Anda di halaman 1dari 12

KASUS YANG BERHUBUNGAN DENGAN

PEMECAHAN DILEMA ETIK”


Pemecahan Dilema Etik dalam Kasus Penderitaan Klien dan Euthanasia
Pasif
KASUS :

Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan metastase yang
telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami nyeri tulang yang
hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal itu
ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita itu mengubah
posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan
keluarganya pun meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan
diskusi perawat disimpulkan bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian klien.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma). Dilema etik merupakan

suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif

yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah.

Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan

bukan emosional. Kerangkan pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan

kerangka proses keperawatan / pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).

Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :

1. Mengembangkan data dasar

2. Mengidentifikasi konflik

3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan

mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat

5. Mendefinisikan kewajiban perawat

6. Membuat keputusan

PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK

1. Mengembangkan data dasar :

a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat

b.Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan penambahan dosis

morphin.
c.Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien

d.Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien dan

keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di bangsal

mereka bisa menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :

Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri yang tidak

berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Klien meminta penambahan dosis pemberian

morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarga mendukung keinginan klien agar terbebas dari

keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :

a.Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.

b.Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.

3.Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi

tindakan tersebut

a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.

Konsekuensi :

1)Tidak mempercepat kematian klien

2)Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung

3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri

4)Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut

b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.

Konsekuensi :

1)Tidak mempercepat kematian pasien

2)Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang nyeri)

3)Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi

c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila diperlukan.

Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada malam hari agar klien

bisa tidur cukup.

Konsekuensi :

1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi

2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup beristirahat.

3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.

4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :

Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang secara legal

dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu didiskusikan dengan klien dan

keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat
membantu klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi

pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon

nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari

keluarga, dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat

a.Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri

b.Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri

c.Mengoptimalkan sistem dukungan

d.Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang sedang

dihadapi

e.Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan

keyakinannya

6. Membuat keputusan

Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-masing terhadap

klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan / paling

tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan terlebih dahulu misalnya

manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan kemudian dievaluasi efektifitasnya.

Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang

sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.

DISKUSI :

Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat mengakibatkan

kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini

tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari euthanasia aktif adalah mempermudah

kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien

namun membiarkannya dapat berdampak pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi

untuk mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat ditatalaksanakan

oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak

dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri

klien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk

mengurangi nyeri dan penderitaan klien.

PRINSIP LEGAL DAN ETIK :

1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau pasif.

Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang.

Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan

pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat
kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang

tidak relevan.

2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda, diperbolehkan

untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun

hal tersebut memiliki efek sekunder untuk mempercepat kematiannya.

3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence) dapat

dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang

bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat dipandang

sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa

nyeri yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien merupakan

tindakan yang tepat (doing good).

DAFTAR PUSTAKA:

 Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and

Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line

 Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott

https://www.scribd.com/doc/224239503/Rik-Bpkm-Ethum#
Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus
Dilemma Etik dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik
January 18, 2011 by fitrianingrum admin

Pendahuluan

Dalam pembuatan keputusan klinik pada beragam kasus konkrit, seringkali mahasiswa kedokteran

atau bahkan dokter mengalami kesulitan. Apalagi bila kasus yang dihadapinya dalam keadaan

dilematis, atau (akan tetap) hidup atau (sebentar lagi) mati. Selain mereka harus berkonsentrasi

pada kegawatan pasiennya, mereka harus menenggang ancaman etikolegal yang akan merusak

reputasi profesinya. Apalagi dalam situasi akhir-akhir ini yang mengarah ke kedokteran-demi-

pembelaan (defensive medicine) akibat ramainya tuduhan malpraktek semena-mena. Reputasi

yang dibina puluhan tahun dapat hancur dalam semenit.

Keputusan klinik seperti di atas memang dibangun atas dua pilar utama, yakni : a) keputusan

medik atas permasalahan medik pasien dan b) keputusan etis atas isu etis pasien. Yang sehari-

hari “ada di kepala” (mindset atau paradigma) dokter adalah keputusan medik yang nyata dalam

ranah indikasi medik dari sistematika Jonsen & Siegler. Keadaan makin rumit ketika kita

mempertimbangkan sistematika etika praktis bagi klinisi (Jonsen & Siegler) yakni 3 komponen lain

: pilihan pasien, kualitas hidup dan fitur kontekstual begitu didominasi oleh komponen non medis,

yakni struktur budaya masyarakat. Sedangkan struktur masyarakat Indonesia sendiri adalah

plural. Mereka terdiri atas beragam suku, adat istiadat, dan latar belakang sosio-budaya dan

geografi yang tidak sama. Hal inilah yang membuat pada dokter sejak masa di bangku kuliah

kurang tertarik dengan hal-ihwal sosio-antropologi budaya.[1] Salah satunya adalah ketidak-

pastiannya. Padahal ketika di klinik, mereka terkaget-kaget ketika menghadapi kenyataan bahwa

”seni” (teknik) pengobatan pasien adalah juga sama-sama sebuah ketidak-pastian. Yang ”agak

pasti” dalam hal ini adalah keputusan medik karena dibangun oleh ilmu kedokteran yang bermodel

biomedik[2].

Pertemuan Nasional III Bioetika & Humaniora Kesehatan Indonesia, FKUI, Jakarta, 30 Nopember –

2 Desember 2004.

Sedangkan sebaliknya pertimbangan keputusan etis bukan berbasis biomedik, namun lebih tepat

menggunakan paradigma infomedik[3].

Isu etik.

Isu etik bukanlah isu medik. Ini merupakan titik pijak awal pembahasan permasalahan etika klinis.

Kegagalan menemukan isu etik dalam kasus konkrit di klinik seringkali akibat dangkalnya

pemahaman tentang etika kedokteran dalam metode deskriptif yang diajarkan sebelumnya.

Pengetahuan etika dalam metode deskriptif (apalagi dalam bentuk kuliah searah) kurang
menerampilkan logika berpikir dalam menguak aspek etis pasien yang dihadapinya, sehingga

seringkali menyebabkan konflik berkepanjangan. Hal ini sejalan dengan data bahwa klinisi 71%

sering terbantu untuk menemukan isu etik relevan oleh konsultan etik atau ”fatwa” komite etik

rumah sakit sebagai dasar pengelolaan pasiennya atau untuk metode belajar etika kedokteran.

[4] Padahal dengan latihan dialog berbasis pendekatan sistematik pemikiran klinis etis hal itu

dapat segera selesai.

Isu etik dalam kesejarahannya bersumber dari kaidah dasar moral (disingkat KDM atau moral

principle/principle-based ethics atau ethical guidelines) yang merupakan acuan tertinggi moralitas

manusia atau acuan generalisasi etik yang menuntun suatu tindakan kemanusiaan.[5] Bertolak

dari Childress & Beauchamp yang memaparkan adanya 4 KDM yakni beneficence, non-

maleficence, justice danautonomy dalam ”buku suci”nya The Principles of Biomedical Ethics

(1994). Ke 4 KDM tersebut kemudian ditinjau melalui etika, secara deduktif, apakah masih

merupakan maxim (kaidah dasar) yang berlaku normatif ketika dokter menghadapi kasus konkrit

di klinik. Hal ini amat mempengaruhi cara pemikiran kritis logis dari etika normatif, salah satu

cabang etika. Beberapa cara meneliti keberlakuan normatif masing-masing KDM tersebut pada

galibnya merupakan upaya meneliti pembenaran moral (moral justification) tuntunan tindakan

tertentu pada kasus etis konkrit tertentu sehingga tindakan klinisi dipandang sebagai tindakan

etis, walaupun dalam suasana ketidak-pastian medik dan penuh wacana moral yang mewarnai

praktek medik. KDM memberikan bahasa moral dan lingkup kerja analisis etik ditengah pluralitas

manusia seperti perbedaan agama, moral, politik bahkan perspektif filosofis. Inilah kekuatan 4

KDM (principle-based ethics)dalam memberi pegangan pembenaran moral dokter/tenaga

kesehatan yang bergerak dalam lapangan biomedik[6].

