Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Kusta berasal dari bahasa India kustha yang dikenal sejak 1400 tahun SM. Kata Lepra
(salah satu sebutan lain kusta) disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew
zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta mempunyai nama
lain yaitu Morbus Hansen atau lepra. Kusta adalah penyakit menular kronik dan disebabkan
oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae). Kuman ini bersifat intra seluler obligat,
menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas kemudian ke organ lain seperti sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang, dan
testis kecuali susunan saraf pusat.1,4

B. EPIDEMIOLOGI
Kusta menyerang semua jenis kelamin dan semua jenis umur, baik pria dan wanita maupun
usia muda atau usia tua. Namun penyakit ini lebih banyak menyerang pria dibanding wanita
(1,5 : 1) . Insidensi tertinggi berada di usia 10 – 20 tahun, prevalensi puncaknya berada di usia
30 – 50 tahun.2,4
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola
penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara
nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun
2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di
Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah
Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per
100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan
angka
prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus
baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.4
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin , daerah tropis
dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat
membantu penyembuhan.1,4

C. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. M. Lepra berbentuk basil bersifat obligat intraseluler dengan ukuran 3-8
Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif. Kuman kusta tumbuh lambat,
untuk membelah diri membutuhkan waktu 12-13 hari dan mencapai fase plateau dari
pertumbuhan pada hari ke 20-40. Tumbuh pada tempratur 27-30oC (81-86oF)4

Gambar 1. Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen

D. PATOGENESIS
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penularan yang tersering adalah melalui
kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin.. Anggapan kedua ialah secara
inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari
dalam droplet. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang.5,6
Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem

2
imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah
tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.5,6
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari otak, dan yang
dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis.
Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteliod yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel .
Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.5,6
Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen
imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah
berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama
oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui beberapa proses yang
bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh
M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah
berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme
imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigan M.
Leprae.5,6
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi
dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan kulit yang terjadi lebih
ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat
simetris.5,6
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera
diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah

3
lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya
asimetris.5,6

Gambar 2. Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik

Gambar 3. Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik


Sel Schwann(SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae sehingga
menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat. Pengikatan M. leprae
ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi aksonal. Telah ditunjukkan
bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan spesifik protein laminin dari 21
kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas utama pada permukaan M.leprae.,
mengikat laminin-2, yang menjelaskan kecenderungan bakteri untuk saraf perifer .
Identifikasi M. leprae- SC reseptor yang ditaget,iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan
peran molekul ini dalam degenerasi saraf awal . Mycobacterium leprae induced
demyelination adalah hasil dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan
Erk1 / 2 aktivasi, dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.5,6
4
Gambar 4. Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan adanya
lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap lepromin

E. KLASIFIKASI
Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai
pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan
manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi. 4

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO


PB MB
1. Lesi kulit (makula  1-5 lesi  > 5 lesi
yang datar, papul  Hipopigmentasi/eritema  Distribusi
yang  Distribusi tidak simetris lebih
meninggi,infiltrat, simetris
plak eritem, nodus)
2. kerusakan
saraf(menyebabkan  Hilangnya sensasi yang
hilangnya jelas  Hilangnya
senasasi/kelemahan  Hanya satu cabang saraf sensasi
otot yang dipersarafi kurang jelas
oleh saraf yang  Banyak
terkena) cabang saraf

Pada klasifikasi yang lain, yaitu klasifikasi Ridley dan Jopling, kusta dibagi
menjadi kusta tipe TT, Ti, BT, BB, Li, dan LL. Klasifikasi ini berdasarkan spektrum
determinate pada penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu4:

5
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil sehingga tidak akan
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Kemudian tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran
50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.2
Pada tahun 1987 telah terjadi perubahan klasifikasi untuk kepentingan
pengobatan. Kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan
kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley- Jopling. Sedangkan kusta
MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi
klinisnya degan BTA positif , harus diobati dengan rejimen MDT-MB.4

Tabel 2. Zona Spektrum Kusta


Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda cardinal, yaitu:4
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa
suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi

6
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan
rambut yang terganggu
3. Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

F. GEJALA KLINIS

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya
anestesia sangat membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini mudah
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan
kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadapa rasa suhu,
yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Dehidrasi diperhatikan di
daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Diperhatikan
juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.2,4

Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran, konsistensi, dan
nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu, N.
Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis, N. Tibialis posterior dan
N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso, kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh
sedangkan bagi tipe tuberkuloid , kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikut tempat
lesinya.1

