Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

LAPORAN KASUS

Cedera Kepala dengan Lucid Interval

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp. S, M. Sc

Disusun Oleh:
Puteri Nashuha Shobirin
1810221017

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
TAHUN 2018/2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

CEDERA KEPALA BERAT

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:
Puteri Nashuha Shobirin
1810221017

Telah Disetujui Oleh Pembimbing:

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp. S, M. Sc

Tanggal: Januari 2019

2
1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. K
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin :Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ling. Manggis RT 002 RW 008 Bawen Ambarawa
Pekerjaan : Pembuat Tempe
Pendidikan : SMP
Status : Sudah menikah
No. RM : 150***
Masuk RS : 5 Januari 2019

2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis serta catatan rekam medik pada
tanggal 5 Januari 2019 pukul 14.30 di bangsal Mawar dan tanggal 7 januari 2019 pukul 15.00 di
bangsal Mawar.

Keluhan utama : Penurunan Kesadaran (kecelakaan lalu lintas)

Riwayat Penyakit Sekarang :


Anamnesa pada tanggal 5 januari 2019:
1 jam sebelum masuk rumah sakit pasien sedang berjalan kaki di tepi jalan raya, kemudian pasien
diserempet motor dari arah samping kiri dan pasien terjatuh secara tengkurap dengan bagian tubuh
sebelah kanan yang pertama kali membentur jalan aspal. Pasien tidak berguling dan tidak jatuh
mengenai benda tajam. Setelah terserempet dan kepala terbentur aspal jalanan, pasien tetap dalam
keadaan sadar dan dapat mengingat dengan baik mengenai apapun, baik sebelum maupun setelah
kejadian. Pasien dapat menceritakan kronologi kejadian dengan baik.
Pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat yang tiba-tiba saja muncul. Nyeri kepala dirasakan seperti
ditekan benda berat dan kepala terasa cekot-cekot. Nyeri kepala semakin hebat jika pasien

3
membuka mata dan saat perpindahan posisi, namun setelah masuk bangsal nyeri kepala sudah
berkurang.
Pingsan, kelemahan anggota gerak maupun kejang disangkal. Kesemutan dan baal juga disangkal.
Seluruh anggota gerak dapat digerakkan dengan baik, namun terasa sangat nyeri.
Selain itu pasien muntah sebanyak 2 kali dalam perjalanan ke rumah sakit dengan muntahan yang
langsung menyemprot tanpa didahului mual sebelumnya. Muntahan berisi air dan sedikit makanan.
Terdapat darah segar yang keluar dari telinga kanan pasien. Darah terus menerus keluar meskipun
sudah diberikan tampon yang dimasukkan ke telinga saat berada di IGD. Keluarnya darah dari
bagian lain disangkal.
Gigi pasien terlepas dan bibir pasien mengalami luka. Terdapat memar kebiruan pada daerah wajah
bagian kiri, namun tidak ada luka. Terdapat memar kebiran pada daerah sekitar telinga kiri, namun
tidak ada luka.
Sesak napas dan nyeri dada disangkal. BAK dan BAB secara normal tanpa ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat epilepsy : disangkal
 Riwayat kejang : disangkal
 Riwayat stroke : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit paru : disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat kejang : disangkal
 Riwayat stroke : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal

4
Riwayat Pribadi Sosial Ekonomi :
Pasien seorang pembuat tempe yang sehari-harinya berkerja dirumah untuk membuat tempe, lalu
tempe dikumpulkan ke distributor tempe didekat rumah pasien. Dalam kesehariannya pasien
beraktivitas tinggi dengan selalu berjalanan kaki. Selama ini pasien tidak mengeluh apapun
mengenai kondisi kesehatannya dan pasien dalam kondisi sehat menurut keluarga. Pasien datang
dengan status pasien umum kelas I dan kesan ekonomi cukup. Pasien tinggal dengan anak ke-5
serta suaminya dan 1 orang cucunya. Pasien dan keluarga cukup dekat satu sama lain.

Anamnesis Sistem :
1. Sistem Cerebrospinal :
Nyeri kepala (+), muntah menyemprot tiba-tiba (+), pingsan (-), kelemahan anggota gerak
(-), perubahan tingkah laku (-), wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan/baal (-), kejang
(-), penurunan kesadaran (-)
2. Sistem Kardiovaskuler :
Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-)
3. Sistem Respirasi :
Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-)
4. Sistem Gastrointestinal :
Mual (-), muntah (+), BAB (+)
5. Sistem Muskuloskeletal :
Kelemahan anggota gerak (-)
6. Sistem Integumen :
Terdapat memar pada dahi kiri, memar dan bengkak pada daerah sekitar telinga kanan dan
kiri, dan terdapat darah keluar dari telinga kanan
7. Sistem Urogenital :
BAK (+)

RESUME ANAMNESIS
Pasien perempuan berusia 70 tahun, 1 jam sebelum masuk rumah sakit terserempet sepeda motor
dan terjatuh ke arah kanan . Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dalam keadaan sadar dengan
nyeri kepala dan muntah yang langsung menyemprot. Nyeri kepala dirasakan seperti ditekan benda

5
berat dan kepala terasa cekot-cekot. Nyeri kepala semakin hebat jika pasien membuka mata dan
saat perpindahan posisi. Selain itu pasien muntah sebanyak 2 kali dalam perjalanan ke rumah sakit
dengan muntahan yang langsung menyemprot tanpa didahului mual sebelumnya. Muntahan berisi
air dan sedikit makanan. Terdapat darah segar yang keluar dari telinga kanan pasien. Darah terus
menerus keluar meskipun sudah diberikan tampon yang dimasukkan ke telinga saat berada di IGD.
Gigi pasien terlepas dan bibir pasien mengalami luka. Terdapat memar kebiruan pada daerah wajah
bagian kiri, namun tidak ada luka. Terdapat memar kebiruan pada daerah sekitar telinga kiri,
namun tidak ada luka.

DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinis : Cephalgia dan muntah proyektil post kecelakaan lalu lintas
Diagnosis Topis : Intra cranial
Diagnosis Etiologi : Cedera kepala ringan

DISKUSI I
Dari anamnesa didapatkan seorang pasien perempuan berusia 70 tahun, 1 jam sebelum masuk
rumah sakit terserempet sepeda motor dan terjatuh ke arah kanan. Pasien datang ke IGD RSUD
Ambarawa dalam keadaan sadar dengan nyeri kepala dan muntah yang langsung menyemprot.
Nyeri kepala dan muntah proyektil yang dialami pasien merupakan tanda adanya peningkatan
tekanan intra kranial akibat terkumpulnya volume perdarahan pada rongga intra kranial. Rongga
intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai dengan kapasitasnya dengan unsur
sebagai berikut: cairan serebrospinal (± 75 ml), dan darah (± 75 ml), otak (1400 g). Peningkatan
volume dari salah satu diantara ketiga unsur utama ini mengakibatkan tekanan yang meningkat
pada rongga intra kranial, jika tidak ada penekanan pada unsur lainnya. Doktrin Monro–Kellie
menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan volume yang tetap. Perubahan
salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan
perubahan tekanan intra kranial. Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain
cairan serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi menurunkan
aliran darah otak.
Perdarahan yang terjadi di dalam rongga intra kranial pada pasien ini diakibatkan oleh cedera
kepala yang dialami pasien pada saat kecelakaan baik secara coup maupun countercoup. Cedera

6
kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen (Perdossi, 2006). Cedera kepala dapat menyebabkan cedera pada kulit
kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak, oleh karenanya dinamakan juga cedera kranioserebral
yang masuk dalam lingkup neurotraumatologi yang menitikberatkan cedera terhadap jaringan
otak, selaput otak, dan pembuluh darah otak. Sampai saat ini belum ada definisi yang dapat
mencakup seluruh rumusan cedera kepala, tetapi menurut strubb, ada 2 pandangan pokok yang
penting, yaitu:
1. Adanya cedera yang disebabkan karena benturan pada kepala atau akselerasi-deselerasi
yang tiba-tiba dari otak di dalam rongga tengkorak
2. Adanya gangguan fungsi saraf yang terjadi. Gangguan fungsi saraf ini secara klinis dapat
berwujud berbagai macam bentuk, namun biasanya penurunan kesadaran merupakan
gambaran utama.
Terdapat darah segar yang keluar dari telinga kanan pasien. Darah terus menerus keluar meskipun
sudah diberikan tampon yang dimasukkan ke telinga saat berada di IGD. Perdarahan yang terjadi
kemungkinan akibat fraktur temporal kanan yang terjadi. Fraktur temporal terjadi pada 30% - 70%
dari semua kasus cedera kepala. Tulang temporal terdiri dari lima komponen yaitu tulang
skuamosa, timpani, styloid, mastoid, dan petrosus. Dari hasil CT Scan pasien mengalami fraktur
pars mastoidea os temporal kanan. Pada trauma tulang temporal sangat rawan terjadi kerusakan
organ-organ intratemporal. Tulang temporal menutupi organ-organ penting seperti saraf fasialis,
saraf vestibulokoklearis, koklea dan labirin, tulang-tulang pendengaran, membran timpani, kanalis
akustikus eksternus, sendi temporomandibular, dan vena jugularis serta arteri karotis. Komplikasi
fraktur tulang temporal antara lain penurunan pendengaran, kelumpuhan saraf wajah maupun
otogenik, dan kebocoran cairan serebrospinal.
Selain itu, gigi pasien terlepas dan bibir pasien mengalami luka. Terdapat memar kebiruan pada
daerah wajah bagian kiri, namun tidak ada luka.
Pada tanggal 7 januari 2019 pasien mengalami penurunan kesadaran dan menjadi gelisah. Pasien
tidak dapat diajak komunikasi dengan baik. Penurunan kesadaran dapat dinilai melalui Glow Coma
Scale yang telah dipakai secara umum untuk mengetahui tingkat kesadaran. Jika pasien dalam
keadaan sadar penuh maka nilainya adalah 15, pada pasien ini didapatkan nilai 8 yang artinya
pasien dalam keadaan somnolen dan mengalami cedera kepala berat.

7
Hal ini kemungkinan sedang terjadi on bleeding process atau akibat edema otak yang secara
berangsur-angsur meningkat sehingga keadaan umum pasien menurun. Edema otak yang terjadi
umumnya mencapai edema maksimum dalam waktu 36 hingga 48 jam setelah terjadi cedera
kepala. Hal tersebut tentu saja meningkatkan tekanan intra kranial sehingga terjadi kompensasi
lebih jauh berupa penurunan volume darah di dalam otak. Ketika volume darah diturunkan sampai
40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak hilang, gambaran EEG mulai berubah.
Kompensasi ini mengubah metabolisme otak, sering mengarah pada hipoksia jaringan otak dan
iskemia. Hipoksia jaringan otak dan iskemia yang terjadi mungkin merupakan penyebab dari
penurunan kesadaran pada pasien.
Kompensasi tahap akhir dari peningkatan tekanan intra kranial dan paling berbahaya adalah
pemindahan jaringan otak melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum
ke dalam kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari
kompresi batang otak yang terjadi.
Atas instruksi dari dokter Takdir, keluarga pasien menyutujui untuk memindahkan pasien ke ICU.
Pada keadaan seperti ini ICU dibutuhkan sebagai terapi non farmakologis untuk menjaga keadaan
umum pasien tidak menurun dan mengawasi pasien secara ketat.
Peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera kepala bisa menyebabkan peningkatan metabolisme
yang dapat memperburuk kondisi pasien, meningkatkan lama hari rawat dan menambah resiko
kematian sehingga menjaga suhu ruangan tetap dingin seperti pada ruangan ICU sangat
dibutuhkan oleh pasien. Tiap kenaikan suhu tubuh sebesar 1 derajat celsius meningkatkan laju
metabolisme basal sebesar 13%.