Tindakan etis disini begitu kuatnya berakar sehingga dalam pandangan etikolegal, tindakan

tersebut merupakan lingkup atau rangkaian pola tindakan preskriptif hukum. Tindakan etis

sekaligus dasar dari tindakan hukum inilah pada kasus klinis akan mewarnai pilihan konkrit

kebebasan profesi yang dapat dibenarkan secara moral dan doktrin hukum dalam bentuk

kewajiban etis (moral duty), sehingga dengan sendirinya sulit atau tidak mungkin dokter/rumah

sakit dijatuhi sanksi, baik etik, disiplin maupun hukum.

Pada kasus klinis konkrit, isu etis seringkali sudah nampak jelas pada saat mahasiswa memahami

sekilas namun cukup sistematik (proses ”insight” kasus) karena adanya satu KDM yang dominan

atau khas. ”Insight” diperoleh dari pilihan ”sambil lalu” : mana diantara 1 KDM yang paling

menonjol tanpa analisis mendalam atau repot-repot yang mewarnai isu etis kasus tersebut.

[7] Misalnya adakah isu etis atau masalah otonomi pasien, yang bermanifestasi pada kasus seperti

: perlunya informed consent, dipertahankannya rahasia pasien, keputusan terapi yang dibuat oleh

remaja yang sakit dll. Dalam konteks kasus tersebut, jelas bahwa isu etisnya diturunkan secara

sederhana dari keberlakuan normatif KDM yang paling relevan (hanya satu-satunya) yakni :
otonomi. Keberlakuan KDM otonomi sebagai isu etis disini adalah absolut atau sebagai kebenaran

yang tetap(fixed truth) yang membingkai ethical guidelines[8] pada kasus tersebut.

Ketegaran Moral.

Pembenaran moral yang diaplikasikan secara deduksi[9] berurutan ”ke bawah” ke ”yang khusus”

yakni ke arah kasus konkrit dari 1 KDM sebagaimana asalnya dari ”yang umum/teoritis” akan

menggunakan suatu cara berpikir lurus alias logis.[10]Bila pendeduksian itu sendiri merupakan

suatu keharusan (absolut, artinya tanpa ragu lagi bahwa tidak ada yang relatif karena konteksnya

dan kasusnya begitu khas untuk hanya 1 KDM) yang mengikat KDM tersebut (moral bindingness)

maka dari kasus sederhana tadi muncul warna isu etis khas yang mutlak harus dilaksanakan.

Disinilah KDM tersebut harus dideduksi hingga ke keputusan klinis-etis karena memiliki moral

stringency atau ketegaran moral.[11]

Akibat ”kekakuan rumusan” ini, deduksi akan mengawetkan logika berpikir karena metode ini

tidak serabutan atau asal-asalan, sepanjang dilakukan secara koheren. Tindakan serabutan yang

tidak konsisten dan koheren dengan pembenaran moral akan dengan segera ketahuan. Semisal

isu etisnya adalah otonomi. Disini tuntunan tindakan autonomy tersebut mutlak dan mengikat.

Artinya dalam kasus konkrit tersebut, secara etis dokter seharusnya akan lebih menghargai

keputusan yang dibuat oleh pasien. Bila ditengah tatanan perjalanan klinis tiba-tiba dokterlah –

tanpa konteks atau dasar situasi tertentu – yang justru membuat keputusan sepihak tanpa setahu

atau seijin pasien (artinya ia menggunakan KDM beneficence yang paternalistik), hal ini akan serta

merta dikenali dari deduksi pembenaran moralnya. Yakni disini bertentangan dengan KDM

autonomy, sehingga mudah sekali dicap bahwa tindakan dokter tersebut adalah tidak etis (tidak

bisa dibenarkan secara moral).

Namun tak jarang, pada satu kasus klinis terdapat saling pengaruh mempengaruhi lebih dari 1

KDM. ”Tabrakan” antar KDM dalam metode principle-based ethics di satu sisi akan

membingungkan para mahasiswa dalam tatanan klinik[12], mana KDM yang ”harus

dimenangkan”. Namun di sisi lain bila ada kelompok mahasiswa lain yang menyanggah dengan

KDM lain, justru akan memperkaya kemampuan kritis logis karena atas dasar KDM beneficence

misalnya, mahasiswa akan serta merta mampu berargumen logis terhadap mahasiswa atau pihak

lain (termasuk fasilitator atau nara sumber senior sekalipun) yang mendasarkan diri pada

argumen KDM autonomy.