Deformitas pada kusta , dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. Leprae
, yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, mukosa respiratorius bagian
atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf, umunya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama kerana kerusakan saraf.4

Tabel 3. Gejala kerusakan saraf:

7
N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis lateral
N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. Fasialis - cabang zigomatik dan temporal menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. Trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea dan konjugtiva mata

Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang dapat membuat paralisis N. Orbikularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secarra sendiri-sendiri atau bergabung
akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.1,2,4

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat
timbul ginekomestia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis.1,2,4

8
Masa inkubasi kusta 40 hari– 40 tahun (rata-rata 3 – 5 tahun). Onset terjadinya
perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan
parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada
stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula yang bersifat sementara.
Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat,
dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali
sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama
kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas
dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki,
sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut.
Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata,
testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut. Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat
berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior,
radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa
tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4)
kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia
(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba).1,2,4

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrate saja, atau keduanya. Jika diperiksa secara inspeksi saja, penyakit ini mirip
dengan penyakit lain. Ada tidaknya anestesi sangat membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas1,4

Tabel 4 : Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)


SIFAT LL BL BB
Lesi
Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome
Difus, Papul, Nodul Papul Shaped (Kubah),
Tidak terhitung, Punched Out
Jumlah praktis tidak ada Sukar dihitung, Dapat dihitung,
kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas ada
sehat Asimetris
Distribusi Simetris Hampir simetris Agak Kasar/berkilat
Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Jelas

9
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Lebih Jelas
Anestesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak
Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negative

Tabel 5. Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)


SIFAT TT BT I
Lesi
Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat

Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa, atau Satu atau beberapa


satu dengan satelit

Distribusi asimetris Masih asimetris variasi


Permukaan kering bersisik Kering bersisik halus agak berkilat
Batas Jelas Jelas jelas/tidak
Anestesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi kulit Negatif Negatif/positif 1 Biasanya negatif
Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Positif lemah
sampai negatif

G. PEMERIKSAAN FISIK4

a) PEMERIKSAAN RASA RABA4


- Gunakan sepotong kapas yg ujungnya dilancipkan, periksalah dengan
menyentuhkan ujung dari kapas secara tegak lurus pada kelainan kulit
yang dicurigai
- Terangkan terlebih dahulu jika pasien merasakan sentuhan ia harus
menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya, jika lokasi

10
bercak sulit dijangkau minta pasien menghitung jumlah sentuhan atau
mengacungkan tangan
- Jika telah jelas, pemeriksaan yang sama dilakukan dengan mata pasien
tertutup. Kelainan dikulit diperiksa secara bergantian dengan kulit
yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anestesi

b) Palpasi saraf tepi4:


 Pemeriksa berhadapan dengan pasien
 Palpasi dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti pasien
 Pada saat meraba perhatikan:
- Apakah ada penebalan atau pembesaran
- Apakah saraf kiri dan kanan sama besar
- Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf

Gambar 5. Saraf tepi yang memiliki hubungan dengan manifestasi klinis kusta.

1. Saraf ulnaris4
 Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita
dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan pasien rileks
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari
sambil meraba saraf ulnaris didalam sulkus nervi ulnaris
 Dengan tekanan ringan gulirkan pada saraf ulnaris dan telusuri keatas
sambil memperhatikan mimik pasien
 Lakukan dengan cara yg sama untuk tangan kiri

11
Gambar 6. Pemeriksaan saraf ulnaris

2. N. peroneus Communis (poplitea lateralis)4


 Pasien diminta duduk dengan kaki dalam keadaan rileks
 Pemeriksa duduk didepan pasien dengan tangan kanan memeriksa
kaki kiri pasien dan tangan kiri memeriksa tangan kanan pasien
 Pemeriksa meletakan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan
betis bagian luar pasien sambil perlahan meraba keatas sampai
menemukan caput fibula.
 Setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf
peroneus 1 cm kearah belakang
 Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan kekanan dan
kiri sambil melihat mimik pasien

Gambar 7. Pemeriksaan saraf peroneus communis

3. N. tibialis posterior4
 Pasien duduk rileks
 Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba N. tibialis
posterior dibagian belakang bawah dari maleolus medialis dengan
tangan menyilang
 Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat
mimik pasien

12
Gambar 8. Pemeriksaan saraf tibialis posterior
c) Pemeriksaan sensoris, motorik dan kekuatan otot4:
1. Mata
 Fungsi motorik N. Facialis:
 Pasien diminta memejamkan mata
 Lihat dari depan/samping apakah mata tertutup sempurna atau
tidak
 Bagi mata yg tidak menutup rapat di ukur dan dicatat lebar
celahnya, misalnya lagophtalmos +3mm mata kiri atau kanan

