PRESENTASI KASUS
DEMAM TIFOID
PEMBIMBING
Dr. Harmon, Sp. A
DISUSUN OLEH
Kesuma Larasati 406100116
Rita Taolin 406100126
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Na
Umur : 6 tahun 3 bulan
Alamat : Jl.cimpaeun RT 04/05 no.03
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal masuk RS SM : 24 Desember 2010
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama : panas tinggi sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit
Riwayat makan : Sebelum sakit pasien makan banyak 3 kali sehari atau
lebih, porsi cukup dan bervariasi. Kadang-kadang
pasien suka jajan makanan dan minuman di luar rumah,
seperti burger dan chiki-chikian. Namun, saat sakit
nafsu makan pasien berkurang.
Riwayat Perkembangan
Mengangkat kepala : 4 bulan
Tengkurap dan berbalik : 6 bulan
Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : 9 bulan
D. Riwayat Makanan
0 - 3 bulan : ASI, > 3x sehari, pasien minum ASI sampai tertidur dan
bergantian pada kedua payudara.
3 - 12 bulan : ASI diganti oleh susu soya 3 kali sehari.
12 - 24 bulan : Susu sapi kaleng. Makanan lunak, bubur nasi, hati
ayam, sayuran, telur, 3 piring sehari. Sekali - kali pasien
diberikan buah – buahan seperti pepaya dan pisang
sekali sehari.
24 - sekarang : Makan biasa nasi padat dengan lauk ikan/daging dan
sayuran, 3 kali sehari, teratur, buah-buahan sekali
sehari. Susu kaleng atau kemasan.
F. Riwayat Keluarga
No. Tgl lahir Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Ket.
Kelamin mati (sebab) Kesehatan
1 23-09-2004 ♀ + - - - -
2 22-01-2006 ♂ + - - - -
G. Data Keluarga
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 30 25
Keadaan kesehatan baik Baik
PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 24 Desember 2010 Jam : 10.00
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
Frekuensi nadi : 124x / menit
Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
Frekuensi napas : 24x / menit
Suhu tubuh : 37,1 C
DATA ANTROPOMETRI
Berat badan : 44 kg
Tinggi badan : 110 cm
Lingkar kepala : 54 cm
Lingkar lengan atas : 29 cm
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran : normocephal
Rambut dan kulit kepala : hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : palpebra superior tidak edema, mata tidak
cekung, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
anemis, pupil bulat isokor, diameter 3mm,
refleks cahaya +/+
Telinga : bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada
sekret
Hidung : bentuk normal, tidak ada septum deviasi, tidak
ada sekret, tidak ada pernapasan cuping
hidung
Mulut : bentuk normal, bibir tidak kering, tidak ada
sianosis, tidak keluar darah dari mulut,
ditemukan adanya stomatitis, lidah kotor di
bagian tengah, tepi lidah hiperemis, tidak
ada tremor lidah
Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1 tenang
Leher : trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba,
kelenjar submandibula, supra-infra clavicula
dan cervical tidak teraba
THORAX
Paru
- Inspeksi : pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi intercostae dan suprasternal
- Palpasi : stem fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama kuat
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru batas paru-hepar di ICS VI
MCL dektra
- Auskultasi : suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga V midklavikula kiri
- Perkusi : redup, batas jantung kiri : sela iga V linea midclavicula
sinistra
kanan : parasternal
ABDOMEN
- Inspeksi : tampak datar
- Palpasi : hepar teraba 2 cm di bawah arcus costae dextra,
konsisitensi kenyal, tepi tajam, permukaan licin, nyeri
tekan (+), lien tidak teraba, defans muskular (-)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-), meteorismus (+)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis
Tendon achilles : +/+, normal
Lutut : +/+, normal
Biceps : +/+, normal
Triceps : +/+, normal
Refleks Patologis
Babinski : -/-, normal
Chaddock : -/-, normal
Oppenheim : -/-, normal
Gordon : -/-, normal
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 24 Desember 2010
Hematologi
Hemoglobin 13,2 gr% 11,7-15,5
Hematokrit 40 vol% 35-47
Trombosit 279.000/μl 150.000-440.000
Leukosit 6.300/μl 3.600-11.000
Serologi Widal
Salmonella Typhi O (+) 1/320
Salmonella Typhi H (-)
Salmonella Paratyphi A O (-)
Salmonella Paratyphi A H (-)
Salmonella Paratyphi B O (-)
Salmonella Paratyphi B H (-)
Salmonella Paratyphi C O (+) 1/320
Salmonella Paratyphi C H (-)
RESUME
DIAGNOSA
Susp. Demam tifoid
DIAGNOSA BANDING
- DHF
- ISK
- Bronkitis
- Influenza
- TB paru
- Demam paratifoid
- Bronkopneumonia
PENATALAKSANAAN
Tirah baring selama ±2 minggu
Diet makanan lunak cukup kalori, cukup protein, rendah serat.