Relevannya prima facie.

Dalam proses identifikasi KDM mana yang paling relevan atas kasus konkrit tertentu, ”tabrakan

antar KDM” tadi demikian kentalnya sehingga tetap sulit diyakinkan mana KDM yang paling

dominan. Kasus yang memuat ”tabrakan antar KDM” ini hingga ke tingkat analisis mendalam,

yang (tinggal) memunculkan ”2 dari 4 KDM” yang konteksnya secara nalar terkuat (artinya 2 KDM
tersebut memiliki ketegaran moral yang kuat, sedangkan 2 KDM lainnya ”tereliminasi” sementara),

inilah yang memunculkan suatu dilema etik. Pada kasus dilema atau simalakama etik ini bila

dilakukan suatu upaya diskusi yang kontinu dan makin mendalam, akan makin mengasyikkan

karena mahasiswa atau dokter akan berupaya mencari tambahan data baru yang berkaitan

dengan 3 konteks kasusnya (misalnya dengan menggali lagi 3 komponen non-medis Jonsen &

Siegler tersebut di atas).[13]

Maka tak jarang mereka akan lebih teliti dan ingin tahu lagi untuk melakukan anamnesis baru (re-

anamnesis) pasiennya atau keluarganya, sambil menunggu terkumpulnya data medik baru

(indikasi medik baru/yang lebih tepat, bila ada). Alhasil siapa yang mampu mengumpulkan basis

bukti data baru terbanyak dan relevan (kontekstual), akan lebih berpeluang memilih satu di antara

2 KDM yang saling bersitegang tersebut. Dialog antar 2 kubu yang saling mempertahankan KDM

paling absah disini merupakan proses terpenting permusyawaratan etis yang kelak merupakan

prosedur amat penting dalam keputusan klinis. Dengan begitu, jelas sekali disini bahwa dialog

antar klinisi bukan hanya berorientasi pada hasil upaya mediknya belaka, tetapi lebih pada proses.

Hal ini akan memberi ”perintah tanpa sadar” bagi mahasiswa/dokter untuk mengobservasi ”sisi

non medik” (dalam hal ini jadi sisi etis) pasiennya setiap saat ia melakukan asesmen klinis.

Pemilihan 1 KDM ter-”absah” sesuai konteksnya berdasarkan data atau situasi konkrit terabsah

inilah yang disebut pemilihan berdasarkan asas prima facie. Dua KDM yang dilematis tadi tetap

berlaku, sampai yang paling mutakhir ada ”novum” (bukti/konteks absah terbaru) yang

menggeser KDM tersisih, dengan memunculkan KDM yang lebih unggul. Jadi disini, prima facie

mirip seperti ”troef card” pada permainan kartu bridge, dimana kartu bernominal kecil, sepanjang

telah ditetapkan sebagai ”troef”, senantiasa dimenangkan dibandingkan dengan kartu As warna

lain yang bukan ”troef” pada permainan saat itu.

Dengan prinsip prima facie, dialog klinisi (yang diperankan mahasiswa) tentang dimensi etik

pasiennya lebih mengemuka untuk memecahkan masalah etik klinis ditengah berkecamuknya

perspektif moral yang saling bertentangan satu sama lain atau minimal tidak sejalan.[14] Prinsip

prima facie secara langsung atau tidak langsung akan merangsang mahasiswa untuk belajar aktif

(senantiasa mencari konteks terbaru yang terabsah) dan komprehensif (tidak melulu ilmu

kedokteran) khususnya dalam mempermahir penerapan kedokteran sebagai ”seni” kelak setelah ia

menghadapi pasien sesungguhnya.

Ciri-ciri KDM yang berbasis prima facie.

Dalam penanganan pasien di klinik, selain indikasi medik yang memang berpengaruh pada sisi

awalnya, namun pengelolaan pasien akan ditentukan pula oleh ”seni” yang berbasis ketegaran

moral KDM terabsah pada kasus konkrit sederhana. Bila pada kasus konkrit yang kompleks yang

mengarah ke dilema etik, maka diterapkan prinsip prima facie di antara 4 KDM dalam menerapkan
penanganan etikanya. Prinsip prima facie akan mempersyaratkan secara sederhana, adanya

konteks baru absah yang ada pada diri pasien atau keluarganya ketika tengah dalam proses

perawatan medik (proses bersamaan dengan adanya clinical judgment, yang berasal dari

kewenangan clinical privilege yang dipunyai dokter). Oleh karena itu diperlukan ciri-ciri KDM yang

demikian khasnya sehinggasetiap kali bila itu ditemukan pada diri pasien/keluarganya, secara

prima facie hal itu akan menjadi tuntunan umum yang berlaku secara etis. Dari ciri khas tersebut,

ketika konteksnya tiba, KDM yang lama ditinggalkan untuk diganti dengan KDM baru yang lebih

absah.

Untuk kepentingan pendidikan etika, secara sederhana uraian prima facie KDM tersebut adalah

nampak pada tabel berikut :

Dalam konteks beneficence, pada tabel di atas prinsip prima facienya adalah sesuatu yang

(berubah menjadi atau dalam keadaan) g umum. Artinya ketika kondisi pasien merupakan kondisi

yang wajar dan berlaku pada banyak pasien lainnya, sehingga dokter akan melakukan yang

terbaik untuk kepentingan pasien. Juga dalam hal ini dokter telah melakukan kalkulasi dimana

kebaikan yang akan dialami pasiennya akan lebih banyak dibandingkan dengan kerugiannya.

Dalam konteks non maleficence, prinsip prima-facienya adalah ketika pasien (berubah menjadi

atau dalam keadaan) gawat darurat dimana diperlukan suatu intervensi medik dalam rangka

penyelamatan nyawanya. Dapat pula dalam konteks ketika menghadapi pasien yang rentan,

mudah dimarjinalisasikan dan berasal dari kelompok anak-anak atau orang uzur ataupun juga

kelompok perempuan (dalam konteks isu jender).

Dalam konteks autonomy, nampak prima facie disini muncul (berubah menjadi atau dalam

keadaan) pada sosok pasien yang berpendidikan, pencari nafkah, dewasa dan berkepribadian

matang.

Sementara justice nampak prima facienya pada (berubah menjadi atau dalam keadaan) konteks

membahas hak orang lain se lain diri pasien itu sendiri. Hak orang lain ini khususnya mereka yang

sama atau setara dalam mengalami gangguan kesehatan. di luar diri pasien, serta membahas hak-

hak sosial masyarakat atau komunitas sekitar pasien.

Kesimpulan.
1. Metode pembelajaran etika kedokteran menggunakan Kaidah Dasar Moral (Principle-
based ethics) merupakan metode tangguh dalam mengusung konsep etika normatif
karena berperan memunculkan isu etik pasien, sebagai pendamping isu medik dalam
penanganan klinik.
2. Pemunculan isu etik pasien secara deduktif logik dari Kaidah Dasar Moral akan
memberi dampak cara berpikir kritis rasional bagi mahasiswa karena mereka terbiasa
melakukan analisis pembenaran moral sekaligus ketegaran moral.
3. Adanya 4 KDM yang masing-masing saling berebut untuk tampil sebagai acuan dasar
isu etik melalui prinsip prima facienya masing-masing sesuai dengan ciri-ciri konteks
”berubah menjadi” atau ”dalam keadaan) pasien, entah beneficence, entah non
maleficence, entah autonomy ataupun justice sebagaimana kasus konkrit di klinik,
diharapkan akan lebih menggairahkan cara menalar mahasiswa.
4. Prinsip prima facie praktis diharapkan akan menjadi model berpikir kritis yang dapat
diterapkan pada analisis etik pelbagai kasus konkrit lainnya, baik sebagai subyek
penelitian, pasien berdilema etik dalam perawatan yang memerlukan pemecahan etis
ataupun penelusuran pelanggaran etik profesi yang mungkin dilakukan oleh tenaga
medik atau tenaga kesehatan.

