PENDAHULUAN
Maka dari itu untuk mengenal dan mempelajari Geology parangtritis lebih lanjut,
dilaksanakanlah Fieldtrip Geology Parangtritis pada tanggal 26 Oktober 2018 di Daerah
Bantul. Disana kami (Kelompok Kaolinite) bersama sama teman teman angkatan saya
melakukan pengamatan mengenai Geology parangtritis dari segi deskripsi sampai
interpretasi lingkungan pengendapan yang diteliti dari setiap stopsite yang dikunjungi.
Dari setiap stopsite ditemukan beberapa litologi penciri yang nantinya bias digunakan
untuk bukti dalam interpretasi data.
1
Bagaimana cara pendeskripsian batuan karbonat di lapangan
Bagaimana genesa dan sejarah geologi dari suatu singkapan
2
berkembang di Cekungan Wonosari dan DAS Bengawan Solo yang berkembang
Cekungan Baturetno.
3
Tabel I.4.1 Stratigrafi regional Pegunungan Selatan (Toha, et al., 2000 op. cit.
Akmaludin, 2007). Urutan stratigrafi dari tua ke muda adalah Formasi Wungkal-
Gamping, Formasi Kebo Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi
Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, dan Formasi Kepek. (1959)
4
Gunung Sewu memiliki batas yang bervariasi dengan fisiografi di sekitarnya. Gunung
Sewu dibatasi oleh kelurusan semisirkuler dengan arah umum TTg-BBL dengan
Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno. Selain itu, perbukitan kars tersebut
menumpang secara tidak selaras terhadap batuan beku dan volkaniklastik Oligo-Miosen
yang telah tererosi pada ujung baratdaya Lajur Baturagung, pada ujung selatan Masif
Panggung, dan pada bagian timur Cekungan Baturetno. Bidang ketidakselarasan tersebut
sering disebut sebagai bidang peneplain Pegunungan Selatan level pertama (Pannekoek,
1949). Penumpangan batugamping Gunung Sewu tersebut menghasilkan suatu transisi
morfologi yang bersifat gradual dari perbukitan volkanik struktural di sebelah utara
menjadi perbukitan kars di sebelah selatan. Puncak-puncak perbukitan kerucut kars yang
relatif horisontal sering disebut sebagai bidang peneplain Pegunungan Selatan level kedua
(Pannekoek, 1949). Di Pantai Wediombo batuan karbonat Formasi Wonosari
menumpang secara tidak selaras diatas batuan beku Miosen. Selaras dengan konsep
peneplainisasi pertama dari Pannekoek (1949), Hartono menginterpretasikan batuan beku
tersebut sebagai sisa erosi dari tubuh gunungapi.
Orientasi perbukitan dan lembah-lembah kars di Gunung Sewu bervariasi secara
geografis. Bagian utara didominasi oleh kelurusan berarah BL-Tg, sedangkan bagian
selatan didominasi oleh kelurusan berarah TTg-BBL yang relatif sejajar dengan garis
pantai saat ini. Pola kelurusan pertama dapat dengan jelas dilihat di selatan Masif
Panggung dan selatan Giritontro. Beberapa penelitian menunjukkan pola kelurusan yang
kedua tersebut dibentuk oleh undak-undak pantai purba yang kemungkinan disebabkan
oleh pengangkatan episodik Pegunungan Selatan (Sartono, 1964; Surono, 2005). Bila
interpretasi ini diterapkan pada pola kelurusan pertama di sebelah utara, maka
implikasinya adalah adanya perubahan pola pengangkatan Pegunungan Selatan. Bukti
pengangkatan Pegunungan Selatan yang bersifat episodik juga datang dari endapan teras
sungai di utara Teluk Pacitan (Harloff, 1933; Movius, 1944)
5
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
II.1. Stopsite 1
Parangtritis merupakan wilayah yang telah menjadi salah satu kawasan Cagar
Alam Geologi (CAG) di Indonesia. Hal itu karena di Pantai Parangtritis memiliki
keunikan yang hanya ada 2 di dunia, yaitu adanya gumuk pasir. Gumuk pasir Parangtritis
di perkirakan dapat mencapai ketinggiam sekitar 15 m. Namun saai ini gumuk pasir yang
terbentuk tidak mencapai ketinggian yang maksimal, karena ada beberapa faktor yang
menghambat pembentukan gumuk pasir ini. Yang pertama faktor urbanogenetik, yaitu
dimana daerah pesisir Parangtritis telah banyak bangunan yang menghalangi suplai
material dari laut. Kemudian faktor orogenik, yaitu akibat adanya penanaman tumbuh-
tumbuhan yang bukan tumbuhan asli daerah gumuk pasir, senhingga tidak mendukung
pertumbuhan guuk pasir. Kemudian karena adanya penambangan besar-besaran di daerah
aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi, material-material yang seharusnya
mengalir ke laut, kemudian di kembalikan lagi ke darat oleh ombak dan membentuk
gumuk pasir sudah berkurang, sehingga gumuk pasir menjadi seperti sekarang ini. Selain
gumuk pasir, juga terdapat fenomena blow out dune yang menjadi akibat terhambatnya
pembentukan gumuk pasir oleh faktor urbanogenik dan orogenik.
6
Gambar II.2. Ripple di Parangtritis
7
8
Gambar II.3. Bentang alam Stopsite 1
II.2. Stopsite 2
Dalam mengenali litologi pada stopsite 2 ini dilihat dari adanya struktur vesikuler, yaitu
adanya lubang-lubang gas.
9
10
11
Gambar II.5. Bentang alam Stopsite 2
II.3. Stopsite 3
Dari stopsite 2 menuju stopsite 3 kurang lebih 5 menit perjalanan. Fenomena yang
terdapat pada stopsite ini yaitu adanya 2 mata air yang berasal dari 2 sumber yeng
berbeda dengan jarak yang cukup dekat kurang lebih sekitar 12m dan kedua mata air ini
terdiri dari satu mata air panas dengan air asin dan satu mata air dingin dengan air
tawar. Lokasi stopsite ini masih derada di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, DIY.
Mata air panas yang berada di stopsite 3 diidentifikasi muncul karena adanya kontrol
struktur geologi didukung dengan ditemukannya lereng terjal yang berada di belakang
stopsite 3 yang mana di lereng ini ditemukan adanya litologi batuan beku menuju ke
satu arah dan di arah berlawanan ditemukan adanya autobreccia . Batuan yang terdapat
pada lokasi ini berupa batuan beku ekstrusi (Andesit) yang menurut Van Bemelen
termasuk kedalam OAF (Old Andesit Formation) .
Air dingin tawar dan air panas asin disebabkan karena densitas air laut >> air tawar dan
berada pada permeabilitas struktur air asin.
12
II.4. Stopsite 4
Lokasi terletak di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, DIY
13
14
Gambar II.5. Bentang alam Stopsite 4
BAB III
KESIMPULAN
15