Causal
Kloramfenikol : 44 kg x 50 mg/kgBB/hari (dibagi 4 dosis)
: 4 x 550 mg sehari
Simptomatis
Paracetamol : 44 kg x 10 mg/kgBB/kali
: 3 x 440 mg (bila demam)
Metoclopramid : 44 kg x 0,1 mg/kgBB/kali
: 4,4 mg (bila mual)
Gliseril Guaiakolat :100 mg x6 (tiap 4 jam)
ANJURAN PEMERIKSAAN
Kultur darah (gaal)
Kultur feses
Pemeriksaan urine lengkap
PROGNOSA
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad sanationam : bonam
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal 24 Desember 2010
S : Demam (+), mual (+), nyeri perut (+), batuk (+), pilek (-), tidak sakit
menelan. BAB dan BAK lancar normal.
Leukosit : 6.200 ul
Salmonella typhi O (+) 1/320
Salmonella typhi H (-)
Salmonella paratyphi CO (+) 1/320
ANALISA KASUS
Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, (3) gangguan kesadaran. Pada kasus khas terdapat demam
remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 14
Presentasi Kasus Demam Tifoid
pada malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan
demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:
Pasien demam 7 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan
demam turun pagi harinya sehingga pasien dapat bersekolah pada pagi
harinya (aktivitas pasien tidak terganggu)
Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan konstipasi
Pasien sering jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas
kebersihannya
PENDAHULUAN
penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga
dapat menimbulkan wabah.3
Penyebaran bakteri Salmonella ke dalam makanan atau minuman bisa
terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar
maupun setelah berkemih. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari
tinja ke makanan ( oro-fecal ).4
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
DEFINISI
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 19
Presentasi Kasus Demam Tifoid
EPIDEMIOLOGI
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda
di negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara
maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus
demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh
Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada
umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. 2 Sebagian besar dari
penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur
di atas lima tahun.5
di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per
100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka
kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000
penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap
tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid
menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSCM sejak tahun 1992 – 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat
dengan angka kematian antara 2,63 – 5,13%.6
ETIOLOGI
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000
hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe
typhi ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif.
Untuk dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat
bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa
serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang
lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan
sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke
dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian
masuk dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini
terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi,
kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6
menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung
empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut
diperkirakan 1 bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar
10 bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan
endotoksin namun angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan
peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi pasien
tifoid.1
PATOLOGI
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada
bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan
kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan
luas dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring
dengan pertambahan usia.11
PATOFISIOLOGI
b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang
mengkode Sips (Salmonella Invasion Proteins).
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang
memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus.
Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh
non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri
anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan
asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman
berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan
melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan
masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi
dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri
masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus
torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta
bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk
bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan
pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2
KUMAN S. TYPHI
Makanan + Minuman
Lambung mati
Usus halus
RES
Hati dan Limpa
GEJALA KLINIK
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 28
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan
secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi
pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti
kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat
ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri
kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya
bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri
kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran
hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah
tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga
banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan
gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare
hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih
jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah,
anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat.
Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola
(bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada
kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 29
Presentasi Kasus Demam Tifoid
gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai
1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah
suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan
kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi
yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam
organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil
bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen
dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina,
Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47%
dan 15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri
perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%,
gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63%
anak. Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur,
demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit
neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung
sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-
kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin
nyata.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering
mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare
atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat
dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu
di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus,
hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang
dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
- Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe,
atau perdarahan usus.
- Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi
- Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens.
- Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 32
Presentasi Kasus Demam Tifoid
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan
antara lain :2
# Bronkitis
# Influensa
# Bronkopneumonia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan
laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
bakteriologis dan serologis.
b. Tes Widal
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 37
Presentasi Kasus Demam Tifoid
titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa
penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang
tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar
bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui
titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil
negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen
diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan
antibodi seperti pada penderita gizi buruk, agamaglobulinemia,
imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol
dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi
tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh
antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan
memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di
Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi
masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji
serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif
palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
-
semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki
antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa
antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang
lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 39
Presentasi Kasus Demam Tifoid
-
semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella
typhi dan
-
titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau
imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna
pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada
pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum
terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk
memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah
antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan
sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup
besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya
pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal
kurang baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H.
Epitop Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain
sehingga memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan
konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2
spesimen dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal
empat kali menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak
dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium
lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi
tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir
ini tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal
pada satu spesimen sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal
sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 40
Presentasi Kasus Demam Tifoid
seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini
pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum
ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh
menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan
untuk menentukan kesembuhan penderita.
KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada
anak lebih jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari
ketujuh belas atau awal minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
Penurunan tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
Kulit pucat
Penurunan suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu
singkat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 43
Presentasi Kasus Demam Tifoid
b. Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering
terjadi pada ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan
pada orang dewasa. Angka kejadian antara 0,4-2,5%.
Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum,
yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas (free
air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen
abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.
c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan,
penderita nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak,
perut kembung, dinding abdomen tegang ( defense musculair
), nyeri tekan, tekanan darah menurun, suara bising usus
melemah, pekak hati berkurang. Pada pemeriksaan darah
tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu singkat.
2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
(bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena
terjadi hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau
hemolisis. Dapat juga terjadi pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan
pada daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 44
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Kolesistitis
Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas.
Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang
karier.
Tifoid Ensefalopati
Meningitis
Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang
lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada
anak, dengan gejala klinis sering tidak jelas sehingga diagnosis sering
terhambat.
Ternyata penyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella
Oranenburg.
Gejala Klinis:
- Bayi tidak mau menetek
- Kejang
- Letargi
- Sianosis
- Panas
- Diare
- Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks
grasp menurun, reflex mengisap menurun.
Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa:
Efusi subdural Hidrosefalus
Ventrikulitis
Miokarditis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Sentra Medika
Periode 6 Desember s/d 12 Februari 2011
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 46
Presentasi Kasus Demam Tifoid
TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus
dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar
ada 3 bagian yaitu:
perawatan
diet
obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi
tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa
lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi
penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi
agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain
termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat
bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita
serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan.
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena
tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi
penderita semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai
dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun
kuantitas ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian
menurun secara drastis(1-4%).
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim
Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat
pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap
kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai
drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini
oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang
dapat menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan
terjangkau oleh penderita. Di lain pihak kekurangan kloramfenikol ialah
reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik (depresi sumsum
tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak bermanfaat
untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat
keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral
atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonatus
sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25
mg/kgbb/hari.2,3
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat
susunan kimianya hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan
pemberian tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi
hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan, sedangkan
strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.
Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang
kontroversial. Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk
kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik,
kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan
kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson
sindrome, agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis
eritrosit terutama pada penderita defisiensi G6PD.
Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8
mg/kg.bb/hari, oral, selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2
kali pemberian.
Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap
kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik.
Dosisnya 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari.
Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
# Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat
menyebabkan perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka
penggunaan kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka kematian.
Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Dexametason 1-
3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3
# Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada riwayat kejang
demam dapat diberikan lebih awal.
Lain-lain
Transfusi darah
Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-
5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi
adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap
antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.3
PENCEGAHAN
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan
utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan
dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air
bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat,
pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.2,3
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar
Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas
makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air
akan mati apabila dipanaskan setinggi 57°C beberapa menit atau dengan
proses iodinasi/ klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan
secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan
endemisitas suatu negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya
pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat
kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.3
Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam
tifoid. Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid,
bentuknya berupa vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida
parenteral.1
diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak
boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin
tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau
anti malaria yang aktif terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga
menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian
vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian
terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5
tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi
Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun.
Daya proteksi vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi
juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan
minuman.
PROGNOSIS
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di
negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita
yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu
pemulihan.19
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko
menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier
kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens
penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi
karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal
penderita cepat datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk
bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:
-
Hiperpireksia atau febris kontinua
-
Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
-
Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia.
-
Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi
dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.
8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.
13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis
& treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.
14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam
Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.
15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi
di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2005: h.173-4.
16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen
salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th).
18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan
bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000:
h.3-5.