PENDAHULUAN
kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Jumlah kasus
Secara epidemiologi dapat dilihat kasus DBD menyerang semua golongan umur,
jenis kelamin, terutama anak-anak. Tetapi dalam dekade terakhir ada kecenderungan
peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa. Kasus DBD menunjukkan
fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim hujan atau beberapa minggu
DBD muncul pertama kali pada tahun 1953 di Philipina, kemudian menyebar
ke banyak negara termasuk ke wilayah Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat.
Menyusul meningkatnya frekuensi dan jumlah kejadian luar biasa (KLB) DBD dan
Syndrom Syok Dengue (SSD). Secara umum diperkirakan setiap orang terpapar atau
berisiko terkena infeksi virus Dengue. Semua kelompok umur terutama anak-anak
dapat terinfeksi virus ini, dengan kematian berkisar kurang dari 1% sampai 10%
Indonesia pertama kali mengalami KLB DBD di Jakarta dan Surabaya pada
tahun 1968. Tercatat 54 kasus dengan 24 kematian Case Fatality Rate (CFR) 41,5%.
Tahun berikutnya kasus DBD menyebar ke kota lain dan dilaporkan KLB DBD
kabupaten/kota (75% dari seluruh kabupaten/kota). Insidens Rate (IR) DBD secara
nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Awalnya pola endemik terjadi setiap lima
tahunan, namun dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir mengalami perubahan
dengan priode antara 2–5 tahunan, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) cenderung
perubahan iklim, kurangnya peran serta masyarakat, dan termasuk lemahnya upaya
program pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu lebih
tiap rumah, menghitung Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Container Index (CI),
memberikan peringatan tentang 3M Plus kepada masyarakat dan apabila ada kejadian
vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan PSN dilakukan
secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk
kegiatan PSN antara lain dapat diukur pada keberadaan vektor yaitu dengan
mengukur ABJ. Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan
incidence kasus DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hasil penelitian
Sidiek (2012) menyatakan bahwa tempat penampungan air, kaleng bekas, ban bekas
dan tempat penampungan air lainnya dapat menjadi tempat berkembang biaknya
ada perbedaan yang bermakna ABJ DBD antara sebelum dan sesudah penggerakan
jumantik dengan nilai p (0,000) <α (0,05). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah
sudah berjalan baik, hal ini didukung oleh pengetahuan dan sikap yang baik,
ketersediaan dan keterjangkauan informasi sudah berjalan baik, dan dukungan dari
0,032 dan 0,002 (di bawah 0,05) secara berturut-turut. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah tingkat pengetahuan dan peran jumantik merupakan faktor yang penting untuk
Provinsi Riau yang pada tahun 2005 mengalami kejadian luar biasa (KLB) dengan
jumlah penderita DBD 839 jiwa, 12 jiwa diantaranya meninggal dunia (CFR =
1,27%). Tahun 2008 ditemui sebanyak penderita 315 jiwa dengan 5 kematian (CFR =
1,58%). Tahun 2009 sebanyak 397 jiwa dengan 5 kematian (CFR = 1,25%). Tahun
2010 sebanyak 202 jiwa dengan kematian 1 orang (CFR = 0,49%). Tahun 2011
meningkat tajam sehingga dinyatakan mengalami KLB lagi dengan jumlah penderita
426 jiwa dengan kematian 5 jiwa (CFR = 1,17%). Sedangkan tahun 2012 menurun
masing kelurahan memiliki kader Jumantik sebanyak 25 orang dan pada umumnya
bertujuan untuk menurunkan populasi nyamuk penular DBD serta jentiknya dan
kelurahan dan melakukan pemeriksaan terhadap 7.556 rumah. Kelemahan yang ada
dilakukan oleh juru pemantau jentik, hal ini terlihat dari rendahnya Angka Bebas
Jentik (ABJ). Tahun 2012 yakni 89,70%, menunjukkan bahwa ABJ masih berada di
bawah indikator Nasional (95%) untuk daerah endemis (Dinkes Kota Pekanbaru,
2012).
Berdasarkan hasil survei awal pada tangal 23 Januari 2014 di daerah yang
Damai, jumlah Jumantik sebanyak 100 orang dan pelaksanaan pemantauan jentik
dilakukan 2 kali dalam setiap bulan. Peneliti memilih lokasi survei awal di Kelurahan
Damai ini merupakan nomor 2 jumlah kasus terbesar dibanding kecamatan lain
dengan jumlah kasus 20 orang, sedangkan yang nomor 1 adalah Kecamatan Tampan
sebanyak 27 orang pada tahun 2012. Hasil wawancara dengan 10 Jumantik tentang
pelaksanaan tugas pemantauan jentik mereka dibekali surat tugas, identitas diri,
formulir pencatatan dan pelaporan, larvasida, gayung, senter, dan lembar bantu
alasan mereka tidak siap dikunjungi. Terutama saat pemberian abate sering ada
sehingga petugas merasa tidak nyaman dalam melaksakan tugasnya. Juga dilaporkan
pernah dinaikkan dan pemberian pelatihan yang hanya pada awal pembentukan
namun belum pernah dilakukan penyegaran kembali (Dinkes Kota Pekanbaru, 2012).
mengangkat judul “Pengaruh Perilaku dan Motivasi Juru Pemantau Jentik Terhadap
1.2. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh perilaku dan motivasi juru
Untuk mendapatkan bukti nyata tentang pengaruh perilaku dan motivasi juru
1. Ada pengaruh perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) juru pemantau jentik
Pekanbaru.
1.5.1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dalam rangka