Landasan Teori

Langkah-langkah sistematis manajemen pasien cedera kepala, antara lain:


1. Mengetahui mekanisme cedera kepala
2. Memastikan beratnya cedera
Memastikan beratnya cedera kepala dapat menggunakan pemeriksaan kesadaran Glascow
Coma Scale (GCS) untuk menilai secara kuantitatif kelainan neorologis dan dipakai secara
umum dalam deskripsi beratnya penderita cedara kepala. Cedera kepala adalah trauma

8
mekanik terhadap kepala secara langsung. Berikut merupakan klasifikasi cedera kepala
berdasarkan GCS:
Cedera kepala ringan: GCS: 14-15
Cedera kepala sedang: GCS: 9-13
Cedera kepala berat: GCS: ≤ 8
3. Mencari morfologi cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
1) Fraktur kranium:
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.
2) Perdarahan epidural:
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regio
temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media. Manifestasi
klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid)
beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan
neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara
progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi
transcentorial.
3) Perdarahan subdural:
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan SDH ada yang akut dan kronik.
Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH
makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila
darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.
4) Perdarahan subarachnoid:
Terjadi pada ruang subarachnoid (pia meter dan araknoid). Biasanya kondisi ini
disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga

9
sering terjadi pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena.
Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala didaerah suboksipital secara tiba-tiba,
pusing, mual, muntah, demam, reflek patologi (+), ganguan kesadaran dan kaku kuduk.
Pemeriksaan CT scan untuk kondisi ini memiliki spesifitas yang rendah. Oleh karena
itu seringkali dilakukan CT angiografi untuk mengecek perdarahan subarachnoid.
5) Perdarahan intraserebral dan kontusio:
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau vena yang ada di
bagian parenkim otak. Region frontal dan temporal merupakan daerah yang paling
sering terkena namun selain itu dapat pula terjadi di lobus parietalis maupun pada
serebellum. Kontusio intraserebral yang dapat terjadi karena trauma melalui
jejas coupatau Jika kepala bergerak saat terjadi jejas, kemungkinan kontusio terjadi
disisi yang jauh dari tempat terjadinya jejas (countercoup). Apabila dua pertiga lesi
adalah darah, jejas terseebut disebut perdarahan. Gejala klinis pada perdarahan
Intraserebral yaitu: adanya penurunan kesadaran, defisit neurologis, tanda-tanda
peningkatan TIK, hemiplegi (gangguan fungsi motoric/sensorik pada satu sisi tubuh),
papilledema (pembengkakan mata).

Cedera Kepala

Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).

10
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48 %-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya dise babkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,
15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat
CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

Klasifikasi
a) Berdasarkan mekanisme
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus.
- Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul.
- Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul.
Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
b) Berdasarkan beratnya
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
- Ringan (GCS 13-15)
- Sedang (GCS 9-12)
- Berat (GCS 3-8)
c) Lesi intrakranial
1. Fokal
a. Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea
media.Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
(interval lucid) beberapa jam.Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif
disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi

11
yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala
herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan
berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran,
nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan
epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
b. Subdural
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang
akutdan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepalayang makin berat dan muntah
proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak mengganggu ARAS, dan
terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupalesi hiperdens
berbentuk bulan sabit. Biladarah lisis menjadi cairan, disebut higroma(hidroma)
subdural.
Perdarahan subdural terbagi atas 3 bagian yaitu:
o Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya
perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan subdural akut sering
dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak.
o Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera
dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral
yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
o Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang
subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler
dan secara pelan-pelan ia meluas. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa
minggu atau beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan
reaksi pupil dan motorik.

12
c. Perdarahan Subarachnoid
Terjadi pada ruang subarachnoid (piameter dan arachnoid). Etiologi yang paling sering
menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di
dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Kondisi ini juga dapat
disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga
sering terjadi pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena.
Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala yang hebat dan mendadak, hilangnya
kesadaran, fotofobia, meningismus, mual, dan muntah. Pemeriksaan CT scan untuk
kondisi ini memiliki spesifitas yang rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT
angiografi untuk mengecek perdarahan subarachnoid.
Komplikasi yang paling sering pada perdarahan subarachnoid adalah vasospasme dan
perdarahan ulang. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit
neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan
dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan
ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati
dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol,
esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100
mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah
sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme,
tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-220 mmHg.
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.

d. Difussa axonal injury


Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.

13
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali cedera komosio yang lebih
berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia
antegrad.
e. Komosio serebri
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma
kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Benturan pada kepala
menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian
disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan
demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible
terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih
menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma
tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis
diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses
patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit)
bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga
terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala:
pening/nyeri kepala, tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit, amnesia retrograde:
hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan
(beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan
pusat-pusat di korteks lobus temporalis. Post trumatic amnesia (anterograde amnesia):
lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang
dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia,
post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh
lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa
meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks
singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis
tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesia retrograde dan
anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri
76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada
amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan
amnesia anterograde. Gejala tambahan: bradikardi dan tekanan darah naik sebentar,

14
muntah-muntah, mual, vertigo (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin).
Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat
ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis) adalah nyeri
kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran
konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa
minggu; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering
capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak
gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik: 1). X foto
tengkorak 2). LP, jernih, tidak ada kelainan 3). EEG normal Terapi untuk komosio
serebri yaitu: istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap
penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam.
Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya
lusid interval hematoma.
f. Komosio klasik
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala
ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
g. Cedera aksonal difusa
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury) adalah keadaan dimana pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh
suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menuunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom
seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal
difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua
keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.