Gambar 9. Pemeriksaan saraf facialis


 Fungsi sensoris: pemeriksaan kornea yaitu fungsi N. Trigeminus
 Tes motorik (Paresis / Paralisis)

2. Tangan4

Fungsi sensoris N. ulnaris dan medianus4
 Tangan yang akan diperiksa diletakan diatas meja / diatas paha
pasien / bertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa,
sehingga semua ujung jari tersangga
 Jelaskan pada pasien apa yang akan dilakukan, sambil
memperagakan dengan sentuhan ringan dari ujung ballpoint
pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangannya
 Bila pasien merasakan sentuhan diminta untuk menunjuk
tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain
 Tes diulangi sampai pasien mengerti dan kooperatif
 Pasien diminta menutup mata dan menunjuk tempat yang
disentuh
 Usahakan pemeriksaan titik-titik tersebut tidak berurutan
 Bila pasien tidak dapat menunjukan 2 titik/lebih berarti ada
gangguan sensoris pada saraf tersebut.

13
Gambar 10. Pemeriksaan saraf ulnaris dan medianus

Fungsi Motorik4
1) N. Ulnaris (kekuatan otot kelingking)4
 Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari manis, jari tengah,
dan telunjuk tangan kanan pasien dengan telapak tangan pasien
menghadap keatas dan posisi ekstensi
 Minta pasien mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari
lainnya. Bila pasien dapat melakukannya minta ia menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya dan kemudian
jari telunjuk pemeriksa mendorong pada bagian pangkal
kelingking.
 Penilaian :
o Bila jari kelingking pasien dapat menahan dorongan
pemeriksa berarti kekuatan otot nya tergolong kuat
o Bila jari kelingking pasien tidak dapat menahan dorongan
pemeriksa berarti kekuatan otot nya tergolong sedang
o Bila jari kelingking pasien tidak dapat mendekat atau
menjauh dari jari lainnya berarti sudah lumpuh
Bila hasil pemeriksaan masih meragukan, lakukan pemeriksaan
konfirmasi sebagai berikut:
o Minta pasien menjepit dengan kuat sehelai kertas yang
diletakkan diantara jari manis dan kelingking, lalu
pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada
tidaknya tahanan/jepitan terhadap kertas tersebut, kemudian
lakukan penilaian. Bila kertas terlepas dengan mudah,
kekuatan otot lemah. Bila ada tahanan terhadap kertas,
kekuatan otot masih kuat.

14
Gambar 11. Pemeriksaan saraf ulnaris

2) N. Medianus (kekuatan otot ibu jari)4


 Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai
kelingking tangan kanan pasien agar telapak tangan pasien
menghadap keatas dan dalam posisi ekstensi
 Ibu jari pasien ditegakan keatas sehingga tegak lurus terhadap
telapak tangan pasien, dan minta pasien mempertahankan posisi
tersebut
 Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari pasien
mendekati telapak tangan
 Penilaian :
o Kuat: bila ada gerakan dan tahanan kuat
o Sedang: bila ada gerakan dan tahanan lemah
o Lumpuh : bila tidak ada gerakan
Selalu bandingkan tangan kanan dan kiri untuk menentukan
adanya kelemahan

Gambar 12. Pemeriksaan saraf medianus

3) N. Radialis (kekuatan pergelangan tangan)4


 Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah
tangan kanan pasien
 Pasien diminta menggerakan pergelangan tangan kanan yang
terkepal keatas (ekstensi)
 Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menarik tangan pasien kearah pemeriksa
 Penilaian:

15
o Kuat : bila pasien mampu menahan tarikan
o Sedang : bila ada gerakan tapi pasien tidak mampu
menahan tarikan
o Lumpuh : bila tidak ada gerakan

Gambar 13. Pemeriksaan saraf radialis

3. Kaki

Fungsi sensoris N. tibialis posterior4
 Kaki kanan pasien diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki
menghadap keatas
 Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki pasien
 Cara pemeriksaan sama seperti rasa raba pada tangan. Bila pasien tidak
dapat menunjukan 2 titik/lebih berarti ada gangguan sensoris pada
saraf tsb

Fungsi motorik saraf peroneus communis4
 Dalam keadaan duduk, pasien diminta mengangkat ujung kaki dengan
tumit tetap terletak dilantai/ekstensi maksimal
 Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki pasien ka bawah/ lantai.
Penilaian :
- Kuat : bila ada gerakan dan pasien mampu menahan tekanan
- Sedang : bila ada gerakan tapi pasien tidak mampu menahan
tekanan
- Lumpuh : bila tidak ada gerakan

