Merajai tiap hembusan nafas yang beradu Aku terkantuk mendikte nasib yang tak berujung suka Sesak menggebu-gebu Menaiki tahta ketauhidanku Allah yang esa, luntur hanya karna dunia Terbilang hari berkelang kian pesat Sesak itu tetap membuntutiku, menakutiku, mengerikan Aku menangis tersedu sedan dalam kebahagiaan sahabatku Aku terbahak kencang saat sahabatku merintih Ya Rabb, aku berdosa Aku kotor Jiwaku hancur Imanku futur Sesak, semakin mengejarku Ingin menujah keyakinanku Aku menjauh, kian jauh Pagi itu, aku dibangunkan dengan seruan adzan Yang sudah sewindu lalu aku abaikan Seruan itu tetap tak lantas membangunkan kegerahanku Pagi itu, seruan adzan itu berlalu dua tiga jam Dengan loyoh aku menitihkan kaki menuju sajadah Lalu bersujud, tapi lalu lalang bacaan shalat itu lewat Dua tiga pekan setelah panggilan adzan itu, Khalwat yang selama ini terjaga mulai pupus Dia memasamkan kata sayang jadi dosa besar Untuk peratama kalinya, aku menangis Matahari lalu tergelincir Aku memandangi al-quran yang selama ini berdebu terpajang Ku tatap sajadah yang selama ini tergelar sembarang Aku meringis
Petang itu, adzan kembali berseru
Kusegerakan wudhuku Ku memulai takbir pertama Sampai ku selesaikan salam Dzikir pemula doaku mulai merangkak Teringat aku dengan kerudung yang selama ini terjulur Aku malu, aku malu Aku meringkuh menyesali segala penyakit hati yang terkungkung rapih Aku menangisi jiwa yang menghalalkan khalwat semu Aku malu, aku malu Berat tertatih hatiku mengeja kembali syahadat Melemparkan mata dari angan-angan maya Ya rabb, ampuni aku Aku mencari tempat berteduh selama ini, Tak kusadari bahwa Kau sudah disini Petang itu Ya Allah Kurasakan dekapan-Mu Aku mulai beranjak dari rasa “kesendirianku” Mulai kupeluk nama-Mu disetiap rasa sepiku Baru ku anggukan katanya kemarin lusa, Untuk kecukupan tiada tara, hanya perlu aku, dan Tuhanku, Allah Tuhan Yang Maha Esa