Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHANAN KEPERAWATAN DAN

RESUM KEPERWATAN PADA Ny.”S” DENGAN P2OO2


POST SC ATAS INDIKASI PEB
DI “RUANG FLAMBOYAN” RSUD MARDI WALUYO BLITAR
TAHUN 2018

Disusun Oleh :
ASMARA AGUSTINA
18640790

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NURS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KADIRI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sectio caesarea berarti bahwa bayi dikeluarkan dari uterus yang utuh melalui
operasi abdomen. Di negara-negara maju, angka sectio caesarea meningkat dari 5
% pada 25 tahun yang lalu menjadi 15 %. Peningkatan ini sebagian disebabkan
oleh “mode”, sebagian karena ketakutan timbul perkara jika tidak dilahirkan bayi
yang sempurna, sebagian lagi karena pola kehamilan, wanita menunda kehamilan
anak pertama dan membatasi jumlah anak (Jones, 2002).
Menurut statistik tentang 3.509 kasus sectio caesarea yang disusun oleh Peel
dan Chamberlain. Indikasi untuk sectio caesaria adalah disproporsi janin panggul
21%, gawat janin 14%, plasenta previa 11% pernah sectio caesaria 11%, kelainan
letak janin 10%, pre eklamsi dan hipertensi 7% dengan angka kematian ibu
sebelum dikoreksi 17% dan sesudah dikoreksi 0,5% sedangkan kematian janin
14,5%(Winkjosastro, 2005).
Menurut Andon dari beberapa penelitian terlihat bahwa sebenarnya angka
kesakitan dan kematian ibu pada tindakan operasi sectio caesarea lebih tinggi
dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Angka kematian langsung pada
operasi sesar adalah 5,8 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kesakitan
sekitar 27,3 persen dibandingkan dengan persalinan normal hanya sekitar 9 per
1000 kejadian. WHO (World Health Organization) menganjurkan operasi sesar
hanya sekitar 10-15 % dari jumlah total kelahiran.
Anjuran WHO tersebut tentunya didasarkan pada analisis resiko-resiko yang
muncul akibat sesar. Baik resiko bagi ibu maupun bayi. (Nakita, 2008). Pada
tahun 2007-2008 jumlah persalinan dengan tindakan sectio caesarea di Rumah
Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh berjumlah 145 kasus dari 745 persalinan
keseluruhannya atau 19,46 %. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa angka
tersebut sudah melebihi batas yang ditetapkan oleh WHO yaitu 10-15 % (Iqbal,
2002).
Post partum dengan sectio caesaria dapat menyebabkan perubahan atau
adaptasi fisiologis yang terdiri dari perubahan involusio, lochea, bentuk tubuh,
perubahan pada periode post partum terdiri dari immiediate post partum, early
post partum, dan late post partum, proses menjadi orang tua dan adaptasi
psikologis yang meliputi fase taking in, taking hold dan letting go.
Selain itu juga terdapat luka post op sectio caesarea yang menimbulkan
gangguan ketidaknyamanan : nyeri dan resiko infeksi yang dikarenakan
terputusnya jaringan yang mengakibatkan jaringan terbuka sehingga memudahkan
kuman untuk masuk yang berakibat menjadi infeksi. Dengan demikian klien dan
keluarga dapat menerima info untuk menghadapi masalah yang ada, perawat juga
diharapkan dapat menjelaskan prosedur sebelum operasi sectio caesarea dilakukan
dan perlu diinformasikan pada ibu yang akan dirasakan selanjutnya setelah
operasi sectio caesarea.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada “Ny. S” dengan post SC
PEB di ruang Flamboyan di RSUD Mardi Waluyo Blitar?