Gambar 7. Pemeriksaan saraf peroneus communis

16
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a)Pemeriksaaan bakterioskopik
Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan BTA Ziehl Neelsen. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit
yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan
ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena atas dasar pengalaman tempat tersebut
diharapkan mengandung basil paling banyak.1,2,4
M.Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang
utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran(granular). Bentuk solid adalah basil
hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B)
dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
(LP).4
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

b) Pemeriksaan histopatologi,
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel Virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur- unsur tersebut. Sel Virchow adalah histiosit
yang dijadikan M. Leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan.1,2
c) Pemeriksaan serologik
Didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. Leprae , yaitu
17
18antibody anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan 18antibodi antiprotein 16kD serta 35 kD.
Sedangkan antibody tidak spesifik antara lain antibody anti-lipoarabinomanan (LAM), yang
juga dihasilkan kuman M. Tuberkulosis.Pemeriksaan serologik kusta adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.1,2
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.
Leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi
Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan
kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti
mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.1,2

I. TERAPI
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang
direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut4 :
1. Penderita Pauci Baciler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas)
adalah:
 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28 :
 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
1 blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.
2. Penderita Multi Baciler (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas)
adalah :
 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 3 tablet Lampren @ 100 mg (300 mg)
 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg

18
Pengobatan harian: hari ke 2-28 :
 1 tablet Lamprene 50 mg
 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
1 blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan.

J. Pencegahan Kecacatan
Prinsip pencegahan bertambahnya cacat (3M)4 :
 Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
 Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
 Melakukan perawatan diri
a. Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat :
 Goresan kain baju, sarung bantal, tangan, daun, debu, rambut, asap, dll dapat
merusak mata akibatnya mata menjadi merah, meradang dan terjadi infeksi
yang mengakibatkan kebutaan.
 Mencegah kerusakan mata dengan
 Hindari tugas-tugas yanga ada debu
 Melindungi mata dari angin dan debu yang dapat mengeringkan mata
dengan memakai kacamata
 Mencuci mata dengan air bersih
 Waktu istirahat tutup mata dengan sepotong kain basah
 Sering bercermin untuk melihat kemerahan atau benda yang masuk ke
mata
b. Untuk tangan yang mati rasa
 Bisa terluka oleh :
 Benda panas seperti gelas panas, ceret, kwali, rokok, api, knalpot, dll
 Benda tajam
 Gesekan dari alat kerja, tali pengikat, batu, dll
 Pegangan terlalu kuat pada alat kerja
 Mencegah luka :
 Lindungi tangan dari benda panas, kasar, ataupun tajam dengan
menggunakan kaos tangan tebal atau alas kain.

19
 Membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan tugas
yang berbahaya bagi tangan yang mati rasa
 Sering berhenti dan memeriksa tangan dengan teliti apakah ada luka
atau lecet yang sekecil apapun
 Jika ada luka, memar, lecet rawat dan istirahatkan sampai sembuh.
c. Untuk kulit tangan yang kering
 Kekeringan akan mengakibatkan luka-luka yang kemudian terinfeksi
 Mencegah kekeringan
 Rendam selama 20 menit setiap hari dalam air dingin, lalu diolesi
minyak (minyak kelapa, atau minyak lain) untuk menjaga kelembaban
kulit.
d. Untuk jari tangan yang bengkok
 Kalau dibiarkan bengkok sendi menjadi kaku dan otot memendek sehingga
jari menjadi kaku dan tidak dapat digunakan serta menjadi luka.
 Cegah agar tidak kaku dengan cara :
 Sesering mungkin setiap hari memakai tangan lain untuk meluruskan
sendi-sendinya
 Taruh tangan diatas paha, luruskan jari dan bengkokkan jari berulang
kali.
 Pegang ibu jari dengan tangan lain dangerakkan sendi agar tidak kaku
 Kalau ada kelemahan membuka jari, kuatkan dengan :
 Taruh di meja atau paha dan pisahkan dan rapatkan jari berulang kali
 Ikat jari dengan 2-3 karet gelang lalu pisahkan lalu rapatkan jari
berulang kali
e. Untuk kaki yang semper
 Kalau kaki semper dibiarkan tergantung otot pergelangan kaki bagian
belakang akan memendek sehingga kaki tidak bisa diangkat. Jari-jari kaki
akan terseret dan luka. Dan oleh karena kaki miring saat melangkah akan
mudah terjadi ulkus di belakang jari kaki ke 4 dan 5.
 Untuk mencegah agar kaki yang semper tidak bertambah parah maka :
 Selalu pakai sepatu agar jari-jari tidak terseret dan luka
 Angkat lutut lebih tinggi saaat berjalan

20
 Pakai tali karet antara lutut dan sepatu untuk mengangkat kaki bagian
depan saat berjalan
 Pakai plastik atau kertas keras dari betis sampai telapak kaki agar kaki
tidak jatuh.
 Jaga supaya tidak menjadi kaku, dengan :
 Duduk dengan kaki lurus ke depan. Pakai kain panjang atau
sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki dan tarik
kearah tubuh
 Jika kaki semper tidak disertai luka maka dapat dilakukan
variasi latihan berikut. Latihlah kaki tersebut dengan berdiri
menghadap tembok dengan jarak 60 cm, lipat siku dan
sandarkan pada tembok. Dorong tubuh ke depan dengan tumit
tetap menapak ke lantai, dan tahan selama beberapa detik,
hingga terasa otot tertatik, kemudian dorong tubuh ke belakang,
lakukan beberapa kali.
 Jika kelemahan saja yang terjadi maka :
 Sering-seringlah mencoba mengangakt jari dan bagian depan kaki
tersebut
 Ikat karet (dari ban dalam) pada tiang atau kaki meja dan tarik tali
karet dengan punggung kaki lalu tahan beberapa saat kemudian ulangi
beberapa kali
f. Untuk kulit kaki yang tebal dan kering\
 Kulit yang kering mengakibatkan luka kecil yang terinfeksi
 Mencegah kulit kering dengan :
 Merendam kaki selama 20 menit setiap hari dalam air dingin.
 Gosok bagian yang menebal dengan batu gosok
 Diolesi minyak kelapa untuk kelembaban kulit
g. Untuk kaki yang mati rasa
 Kaki bisa terluka :
 Benda panas
 Benda tajam
 Gesekan septu atau sandal
 Tekanan tinggi atau lama berdiri, berjalan jauh, jongkok lama

21
 Cegah luka :
 Lindungi kaki dengan alas kaki
 Membagi tugas rumah tangga
 Sering berhenti dan memeriksa kaki
 Kalau ada luka, lecet atau memar segera diistirahatkan
 Alas kaki yang cocok :
 Empuk didalam
 Keras di bagian bawah
 Tidak mudah terlepas
 Tidak ada sepatu khusus
h. Untuk kaki yang borok
 Luka borok disebabkan karena menginjak benda tajam, panas atau kasar atau
memar yang tidak dihiraukan karen penderita tidak merasa sakit. Luka itu
terus terinjak karena BB penuh sampai kulit dan daging hancur. Luka
sebenarnya dapat sembuh sendiri apabila diistirahatkan beberapa minggu.
Perawatan yang tepat : bersihkan luka dengan sabun, rendam kaki dalam air
selama 20-30 menit, gosok pinggiran luka yang tebal dengan batu apung.
Setelah dikeluarkan dari air beri minyak di bagian yang tidak luka, balut lalu
istirahatkan kaki (jangan diinjakkan saat berjalan)
 Jika ada penderita yang telah menyelesaikan pengobatan kemudian mendapat
luka atau borok pada kaki seringkali merasa penyakit kusta kambuh, hal
tersebut salah. Luka pada kaki yang mati rasa bukan karena M. Lepra jadi
jangan mengulangi pemberian MDT.
 Jika pada ulkus tidak ada tanda infeksi berarti tidak ada infeksi sekunder oleh
bakteri lain, sehingga tidak perlu antibiotik.

I. Prognosis
Prognosis pada pasien tergantung dari luas lesi, klasifikasi penyakit, terdapat
keterlibatan saraf, dan deformitas. Prognosis untuk kesembuhan bergantung dari tingkat
kepatuhan pasien untuk meminum obat.1,3,4

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Berger, TG, Elston, DM, dan James, WD, 2016. Andrews Diseases of the Skin.
Clinical Dermatology. 12th Ed. Philadelphia : Elsevier.
2. Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Goldsmith LA, dan Wolff K. 2012.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed. Volume 1. USA ; McGraw-
Hill.
3. Wolff K dan Johnson RA. 2017. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical
dermatology. 8th Ed. USA ; McGraw-Hill.
4. Kementerian Kesehatan RI : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
2012.
5. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula.
2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67
6. Smith D.S. 5 January 2019. Leprosy http://emedicine.medscape.com/article/220455-
overview#a0104,.

23

Anda mungkin juga menyukai