Kepustakaan
Penulis, pendidikan terakhir doktor filsafat, adalah Sekretaris MKEK Pusat IDI, Sekjen Jaringan

Bioetika & Humaniora Kesehatan Indonesia, anggota Komisi Bioetika Nasional, dan konsultan

etikolegal beberapa rumah sakit di Jakarta.

[1] Sedikit banyak hal ini akibat stereotip mahasiswa FK yang hampir semuanya berasal dari SMU

jurusan IPA yang begitu bangganya atas jurusannya, cenderung memandang sebelah mata IPS,

apalagi jurusan Budaya.

[2] Agus Purwadianto, Perkosaan Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia.Landasan Filosofis

Metodologi Pembuktian Hukum. Disertasi. Fak. Ilmu Budaya UI, Jakarta, 2003, hal. 245.

Paradigma ini akibat konsep dualisme tubuh-jiwa Cartesian, sehingga manusia dianggap hanya

tubuhnya saja ibarat mesin biologis, tanpa jiwa. Tubuh sakit manusia, sebagai organisme biologis

multikompleks dalam rangka menghilangkan penyebab penyakit tadi direduksi menjadi unsur faali,

seluler, molekular untuk menemukan agen atau faktor penyebab yang juga fisik. Hal ini sejalan

dengan status primer pengetahuan yang bertolak dari benda(matter) dan dunia material. Dokter

selaku subyek untuk menyembuhkan “obyek” tubuh sakit pasiennya melalui ilmu kedokteran

modern kemudian melakukan intervensi pengobatan secara mekanistik – reduksionistik, dengan

tindakan kimiawi, elektris, atau pembedahan dengan mengupayakan tindakan netralisasi terhadap

agen patogen penyebab sakit, suplementasi terhadap defisiensi faktor atau pengurangan terhadap

kelebihan faktor intrinsik penyebab penyakit tersebut, sehingga tercapai kembali kurva atau

norma normal dari deviasi terukur parameter biologis tubuh pasien pada proses perjalanan

penyakitnya. Lihat pula Laurence Foss & Kenneth Rothenberg. The Second Medical Revolution.,

Shaftesbury, Boston, 1988, hal 8.

[3] Agus Purwadianto, ibid. hal. 283. Sebagai mahluk swa-atur kompleks, manusia mampu

mengolah pesan-pesan eksternal yang berasal dari ragam jenjang organisasi dalam ranah fisik,

psikologis dan sosial serta lingkungan dengan landasan bahasa ilmu mekanika kuantum dan

termodinamika nirpulih serta teori informasi yang bertumpu kepada hukum-hukum infomedik.

Disini didalilkan bahwa penyakit manusia dapat diakibatkan oleh hasil interaksi program yang
melibatkan informasi dengan faal tubuh (pesan bio-aktif); saling pengaruh sadar atau tidak sadar

suatu determinan-sebab-kodeterminan-prevalensi-sebab-hasil; antara fisik dan psikis/faktor sosial

(pesan psiko-aktif/sosio-aktif); serta tekanan selektif alam (lingkup kesatuan kawasan tubuh,

biosfer) – tekanan selektif budaya (lingkup kesatuan kawasan jiwa, noosphere) dalam bentuk

pesan tekno-aktif. Lihat pula Laurence Foss, ibid, hal. hal. 298 – 301

[4] LaPuma J, Stocking CB, Silverstein MD et al. An Ethics Consultation Service in a Teaching

Hospital. JAMA 1988; 206 : 808 – 811, yang dikutip Bernard Lo.Resolving Ethical Dilemmas. A

Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore, USA, 1995, hal. 155.

[5] Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore,

USA, 1995, hal. 19

[6] Gillon R. Medical Ethics : Four principles plus attention to scope. British Med. Journal No. 309,

1994, hal. 184-188.

