilatasi serviks
secara manual dan bibir anteriornya didorong melewati kepala janin
b) Rotasi dan ekstraksi dapat dilakukan dengan forceps bilamana serviks benar-benar terbuka
penuh. Tindakan ini tidak boleh ditunda sampai keadaan ibu dan janin menjadi jelek.
c) Saat ini semakin sering dilakukan sectio caesarea. Tindakan ini lebih aman bagi ibu dan
anak dibanding kelahiran traumatic pervaginam
Cincin Konstriksi
Obat-obat yang melemaskan otot rahim dan anestesi yang dalam dapat dicoba. Jika
percobaan ini berhasil melepaskan konstriksi, janin diekstraksi dengan forceps. Akan tetapi,
kemungkinan section caesarea merupakan metode pilihan.
Cincin retraksi patologis dari bandl
Karena masalah utamanya adalah disproporsi cephalopelvik, maka section caesarea
merupakan terapi yang tepat. Jika bayinya sudah mati bisa dipertimbangkan tindakan
craniotomy.
Distocia Servikalis
a) Section caesarea merupakan prosedur pilihan bila serviks tidak mengadakan dilatasi
b) Dilatasi secara manual atau insisi pada serviks kadang-kadang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Kenneth, J. Levenn.2009.Obstetri Williams. Jakarta : EGC.

http://yennyshabraniti.blogspot.com/2010/09/dasar-teori-his-hipertonik.html

http://www.scribd.com/doc/38661561/Inersia-Uterus-Hipotonik

Varney, Helen, dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.

Yulianti, Lia,dkk.2010.Asuhan Kebidanan IV. Jakarta : Trans Info Media.


Varney, Hellen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Vol.1. Jakarta: EGC.
Oxorn, Harry and Forte, William R. 2010. Ilmu Kebidanan:Patologi dan Fisiologi Persalinan.
Yogyakarta: penerbit ANDI.

Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD. 1984. Obstetri Patologi. Bandung : Elstar Offset

Anda mungkin juga menyukai