1.3 Tujuan
Mampu mengembangkan tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien
dengan post SC PEB.
1.4 Manfaat
a. Bagi Penulis
Mampu mengetahui dan menambah pengetahuan tentang post SC dengan
PEB dan dapat memberikan Asuhan Keperawatan pada klien.
b. Bagi Universitas
Penulis mampu menambah meningkatkan pengetahuan tentang post SC
dengan PEB.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono, 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga
histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1998)

2.2 Etiologi
Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea
adalah plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks,
preeklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak lintang
dan letak bokong.
Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah
ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan
indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari
beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab
sectio caesarea sebagai berikut :
1. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
2. KPD (Ketuban Pecah Dini)
3. Janin Besar (Makrosomia)
4. Kelainan Letak Janin
5. Bayi kembar
6. Faktor hambatan jalan lahir
7. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.
Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan
mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar, 1998).
Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema,
dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya
terjadi pada trimester III kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya,
misalnya pada mola hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu
dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi,
kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang
biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan
tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila tekanan diastolik
naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100 mmHg atau
lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah
dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada kedaan istirahat
(Wiknjosastro, 2002).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam
jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan
serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang
ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa
berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan berat badan
setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap
normal, tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa kali,hal ini
perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklamsia.
Protenuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang
melebihi 0,3 gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan kualitatif
menunjukkan satu atau dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air
kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil minimal 2 kali dengan
jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari pada
hipertensi dan kenaikan berat badan karena itu harus dianggap sebagai
tanda yang cukup serius (Wiknjosastro, 2002).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal ialah
pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti, mengenali
tanda-tanda sedini mungkin, lalu diberikan pengobatan yang cukup
supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan utama penanganan
adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi, hendaknya janin
lahir hidup dan trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).
Menurut (Manuaba, 1998) gejala pre-eklamsi berat dapat diketahui
dengan pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg,
oliguria urin kurang 400 cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada
keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri epigastrium, gangguan
penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar enzim hati
meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari
100.000/mm.
Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat
diikuti oleh koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari
mengobatinya, karena sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa
akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi bertujuan untuk
menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan
secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar mengurangi
trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).

2.3 Tujuan Sectio Caesarea


Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat
lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen
bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan
plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi
kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk
kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada placenta previa
walaupun anak sudah mati.
2.4 Jenis – Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)
1. Abdomen (SC Abdominalis)
a. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang
pada corpus uteri. Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada
segmen bawah uterus.
b. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis
dan dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila:
a. Sayatan memanjang (longitudinal)
b. Sayatan melintang (tranversal)
c. Sayatan huruf T (T Insisian)
3. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira 10cm.
Kelebihan:
a. Mengeluarkan janin lebih memanjang
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonial yang baik.
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan.
c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka bekas SC
klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan pada luka bekas
SC profunda biasanya baru terjadi dalam persalinan.
d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya
ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -
kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya adalah
memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk tujuan ini
maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
4. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah
rahim kira-kira 10cm
Kelebihan:
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan
lebih kecil
Kekurangan :
a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan
yang banyak.
b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

2.5 Komplikasi
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis,
sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum
pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada
faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus
lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya
infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat
dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih
berbahaya daripada SC transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Luka kandung kemih
d. Embolisme paru – par
e. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah
sectio caesarea klasik.

2.6 Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic,
rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia,
distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan
perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan
fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas
perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit
perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi
pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas
jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal
ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan
menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah
insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat
dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit

2.8 Penatalaksanaan Medis Post SC


1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung
elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada
organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam
fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung
kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam
pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang
sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak
pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi
tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian Obat –Obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap
institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
4) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah
dan berdarah harus dibuka dan diganti
5) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan
darah, nadi,dan pernafasan.
2.9 MASA NIFAS
1. Definisi
Masa nifas ( Puerpenium ) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar
dan berakhir ketika alat– alat kandungan kembali seperti keadaan semula
(sebelum hamil ). Masa ini berlangsung selama kira–kira 6 minggu
(Sulistyawati, 2009).
Menurut Rustam Mochtar (1998) dalam bukunya yang berjudul Sinopsis
Obsetri Jilid I, mengatakan bahwa masa nifas ( puerpenium ) adalah masa pulih
kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat – alat kandungan kembali
seperti pra-hamil. Lamanya masa nifas ini yaitu 6-8 minggu.