15
Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai berikut:
Minimal (Simple head injury) Tidak ada penurunan kesadaran
Tidak ada amnesia post trauma

Tidak ada defisit neurologi


GCS = 15
Ringan (Mild head injury) Kehilangan kesadaran <10 menit
Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio
atau hematom
Amnesia post trauma < 1 jam.
GCS = 13-15
Sedang (Moderate head injury) Kehilangan kesadaran antara >10 menit
sampai 6 jam
Terdapat lesi operatif intrakranial atau
abnormal CT Scan
Dapat disertai fraktur tengkorak
Amnesia post trauma 1 – 24 jam
GCS = 9-12
Berat (Severe head injury) Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam
Terdapat kontusio, laserasi, hematom, edema
serebral
abnormal CT Scan
Amnesia post trauma > 7 hari
GCS = 3-8

Adapun bila didapat penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai defisit neurologis dan
abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera
kepala berat (Perdossi, 2006). Tujuan klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase di gawat
darurat.

16
Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera
sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. 1) Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Gambar 1. Coup dan contercoup7
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi
akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Lebih lanjut keadaa Trauma kepala menimbulkan
edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya penurunan kesadaran,
muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada cedera
kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.

1. Perdarahan serebral
Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang menimbulkan
perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma seperti pada
epidural hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan periosteum tengkorak
dengan duramater akibat pecahnya pembuluh darah yang paling sering adalah arteri media
meningial. Subdural hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater

17
dengan subarahnoid. Sementara intracereberal hematoma adalah berkumpulnya darah pada
jaringan serebral. Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat
diabsorpsi, akan tetapi apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan
menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak.
2. Edema Serebri
Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam ruang
intraseluler, ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4 hari setelah
trauma kepala. Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial dan perfusi jaringan serebral yang kemudian dapat
berkembang menjadi herniasi dan infark serebral. Ada 3 tipe edema serebral, yaitu: edema
vasogenik, sitogenik dan interstisial. Edema vasogenik merupakan edema serebral yang
terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat
dengan mudah keluar ke ekstravaskuler. Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan
yang terjadi pada sel saraf, sel glia dan endotel. Edema ini terjadi karena kegagalan pompa
sodium-potasium, natrium-kalium yang biasanya terjadi bersamaan dengan episode
hipoksia dan anoksia. Sedangkan edema interstitial terjadi saat cairan banyak terdapat pada
periventrikular yang terjadi akibat peningkatan tekanan yang besar sehingga tekanan cairan
yang ada jaringan ependimal akan masuk ke periventrikuler white matter.
3. Peningkatan tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga
tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh
darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume yang relatif
konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka secara
fisiologis akan terjadi proses kompensasi agar volume otak tetap konstan. Pasien dengan
cedera kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini berarti akan
terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka akan
menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral. Keadaan
herniasi serebral merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan
organ-organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan
pernapasan maupun kardiovaskuler.

18
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah
sakit. Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
10. CT scan abnormal

Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain: cedera otak sekunder akibat
hipoksia dan hipotensi, edema serebral, peningkatan tekanan intra kranial, herniasi jaringan otak,
infeksi, hidrosefalus

19
Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Somnolen / GCS: E3V2M3

Tanda vital

Tekanan darah: 150/75 mmHg

Nadi : 57 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 35.5 oC

Kepala : Normocephal, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor 3 mm/3
mm, RC +/+, refleks kornea +/+, raccoon eye sign (-), fraktur maksilofacial (-),
bloody otore dextra, hematoma frontalis sinistra, battles sign dextra sinistra,
epistaksis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), vulnus ekskoriatum (-)

Thoraks : Normochest, simetris, pulmo VBS +/+ normal, rhonki -/-, wheezing -/-, cor S1-
S2 normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Datar, BU (+) normal, supel, nyeri tekan 9 regio (-), hepatomegali (-),
spleenomegali (-)

Urogenital : Nyeri ketok CVA -/-

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-).

Status Neurologis

Sikap tubuh : Lurus dan simetris

Gerakan abnormal : Tidak ada

Kaku kuduk : Negatif

20
Nervus kranialis

Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri


N. I Olfaktorius Daya penghidu N N
N. II Optikus Daya penglihatan N N
Penglihatan warna N N
Lapang pandang N N
N. III Okulomotorius Ptosis – –
Gerakan mata ke medial N N
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke bawah N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Refleks cahaya langsung N N
N. IV Trokhlearis Gerakan mata ke lateral N N
bawah
Menggigit N
Membuka mulut N
N. V Trigeminus Sensibilitas muka N N
Refleks kornea N N
Trismus – –
N. VI Abdusens Gerakan mata ke lateral N N
Strabismus konvergen – –
N. VII Fasialis Kedipan mata N N
Sudut mulut N N
Mengerutkan dahi N N
Menutup mata N N
Meringis Simetris
Menggembungkan pipi N N
Daya kecap lidah 2/3 depan N N
N. VIII Vestibulo- Mendengar suara berbisik N N
kokhlearis Mendengar detik arloji N N
Tes Rinne Tidak dilakukan
Tes Schwabach
Tes Weber (keterbatasan alat)
N. IX Arkus faring Simetris
Glossofaringeus Daya kecap lidah 1/3 N N
belakang
Refleks muntah N
Sengau –
Tersedak –
N. X Vagus Denyut nadi 57 x/menit, reguler, kuat
angkat
Arkus faring Simetris
Bersuara N
Menelan N

21
N. XI Aksessorius Memalingkan kepala N N
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N
Trofi otot bahu – –
N. XII Hipoglossus Sikap lidah N
Artikulasi N
Tremor lidah –
Menjulurkan lidah N
Trofi otot lidah – –
Fasikulasi lidah –

Lampiran foto pasien:

Foto 1. Telinga kanan pasien yang masih mengeluarkan darah 5/01/2019

Foto 2. Memar pada dahi dan sekitar mata kiri pasien 5/01/2019

22
Foto 3. Memar dan bengkak pada daerah sekitar telinga kiri 5/01/2019

Foto 4. Rontgen cranial 5/01/2019

23
Foto 5. CT scan kepala non kontras 6/01/2019

24
Kesan Rontgen Cranium:
- Suspek fraktur pada os parietal kanan
- Tak tampak kesuraman sinus

Kesan Head Ct scan Non kontras:

- Fraktur linier pars mastoidea os temporal kanan dan os occipital kanan

- Subdural hematoma tipis frontotemporal kanan

- Subarachnoid hemoragik

- Cortical hemoragik contusion lobus frontal kanan kiri, temporal kanan dan oksipital
kanan

- Gambaran brain swelling

- Tampak tanda peningkatan tekanan intra kranial

- Perdarahan di dalam mastoid air cell kanan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium 5 Januari 2019


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

Hematologi

Hemoglobin 12.8 g/dl 11.7 – 15.5

Leukosit 11.8 ribu 3.6 – 11.0

Eritrosit 4.13 3.8 – 5.2

Hematokrit 36.3 % 35 – 47

Trombosit 211 150 – 400

Kimia Klinik

Ureum 26.4 mg/dl 10 – 50

Kreatinin 0.66 mg/dl 0.45 – 0.75

25
DISKUSI II

Berdasarkan dari pemeriksaan fisik didapatkan penurunan kesadaran pasien dimana GCS pada
pasien adalah E3V2M3 sehingga pasien dalam keadaan somnolen. Penurunan kesadaran ini dapat
diakibatkan oleh peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang melebihi kemampuan ruang
intra kranial untuk kompensasi sehingga terjadi hipoksia atau iskemik otak secara keseluruhan dan
bermanifestasi sebagai penurunan kesadaran. Lucid interval yang terjadi pada pasien, yaitu
kesadaran pasien mula-mula baik pada tanggal 5 Januari 2019 lalu seiring dengan bertambahnya
volume darah intrakranial maka pada tanggal 7 Januari 2019 kesadaran pasien menurun. Hal ini
terjadi karena pasien sudah berusia lanjut yaitu 70 tahun dimana umumnya sudah terjadi atrofi
serebri, sehingga diperlukan volume darah yang lebih banyak untuk dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang menyebabkan hipoksia atau iskemia cerebri secara keseluruhan. Selain itu,
edema cerebri maksimal juga terjadi dalam waktu 36-48 jam dari terjadinya cedera kepala
sehingga akan semakin meningkatkan tekanan intra kranial pada pasien dengan manifestasi berupa
penurunan kesadaran pada hari kedua pasca cedera kepala. Selain itu, pada pemeriksaan kita juga
mendapatkan adanya perdarahan aktif dari telinga kanan dan battle sign pada kedua retroauricular.
Hal tersebut mengindikasikan adanya kerusakan pada tulang temporal sehingga terjadi hemoragik
yang bermanifestasi sebagai perdarahan aktif dari telinga dan hematoma pada daerah tersebut.
Pada pemeriksaan CT Scan dapat kita lihat memang benar terjadi peningkatan tekanan intra kranial
dan terdapat hemoragik pada subarachnoid. Selain itu terjadi brain swelling yang mengakibatkan
volume otak bertambah sehingga lebih meningkatkan tekanan intra kranial.
Pada pemeriksaan foto rontgen cranium pasien tak tampak fraktur os calvaria. Kemudian
dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Menurut Irwan, (2009) terdapat beberapa indikasi lain
dilakukannya pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
 Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
 Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
 Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
 Adanya deficit neurologi seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
 Sakit kepala hebat
 Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
 Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

26
DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : Nyeri kepala, Muntah Proyektil
Diagnosis Topik : Intrakranial
Diagnosis Etiologik : Cedera kepala berat

PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
 Bed rest
 ICU

Medikamentosa

 IVFD Asering 20 tpm


 Inj. Citicolin 2 x 500 mg
 Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
 Inj. Ranitidin 2 x 1
 Inj. Mecobalamin 1x1
 Inj. Manitol 4 x 125 mg (tap off)
 Inj. Metil prednisolone 4 x 125 mg (tetap)
 PO. Flunarizine 2 x 5 mg
 PO Ceftriaxone 2x500mg

PROGNOSIS

Death : dubia ad bonam

Disease : dubia ad bonam

Disability : dubia ad bonam

Discomfort : dubia ad malam

Dissatisfaction : dubia ad bonam

Distitution : dubia ad bonam


27
DISKUSI III
Penatalaksanaan:
1. Citicolin
Citicolin yang berperan untuk perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan
sintesis phosphatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui
potensiasi dari produksi asetilkolin. Citicoline juga menunjukkan kemampuan untuk
meningkatkan kemampuan kognitif, Citicoline diharapkan mampu membantu rehabilitasi
memori pada pasien dengan luka pada kepala dengan cara membantu dalam pemulihan
darah ke otak. Studi klinis menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan motorik
yang lebih baik pada pasien yang terluka di kepala dan mendapatkan citicoline.
Citicoline juga meningkatkan pemulihan ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.
2. Ranitidin
Diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi dari obat lain.
Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin
pada reseptor H2 di lambung dan mengurangi sekresi asam lambung.
3. Mecobalamin
Memiliki kandungan yang merupakan metabolit dan vitamin B12 yang berperan sebagai
koenzim dalam proses pembentukan methionin dari homosistein. Reaksi ini berguna dalam
pembentukan DNA, serta pemeliharaan fungsi saraf. Mekobalamin berperan pada neuron
susunan saraf melalui aksinya terhadap reseptor NMDA dengan perantaraan S-
adenosilmehione (SAM) dalam mencegah apoptosis akibat glutamateinduced
neurotoxicity. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan peranan termasuk juga dapat
dipakai untuk melindungi otak dari kerusakan pada kondisi hipoglikemia dan status
epileptikus.
4. Ketorolak
Ketorolak yang merupakan analgetik jangka pendek untuk nyeri akut sedang sampai berat.
Ketorolak adalah golongan obat nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang
bekerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan inflamasi.
Efek ini membantu mengurangi bengkak, nyeri, atau demam. Ketorolac memperlihatkan
efektivitas sebanding morfin, masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih
ringan. Karena ketorolac sangat selektif menghambat COX-1, maka obat ini hanya

28
dianjurkan dipakai tidak lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak lambung dan iritasi
lambung besar sekali.
5. Metil Prednisolon
Metil prednisolone merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang memiliki
efek glukokortikoid. Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap
poses inflamasi. Karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi
penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag
dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon menghambat fagositosis, pelepasan
enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi.
Meskipun mekanisme yang pastinya belum diketahui, kemungkinan efek tersebut
ditimbulkan melaluui blokade faktor penghambat makrofag, menurunkan dilatasi
permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium
kapiler serta hambatan terhadap sintesis asam arakhidonat-derivat mediator inflamasi
(prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien). Lameson mengandung 6α-
methylprednisolone, obat ini untuk indikasi seperti Kondisi alergi dan inflamasi, penyakit
reumatik yang memberi respon terhadap terapi kortikosteroid, penyakit kulit dan saluran
napas, penyakit endokrin, penyakit autoimun, gangguan hematologik, sindroma nefrotik.
6. Manitol
Manitol merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai obat diuretic osmotik. Istilah
diuretik osmotik terdiri dari dua kata yaitu diuretik dan osmotik. Diuretik ialah obat yang
dapat menambah kecepatan pembentukan urine dengan adanya natriuresis (peningkatan
pengeluaran natrium) dan diuresis (peningkatan pengeluaran H2O). Diuretik Osmotik
(manitol) adalah diuretik yang mempunyai efek meningkatkan produksi urin, dengan cara
mencegah tubulus mereabsorbsi air dan meningkatkan tekanan osmotic di filtrasi
glomerulus dan tubulus. Manitol merupakan diuretik osmotik yang spesifik karena tidak
diabsorpsi dalam traktus gastrointestinal. Manitol sangat sedikit dimetabolisme oleh tubuh,
lebih kurang 7% dimetabolisme di hati dan hanya 7% diabsorpsi. Sebagian besar manitol
(>90%) dikeluarkan oleh ginjal dalam bentuk utuh pada urin. Manitol diekresikan melalui
filtrasi glomerulus dalam waktu 30 – 60 menit setelah pemberian. Diuretic osmotic
absobsinya buruk bila diberikan peroral, sehingga obat ini harus diberikan secara parenteral
(intravena) dalam jumlah besar.

29
7. Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah golongan cefalosporin dengan spektrum luas, yang membunuh bakteri
dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ceftriaxone secara relatif mempunyai
waktu paruh yang panjang dan diberikan dengan injeksi dalam bentuk garam sodium.
Ceftriaxone secara cepat terdifusi kedalam cairan jaringan, diekskresikan dalam bentuk
aktif yang tidak berubah oleh ginjal (60%) dan hati (40%). Setelah pemakaian 1 g,
konsentrasi aktif secara cepat terdapat dalam urin dan empedu dan hal ini berlangsung
lama, kira-kira 12-24 jam. Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma adlah 8 jam. Waktu
paruh pada bayi dan anak-anak adalah 6,5 dan 12,5 jam pada pasien dengan umur lebih
dari 70 tahun. Jika fungsi ginjal terganggu, eliminasi biliari terhadap Ceftriaxone
meningkat.
Indikasi cefriaxone adalah sepsis, meningitis, infeksi abdominal, infeksi tulang,
persendian, jaringan lunak, kulit, dan luka-luka, pencegah infeksi prabedah, infeksi dengan
pasien gangguan mekanisme daya tahan tubuh, infeksi ginjal dan saluran kemih, infeksi
saluran pernafasan, infeksi kelamin.
8. Flunarizine
Flunarizine merupakan salah satu antagonis kalsium terbaru dengan efek
antimigrain. Flunarizine adalah penghambat selektif masuknya kalsium dengan cara ikatan
calmodulin dan aktivitas hambatan histamin H1. Flunarizine dapat mencegah terjadinya kerusakan
sel akibat overload kalsium dengan menghalangi secara selektif masuknya kalsium ke dalam
jaringan sel. Flunarizine juga terbukti dapat menghambat kontraksi otot polos pembuluh
darah, melindungi kekakuan sel-sel darah merah serta mampu melindungi sel-sel otak dari efek
hipoksia (kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan
ketinggian).

30
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala

a) Pasien Dalam Keadaan Sadar (GCS : 15)


- Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak
ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit. Penderita
mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral, dan saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).
b) Pasien Dengan Kesadaran Menurun
- Cedera kranioserebral ringan (GCS : 13-15)
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa
disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto
kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien
disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai
kemungkinan hematoma intracranial misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:
 Orientasi (waktu dan tempat) baik
 Tidak ada gejala fokal neurologik
 Tidak ada muntah atau sakit kepala
 Tidak ada fraktur tulang kepala
 Tempat tinggal dalam kota
 Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada
perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS

31
- Cedera kranioserebral sedang (GCS : 9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas
bersangkutan.
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya.
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial.
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral lainnya

- Cedera kranioserebral berat (GCS : 3-8)


Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan
cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di
samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera
kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni
akibat gangguan kardiopulmoner.

Tindakan Di Unit Gawat Darurat & Ruang Rawat :


Resusitasi dengan tindakan A=Airway, B=Breathing dan C=Circulation
- Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring.
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan.

32
- Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral disebabkan oleh depresi per-napasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neuroge- nik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
 Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
 Cari dan atasi faktor penyebab
 jika perlu pakai ventilator

- Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90
mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian
dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa
hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.

Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan
frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera
ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama.
Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.

Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, Collar yang telah terpasang
tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak

33
dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma
intrakranial.
Pemeriksaan laboratorium
a) Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah satu
indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk
pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan
kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai GCS 13-
15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri
tidak kuat, tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu
acuan prediktor yang sederhana.
b) Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hyperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak
boleh diberikan.
c) Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. PCO2 Tinggi dan PO2
rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap > 90mm Hg, SaO2 >
95%, dan PCO2 30-35 mmHg.
d) Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
e) Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
f) Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
g) Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko late hematomas
perlu diantisipai. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm,
kadar ffibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.

34
h) Manajemen tekanan intracranial (TIK) meninggi
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma
intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah 0-15
mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan cara:
- Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada satu
bidang.
- Terapi diuretik:
 Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis
0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310
mOsm.
 Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

i) Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa
nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar
untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan lambung.
Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi
risiko flebitis.
j) Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas digerakkan
pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi kognitif dan fungsi
kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15,
dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75,
dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain fungsi luhur lainnya
dengan Mini-Mental State Examination (MMSE); akan diketahui domain yang terganggu
dan dilanjutkan dengan konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.

35
Prognosis
Setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat.
Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4
memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien
dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom
pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada
banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.

Kelainan dan komplikasi trauma kapitis


1. Tekanan Intrakranial (TIK) Meninggi
Pada trauma kapitis tekanan intrakranial dapat meninggi pada perdarahan selaput otak
(hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma subaraknoidal), perdarahan di
dalam jaringan otak (kontusio serebri berat, laserasio serebri, hematoma serebri besar, dan
perdarahan ventrikel), dan kelainan pada parenkim otak (edema serebri berat). Tekanan
pada vena jugularis menaikkan TIK yang berlangsung sementara saja. Demikian pula
batuk, bersin, mengejan yang mengakibatkan tekanan di dalam sistem vena meningkat.
Pada hipoksia terjadi dilatasi arteriol yang meningkatkan volume darah di otak dengan
akibat TIK meningkat pula.
Pada Trauma kapitis yang dapat meningkatkan TIK adalah hematoma yang besar (lebih
dari 50cc), edema yang berat, kongesti yang berat dan perdarahan subarakhnoidal yang
mengganggu aliran cairan otak di dalam ruangan subarakhnoidea. Bila TIK meninggi,
mula-mula absorbsi cairan otak meningkat kemudian bagianbagian sinus venosus di dalam
dura meter tertekan. Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi daya
kompensasi maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri-arteri pia-arahnoidea melebar.
Bila autoregulasi baik aliran darah akan dipertahankan pada taraf normal, akibatnya
volume darah otak bertambah. Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran darah akan
menurun dan TIK akan tetap rendah meskipun tekanan darah naik. Bila kenaikannya sangat
lambat seperti pada neoplasma jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi banyak
karena selain penyerapan otak yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami

36
artrofi ditempat yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa desak ruang yang
bertambah.

2. Komplikasi Infeksi pada Trauma Kapitis


Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat bila durameter
robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya berdekatan dengan sinus-
sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini juga bisa terjadi bila ada fraktur basis kranii.

3. Lesi Akibat Trauma Kapitis pada Tingkat Sel


Lesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron dengan dendrit
dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun sel-sel yang membentuk
dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron rusak, maka seluruh dendrit dan aksonnya
juga akan rusak. Kerusakan dapat mengenai percabangan dendrit dan sinapsis-sinapsinya,
dapat pula mengenai aksonnya saja. Dengan kerusakan ini hubungan antar neuron pun akan
terputus. Lesi sekunder juga dapat mengakibatkan kerusakankerusakan demikian.

4. Epilepsi Pasca Trauma Kapitis


Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang. Serangan ini dapat
timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma, mungkin pula timbul kasip
berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi kasip cenderung terjadi pada pasien yang mengalami
serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut. Epilepsi juga lebih sering terjadi
pada trauma yang menembus durameter. Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung
menimbulkan epilepsi fokal.

37
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
05/01/2019 Pasien post KLL GCS E4M6V5 CKS  IVFD RL 20 tpm
1 jam SMRS, TD: 154/103 Hp1  Inj. Piracetam
kepala terbentur, mmHg 2×3 gram
mual (-), muntah FN: 83x/menit  Inj. Citicolin
langsung RR: 24x/menit 2×500 mg
menyemprot T : 36,2 C  Inj. Ranitidine
(+), nyeri kepala KM : 5/5 5/5 2×1 ampul
(+), penurunan  Inj. mecobalamin
kesadaran (-), Bloody otore (+/-) 1x1
pingsan (-).  Inj. MP
Keluar darah 4 x 125mg
dari telinga  Inj. Ketorolac
kanan. 2 x 30mg

Pro: Ct scan kepala


tanpa kontras
06/01/2019 Mual (-), muntah GCS E4M6V5 CKS
(+), nyeri kepala TD: 134/85 mmHg Hp 2  IVFD RL 20 tpm
(+), penurunan FN: 87x/menit  Inj. Piracetam
kesadaran (-). RR: 22x/menit 2×3 gram
Keluar darah T : 36,5 C  Inj. Citicolin
dari telinga KM : 5/5 5/5 2×500 mg
kanan.  Inj. Ranitidine
Terdapat memar  Bloody otore (+/-) 2×1 ampul
pada dahi bagian  Battle sign (+/+)  Inj. mecobalamin
kiri.  Hematoma 1x1
Terdapat memar frontalis sinistra  Inj. MP
dan bengkak (+) 4 x 125mg

38
sekitar telinga  Hematoma  Inj. Ketorolac
kiri. retroauricular 2 x 30mg
sinisitra (+)
07/01/2019 Mual (-), muntah GCS E3M3V2 CKB  IVFD Asering
(+), penurunan TD: 120/60 mmHg (SAH) 20 tpm
kesadaran (+). FN: 65x/menit HP 3  Inj. Ondansentron
RR: 18x/menit 3x1 k/p
Keluar darah T : 37,4 C  Inj. Teranol
dari telinga KM : SDN 2x30 mg
kanan.  Inj. Brainact
Terdapat memar  Bloody otore (+/-) 2×500 mg
pada dahi bagian  Battle sign (+/+)  Inj. Ranitidine
kiri.  Hematoma 2×1 ampul
Terdapat memar frontalis sinistra  Inj.mecobalamin
dan bengkak (+) 1x1
sekitar telinga  Hematoma  Inj. Lameson
kiri. retroauricular 2 x 125mg
sinisitra (+)  PO Unalium
2x5 mg
 PO Ciprofloxacin
2x500 mg

Pro: ICU
08/01/2019 Penurunan GCS E3M3V2 CKB  Sudah di ICU
kesadaran (+). TD: 150/75 mmHg (SAH)  IVFD Asering
Mual (-), muntah FN: 57x/menit HP 4 20 tpm
(-) RR: 18x/menit  Inj. Manitol 4x125
T : 35,5 C mg tap off
KM : SDN  Inj. Teranol
2x30 mg

39
 Bloody otore (+/-)  Inj. Brainact
 Battle sign (+/+) 2×500 mg
 Hematoma  Inj. Ranitidine
frontalis sinistra 2×1 ampul
(+)  Inj.mecobalamin
Hematoma 1x1
retroauricular  Inj. Lameson
sinisitra (+) 4 x 125mg
 PO Unalium
2x5 mg
 PO Ciprofloxacin
2x500 mg
09/01/2019 Penurunan GCS E4M4V4 CKB  Jika stastioner
kesadaran (+). TD: 132/78 mmHg (SAH) pindah ke ruangan
Mual (-), muntah FN: 66x/menit Hp 5  IVFD Asering
(-). RR: 20x/menit 20 tpm
Nyeri kepala (+) T : 36,3 C  Inj. Manitol 4x125
KM : SDN mg tap off
 Inj. Teranol
 Bloody otore (+/-) 2x30 mg
 Battle sign (+/+)  Inj. Brainact
 Hematoma 2×500 mg
frontalis sinistra  Inj. Ranitidine
(+) 2×1 ampul
Hematoma  Inj.mecobalamin
retroauricular 1x1
sinisitra (+)  Inj. Lameson
4 x 125mg
 PO Unalium
2x5 mg

40
 PO Ciprofloxacin
2x500 mg
10/01/2019 Kondisi GCS E4M6V4 CKB  Sudah pindah ke
kesadaran pasien TD: 125/78 mmHg (SAH) ruangan biasa
membaik. FN: 56x/menit Hp 6  IVFD Asering
Pasien sudah RR: 20x/menit 20 tpm
dapat T : 37,1 C  Inj. Manitol 4x125
berkomunikasi. KM : 5/5 5/5 mg tap off
Namun kadang  Inj. Teranol
pasien gelisah.  Bloody otore (+/-) 2x30 mg
Mual (-), muntah  Battle sign (+/+)  Inj. Brainact
(-).  Hematoma 2×500 mg
Nyeri kepala (+). frontalis sinistra  Inj. Ranitidine
(+) 2×1 ampul
Hematoma  Inj.mecobalamin
retroauricular 1x1
sinisitra (+)  Inj. Lameson
4 x 125mg
 PO Unalium
2x5 mg
 PO Ciprofloxacin
2x500 mg
 PO Haloperidol
2x1,5 mg

41
DAFTAR PUSTAKA

Adam, R.D, Victor, M. Principles of Neurology. 7th ed. Mc Graw Hill Inc. Singapore. 2005.

American College of Surgeon Committee on Trauma, Cedera Kepala. Dalam: Advanced Trauma
Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisitrauma IKABI, 2004.

Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi Ketiga
jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000.

Chusid JG., Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2000.

Faqih Ruhyanudin, Pemeriksaan Neurologis, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, 2011.

Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2011.

Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004.

Japardi Iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif, SumatraUtara, USU Press,
2004.

Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000.

PERDOSSI Cabang Pekanbaru, Simposium Trauma Kranioserebral, Pekanbaru, 3 November


2007.

Setyopranoto, I., Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid, Continuing Medical Education,.


2012;39.

Turner DA, Neurological Evaluation of a Patient with Head Trauma, dalam Neurosurgery
2ndedition, New York: McGraw Hill, 1996.

Utama, Herry SY, Diagnosis and Treatment of Head Injury. (herryyudha.com/2012/07/cidera-


kepala-diagnosa-dan.html)

Wahjoepramono, Eka., Cedera Kepala, Lippokarawaci, Universitas Pelita Harapan, 2005.

42

Anda mungkin juga menyukai