[7] Bila dalam kasus berbentuk teks, “insight” nampak pada kelompokan kasus, judul kasus, atau

ekspresi ungkapan yang menjadi simbol isu etis dalam bentuk kalimat langsung atau kalimat yang

diberi tanda tekanan khusus. Dalam bentuk tuturan/lisan, “insight” kasus tersebut nampak pada

saat dosen atau tayangan visual secara ekspresif menuturkannya atau mewarnai keseluruhan alur

cerita atau yang senantiasa diulang-ulang pengungkapannya (berdasarkan pola sentral berpikir

penutur kisah tsb). Bila mahasiswa masih bingung, insight dilanjutkan dengan proses identifikasi

KDM mana paling relevan dengan metode “asal sebut”/“itung kancing” (rule of thumb) diantara 4

KDM tersebut dalam teks atau tuturan kasus tsb. Yang penting tujuan insight adalah mahasiswa

mampu meneliti isu etik, bukan tergelincir atau terjebak ke isu medik belaka.

[8] Bernard Lo, loc.cit. hal. 20.

[9] James F. Childress. The Normative Principles of Medical Ethics, dalam Robert M. Veatch (ed).

Medical Ethics (2nd ed). Jones and Bartlett Publishers Massachusetts. 1997. hal 29 – 39. Aplikasi

adalah salah satu model untuk pembenaran moral, dalam hal ini menggunakan metode deduksi

logis.

[10] Selain aplikasi, menurut Henry Richardson (1990) hubungan KDM sebagai asas umum etika

dengan keputusan klinis-etis sebagai pendapat/putusan partikular etik dapat dilakukan dengan

dua model lain yakni : a)Ballancing/Penyeimbangan berupa melakukan petimbangan intuitif mana

azas yang saling bertentangan dalam kasus tersebut yang berpotensi menjadi dilemma etik) dan

b) Spesifikasi yakni merinci dari asas/KDM ke aturan/rule dalam hal makna, kisaran dan ruang

lingkupnya.

[11] Dalam kemutlakan pemberlakuan 1 KDM atas 1 kasus konkrit, dikenal istilah ketegaran

moral (moral stringency). Dalam 1 kasus sederhana, bukan kasus kompleks, ketegaran moral

merupakan satu-satunya tolok ukur etis tidaknya tindakan seorang dokter. Untuk metode

pembelajaran pengenalan isu etik, khususnya pada mahasiswa tahun pertama, pemberian
penekanan pada 1 KDM yang berciri-ciri khas atau unik yang membedakannya dari KDM lainnya

amatlah diperlukan, sehingga secara cepat mereka mampu mengungkapkan isu etik yang berbeda

dari isu medik. Moral stringency atas beberapa kasus yang berciri kemutlakan berlakunya 1 KDM,

secara satu persatu pada satu session amat diperlukan.

[12] Tata-letak klinik disini adalah situasi yang dijadikan latar belakang pembelajaran adalah

suasana klinik (dimana ada hubungan dokter – pasien di sarana kesehatan tertentu). Tata-letak

klinik dapat pula dan justru harus dilakukan, pada mahasiswa tahun pertama akademik, tanpa

harus menunggu tingkat klinik (early clinical exposure method).

[13] Hal ini akan sejalan dengan metode PBL (problem based learning) yang kini popular sebagai

“roh” pendidikan kedokteran di dunia. Artinya, pendalaman prinsip prima facie pada principle

based ethics, sama seperti metode pembelajaran lainnya apapun, tidak akan berarti apa-apa pada

mahasiswa yang pasif dan kurang bernalar.

[14] Adanya pemilihan isu etik ini akan sejalan dengan proses open inquiry (pada metode self

directed learning) yang amat bagus diterapkan sejak dini pada mahasiswa tingkat premedik atau

preklinik. Isu open inquiry ini sama relevannya ketika metode principle-based ethics ini

diberlakukan pada mahasiswa tingkat klinik, yakni memperkuat kemampuan problem

solving mereka. Bila pelaksanaan pembelajaran etika kedokteran ini terus menyambung dalam

bentuk kontinuum, maka diharapkan mereka akan mahir menyelesaikan kasus etika kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai