PENDAHULUAN
1
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Asma Bronkial, terkait pada
kegiatan kepaniteraan.
1.3 Manfaat
1.3.1 Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan
ilmu tentang kasus Asma Bronkial.
1.3.2 Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan
yang diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan
kesehatan) kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada
pasien dengan Asma Bronkial.
BAB II
LAPORAN KASUS
2
g. Agama : Islam
h. Alamat : Jl. A Yani Lrg Fajar I No 1599 RT 035 RW 005
i. Dikirim oleh : IGD
j. MRS tanggal : 24 Agustus 2018
k. Nama Ibu : Maryama
l. Umur :
m. Pekerjaan : wiraswasta
n. Agama : Islam
o. Alamat : Jl. A Yani Lrg Fajar I No 1599 RT 035 RW 005
p. Nama Ayah : Seto Dian Firdaus
q. Umur :
r. Pekerjaan : tukang becak
s. Agama : Islam
t. Alamat : Jl. A Yani Lrg Fajar I No 1599 RT 035 RW 005
2.2 Anamnesis
Tanggal : 25 Agustus 2018
Diberikan oleh : Pasien dan ibu pasien
2. Keluhan Tambahan
Batuk pilek sejak ± 3 hari SMRS dan demam tidak terlalu tinggi
setelah masuk rumah sakit.
3
OS datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2 jam
SMRS dan disertai mengi. Sesak yang dialami terus menerus dan
semakin memberat serta tidak berkurang saat istirahat maupun
perubahan posisi. Sesak dipengaruhi cuaca dan debu. Sesak tidak
disertai dengan bengkak pada wajah atau kelopak mata, atau bengkak
pada kedua tungkai. Menurut orangtuanya, sesak yang dialami OS
bukan yang pertama kali karena sejak usia 1 bulan sering mengalami
sesak nafas dengan keluhan yang hampir sama dan biasanya sering
kambuh ketika batuk pilek. Biasanya ketika os batuk pilek akan diberi
obat Anaconidin Herbal, lalu batuk pilek sembuh dan tidak timbul
sesak. Namun, terkadang meskipun sudah diberi obat masih saja
timbul sesak. Menurut orangtuanya, ketika sesak kambuh os sering
dibawa ke IGD untuk di uap, dan baru kali ini os dirawat inap
dirumah sakit. Sesak juga tidak disertai dengan kebiruan pada telapak
tangan, kaki atau biru pada mulut. Pasien tidak banyak bicara, namun
tidak kesulitan ketika bicara.
Orangtua os mengatakan bawah os batuk pilek 3 hari SMRS
dan demam tidak terlalu tinggi pada saat dirawat di rumah sakit. Batuk
berdahak dan pilek tidak berwarna. OS tidak mengeluh nyeri pada saat
menelan menelan. Os mengalami mual dan muntah sebanyak 3x 1
hari SMRS. muntah berwarna putih berupa susu, muntah tidak
menyemprot.
Dari keterangan orangtua os, bahwa ayah os mempunyai riwayat
asma dan merupakan perokok berat.
4
Riwayat hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Alergi (-) dan Asma (+)
dari ayah pasien.
7. Riwayat Makanan
- ASI ekslusif : 0-40 hari
- Susu formula : 40 hari – sekarang
- Bubur susu : 4-6 bulan
- Bubur tim : 6-18 bulan
- Nasi biasa : 18 bulan – sekarang
1. Sayuran, buah : hampir setiap hari
2. Ikan : 2-3 kali seminggu
3. Telur : 3 kali seminggu
4. Ayam, daging : 1-2 kali sebulan
5. Tahu, tempe : 2-3 kali seminggu
Kesan : secara kualitatif asupan gizi cukup, secara kuantitatif
asupan cukup memenuhi gizi seimbang, makanan sesuai usia,
namun pemberian ASI tidak esklusif.
8. Riwayat Imunisasi
- BCG :1x
- DPT :1x
- Polio :1x
- Hepatitis B :1x
5
- Campak :-
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
6
Kesan : Gizi Baik
Lingkar Kepala : 36 cm, normosefali
Demam (+), Edema (-), sianosis (-), dispnue (+), anemia (-), ikterik (-)
Tanda Vital :
Nadi : 103 x/menit, isi : cukup, tegangan : cukup
Pernapasan : 44 x/menit, vesikuler menurun, ekspirasi memanjang,
tipe pernapasan : thorako-abdominal, ronki basah halus
nyaring (+/+), wheezing (+/+).
Suhu : 37,8 0C
Tanda Vital :
Nadi : 147 x/menit, isi : cukup, tegangan : cukup
Pernapasan : 48 x/menit, vesikuler menurun, ekspirasi memanjang,
tipe pernapasan : thorako-abdominal, ronki basah halus
nyaring (+/+), wheez ing (+/+).
Suhu : 37,0 0C
7
2. Pemeriksaan khusus
a. Kepala
Bentuk : normosefali, simetris
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : lagoftalmus (-/-), palpebra edema (-/-), konjungtiva
anemis (-), Sklera ikterik (-), sekret (-/-), pupil bulat
isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
normal.
Hidung : dismorfik (-), napas cuping hidung (-), sekret (-/-) tidak
berwarna, epistaksis (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-)
Telinga : dismorfik (-), cairan (-)
Gigi : karies (-), gusi berdarah (-)
Lidah : atrofi papil (-), hiperemis (-), selaput (-)
b. THT
Faring : hiperemis (-), edema (-), selaput (-)
Tonsil : simetris, ukuran T1-T1, uvula ditengah, hiperemis (-),
edema (-), selaput (-), detritus (-)
c. Leher
Inspeksi : dismorfik (-), pembesaran KGB (-), parotitis (-)
Palpasi : kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-)
d. Thoraks
Paru :
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, retraksi (-) subcostal
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Hipersonor dikedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler menurun, ekspirasi memanjang, tipe
pernapasan : thorako-abdominal, ronki basah
halus nyaring (+/+), wheezing (+/+).
e. Jantung
Perkusi
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : HR 90x/menit, bunyi jantung I dan II normal, irama
reguler, murmur (-) gallop (-)
8
f. Abdomen
Inspeksi : datar (+), asites (-), dismorfik (-), massa (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dan ginjal tidak teraba
Perkusi : timpani, nyeri ketok (-), shiffting dullnes (-), asites (-)
2.7 Terapi
Medikamentosa :
9
O2 1 L/menit
IVFD D5 + drip aminophiline 50 mg gtt 10 x/m (makro)
Injeksi dexametasone 3 x 3 mg
Injeksi ceftriaxone 1 x 900 mg
Nebu Ventolin 1 fls + NS 1 cc per 8 jam
Injeksi Ampicillin 3 x 400 gr
Diet nasi bubur
2.8 Prognosis
2.9 Follow Up
10
ekspirasi memanjang, rhonki
basah halus nyaring (+/+)
,wheezing (+/+), Bunyi jantung 1
dan bunyi jantung 2 (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, bising
usus (+) normal, turgor normal,
hepar lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat , CRT
< 2, Petekie (-)
11
usus (+) normal, turgor normal,
hepar lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat , CRT
< 2, Petekie (-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan
dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
pada malam hari atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan3.
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa
pada banyak orang4.
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi
berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya5.
12
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker
dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
13
histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak
terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,
atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.7
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 1,6
Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta
pajanan asap rokok.
Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).
Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma
Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta
Pemicu
penyakit yang terkait (inducer)
dengan Pemacu
penyakit asma (enhancer)
sangat banyak. GenPencetus (trigger)
MHC manusia
yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.311.
3.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS
(2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000
14
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada
lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat
asma atau 1,6 per 100 ribu populasi2.
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan
angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan
asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap
sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat
(867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta
kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan
164 kematian anak akibat asma pada tahun 19986.
3.4 Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia
tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan.
Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar
kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki
penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik8.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik merupakan
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan
yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,
15
sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif8.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat
dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T,
basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran
respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel
T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami
polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat
terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti
IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini
terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat8.
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat
asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit8.
16
Gambar 1. Patogenesis Asma
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik
dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid8.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus1.
Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
Faktor Risiko Gejala
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi1.
17
Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus1.
18
nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk
mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan
hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap
dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan
rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan
mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami
kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan
usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan
dan gagal nafas9.
19
didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang
merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang
lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis
kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas
(tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel
mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk
mengeluarkan mediatornya9.
20
merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat
penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang
fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator9.
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan
albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA
yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis9.
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia
dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi
sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi
karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks
kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang
diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret,
seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk
neutrofil non-protease9.
3.6 Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
batruk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)5,10.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau
dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.4
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
21
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
3.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan.
Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada
serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar
berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala
bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat,
gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat
mengucapkan kata-kata11.
22
(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru
bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya
penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal11.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total
umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi
positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan11.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak
menjadi 3 derajat penyakit10,11
23
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya kebingungan
Irritable irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat Sulit /
hanya pada akhir Sepanjang nyaring, Tidak terdengar
ekspirasi ekspirasi Terdengar
± inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradox
Bantu respiratorik Torako-
Abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
Retraksi ditambah ditambah Hilang
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit
24
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
25
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu10.
26
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian
inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
27
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia12.
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam12.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada
anak12.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan12 :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
28
tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam12.
29
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
30
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan
jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
31
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek
terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya
bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer
(Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi
dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol
susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
32
Sumber : Depkes RI, 2014
Catatan:
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung
dengan βagonis + Antikolinergik
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke ruang rawat intensif
3. Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan
adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali.
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, O2 2-4 L/menit diberikan
sejak awal, terutama pada saat nebulisasi.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Pada kasus ini, OS datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak ± 2
jam SMRS dan disertai mengi. Sesak yang dialami terus menerus dan semakin
memberat serta tidak berkurang saat istirahat maupun perubahan posisi. Sesak
dipengaruhi cuaca dan debu. Sesak tidak disertai dengan bengkak pada wajah atau
kelopak mata, atau bengkak pada kedua tungkai. Menurut orangtuanya, sesak
yang dialami OS bukan yang pertama kali karena sejak usia 1 bulan sering
33
mengalami sesak nafas dengan keluhan yang hampir sama dan biasanya sering
kambuh ketika batuk pilek. Biasanya ketika os batuk pilek akan diberi obat
Anaconidin Herbal, lalu batuk pilek sembuh dan tidak timbul sesak. Namun,
terkadang meskipun sudah diberi obat masih saja timbul sesak. Menurut
orangtuanya, ketika sesak kambuh os sering dibawa ke IGD untuk di uap, dan
baru kali ini os dirawat inap dirumah sakit. Sesak juga tidak disertai dengan
kebiruan pada telapak tangan, kaki atau biru pada mulut. Pasien tidak banyak
bicara, namun tidak kesulitan ketika bicara.
Orangtua os mengatakan bawah os batuk pilek 3 hari SMRS dan demam
tidak terlalu tinggi pada saat dirawat di rumah sakit. Batuk berdahak dan pilek
tidak berwarna. OS tidak mengeluh nyeri pada saat menelan menelan. Os
mengalami mual dan muntah sebanyak 3x 1 hari SMRS. muntah berwarna putih
berupa susu, muntah tidak menyemprot. Dari keterangan orangtua os, bahwa ayah
os mempunyai riwayat asma dan merupakan perokok berat.
Pada pemeriksaan fisik, dari tanda-tanda vital didapatkan keadaan umum
tampak sesak nafas, kesadaran compos mentis, nadi 147x/menit, pernafasan
48x/menit dan suhu 37,0oC. Pada pemeriksaan thoraks tampak retraksi (+)
subcostal, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, perkusi hipersonor,
dan auskultasi terdengar vesikuler menurun, ekspirasi memanjang serta ronkhi
basah halus nyaring dan wheezing (+/+) pada seluruh lapang paru.
Berdasarkan anamnesis di atas, sesuai dengan teori terdapat beberapa faktor
risiko yang menyebabkan terjadinya asma pada pasien ini yaitu adanya infeksi
respiratorik yang mendahului serangan asma serta riwayat asma dalam keluarga.
Pada pemeriksaan fisik pasien asma sering ditemukan perubahan cara bernapas
dan terjadi perubahan bentuk anatomi thoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan
napas cepat dan kesulitan bernapas. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi
(wheezing), ronkhi basah halus nyaring, dan ekspirasi memanjang. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa diagnosis dari kasus adalah asma
bronkial.
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana.
PNAA (Pedoman Nasional Asma Anak) membagi asma menjadi 3, yaitu asma
episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Dasar pembagian ini
34
karena pada asma anak kejadian episodik lebih sering dibanding persisten
(kronisitas). Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi
serangan, lamanya serangan, aktivitas di luar serangan, dan beberapa pemeriksaan
penunjang.22,23 Berdasarkan penilaian PNAA didapatkan frekuensi serangan pada
pasien kurang dari 1 x per bulan dengan lama serangan kurang dari 1 minggu,
tidak adanya gejala diantara serangan, tidur dan aktivitas tidak terganggu, dan
pemeriksaan fisik diluar serangan tidak ada kelainan dan selama ini pasien tidak
memakai obat pengendali asma. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa pasien ini termasuk asma episodik jarang menurut penilaian PNAA.
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi dan lamanya serangan
menurut PNAA, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan.
Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan
asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang dan
asma serangan berat. Pada pasien terdapat gejala-gejala berupa sesak hanya
timbul ketika banyak aktivitas atau saat batuk pilek, tidak kesulitan ketika
berbicara dan mampu mengucapkan kalimat, bisa berbaring, sianosis tidak ada,
wheezing di akhir ekspirasi, retraksi intercostale (+), frekuensi napas takipnea,
dan frekuensi nadi normal. Maka dapat disimpulkan menurut kriteria GINA
bahwa derajat asma pada pasien adalah serangan derajat ringan. Setelah dilakukan
penilaian berdasarkan klasifikasi PNAA dan GINA, maka diagnosis pada pasien
ini adalah asma bronkial derajat ringan episodik jarang.
Menurut alur tatalaksana serangan asma pada anak, pada tatalaksana awal
dilakukan nebulisasi β2-agonis 1-2x selang 20 menit dan nebulisasi ke dua
ditambah dengan antikolinergik. Pasien ini diberikan tatalaksana awal berupa O2 3
L/menit nasal kanul. Sesuai dengan teori, pasien dilakukan nebulisasi ventolin 2,5
mg sebanyak 2 kali, hasil wheezing tetap +/+. Selanjutnya diberikan nebulisasi
combivent 2,5 ml 1 kali namun wheezing tetap +/+. Bila dengan 3 kali nebulisasi
berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon (poor response) seperti pada
pasien, yaitu gejala dan serangan masih ada maka pasien harus dirawat di ruang
rawat inap. Hal ini menunjukkan pasien termasuk ke dalam kategori serangan
35
asma berat. Di ruang rawat inap, nebulisasi dilakukan tiap 1-2 jam dan jika
membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam. Namun pada kasus ini
pasien diberikan nebulisasi setiap 8 jam, dimana hal ini sedikit berbeda dengan
teori.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan IVFD D5 gtt 10 x/menit makro (3
kolf/hari). Dilanjutkan dengan injeksi aminofilin 50 mg bolus pelan. Pemberian
kortikosteroid sistemik akan mempercepat perbaikan dari serangan asma.
Kortikosteroid dapat diberikan secara intravena. Kortikosteroid yang dapat
16,17.
digunakan yaitu metilprednisolon, hidrokortison dan dexamethasone.
Pemberian injeksi dexamethasone 3 x 3 mg pada pasien ini mungkin kurang tepat
karena metil prednisolone merupakan pilihan utama untuk serangan asma18.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukosit yang tinggi yaitu
16.400/ ul. Hal ini menginterpretasikan bahwa adanya infeksi bakteri. Tatalaksana
pada pasien ini yatu diberikan injeksi ceftriaxone 1 x 900 mg dan ampicillin 3 x
400 mg. Dosis ceftriaxone yaitu 25-50 mg/kgBB/hr. Sehingga pasien ini dapat
diberikan ceftriaxone dengan dosis 275-550 gram per hari. Dosis ampicillin yaitu
50-100 mg/kgBB/hari, 3dd. Pasien dapat diberikan dengan dosis 550-1200 mg
terbagi menjadi 3 kali pemberian. Dosis Ampisilin yang didapatkan oleh pasien
sudah sesuai dengan teori, sedangkan pemberian dosis ceftriaxone terlalu tinggi,
karena pada anak ini seharusnya dosisnya hanya 275-550 gram per hari.19
Setelah dilakukan nebulisasi dan pemberian obat, keluhan sesak pada pasien
semakin berkurang dan keadaan pasien berangsur baik, sehingga 24 jam setelah
dirawat pasien dapat dipulangkan. Prognosis pada penderita ini cukup baik,
karena merespon terhadap terapi saat di ruang rawat inap dan tidak terjadi
perburukan. Tetapi jika gejala timbul lagi, klinis tetap belum membaik atau
memburuk pasien tetap diobservasi dan dirawat. Pada pasien ini terdapat
perbaikan klinis dan setelah diobservasi secara klinis keadaan pasien stabil.
Namun perlu diperhatikan pencegahan terhadap faktor pencetus berupa infeksi
virus/bakteri dan membatasi aktivitas berlebihan agar keluhan tidak timbul
kembali.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s
Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group
Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy,
Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo :
American Academy of Allergy : 2007
8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.
dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
h.85-96.
9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.
10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :
Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi
pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.
496-500.
38
15. Cockroft DW, Swystun VA. Asthma control versus asthma severity. J
Allergy Clin Immunol 1996; 98:1016-8.
16. FitzGerald JM, Grunfeld A. Status asthmaticus. Dalam: Lichtenstein LM,
Fauci AS, penyunting. Current therapy in allergy, immunology, and
rheumatology. Edisi ke-5.St. Louis, MO: Mosby; 1996. h. 63-7.
17. Turner MO, Taylor D, Bennet R, FitzGerald JM. A randomized trial
comparing peak expiratory flow and symptom self-management plans for
patients with asthma attending a primary care clinic. Am J Respir Crit
Care Med 1998; 157:540-6.
18. Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third International Pediatric
Consensus Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatri
Pulmonol 1998; 25:1-17.
19. Michael Sly. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson’s textbook of pediatrics. Edisi ke-15. Philadelphia:
W.B. Saunders Co; 1996. h. 628-40.
39