Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World
Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga
mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien
asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama
20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka
diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa
akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup
pasien1.
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta
aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat,
menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan.
Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000
kematian akibat asma2.
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab2.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
Asma Bronkial secara menyeluruh.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
laporan kasus Asma Bronkial ini dengan pembimbing klinik.

1
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Asma Bronkial, terkait pada
kegiatan kepaniteraan.

1.3 Manfaat
1.3.1 Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan
ilmu tentang kasus Asma Bronkial.

1.3.2 Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan
yang diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan
kesehatan) kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada
pasien dengan Asma Bronkial.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

a. No. Rekam Medik : 51.21.39


b. Nama : An. ND
c. Tanggal lahir : 7 Januari 2016
d. Jenis Kelamin : perempuan
e. Umur : 2 tahun 7 bulan
f. Anak ke : ke-3 dari 3 bersaudara

2
g. Agama : Islam
h. Alamat : Jl. A Yani Lrg Fajar I No 1599 RT 035 RW 005
i. Dikirim oleh : IGD
j. MRS tanggal : 24 Agustus 2018
k. Nama Ibu : Maryama
l. Umur :
m. Pekerjaan : wiraswasta
n. Agama : Islam
o. Alamat : Jl. A Yani Lrg Fajar I No 1599 RT 035 RW 005
p. Nama Ayah : Seto Dian Firdaus
q. Umur :
r. Pekerjaan : tukang becak
s. Agama : Islam
t. Alamat : Jl. A Yani Lrg Fajar I No 1599 RT 035 RW 005

2.2 Anamnesis
Tanggal : 25 Agustus 2018
Diberikan oleh : Pasien dan ibu pasien

A. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ± 2 jam SMRS

2. Keluhan Tambahan
Batuk pilek sejak ± 3 hari SMRS dan demam tidak terlalu tinggi
setelah masuk rumah sakit.

3. Riwayat Perjalanan Penyakit

3
OS datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2 jam
SMRS dan disertai mengi. Sesak yang dialami terus menerus dan
semakin memberat serta tidak berkurang saat istirahat maupun
perubahan posisi. Sesak dipengaruhi cuaca dan debu. Sesak tidak
disertai dengan bengkak pada wajah atau kelopak mata, atau bengkak
pada kedua tungkai. Menurut orangtuanya, sesak yang dialami OS
bukan yang pertama kali karena sejak usia 1 bulan sering mengalami
sesak nafas dengan keluhan yang hampir sama dan biasanya sering
kambuh ketika batuk pilek. Biasanya ketika os batuk pilek akan diberi
obat Anaconidin Herbal, lalu batuk pilek sembuh dan tidak timbul
sesak. Namun, terkadang meskipun sudah diberi obat masih saja
timbul sesak. Menurut orangtuanya, ketika sesak kambuh os sering
dibawa ke IGD untuk di uap, dan baru kali ini os dirawat inap
dirumah sakit. Sesak juga tidak disertai dengan kebiruan pada telapak
tangan, kaki atau biru pada mulut. Pasien tidak banyak bicara, namun
tidak kesulitan ketika bicara.
Orangtua os mengatakan bawah os batuk pilek  3 hari SMRS
dan demam tidak terlalu tinggi pada saat dirawat di rumah sakit. Batuk
berdahak dan pilek tidak berwarna. OS tidak mengeluh nyeri pada saat
menelan menelan. Os mengalami mual dan muntah sebanyak 3x 1
hari SMRS. muntah berwarna putih berupa susu, muntah tidak
menyemprot.
Dari keterangan orangtua os, bahwa ayah os mempunyai riwayat
asma dan merupakan perokok berat.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sudah pernah mengalami keluhan yang sama saat masih
kecil. Sesak nafas kambuh saat pasien mengalami batuk pilek.
Kekambuhan mulai dari usia 1 bulan sampai sekarang. Riwayat alergi
tidak ada.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

4
Riwayat hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Alergi (-) dan Asma (+)
dari ayah pasien.

6. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


- Paritas : G3P2A0
- Masa kehamilan : Cukup bulan
- Partus : Spontan
- Penolong : Bidan
- BB lahir : 3100 gram
- Panjang badan : 48 cm
- Keadaan saat lahir : Langsung menangis

7. Riwayat Makanan
- ASI ekslusif : 0-40 hari
- Susu formula : 40 hari – sekarang
- Bubur susu : 4-6 bulan
- Bubur tim : 6-18 bulan
- Nasi biasa : 18 bulan – sekarang
1. Sayuran, buah : hampir setiap hari
2. Ikan : 2-3 kali seminggu
3. Telur : 3 kali seminggu
4. Ayam, daging : 1-2 kali sebulan
5. Tahu, tempe : 2-3 kali seminggu
Kesan : secara kualitatif asupan gizi cukup, secara kuantitatif
asupan cukup memenuhi gizi seimbang, makanan sesuai usia,
namun pemberian ASI tidak esklusif.

8. Riwayat Imunisasi
- BCG :1x
- DPT :1x
- Polio :1x
- Hepatitis B :1x

5
- Campak :-
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

9. Riwayat Tumbuh Kembang


- Gigi pertama : lupa
- Berbalik : 2 bulan
- Tengkurap : 4 bulan
- Merangkak : 6 bulan
- Duduk : 8 bulan
- Berdiri : 12 bulan
- Berjalan : 13 bulan
- Bicara : 15 bulan
Kesan : tidak ada keterlambatan dalam tumbuh kembang anak

10. Riwayat pribadi/sosial ekonomi keluarga


Pasien bermain dengan teman seusianya. Orangtua pasien termasuk
dalam kondisi sosial ekonomi cukup.

2.3 Pemeriksaan Fisik (24 Juli 2018)

Keadaan Umum : Tampak sesak


Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 11 kg
Tinggi Badan : 94 cm
Status Gizi :
BB/U : diantara percentile 0 dan -2
TB/U : diantara percentile 0 dan 2
BB/TB : percentile -2

6
Kesan : Gizi Baik
Lingkar Kepala : 36 cm, normosefali
Demam (+), Edema (-), sianosis (-), dispnue (+), anemia (-), ikterik (-)

Tanda Vital :
Nadi : 103 x/menit, isi : cukup, tegangan : cukup
Pernapasan : 44 x/menit, vesikuler menurun, ekspirasi memanjang,
tipe pernapasan : thorako-abdominal, ronki basah halus
nyaring (+/+), wheezing (+/+).

Suhu : 37,8 0C

Pemeriksaan Fisik (25 Juli 2018)


1. Pemeriksaan fisik umum
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 11 kg
Tinggi Badan : 94 cm
Status Gizi :
BB/U : diantara percentile 0 dan -2
TB/U : diantara percentile 0 dan 2
BB/TB : percentile -2
Kesan : Gizi Baik
Lingkar Kepala : 36 cm, normosefali
Demam (+), Edema (-), sianosis (-), dispnue (+), anemia (-), ikterik (-)

Tanda Vital :
Nadi : 147 x/menit, isi : cukup, tegangan : cukup
Pernapasan : 48 x/menit, vesikuler menurun, ekspirasi memanjang,
tipe pernapasan : thorako-abdominal, ronki basah halus
nyaring (+/+), wheez ing (+/+).

Suhu : 37,0 0C

7
2. Pemeriksaan khusus
a. Kepala
Bentuk : normosefali, simetris
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : lagoftalmus (-/-), palpebra edema (-/-), konjungtiva
anemis (-), Sklera ikterik (-), sekret (-/-), pupil bulat
isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
normal.
Hidung : dismorfik (-), napas cuping hidung (-), sekret (-/-) tidak
berwarna, epistaksis (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-)
Telinga : dismorfik (-), cairan (-)
Gigi : karies (-), gusi berdarah (-)
Lidah : atrofi papil (-), hiperemis (-), selaput (-)

b. THT
Faring : hiperemis (-), edema (-), selaput (-)
Tonsil : simetris, ukuran T1-T1, uvula ditengah, hiperemis (-),
edema (-), selaput (-), detritus (-)
c. Leher
Inspeksi : dismorfik (-), pembesaran KGB (-), parotitis (-)
Palpasi : kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-)

d. Thoraks
Paru :
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, retraksi (-) subcostal
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Hipersonor dikedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler menurun, ekspirasi memanjang, tipe
pernapasan : thorako-abdominal, ronki basah
halus nyaring (+/+), wheezing (+/+).

e. Jantung
Perkusi
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : HR 90x/menit, bunyi jantung I dan II normal, irama
reguler, murmur (-) gallop (-)

8
f. Abdomen
Inspeksi : datar (+), asites (-), dismorfik (-), massa (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dan ginjal tidak teraba
Perkusi : timpani, nyeri ketok (-), shiffting dullnes (-), asites (-)

g. Ekstremitas : Akral hangat (+) , CRT <2”


h. Kulit : Rumple leed (-), petekie spontan (-)

2.4 Hasil Laboratorium

Darah Rutin (Tanggal 24 Agustus 2018)

1. Hb : 12,4 g/dl Nilai Normal : P : 12,0 – 14,0 g/dl


2. Leukosit : 20.500/ ul Nilai Normal : 5.000-10.000/ ul
3. Trombosit : 570.000/ ul Nilai Normal : 150.000-400.000/ ul
4. Hematokrit : 37% Nilai Normal : P : 37 - 43%
5. Hitung Jenis : 0/2/0/83/12/3 Nilai Normal : Basofil : 0-1%
Eosinofil : 1-3%
Batang : 2-6%
Segmen : 50-70%
Limfosit : 20-40%
Monosit : 2-8%
6. CRP : Positif

2.5 Diagnosis Banding


 Asma bronkial derajat ringan episodik jarang + Sepsis
 Pneumonia
 Bronkiolitis

2.6 Diagnosis Kerja


Asma bronkial derajat ringan episodik jarang + Sepsis

2.7 Terapi
Medikamentosa :

9
 O2 1 L/menit
 IVFD D5 + drip aminophiline 50 mg gtt 10 x/m (makro)
 Injeksi dexametasone 3 x 3 mg
 Injeksi ceftriaxone 1 x 900 mg
 Nebu Ventolin 1 fls + NS 1 cc per 8 jam
 Injeksi Ampicillin 3 x 400 gr
 Diet nasi bubur

2.8 Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad bonam


 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

2.9 Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Fisik Tindakan


25 Agustus S: Sesak nafas berkurang  O2 3 L/menit
2018 -Mengi (+)
 IVFD D5 + drip aminophiline
14.00 WIB -Demam (-)
-Batuk berdahak namun sukar 50 mg gtt 10 x/m (makro)
dikeluarkan (+)  Injeksi dexametasone 3 x 3 mg
-Pilek (+)
 Injeksi ceftriaxone 1 x 900 mg
-Mual dan muntah tidak lagi (-)
-BAB dan BAK baik  Nebu Ventolin 1 fls + NS 1 cc
per 8 jam
O: KU: Tampak sesak
 Injeksi Ampicillin 3 x 400 gr
-Sensoris: compos mentis
-TD: 70/50 mmHg  Diet nasi bubur
-Nadi: 147 x/m
-RR: 48 x/m
-Temp: 37,0 oC
Kepala: Kepala : normocephali,
mata cekung (-), sklera ikterik (-),
edema palpebra (-), konjungtiva
anemis (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorak: Simetris, retraksi (+)
subcostal, vesikuler menurun,

10
ekspirasi memanjang, rhonki
basah halus nyaring (+/+)
,wheezing (+/+), Bunyi jantung 1
dan bunyi jantung 2 (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, bising
usus (+) normal, turgor normal,
hepar lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat , CRT
< 2, Petekie (-)

A: Asma bronkial derajat ringan


episodik jarang + sepsis

26 Agustus S: Sesak nafas berkurang  O2 3 L/menit


2016 -Mengi sudah hilang
 IVFD D5 + drip aminophiline
20.00 WIB -Demam (-)
-Batuk berdahak namun sukar 50 mg gtt 10 x/m (makro)
dikeluarkan (+)  Injeksi dexametasone 3 x 3 mg
-Pilek (+)
 Injeksi ceftriaxone 1 x 900 mg
-Mual dan muntah tidak lagi (-)
-BAB dan BAK baik  Nebu Ventolin 1 fls + NS 1 cc
per 8 jam
O: KU: Tampak sesak
 Injeksi Ampicillin 3 x 400 gr
-Sensoris: compos mentis
-TD: 70/50 mmHg  Diet nasi bubur
-Nadi: 110 x/m
-RR: 48 x/m
-Temp: 37,0 oC
Kepala: Kepala : normocephali,
mata cekung (-), sklera ikterik (-),
edema palpebra (-), konjungtiva
anemis (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorak: Simetris, retraksi (+)
subcostal, vesikuler menurun,
ekspirasi memanjang, rhonki
basah halus nyaring (+/+)
,wheezing (+/+), Bunyi jantung 1
dan bunyi jantung 2 (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, bising

11
usus (+) normal, turgor normal,
hepar lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat , CRT
< 2, Petekie (-)

A: Asma bronkial derajat ringan


episodik jarang + sepsis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan
dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
pada malam hari atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan3.
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa
pada banyak orang4.
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi
berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya5.

3.2 Etiologi dan Faktor Risiko1,6


Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

12
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik

2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker
dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang


berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma
bronkial. Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced
bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita
asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan
metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak
ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB
adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable
maximum heart rate.7

Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena


meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas
berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam
alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas
dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel
kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa

13
histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak
terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,
atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.7
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 1,6
 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta
pajanan asap rokok.
 Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
 Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut1:

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma

Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta
Pemicu
penyakit yang terkait (inducer)
dengan Pemacu
penyakit asma (enhancer)
sangat banyak. GenPencetus (trigger)
MHC manusia
yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.311.
3.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS
(2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000

14
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada
lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat
asma atau 1,6 per 100 ribu populasi2.
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan
angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan
asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap
sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat
(867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta
kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan
164 kematian anak akibat asma pada tahun 19986.

3.4 Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia
tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan.
Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar
kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki
penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik8.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik merupakan
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan
yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,

15
sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif8.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat
dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T,
basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran
respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel
T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami
polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat
terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti
IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini
terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat8.
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat
asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit8.

16
Gambar 1. Patogenesis Asma

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik
dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid8.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus1.

Faktor Risiko Faktor Risiko


Inflamasi

Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
Faktor Risiko Gejala
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi1.

17
Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus1.

3.5 Patofisiologi Asma


3.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel
inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang
dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen
lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat
yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia
kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada
saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas
dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma
yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler9.
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran

18
nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk
mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan
hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap
dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan
rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan
mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami
kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan
usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan
dan gagal nafas9.

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

3.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui,
namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang
terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya.
Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat
kontraksi otot polos tersebut9.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg%

19
didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang
merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang
lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis
kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas
(tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel
mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk
mengeluarkan mediatornya9.

3.5.3 Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan
kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa
perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot
polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara
kronik9.
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran
nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan
sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan
penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya
kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian
menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan
rekoil elastis9.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan
protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos
untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti
histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara
langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas9.

3.5.4 Hipersekresi mukus


Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan
pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas

20
merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat
penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang
fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator9.
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan
albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA
yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis9.
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia
dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi
sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi
karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks
kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang
diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret,
seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk
neutrofil non-protease9.

3.6 Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
batruk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)5,10.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau
dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.4
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

21
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

3.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan.
Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada
serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar
berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala
bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat,
gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat
mengucapkan kata-kata11.

3.6.2 Pemeriksaan fisik


Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam
batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing
terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut
nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,
seperti dermatitis atopi dapat ditemukan11.
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding
bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas
mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi
basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak
dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol11.

3.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada
AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2

22
(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru
bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya
penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal11.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total
umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi
positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan11.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak
menjadi 3 derajat penyakit10,11

Parameter klinis Asma episodic Asma episodic sering Asma persisten


Kebutuhan obat, jarang (asma sedang) (asma berat)
dan faal paru (asma ringan)
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang tahun,
tidak ada remisi
3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
<3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan kelainan (ditemukan kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi
steroid inhalasi dosis Dosis ≥400 ụg/hari
100-200 ụg
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan0 Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal paru ≥20% ≥30% ≥50%
(bila ada serangan)

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma 11

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


Fungsi paru, henti napas
Laboraturium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis keras Tangis pendek Tidak mau
& lemah minum /
Kesulitan makan
menetek dan
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
Duduk bertopang

23
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya kebingungan
Irritable irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat Sulit /
hanya pada akhir Sepanjang nyaring, Tidak terdengar
ekspirasi ekspirasi Terdengar
± inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradox
Bantu respiratorik Torako-
Abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
Retraksi ditambah ditambah Hilang
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,


<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg Tanda kelelahan
Otot respiratorik
PEFR atau FEV1 (% Nilai dugaan/ Nilai terbaik)
Prabronkodilator >60% 40-60% <40%
Pascabronkodilator >80% 60-80% <60%
Respon < 2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

3.7 Tatalaksana Asma


Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3) 11,12. Tujuan tatalaksana
asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang
anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan
yang ingin dicapai adalah10 :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak,
termasuk bermain dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.

24
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tujuan tatalaksana saat serangan 5:


- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.

Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah


perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan
atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan
penurunan pelan – pelan (step down)10.
Syarat step up 13:
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah
dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
Syarat step down 13:
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA

3.7.1. Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah

25
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu10.

Obat – obat Pereda (Reliever)12


1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik,
hepar, dan pankreas12.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas
yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast12.

Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α
sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi12.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS12.

β2 agonis selektif12
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau
nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

26
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian
inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.


Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas.
Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit,
obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick12.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin
IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk
ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian
besar dieksresi bersama urin. 14

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :


1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

27
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia12.

2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam12.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada
anak12.

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan12 :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk


mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari12.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat


ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin,
menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil
dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.14

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi


kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan
adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB

28
tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam12.

Obat – obat Pengontrol3,13


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan
sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang
paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.
Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan
obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,
mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat
digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan
gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka
panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA.
Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

29
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping
obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga
perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari
frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan
LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).
Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai
obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi
dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah
daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.

30
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan
jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

3.7.2 Terapi Suportif12


a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan
pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran
helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat
ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan
menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta
efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma
berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada
puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan
yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
3.7.3 Cara Pemberian Obat10

Umur Alat Inhalasi


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang
(spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

31
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek
terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya
bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer
(Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi
dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol
susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.

3.7.4 Prevensi dan Intervensi Dini13


- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen

32
Sumber : Depkes RI, 2014

Catatan:
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung
dengan βagonis + Antikolinergik
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke ruang rawat intensif
3. Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan
adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali.
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, O2 2-4 L/menit diberikan
sejak awal, terutama pada saat nebulisasi.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Pada kasus ini, OS datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2
jam SMRS dan disertai mengi. Sesak yang dialami terus menerus dan semakin
memberat serta tidak berkurang saat istirahat maupun perubahan posisi. Sesak
dipengaruhi cuaca dan debu. Sesak tidak disertai dengan bengkak pada wajah atau
kelopak mata, atau bengkak pada kedua tungkai. Menurut orangtuanya, sesak
yang dialami OS bukan yang pertama kali karena sejak usia 1 bulan sering

33
mengalami sesak nafas dengan keluhan yang hampir sama dan biasanya sering
kambuh ketika batuk pilek. Biasanya ketika os batuk pilek akan diberi obat
Anaconidin Herbal, lalu batuk pilek sembuh dan tidak timbul sesak. Namun,
terkadang meskipun sudah diberi obat masih saja timbul sesak. Menurut
orangtuanya, ketika sesak kambuh os sering dibawa ke IGD untuk di uap, dan
baru kali ini os dirawat inap dirumah sakit. Sesak juga tidak disertai dengan
kebiruan pada telapak tangan, kaki atau biru pada mulut. Pasien tidak banyak
bicara, namun tidak kesulitan ketika bicara.
Orangtua os mengatakan bawah os batuk pilek  3 hari SMRS dan demam
tidak terlalu tinggi pada saat dirawat di rumah sakit. Batuk berdahak dan pilek
tidak berwarna. OS tidak mengeluh nyeri pada saat menelan menelan. Os
mengalami mual dan muntah sebanyak 3x 1 hari SMRS. muntah berwarna putih
berupa susu, muntah tidak menyemprot. Dari keterangan orangtua os, bahwa ayah
os mempunyai riwayat asma dan merupakan perokok berat.
Pada pemeriksaan fisik, dari tanda-tanda vital didapatkan keadaan umum
tampak sesak nafas, kesadaran compos mentis, nadi 147x/menit, pernafasan
48x/menit dan suhu 37,0oC. Pada pemeriksaan thoraks tampak retraksi (+)
subcostal, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, perkusi hipersonor,
dan auskultasi terdengar vesikuler menurun, ekspirasi memanjang serta ronkhi
basah halus nyaring dan wheezing (+/+) pada seluruh lapang paru.
Berdasarkan anamnesis di atas, sesuai dengan teori terdapat beberapa faktor
risiko yang menyebabkan terjadinya asma pada pasien ini yaitu adanya infeksi
respiratorik yang mendahului serangan asma serta riwayat asma dalam keluarga.
Pada pemeriksaan fisik pasien asma sering ditemukan perubahan cara bernapas
dan terjadi perubahan bentuk anatomi thoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan
napas cepat dan kesulitan bernapas. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi
(wheezing), ronkhi basah halus nyaring, dan ekspirasi memanjang. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa diagnosis dari kasus adalah asma
bronkial.
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana.
PNAA (Pedoman Nasional Asma Anak) membagi asma menjadi 3, yaitu asma
episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Dasar pembagian ini

34
karena pada asma anak kejadian episodik lebih sering dibanding persisten
(kronisitas). Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi
serangan, lamanya serangan, aktivitas di luar serangan, dan beberapa pemeriksaan
penunjang.22,23 Berdasarkan penilaian PNAA didapatkan frekuensi serangan pada
pasien kurang dari 1 x per bulan dengan lama serangan kurang dari 1 minggu,
tidak adanya gejala diantara serangan, tidur dan aktivitas tidak terganggu, dan
pemeriksaan fisik diluar serangan tidak ada kelainan dan selama ini pasien tidak
memakai obat pengendali asma. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa pasien ini termasuk asma episodik jarang menurut penilaian PNAA.
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi dan lamanya serangan
menurut PNAA, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan.
Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan
asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang dan
asma serangan berat. Pada pasien terdapat gejala-gejala berupa sesak hanya
timbul ketika banyak aktivitas atau saat batuk pilek, tidak kesulitan ketika
berbicara dan mampu mengucapkan kalimat, bisa berbaring, sianosis tidak ada,
wheezing di akhir ekspirasi, retraksi intercostale (+), frekuensi napas takipnea,
dan frekuensi nadi normal. Maka dapat disimpulkan menurut kriteria GINA
bahwa derajat asma pada pasien adalah serangan derajat ringan. Setelah dilakukan
penilaian berdasarkan klasifikasi PNAA dan GINA, maka diagnosis pada pasien
ini adalah asma bronkial derajat ringan episodik jarang.
Menurut alur tatalaksana serangan asma pada anak, pada tatalaksana awal
dilakukan nebulisasi β2-agonis 1-2x selang 20 menit dan nebulisasi ke dua
ditambah dengan antikolinergik. Pasien ini diberikan tatalaksana awal berupa O2 3
L/menit nasal kanul. Sesuai dengan teori, pasien dilakukan nebulisasi ventolin 2,5
mg sebanyak 2 kali, hasil wheezing tetap +/+. Selanjutnya diberikan nebulisasi
combivent 2,5 ml 1 kali namun wheezing tetap +/+. Bila dengan 3 kali nebulisasi
berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon (poor response) seperti pada
pasien, yaitu gejala dan serangan masih ada maka pasien harus dirawat di ruang
rawat inap. Hal ini menunjukkan pasien termasuk ke dalam kategori serangan

35
asma berat. Di ruang rawat inap, nebulisasi dilakukan tiap 1-2 jam dan jika
membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam. Namun pada kasus ini
pasien diberikan nebulisasi setiap 8 jam, dimana hal ini sedikit berbeda dengan
teori.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan IVFD D5 gtt 10 x/menit makro (3
kolf/hari). Dilanjutkan dengan injeksi aminofilin 50 mg bolus pelan. Pemberian
kortikosteroid sistemik akan mempercepat perbaikan dari serangan asma.
Kortikosteroid dapat diberikan secara intravena. Kortikosteroid yang dapat
16,17.
digunakan yaitu metilprednisolon, hidrokortison dan dexamethasone.
Pemberian injeksi dexamethasone 3 x 3 mg pada pasien ini mungkin kurang tepat
karena metil prednisolone merupakan pilihan utama untuk serangan asma18.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukosit yang tinggi yaitu
16.400/ ul. Hal ini menginterpretasikan bahwa adanya infeksi bakteri. Tatalaksana
pada pasien ini yatu diberikan injeksi ceftriaxone 1 x 900 mg dan ampicillin 3 x
400 mg. Dosis ceftriaxone yaitu 25-50 mg/kgBB/hr. Sehingga pasien ini dapat
diberikan ceftriaxone dengan dosis 275-550 gram per hari. Dosis ampicillin yaitu
50-100 mg/kgBB/hari, 3dd. Pasien dapat diberikan dengan dosis 550-1200 mg
terbagi menjadi 3 kali pemberian. Dosis Ampisilin yang didapatkan oleh pasien
sudah sesuai dengan teori, sedangkan pemberian dosis ceftriaxone terlalu tinggi,
karena pada anak ini seharusnya dosisnya hanya 275-550 gram per hari.19
Setelah dilakukan nebulisasi dan pemberian obat, keluhan sesak pada pasien
semakin berkurang dan keadaan pasien berangsur baik, sehingga 24 jam setelah
dirawat pasien dapat dipulangkan. Prognosis pada penderita ini cukup baik,
karena merespon terhadap terapi saat di ruang rawat inap dan tidak terjadi
perburukan. Tetapi jika gejala timbul lagi, klinis tetap belum membaik atau
memburuk pasien tetap diobservasi dan dirawat. Pada pasien ini terdapat
perbaikan klinis dan setelah diobservasi secara klinis keadaan pasien stabil.
Namun perlu diperhatikan pencegahan terhadap faktor pencetus berupa infeksi
virus/bakteri dan membatasi aktivitas berlebihan agar keluhan tidak timbul
kembali.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.
Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;
2006.

37
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s
Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group
Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy,
Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo :
American Academy of Allergy : 2007
8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.
dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
h.85-96.
9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.
10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :
Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi
pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.
496-500.

38
15. Cockroft DW, Swystun VA. Asthma control versus asthma severity. J
Allergy Clin Immunol 1996; 98:1016-8.
16. FitzGerald JM, Grunfeld A. Status asthmaticus. Dalam: Lichtenstein LM,
Fauci AS, penyunting. Current therapy in allergy, immunology, and
rheumatology. Edisi ke-5.St. Louis, MO: Mosby; 1996. h. 63-7.
17. Turner MO, Taylor D, Bennet R, FitzGerald JM. A randomized trial
comparing peak expiratory flow and symptom self-management plans for
patients with asthma attending a primary care clinic. Am J Respir Crit
Care Med 1998; 157:540-6.
18. Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third International Pediatric
Consensus Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatri
Pulmonol 1998; 25:1-17.
19. Michael Sly. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson’s textbook of pediatrics. Edisi ke-15. Philadelphia:
W.B. Saunders Co; 1996. h. 628-40.

20. Lenfant C, Khaltaev N. Global initiative for asthma. Geneva:


NHLBI/WHO; 2002.
21. Fordiastiko. Asma dan seluk-beluknya. Semarang: PDPI; 2005.
22. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman nasional asma anak. Jakarta:
IDAI; 2004.
23. National Institure of Health. Global strategy for asthma management and
prevention. USA: National Institutes of Health; 2007.

39

Anda mungkin juga menyukai