Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Parangtritis merupakan salah satu pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta yang


terletak di ujung Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul yang berdekatan dengan
Kabupaten Gunungkidul. Parangtritis merupakan salah satu lapangan yang di gunakan
untuk kegiatan kuliah lapangan 1 karena sesuatu hal akhirnya Parangtritis tidak dijadikan
tempat kuliah 1 tetapi isinya disampaikan pada kliah lapangan di Bayat

Karena pentingnya geologi Parangtritis sebagai tempat penelitian yang disana


mencirikan suatu lingkungan pengendapan suatu gumuk pasir yang sangat penting
karena hukum Uniformtarianiszem sedang berlangsung kelak akan menjadi reservoir
yang baik, lalu ada suatu fenomena sumber air panas sebagai penciri guung purba maka
sangat penting untuk mengetahui genesa Parangtritis tersebut, sehingga dapat diperoleh
gambaran untuk kegiatan eksplorasi maupun penentuan lingkungan pengendapan yang
dapat menceritakan sejarah geologi tebentuknya suatu singkapan.

Maka dari itu untuk mengenal dan mempelajari Geology parangtritis lebih lanjut,
dilaksanakanlah Fieldtrip Geology Parangtritis pada tanggal 26 Oktober 2018 di Daerah
Bantul. Disana kami (Kelompok Kaolinite) bersama sama teman teman angkatan saya
melakukan pengamatan mengenai Geology parangtritis dari segi deskripsi sampai
interpretasi lingkungan pengendapan yang diteliti dari setiap stopsite yang dikunjungi.
Dari setiap stopsite ditemukan beberapa litologi penciri yang nantinya bias digunakan
untuk bukti dalam interpretasi data.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan diadakan ekskursi karbonat adalah :


 Mengetahui faktor yang berpengaruh dalam pembentukan sedimen
 Melakukan deskripsi batuan di lapangan
 Mengetahui genesa dan sejarah geologi dari suatu singkapan

1.3. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam laporan ini adalah :


 Apa faktor yang mempengaruhi pembentukan sedimen

1
 Bagaimana cara pendeskripsian batuan karbonat di lapangan
 Bagaimana genesa dan sejarah geologi dari suatu singkapan

1.4. Geologi Regional

Pegunungan Selatan merupakan satuan fisiografi regional di bagian selatan Jawa


yang membentang dari Teluk Ciletuh di Jawa Barat hingga Semenanjung Blambangan di
ujung timur (eastern spur atau oosthoek) Jawa Timur (Pannekoek, 1949; Van Bemmelen,
1949). Pegunungan Selatan tidak dijumpai di Jawa Tengah, yaitu dari Teluk Cilacap
hingga Yogyakarta, dimana dataran aluvial pantai menggantikannya. Kondisi tersebut
menyebabkan zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Pegunungan
Selatan Jawa Barat yang terbentang dari Teluk Ciletuh hingga Nusakambangan dan
Pegunungan Selatan Jawa Timur yang melampar dari Yogyakarta hingga Semenanjung
Blambangan.
Geomorfologi yang dibentuk oleh bagian kecil dari Pegunungan Selatan ini telah
menarik perhatian banyak peneliti yang sebagian besar berkebangsaan Eropa di awal abad
ke-20 (Bothé, 1929; Harloff, 1933; Lehmann, 1936; Von Koenigswald, 1939; Movius,
1944; Pannekoek, 1949; Van Bemmelen, 1949; Sartono, 1964). Sayangnya hasil kajian
mereka tidak banyak dilanjutkan oleh para peneliti geomorfologi berkebangsaan
Indonesia. Keunikan geomorfologi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat tersebut
tidak lepas dari kaitannya dengan keberadaan perbukitan terisolasi di dataran Klaten dan
berdampingan dengan Pegunungan Selatan, yaitu Perbukitan Jiwo yang disusun oleh
batuan berumur Pra- Tersier.
1.4.2. Fisiografis Regional
Secara fisiografis, Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat (untuk
selanjutnya disebut secara singkat sebagai Pegunungan Selatan, untuk alasan kepraktisan)
dapat dibagi menjadi tiga zona. Bagian utara merupakan lajur-lajur pegunungan dengan
relief yang kuat. Lajur paling timur dibentuk oleh Lajur Kambengan dan Lajur Plopoh.
Kedua lajur tersebut dipisahkan oleh lembah Sungai Bengawan Solo. Lajur tengah dan
barat dibentuk oleh Lajur Baturagung. Bagian selatan dibentuk oleh topografi kars yang
ekstensif dan dicirikan oleh rangkaian perbukitan kerucut. Ciri terakhir ini membuat
daerah tersebut dikenal dengan nama Gunung Sewu yang menerus dari selatan
Yogyakarta hingga Teluk Pacitan. Di selatan Giritontro suatu lembah sungai kering
membelah topografi kars dengan arah UTL-SBD. Lajur pegunungan di utara dan
topografi kars di selatan dipisahkan oleh depresi topografi yang membentuk Cekungan
Wonosari dan Cekungan Baturetno. Kedua cekungan tersebut dipisahkan oleh
Pegunungan Panggung (Panggung Massif). Aliran air sungai permukaan berkembang
dengan baik di kedua cekungan, dengan daerah aliran sungai (DAS) Oyo yang

2
berkembang di Cekungan Wonosari dan DAS Bengawan Solo yang berkembang
Cekungan Baturetno.

1.4.3. Stratigrafi Pegunungan Selatan


Pegunungan Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen
volkaniklastik dan batuan karbonat. Batuan volkanik klastiknya sebagian besar terbentuk
oleh pengendapan gaya berat (gravity depositional process) yang menghasilkan endapan
kurang lebih setebal 4000 meter. Hampir seluruh batuan sedimen tersebut mempunyai
kemiringan ke selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari
tua ke muda adalah :
- Formasi Wungkal Gamping
- Formasi Kebo-Butak
- Formasi Semilir
- Formasi Nglanggran
- Formasi Sambipitu
- Formasi Oyo-Wonosari
- Formasi Kepek

3
Tabel I.4.1 Stratigrafi regional Pegunungan Selatan (Toha, et al., 2000 op. cit.
Akmaludin, 2007). Urutan stratigrafi dari tua ke muda adalah Formasi Wungkal-
Gamping, Formasi Kebo Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi
Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, dan Formasi Kepek. (1959)

1.4.4. Geomorfologi Pegunungan Selatan

Batuan-batuan karbonat Formasi Wonosari yang berumur Mio-Pliosen


mendominasi bagian selatan Pegunungan Selatan, membentuk topografi kars yang
dikenal dengan nama Gunung Sewu. Secara umum, perbukitan kars Gunung Sewu
melampar dengan arah TTgBBL. Bagian selatan Gunung Sewu merupakan pesisir yang
berbatasan langsung dengan Samudera India oleh gawir-gawir erosi. Bagian utara

4
Gunung Sewu memiliki batas yang bervariasi dengan fisiografi di sekitarnya. Gunung
Sewu dibatasi oleh kelurusan semisirkuler dengan arah umum TTg-BBL dengan
Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno. Selain itu, perbukitan kars tersebut
menumpang secara tidak selaras terhadap batuan beku dan volkaniklastik Oligo-Miosen
yang telah tererosi pada ujung baratdaya Lajur Baturagung, pada ujung selatan Masif
Panggung, dan pada bagian timur Cekungan Baturetno. Bidang ketidakselarasan tersebut
sering disebut sebagai bidang peneplain Pegunungan Selatan level pertama (Pannekoek,
1949). Penumpangan batugamping Gunung Sewu tersebut menghasilkan suatu transisi
morfologi yang bersifat gradual dari perbukitan volkanik struktural di sebelah utara
menjadi perbukitan kars di sebelah selatan. Puncak-puncak perbukitan kerucut kars yang
relatif horisontal sering disebut sebagai bidang peneplain Pegunungan Selatan level kedua
(Pannekoek, 1949). Di Pantai Wediombo batuan karbonat Formasi Wonosari
menumpang secara tidak selaras diatas batuan beku Miosen. Selaras dengan konsep
peneplainisasi pertama dari Pannekoek (1949), Hartono menginterpretasikan batuan beku
tersebut sebagai sisa erosi dari tubuh gunungapi.
Orientasi perbukitan dan lembah-lembah kars di Gunung Sewu bervariasi secara
geografis. Bagian utara didominasi oleh kelurusan berarah BL-Tg, sedangkan bagian
selatan didominasi oleh kelurusan berarah TTg-BBL yang relatif sejajar dengan garis
pantai saat ini. Pola kelurusan pertama dapat dengan jelas dilihat di selatan Masif
Panggung dan selatan Giritontro. Beberapa penelitian menunjukkan pola kelurusan yang
kedua tersebut dibentuk oleh undak-undak pantai purba yang kemungkinan disebabkan
oleh pengangkatan episodik Pegunungan Selatan (Sartono, 1964; Surono, 2005). Bila
interpretasi ini diterapkan pada pola kelurusan pertama di sebelah utara, maka
implikasinya adalah adanya perubahan pola pengangkatan Pegunungan Selatan. Bukti
pengangkatan Pegunungan Selatan yang bersifat episodik juga datang dari endapan teras
sungai di utara Teluk Pacitan (Harloff, 1933; Movius, 1944)

5
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
II.1. Stopsite 1

Parangtritis merupakan wilayah yang telah menjadi salah satu kawasan Cagar
Alam Geologi (CAG) di Indonesia. Hal itu karena di Pantai Parangtritis memiliki
keunikan yang hanya ada 2 di dunia, yaitu adanya gumuk pasir. Gumuk pasir Parangtritis
di perkirakan dapat mencapai ketinggiam sekitar 15 m. Namun saai ini gumuk pasir yang
terbentuk tidak mencapai ketinggian yang maksimal, karena ada beberapa faktor yang
menghambat pembentukan gumuk pasir ini. Yang pertama faktor urbanogenetik, yaitu
dimana daerah pesisir Parangtritis telah banyak bangunan yang menghalangi suplai
material dari laut. Kemudian faktor orogenik, yaitu akibat adanya penanaman tumbuh-
tumbuhan yang bukan tumbuhan asli daerah gumuk pasir, senhingga tidak mendukung
pertumbuhan guuk pasir. Kemudian karena adanya penambangan besar-besaran di daerah
aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi, material-material yang seharusnya
mengalir ke laut, kemudian di kembalikan lagi ke darat oleh ombak dan membentuk
gumuk pasir sudah berkurang, sehingga gumuk pasir menjadi seperti sekarang ini. Selain
gumuk pasir, juga terdapat fenomena blow out dune yang menjadi akibat terhambatnya
pembentukan gumuk pasir oleh faktor urbanogenik dan orogenik.

Gambar II.1 Blow out dune

Faktor- faktor yang mendukung terbentuknya dune :

1. Koridor angin yang berhembus dari arah tenggara


Dilihat dari arah ripple maka dapat di perkirakan arah angin yang membentuk gumuk
pasir ini berasal dari arah tenggara.

6
Gambar II.2. Ripple di Parangtritis

7
8
Gambar II.3. Bentang alam Stopsite 1
II.2. Stopsite 2

Dalam mengenali litologi pada stopsite 2 ini dilihat dari adanya struktur vesikuler, yaitu
adanya lubang-lubang gas.

II.2.1 Deskripsi lapangan


Lapangan terletak di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, DIY. Terletak di tengah pemukiman
warga dan berada di dalam pagar yang terbuat dari beton.

II.2.1 Deskripsi singkapan


Singkapan berada di sebelah jalan umum, berupa singkapan batuan beku ekstrusi yang telah
lapuk. Litologi yang ada memperlihatkan adanya kekar dan adanya speroidal wheatering.

Gambar II.4. Sketsa singkapan


II.2.1 Deskripsi batuan

Gambar II.5. Batuan beku Stopsite 3

9
10
11
Gambar II.5. Bentang alam Stopsite 2
II.3. Stopsite 3
Dari stopsite 2 menuju stopsite 3 kurang lebih 5 menit perjalanan. Fenomena yang
terdapat pada stopsite ini yaitu adanya 2 mata air yang berasal dari 2 sumber yeng
berbeda dengan jarak yang cukup dekat kurang lebih sekitar 12m dan kedua mata air ini
terdiri dari satu mata air panas dengan air asin dan satu mata air dingin dengan air
tawar. Lokasi stopsite ini masih derada di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, DIY.

Mata air panas yang berada di stopsite 3 diidentifikasi muncul karena adanya kontrol
struktur geologi didukung dengan ditemukannya lereng terjal yang berada di belakang
stopsite 3 yang mana di lereng ini ditemukan adanya litologi batuan beku menuju ke
satu arah dan di arah berlawanan ditemukan adanya autobreccia . Batuan yang terdapat
pada lokasi ini berupa batuan beku ekstrusi (Andesit) yang menurut Van Bemelen
termasuk kedalam OAF (Old Andesit Formation) .

Terdapat 3 aspek penting :

1. Masalah air (Hidrology)


2. Permeabilitas struktur ( Fault system)
Air yang keluar dari bawah permukaan harus mempunyai aquifer
(permeabikitas, porositas). :
 Apabila permeabilitas pori yaitu kontak oleh butiran seharusnya sama.
Contoh: Batupasir = air dingin dan air tawar
 Apabila porositas lebih dalam ( permeabilitas struktur ) menghasilkan air
panas dan air adin.

3. Sumber panas ( post vulcanism)

Air dingin tawar dan air panas asin disebabkan karena densitas air laut >> air tawar dan
berada pada permeabilitas struktur air asin.

12
II.4. Stopsite 4
Lokasi terletak di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, DIY

Lapangan Geologi Parangtritis :

 Labolatorium panas bumi kerena adanya sumber air panas.


 Dapat mengamati adanya bukti-bukti kontrol struktur geologi.
 Adanya bukti aktifitas vulkanisme di masa lampau.
 Mengetahui geomorfologi di daerah sekitar pengamatan.
 Aspek hidrology yang menyangkut adanya sumber mata air.
 Tebing uang menunjukkan adanya kenampakan sesar turun.

13
14
Gambar II.5. Bentang alam Stopsite 4
BAB III

KESIMPULAN

15

Anda mungkin juga menyukai