2. Tahapan Masa Nifas


Masa nifas dibagi menjadi 3 tahap yaitu puerpenium dini, puerpenium
intermedial, dan remote puerpenium.
a. Puerpenium Dini Puerpinium dini merupakan masa kepulihan, yang dalam
hal ini ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan – jalan. Dalam agama
islam, dianggap bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
b. Puerpenium Intermedial Puerpenium intermedial merupakan masa
kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia, yang lamanya sekitar 6-8 minggu.
c. Remote Puerpenium Remote puerpenium merupakan masa yang diperlukan
untuk pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu
persalinan mempunya komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat
berlangsung selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan.
(Sulistyawati, 2009).
3. Involusi Alat – Alat Kandungan
a. Uterus
Secara berangsur-angsur menjadi kecil ( involusi ) sehingga akhirnya
kembali seperti sebelum hamil.
Involusi TFU Berat Uterus
Bayi Lahir Setinggi Pusat 1000 gram
Uri Lahir 2 Jari Bawah Pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simpisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba diatas simpisis 350 gram
6 minggu Bertyambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram

b. Bekas implantasi uri


Placental bed mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri
dengan diameter 7,5 cm. Sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu
keenam 2,4 cm, dan akhirnya pulih.
c. Luka - luka
Pada jalan lahir bila tidak disertai infeksi akan sembuh dalam 6-7 hari.
d. Rasa sakit
Disebut after pains (meriang atau mules-mules) disebabkan kontraksi
rahim, biasanya berlangsung 2-4 hari pasca persalinan.
e. Lochea
Adalah cairan secret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam
masa nifas.
1) Lochea rubra (cruenta ) : berisi darah segar dan sisa-sisa selaput
ketuban, sel - sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium
selama 2 hari pasca persalinan.
2) Lochea Sanguinolenta : berwarna merah kuning berisi darah dan
lendir, hari ke 3-7 pasca persalinan.
3) Lochea Serosa : berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada
hari ke7-14 pasca persalinan.
4) Lochea Alba : cairan putih, setelah 2 minggu.
5) Lochea Purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau
busuk.
6) Lochiostasis : lochea tidak lancer keluar.
f. Serviks
Setelah persalinan, bentuk serviks agak menganga seperti corong
berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang terdapat
perlukaan kecil. Setelah bayi lahir, tangan masih bisa masuk rongga rahim,
setelah 2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya dapat
dilalui 1 jari.
g. Ligament – ligament
Ligament, fasia, dan diafragma felvis yang meregang pada waktu
persalinan, setelah bayi lahir, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan
pulih kembali sehingga tidak jarang uterus jatuh ke belakang dan menjadi
retrofleksi, karena ligamentum rotundum menjadi kendur.

4. Penanganan Masa Nifas


Tindakan yang baik untuk asuhan masa nifas normal pada ibu :
A. Kebersihan Diri
1) Anjurkan menjaga kebersihan seluruh tubuh.
2) Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan
sabun dan air. Pastikan ia mengerti untuk membersihkan daerah
disekitar vulva terlebih dahulu dari depan kebelakang baru dilanjutkan
ke daerah sekitar anus.
3) Sarankan ibu untuk mengganti pembalut setidaknya 2 kali sehari. Kain
dapa digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik, dikeringkan di
bawah matahari dan disetrika.
4) Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
5) Sarankan untuk tidak menyentuh daerah luka jika memiliki luka
episiotomy atau laserasi.
B. Istirahat
1) Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang
berlebihan.
2) Sarankan ibu untuk kembali ke kegiatan - kegiatan rumah tangga biasa
secara perlahan - lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi
bayi tidur.
C. Gizi
Ibu menyusui harus :
1) Mengkonsumsi tambahan 500 kalori setiap hari.
2) Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral, dan
vitamin yang cukup.
3) Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari ( anjurkan ibu untuk minum
setiap kali menyusui).
4) Tablet zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya
selama 40 hari pasca persalinan.
5) Minum kapsul vit. A (200.000 unit) agar bisa memberikan vitamin A
kepada bayinya melalui ASInya.
D. Perawatan Payudara
1) Menjaga payudara tetap bersih dan kering.
2) Mengenakan BH yang menyokong payudara.
3) Apabila putting susu lecet, oleskan kolostrum atau ASI pada sekitar
puting susu setiap kali selesai menyususi.
E. Cara Menyusui Yang Benar
a) Posisi Badan Ibu dan Badan Bayi
1) Ibu duduk atau berbaring dengan santai
2) Pegang bayi pada belakang bahunya, tidak pada dasar
kepala
3) Rapatkan dada bayi dengan dada ibu atau bagian bawah
payudara
4) Tempelkan dagu bayi pada payudara ibu
5) Dengan posisi seperti ini telinga bayi akan berada dalam
satu garis dengan leher dan lengan bayi.
6) Jauhkan hidung bayi dari payudara ibu dengan cara
menekan pantat bayi dengan lengan ibu.
b) Posisi Mulut Bayi dan Putting Susu Ibu
1) Payudara dipegang dengan ibu jari diatas jari yang lain
menopang dibawah (bentuk C) atau dengan menjepit
payudara dengan jari telunjuk dan jari tengah (bentuk
gunting), dibelakang areola (kalang payudara).
2) Bayi diberi rangsangan agar membuka mulut (rooting reflek)
dengan cara menyentuh puting susu, menyentuh sisi mulut puting
susu.
3) Tunggu samapi bayi bereaksi dengan membuka mulutnya lebar dan
lidah ke bawah
4) Dengan cepat dekatkan bayi ke payudara ibu dengan cara
menekan bahu belakang bayi bukan bagian belakang kepala
5) Posisikan puting susu diatas bibir atas bayi dan berhadapan -
hadapan dengan hidung bayi.
6) Kemudian masukkan puting susu ibu menelusuri langit-langit mulut
bayi
7) Usahakan sebagian aerola (kalang payudara masuk ke mulut
bayi, sehingga puting susu berada diantara pertemuan langit-langit
yang keras (palatum durum) dan langit-langit lunak (palatum
molle)
8) Lidah bayi akan menekan dinding bawah payudara
dengan gerakan memerah sehingga ASI akan keluar dari
sinus lactiferous yang terletak dibawah kalang payudara
9) Setelah bayi menyusu atau menghisap payudara dengan
baik, payudara tidak perlu dipegang atau disangga lagi
10) Beberapa ibu sering meletakkan jarinya pada payudara
dengan hidung bayi dengan maksud untuk memudahkan bayi
bernafas. Hal itu tidak perlu karena hidung bayi telah
dijauhkan dari payudara dengan cara menekan pantat bayi
dengan lengan ibu
11) Dianjurkan tangan ibu yang bebas dipergunakan untuk
mengelus-elus bayi
c) Cara Menyendawakan Bayi
a) Letakkan bayi tegak lurus bersandar pada bahu ibu dan
perlahan - lahan diusap punggung belakang sampai bersendawa
b) Kalau bayi tertidur, baringkan miring ke kanan atau tengkurap.
Udara akan keluar dengan sendirinya
d) Tanda bahwa Bayi Mendapatkan ASI dalam Jumlah Cukup
1) Bayi akan terlihat puas setelah menyusu
2) Bayi terlihat sehat dan berat badannya naik setelah 2 minggu
pertama (100-200 gr setiap minggu)
3) Puting dan payudara tidak luka atau nyeri
4) Setelah beberapa hari menyusu, bayi akan buang air kecil 6 - 8 kali
sehari dan buang air besar berwarna kuning 2 kali sehari
5) Apabila selalu tidur dan tidak mau menyusui maka sebaiknya bayi
dibangunkan dan dirangsang untuk menyusui setiap 2 - 3 jam sekali
setiap harinya
F. Hubungan perkawinan dan rumah tangga
Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah
merah berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya kedalam
vagina tanpa rasa nyeri. Begitu darah merah berhenti dan tidak merasakan
ketidaknyamanan, aman untuk mulai melakukan hubungan suami istri
kapan saja ibu siap
G. Keluarga berencana
Idealnya pasangan harus menunggu sekurang-kurangnya 2 tahun
sebelum ibu hamil kembali. Namun, petugas kesehatan dapat membantu
merencanakan tentang keluarganya dengan mengajarkan kepada mereka
cara mecegah kehamilan yang tidak diinginkan.
H. Psikologis
1) Talking in : fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri,
pengalaman waktu melahirkan diceritakannya, kelelahan membuat ibu
cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur.
2) Talking hold : ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
tanggung jawab merawat bayi, perasaan sangat sensitif sehingga mudah
tersinggung jadi komunikasi kurang hati - hati, ibu butuh dukungan
untuk merawat diri dan bayinya.
3) Letting go : ibu sudah menerima tanggung jawab akan peran barunya,
ibu sudah menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya, keinginan
untuk merawat bayinya sudah meningkat pada fase ini.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
Data Umum
1. Identitas klien dan penanggung
2. Keluhan utama klien saat ini
3. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas
4. sebelumnya bagi klien multipara
5. Riwayat penyakit keluarga
Keadaan klien meliputi:
6. Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi. Kemungkinan
kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 mL
7. Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan
dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita. Menunjukkan
labilitas emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau
kecemasan.
8. Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
9. Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal epidural.
10. Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah,
distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus
mungkin ada.
11. Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
12. Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda /kering dan utuh.
13. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea sedang.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas
operasi
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur
pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi
4. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan
pembedahan
5. Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi

C. Rencana Asuhan Keperawatan


Dx. 1
Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin)
akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea) .
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan nyeri
klien berkurang / terkontrol dengan kriteria hasil :
o Klien melaporkan nyeri berkurang / terkontrol
o Wajah tidak tampak meringis
o Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai kemampuan
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor
presipitasi.
2. Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya wajah meringis)
terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
3. Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex: beraktivitas, tidur,
istirahat, rileks, kognisi, perasaan, dan hubungan sosial)
4. Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif, latihan
napas dalam, imajinasi, sentuhan terapeutik.)
5. Kontrol faktor - faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara)
6. Kolaborasi untuk penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.
Dx.2
Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan /luka bekas
operasi (SC) .
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 diharapkan klien tidak
mengalami infeksi dengan
kriteria hasil :
o Tidak terjadi tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio
laesea)
o Suhu dan nadi dalam batas normal ( suhu = 36,5 -37,50 C, frekuensi
nadi = 60 - 100x/ menit)
o WBC dalam batas normal (4,10- 10,9 10^3 / uL)
Intervensi :
1. Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko yang ada sebelumnya.
2. Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesa)
3. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
4. Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat / rembesan. Lepaskan
balutan sesuai indikasi
5. Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum / sesudah menyentuh
luka
6. Pantau peningkatan suhu, nadi, dan pemeriksaan laboratorium jumlah WBC
/ sel darah putih
7. Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht. Catat perkiraan kehilangan
darah selama prosedur pembedahan
8. Anjurkan intake nutrisi yang cukup
9. Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikas
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC

Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi.


Jakarta : EGC

Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi


dan KB. Jakarta : EGC

Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana


Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC

Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana


Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC

Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT


Gramedi

Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan


Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC

Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan


neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai